Jumat, 09 Agustus 2013

A. Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan



Terbaginya sudut pandang keagamaan

Terdapat dalil tentang keabsahan berbeda pendapat dalam bagian furu’iyyah, Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:  “Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: ”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: ”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.

Ibnu Hajar Al-’Asqalani radhiyallahu anhu (dalam Al-Fath) setelah menerangkan sebagian isi hadits ini mengatakan: “Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memperdulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir “Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ashar pada hari perang Khandak setelah matahari terbenam kemudian setelah itu beliau shalat maghrib.” (HR. Bukhari & Muslim)

… Yang lain memahaminya sebagai bermakna kiasan “untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah”.

Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut. ”Ibnul Qayyim radhiyallahu anhu mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131): “Ahli fiqih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.

Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya…..

Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sedangkan yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga menerima pahala.” Wallahu a’lam.

Saat tiba waktu shalat ashar, sebagian dari mereka berkata, “Kami tidak mendirikan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah, seperti yang diperintahkan kepada kami.” Hingga ada sebagian mereka yang shalat ashar ketika sudah masuk waktu isya’. Sebagian yang lain sudah mendirikan shalat ashar di tengah perjalanan ketika waktu ashar telah tiba.

Penulis : Mereka memahami perintah Rasulullah sebagai hakikat zahir isi teks dan ada pula yang memahami sebagai anjuran untuk mempercepat perjalanan dan tetap mengikuti kaedah sholat diawal waktunya. Akan tetapi keduanya ini tidak menjadi permasalahan, ketika ditanyakan ke Rasulullah yang membenarkan kedua-duanya.

Bila dilihat sudut pandang lain, yang satu berdasarkan taklid buta dan yang satu berdasarkan pengupasan atau pemahaman ilmu atau dengan kata lain seorang yang mampu berijtihad dalam permasalahan fikih dan yang mampu untuk meneliti berbagai nash-nash syari’at yang terkait berdasarkan pandangan bahwa setiap muslim meskipun dia mengikuti pendapat seorang imam, kyai, ustadz, ataupun da’i, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut, dia tetap berkewajiban untuk mengetahui dalil dari al-Quran dan sunnah yang menjadi landasan orang yang diikutinya tersebut).

Namun dalam kasus diatas kedua-duanya lebih mendekati kebenaran dan Rasulullah sendiri tidak mempermasalahkannya, karena taklid buta yang terjadi diatas adalah taklid buta terhadap nabi sendiri atau boleh juga disebut manusia yang di jamin di surga.

Bagaimana dengan kondisi pada jaman sekarang, perbedaan-perbedaan sudut pandang agama terjadi karena keberanian orang-orang ber-taklid buta pada seseorang yang tidak diketahui apa seorang tersebut adalah orang yang dijamin masuk surga atau bagaimana tingkat pemahamannya terhadap ilmu agamanya dan adanya orang-orang yang pemahaman ilmu berdasarkan keutamaan pengotakan-pengotakan golongan dari pada persatuan umat sedang hal lainnya adalah penisbahan taklid buta ini bukan pada nabi secara langsung.

Bagaimana pula bila perbedaan tersebut karena adanya dua pegangan dalil seperti hadis yang berbeda dan masing-masing dalil tersebut berasal dari rasulullah pula? Sebelum menjawabnya mari Kita melanjutkan masalah kedua dalam perbedaan sudut pandang ini.

Dari Kejadian dalam perang Bani Quraizhah ini, sudah terlihat mulainya bibit-bibit perbedaan sudut pandang keagamaan, dan bedanya pada saat tersebut belum terlalu terlihat campur tangan pihak ketiga di dalamnya seperti pihak munafik, fasik, kafir, sesat atau dimurkai yang ikut mengail diair keruh, barulah setelah wafatnya Khalifah Umar bin khattab (al faruq / pembatas) pintu fitnah jebol dan dimulailah rentetan fitnah-fitnah terhadap Islam

Dalam jaman khalifah Utsman dan Ali, Kaum munafik dan fasik mengembuskan isu :
  • Menuduh Utsman bin affan melakukan Nepothisme dengan pengangkatan banyak pejabat-pejabat dari kalangan sendiri (bani ummayah)
  • Menghembuskan isu tentang pejabat-pejabat yang memperkaya diri sendiri, (mungkin benar ada dalam kalangan bani ummayah yang menjabat, satu dua terlihat memperkaya diri, tapi isu ini pun adalah embusan dari orang-orang yang iri pula)
  • Walau dua masalah ini benar adanya terihat seperti itu tapi isu yang keluar adalah menegatifkan semua yang terlihat, padahal orang-orang yang diangkat sesuai dengan kecakapan bidangnya dan yang memperkaya diri adalah oknum-oknum/individu-individu saja, yang dalam pekerjaan skala besar pasti tidak dapat luput dari adanya orang-orang berjiwa seperti itu namun akhirnya menjadikan seakan-akan kesalahan keseluruhan golongan tersebut
  • Membunuh khalifah Utsman bin affan
  • Pembunuh, pendurhaka dan kaum munafik/fasik ini berlindung di antara kaum muslimin itu sendiri bagai musang berbulu domba, menciptakan tabir/kamuflase yang susah terlihat umat, suatu saat berkata “untuk menguatkan konsolidasi persatuan umat dahulu” dan suatu saat lain berkata “menuntun pembunuhan dahulu” suara tersebut mengekor dari pada suara umat sendiri, namun ekoran ini membakar masalah menjadi lebih ruwet, di satu golongan mendukung a di golongan lain mendukung b, di golongan a menjelekkan a, dan membenarkan b namun melimpahan kesalahan di golongan b, demikian balikkannya, lempar batu sembunyi tangan. Seandainya umat memikirkan hal yang utama adalah persatuan dulu, baru menuntut pembunuhan yang mana pada situasi dan kondisi pada saat tersebut berdasarkan fiqh yang lebih prioritas adalah persatuan umat dahulu sementara sebenarnya penyelesaian si pembunuh bisa ditunda waktunya apalagi adanya tabir teradap kegiatan mereka yang menyusahkan terlihat nyata, maka perbedaan pendapat dikalangan sahabat tidak akan terkontaminasi dan dapat dikendalikan.

Lihatlah dalam kisah perang Jamal dan perang Siffin di bagian lain buku ini, dan lihat petikan tulisan ini : “Dan tidaklah Muawiyah mengingkari sedikit jua akan keutamaan Ali dan hak beliau untuk menjadi khalifah. Akan tetapi pada ijtihad beliau, perlu didahulukan penangkapan ke atas para pembakar api fitnah daripada kalangan para pembunuh Usman radhiallahu ‘anh daripada urusan bai`ah. Dan beliau juga berpendapat dirinya paling berhak untuk menuntut darah Usman.” [al-Fishal, jld. 3, ms. 85]

Di sisi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, beliau bukan sengaja membiarkan para pembunuh Usman berkeliaran secara bebas. Malah beliau mengetahui bahawa mereka itu menyamar diri dan berlindung di kalangan umat Islam serta berpura-pura membai`ah beliau. Akan tetapi dalam suasana umat Islam yang masih berpecah belah, adalah sukar untuk beliau mengambil apa-apa tindakan. Sebaliknya jika umat Islam bersatu, mudah baginya untuk mengambil tindakan ke atas para pembunuh Usman.”

Hal yang harus di sadari bahwa musuh berada di tempat gelap, sedang kedua pihak bertikai berada di tempat terang, dan disadari pula tujuan keduanya adalah sama untuk persatuan umat, tapi sudut pandang berbeda, yang satu mengharap penyelesaian pembunuhan baru bisa umat disatukan sedangkan yang lain bersatu dulu baru dapat melacak pembunuh yang bersembunyi di dalam tubuh umat, sedangkan pembunuh akan sulit terlacak selama kesatuan pendapat umat itu sendiri tidak bersatu karena memang faktor penabiran diri mereka sulit terlacak, maka kekeruhan masalah-masalah ini dan lainnya membuat fitnah para munafik adalah sesuatu yang menakutkan karena tabirnya. Akhir masalah ini munculnya kaum Khawarij, Murjiah, Syiah dan Sunni, kemudian masing-masing memecah diri lagi menjadi aliran/golongan bermacam-macam. Sunatullah!

Dari kedua kejadian ini ada pelajaran, banyak hal pada umat akan menyebabkan terjadi banyak perbedaan, namum rujukannya bisa dilihat dari 2 contoh berbeda diatas tersebut sebagai acuan pegangan baik, bahwa :
  1. Sudut pandang taklid buta, yang bisa saja bertaklid kepada seseorang yang tidak dijamin surga atau tidak mengusai kaedah keseluruhan ilmu agama, berbeda dengan taklid kepada nabi dan kepada orang yang dijamin surga. Taklid tidaklah buta, pribadi/individu harus faham juga dari mana datangnya ilmu tersebut, apa sesuai dengan syariat dan nash.
  2. Sudut pandang pemahaman keilmuan, baik pemahaman nash dan makna tersiratnya, juga pemahaman fiqh, syariat dan sebagainya bisa jadi lebih utama
  3. Ada terbentuk pemahaman yang meng-global menjadi kelompok-kelompok pemahaman, yang mungkin salah satunya karena tingkat ilmu agamanya dan pemahaman makna berbeda terhadap nash.
  4. Pentingnya persatuan umat dahulu, dibandingkan penilaian sesuatu yang dapat ditunda penyelesaiannya atau pengguguran pendapat lainnya demi persatuan umat
  5. Berhati-hati dalam campur tangan pihak ketiga, entah karena keirian, keuntungan sesaat atau perusakan akhlak, dsb dan terutama bahayanya kaum munafik/fasik (musang berbulu domba)
  6. Tidak mengherankan kalau umat terpecah menjadi banyak golongan-golongan
  7. Pentingnya “tak berburuk sangka” dan pentingnya “meneliti kabar yang sampai” dan mewujudkan pemikiran dalam keutamaan persatuan umat terlebih dahulu, dan mengesampingkan/menggugurkan perbedaan dari sudut pandang diri sendiri/golongan selama mengganggu kesatuan dan persatuan umat

Bagaimana pula bila perbedaan tersebut karena adanya dua pegangan dalil seperti hadis yang berbeda dan masing-masing dalil tersebut berasal dari rasulullah pula?

Kita ambil contoh keadaan jaman sekarang, yaitu perbedaan saat penentuan awal bulan, awal puasa dan atau Idul Fitri

Hisab
'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Rukyat
 Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal


Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000, PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
  • Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
  • Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.

  • Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.

Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis

Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

Alangkah sedihnya melihat perbedaan ini, yang sebagian orang menganggap hal yang wajar dan sepi-sepi saja dengan menganggap bagian toleransi, selama hal ini berlangsung perpecahan umat akan terus dan terus terjadi, apakah itu sesuatu yang baik. Tidak kah mereka belajar dari 2 keadaan/peristiwa yang terjadi di masa awal Islam.

Bila kita meminta satu saja kriteria yang dipegang sebagai pilihan, mengingat persatuan umat adalah lebih penting dari hal lainnya, maka para golongan akan berteriak ini dan itu berbagai alasan, lagi-lagi golonganlah yang tepat dan utama, namun alasan ini juga berfaedah karena siapakah yang berhak dalam kebenarannya dan siapakah yang mempuni dalam ilmu keagamaannya dan putusannya selain nabi. Untuk mewujudkan satu kreteria atau satu keputusan akan susah karena pengaruh kekelompokan dan atau tidak adanya kesatuan umat itu sendiri.

Bilakan 1 hari seperti setahun itu benar pada masa Dajjal layaknya keadaan harian yang sebenarnya, kriteria seperti apa yang akan mereka pegang, dimana bulan tidak tampak selama setengah tahun (6 Bulan)?

Bilakah ilmu astronomi hilang kembali dimana umat kembali ke jaman tanpa satelit dan internet, kriteria apa yang dipakai?

Bilakan orang-orang Islam yang berada di seputar kutub selatan atau utara yang ada mendapat siang berbulan-bulan dan malam berbulan-bulan, kreteria apa yang cocok buat mereka?

Atau perlukah menunggu Imam Mahdi memutuskannya dalam persatuan umat termasuk kriteria yang benar dan menggugurkan kriteria lainnya.

Kita tau dalam hal Islam, Nabi sangat berhati-hati memberikan pemahaman kepada sahabat-sahabat tentang Islam, bilakah nabi tidak tau hal ini, dan tidak menspesifikkan kreteria yang jelas padahal nabi pernah ber-Isra Mi’raj yang notabene juga adalah perjalanan waktu ke masa depan hingga melihat penghuni surga dan neraka yang menuju kesana dimana surga dan neraka terbuka setelah kiamat dan banyaknya tabir masa depan yang nabi mengetahuinya, mungkinkan nabi membiarkan umatnya seperti ini, ataukah karena Sunatullah agar terlihat keimanan dari masing-masing individu umatnya.

Sebagian masyarakat Indonesia sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki 1 Ramadhan atau 1 Syawal, maka Indonesia juga harus mengikutinya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini sebenarnya merupakan pencampuradukkan dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.

Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah.

Berdasarkan data astronomis, posisi ketinggian hilal di Arab Saudi kemarin berada pada 0 derajat 12 menit. Karena posisinya yang sudah lebih dari 0 derajat, yang berarti hilal sudah mewujud; maka kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada hari Selasa 09 Juli 2013. Namun karena dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal Kerajaan Saudi menganut sistem Rukyat Murni (harus melihat hilal dengan mata telanjang), maka karena tak satupun Rakyat Saudi yang melihat hilal, maka Pemerintah Saudi menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013.

Ini berbeda dibanding dua tahun lalu (2011), dimana penentuan kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi pada 1 Syawal 1432 Hijriah sejalan dengan keputusan akhir Kerajaan; yakni jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011. Mengapa bisa sejalan? Karena pada Senin (29/8/2011), cukup banyak Rakyat Saudi yang telah melihat hilal, padahal posisi hilal ketika itu hanya kurang dari 1 (satu) derajat. Hal ini membuat banyak astronom, termasuk Mohamad Odeh (suhunya Thomas Djamaluddin) yang mengatakan bahwa mereka (Rakyat Saudi) NGAWUR dan SALAH LIHAT.

Namun tidak seperti Pemerintah dan sebagian ulama Indonesia yang meragukan kesaksian warganya, dengan tegasnya para ulama Arab Saudi yang diikuti oleh Pemerintahnya tidak sedikitpun meragukan kesaksian warganya yang telah melihat hilal.  Mereka berpegang teguh dengan sunnah yang telah digariskan oleh Rasulullah Muhammad saw:

“Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: sungguh saya telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Badwi menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Bilal, beritahulah orang-orang supaya mereka berpuasa.” (H.R Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa” (H.R Abu Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)

Selain itu dikisahkan pula:

“Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal, maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).” (H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah saat awal Syawal dengan melihatnya juga). [HR. Bukhari, Muslim].

Dari hadits-hadits tadi telah jelas menyiratkan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, Islam tidak mengenal sistem demokrasi, dimana suara terbanyak yang harus jadi acuan seperti sidang isbat kemarin! Untuk menentukan bulan baru tidak dibutuhkan kesaksian banyak orang, namun cukup SATU ORANG atau BEBERAPA ORANG SAJA! Asal orang tersebut bersedia bersumpah, maka kesaksiannya  dianggap SAH!!

Maka tidak heran rasanya jika seorang mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Asheikh dalam khotbah Jumatnya di Masjid Imam Turki bin Abdullah menggambarkan orang-orang yang meragukan melihat bulan sebagai ‘orang yang termotivasi dan menyimpang dengan mulut kotor’.

“Ada lidah busuk yang meragukan agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti Sunnah Nabi tentang puasa dan menandai Idul Fitri,” katanya.

Mufti mengatakan syariah sangat jelas dalam prosedur melihat bulan. Dia menambahkan umat Muslim tidak boleh menafikan Sunnah karena adanya pendapat palsu.

Lantas, mengapa Pemerintah RI dan sebagian ulama serta para pakar astronomi tidak mempercayai keterangan para saksi yang melihat hilal?

Alasannya macam-macam serta terkesan dibuat-buat dan mengada-ada. Ada yang mengatakan bahwa dengan ketinggian hilal yang sangat rendah, hilal tidak mungkin dapat terlihat (kalau sudah berpendapat demikian, buat apa dikirimkan Tim Rukyat untuk melihat hilal???). Ada yang mengatakan bahwa kemungkinan besar mata orang yang melihat hilal terkecoh oleh gejala alam. Ada yang mengatakan bahwa mereka tidak disumpah oleh hakim. Ada yang mengatakan bahwa kesaksian mereka berbeda dengan kebanyakan yang lain. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa orang-orang yang melihat hilal tsb adalah orang-orang tua yang pandangannya sudah mulai kabur. Mereka lupa bahwa ada Tuhan yang dapat memberi mukjizat yang dapat membantah semua teori mereka sekaligus menjadikan hal ini menjadi jelas tanpa perlu untuk diperdebatkan.

Firman Allah: “Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah!“, lalu jadilah dia.” {QS. 3:47}

“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!“, maka jadilah ia.” {QS. 40:68}

Dalam hal ini patut pula disimak pernyataan ustadz Ibnu Dawam dalam artikelnya [Dasar-dasar Penetapan awal dan akhir Ramadhan menurut Al Qur’an dan Hadits. (Jawaban terhadap Imkan ru’yah Prof. Dr. T. Djamaluddin)] bahwa memvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar terhadap Ilmu Pengetahuan, termasuk ilmu astronomi itu sendiri, yang sekaligus juga menghina pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada siapa yang Allah menginginkannya dengan menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari, maupun hambatan atmosfir lainnya.

“Dalam Fatâwa Nûr ‘Alad-Darb (juz 16 hal. 75) yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Dâ-imah (semacam MUI di Kerajaan Saudi Arabia) melalui website resminya www.alifta.net, terdapat keterangan sebagai berikut:

Jika seseorang menghadap mahkamah (qâdhi) atau pihak yang berwenang dalam penetapan puasa dan hari raya, kemudian bersaksi bahwa dia telah melihat hilal, namun pengakuannya tersebut ditolak dan tidak memakai hasil ru’yah-nya tersebut, maka di sini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dia wajib berpuasa (sekalipun sendiri-pent), karena dengan ru’yah-nya tersebut, bararti bulan (Ramadhân) telah masuk bagi dirinya selaku pribadi.

Namun ulama yang lain berpendapat bahwa ia tidak boleh berpuasa jika hasil ru’yah-nya ditolak, tetap tidak boleh puasa, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam: ‘Puasa itu adalah saat kalian semua berpuasa, Idul Fithri adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul Fithri, dan ‘Idhul Adh-ha adalah hari dimana kalian semua melaksanakan ‘Idhul Adh-ha’. Sehingga dia tidak boleh berpuasa pada hari di mana jama’ah kaum muslimin (bersama pemerintahnya) tidak berpuasa.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Abul ‘Abbâs Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan sekumpulan ulama yang lain. Pendapat inilah yang lebih jelas dalam pendalilan, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam; ‘hari berpuasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa’. Maka kesaksian ru’yah seseorang otomatis menjadi batal bagi dirinya dan bagi orang lain, sehingga tidak boleh ia berpuasa. Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran.

Namun jika ia berpuasa dengan berpegang pada pendapat mayoritas ulama (bahwa ia wajib berpuasa secara pribadi-pent) maka yang demikian pun tidak mengapa InsyaAllah. Hanya saja tidak berpuasa (dalam kasus seperti ini-pent), adalah lebih utama dan lebih afdol.

Pendapat penulis :
Marilah kita lihat secara kenyataan keadaan untuk memilih pendapat harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya

  1. Sholat jumat di Saudi Arabia (Kiblat) sama harinya hari jumat buat sholat jumat di Indonesia, Indonesia lebih dulu + 4-6 jam (shaf lebih awal dari kiblat), waktu sholat berdasarkan pergerakan matahari bukan bulan.
  2. Waktu sholat harian telah dikulkulasi bertahun-tahun dengan ilmu astronomi modern sehingga tidak perlu melihat bayangan matahari lagi, cukup dengan menyamakan jam (lihatlah jadwal sholat tahunan). Pada hal tersebut ilmu astronomi dipercaya semua golongan untuk digunakan tapi untuk hitungan bulan Hijriah tidak berlaku oleh sebagian orang/golongan.
  3. Setelah hari wukuf di Arafah, esoknya adalah Idul adha (waktu berdasarkan bulan) lokasi Arab Saudi, seyogyanya Indonesia lebih dahulu pula pelaksanaannya tapi bila perhitungan lihat bulan tidak tepat maka tidak sama. Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih. Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia. Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari selainnya. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari selainnya, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
  4. Bila Kiblat sebagai zona waktu nol, maka jarak terjauh siang hari dan malam hari plus minus 12 jam, jarak terjauh tidak melebihi 24 jam (sehari semalam) melainkan setengah hari saja. Pengikutan arah sesuai matahari dan bulan terbit (pergantian siang dan malam) dengan pengelihatan zona waktu berdasarkan bujur dan lintang
  5. Kiblat Malaikat adalah Kabah juga sama dengan Kiblat sholat umat Islam
  6. Persatuan umat lebih penting dari kebenaran atas nama kelompok
  7. Hambatan atmosfir di Saudi Arabia kurang dari hambatan alam di Indonesia, sehingga Hilal lebih mudah dilihat mata
  8. Diharuskan melihat hilal dengan mata pada hadis secara tekstual adalah kebenaran, secara saint dan kreteria benar juga bila hilal telah melebihi nol derajat masuk bulan baru.
  9. Adanya prasangka bahwa perbedaan ini sering bermuatan kepentingan politik, kesenangan sesaat, pembenaran dan pengkultusan kelompok, dan sebagainya
  10. Di Mekkah (kiblat) bila waktu telah ditetapkan, maka semua manusia dari belahan dunia, dari negara dan hirarki apa pun yang umroh, dari mahzab apa pun dan dari golongan apa pun yang berada disana, semua sama melaksanakan pada waktunya, dan tidak ada membawa perselisihan/pertentangan waktu baik di negaranya atau di golongannya.
  11. Teknologi informasi, telekomunikasi dan Internet memungkinkan manusia untuk saling mengetahui dan berkomunikasi dalam waktu menitan saja walau terhalang jarak yang jauh
  12. Adanya anggapan orang-orang bahwa bila salah maka itu kesalahan pemerintah atau pimpinan golongannya, bukan kesalahan Kami, karena hanya mengikuti saja. Anggapan yang tentu saja salah pada tempatnya “(Yaitu) bahwasanya, seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am [6]: 164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7., (masing-masing bertanggung jawab kepada apa pilihan yang dipilihnya sendiri)
  13. Adanya masyarakat yang melakukan pilihan karena mengikuti pilihan paling ramai yang diikutinya, padahal kadang kala secara kedaerahan benar yang paling ramai pemilihnya namun dilihat menyeluruh di dunia pilihannya kadang hanya 1/3 dan 2/3 telah melakukannya atau kebalikkannya
  14. Di wilayah Indonesia termaksud shaf bagian depan hitungan sholat seluruh dunia, yaitu + 4-6 jam sebelum shaf tengah (kiblat) bersujud, namun suatu saat akan terbalik keadaan ini, bilakah “matahari terbit dari barat” itu akan permanen maka wilayah Indonesia menjadi shaf bagian akhir setelah shaf tengah (kiblat) bersujud, yaitu - 4-6 jam, maka jadwal tahunan sholat akan berubah dan harus direvisi juga menit dan detiknya mengikuti putaran matahari terbalik ini.

Berhubungan dengan adanya 2 kejadian diawal Islam, penting adanya pemimpin atau persatuan umat, sebagaimana kita tahu bahwa ramadhan dan idul fitri bukan hanya berkenaan puasa saja melainkan juga berkenaan dengan sholat Id itu sendiri, yaitu bila kita sesuaikan waktu sholat adalah setelah beberapa saat terbit matahari pada sebuah hari sudah selayaknya seperti jumatan yang sama harinya dengan kiblat, dan mestinya berkenaan sholat juga, berarti sholat Id haruslah sama harinya. Mengapa kiblat?

Bila seumpama kiblat dahuluan harinya maka di Indonesia pelaku pilihan kedua akan sholat Id terlambat selama 20 – 24 jam karena secara hitungan waktu nyatanya Indonesia dahuluan masuk siang dan malamnya +4-6 jam, hal yang lucu bila diikut sertakan hal ghaib yaitu Malaikat yang punya kiblat yang sama di Kabbah maka apakah Malaikat yang berada di shaf yang jauh (baca: Indonesia ada di awal shaf dunia, dengar pula tentang kebenaran adzan yang tidak terputus di bumi, selesai adzan di daerah yang satu terawal, daerah sesudahnya yang lain masuk pula berikutnya, silih berganti dan tertib) sholat mengikuti kiblat juga pada waktu yang sama dengan tertib urutan siang dan malam hingga sampai di shaf kiblat itu dan seterusnya hingga berakhir seluruhnya pada putaran penuh bumi yang akhir/ujung untuk hari tersebut dan atau adakah Malaikat yang mengikuti waktu yang lainnya seperti di Indonesia itu, dimana shaf Malaikat di Indonesia ini baru sujud dalam sholat Id setelah hampir sehari setelah shaf Malaikat yang notabene harusnya ditengah (baca : Mekkah adalah pusat dunia) Shaf di Mekkah telah dahuluan sujud dalam sholat Id hampir sehari sebelumnya padahal nyatanya harusnya fajar dan sore indonesia adalah datang dahuluan atau Indonesia berada di garis depan waktu sebelum kiblat. Apakah para malaikat diseluruh dunia tidak sujud bersamaan waktunya secara teratur jam per jam baik di shaf awal (< +12 jam) mengikuti kiblatnya di shaf tengah (0 jam) hingga shaf terakhir (> -12 jam) ketika sholat Id.

Hal yang terpenting adalah bila diarahkan sama berpatokan kiblat, maka persatuan umat seluruh dunia terjaga dan InsyaAllah, tidak ada saling fitnah-fitnahan yang berkata golongan ini salah, golongan itu benar, yang ini bego yang itu jelek, dsb. Seperti yang Kita tahu di Mekkah terkumpul beberapa aliran, kelompok dan mahzab berbeda dan terkumpul pula manusia-manusia dari berbeda-beda daerah dan negara dengan terkumpulnya manusia yang sedang umroh pada Ramadhan, yang pada waktunya sama melakukan puasa dan sholat id disana, tidak bertentangan atau membawa permasalahan beda waktu dari golongannya atau negaranya.

Setau penulis Kita memang tidak dapat berpatokan pada satu kreteria saja, dan lagi ilmu agama harusnya sejalan dengan saint pula, bila kita berpatokan pada melihat bulan secara mata, bisa jadi pada waktu lain tidak akan bisa, dahulu masing-masing terkotak pada kedaerahan hingga perlulah hal tersebut sekarang setelah astronomi maju dan adanya jaman satelit, dimana informasi dan komunikasi canggih dan lebih mudah maka pengotakan daerah telah tidak ada sama sekali, mungkin bila suatu saat hilang lagi keadaan tersebut. jadi kreteria itu dipakai silih berganti sesuai dengan keadaan. Percayalah bila tidak ada pengotakan daerah di awal Islam sebelum adanya kemajuan teknologi maka bisa jadi kreteria akan diberi sejelas-jelasnya. Hal ini tersirat dari salah satu dari 2 makna hadis ini (makna teks dan makna simbol, makna simbolnya akan dibahas dalam periode diktator)

kita coba untuk mengutip satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab suannnya, dari An Nawwas bin Sam’an Al Kilabi ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang Dajjal, beliau bersabda: “Jika saat Dajjal keluar aku masih bersama kalian maka akulah yang akan melindungi kalian darinya. Namun jika ia keluar dan aku tidak lagi bersama kalian, maka setiap orang harus melindungi dirinya sendiri. Allah adalah pelindung bagiku dan setiap muslim. Barangsiapa dari kalian berjumpa dengannya, hendaklah ia bacakan awal surat Al Kahfi, sebab itu akan melindungi kalian dari fitnahnya.” Kami lalu bertanya, “Berapa lama ia akan tinggal di bumi?” beliau menjawab: “Empat puluh hari. Satu hari seakan setahun, dan sehari seakan sebulan, dan sehari seakan sepekan dan hari-harinya dia sama sebagaimana hari-hari kalian.” Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, pada hari yang seakan satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu sehari semalam?” beliau menjawab: “Tidak, namun sesuaikanlah (setiap waktu shalat). Kemudian Isa putera Maryam akan turun di sisi menara putih, sebelah timur kota Damaskus. Lalu ia menemukan Dajjal di pintu Lud (sebuah tempat di dekat Baitul Maqdis), lantas ia pun membunuhnya.” HR. Abu Daud; 4321, Derajat hadits ini shahih, karena perawinya adalah perawi shahih.

Berdasarkan hadits diatas, maka bagi penduduk yang tinggal di daerah gelap atau terang atau wisatawan yang sedang mengadakan perjalanan ke wilayah tersebut, harus melaksanakan shalat lima waktu dengan patokan dua puluh empat jam. Yaitu melaksanakan shalat-shalat tersebut pada masing-masing waktunya, sesuai dengan jarak antara waktu shalat yang satu dengan waktu shalat lainnya pada hari-hari biasa. Pertanyaan ini tertuang karena pertanyaan tentang cara orang yang sholat di daerah gelap berbulan-bulan atau terang berbulan-bulan seperti daerah dekat kutub utara atau kutub selatan, lantas bagaimana perhitungan bulan dan waktu matahari bila mereka mengkotak-kotakan berdasarkan daerah per daerah tersebut, bagaimana cara mereka melihat bulan untuk menentukan awal ramadhan atau menentukan waktu sholat?

Apa tentulah mengikuti garis khatulistiwa sesuai dengan bujur dan lintang mereka pula. Hadis ini juga mengisaratkan secara tersurat bahwa kelak akan ada penemuan waktu atau jam dan Nabi mengetahui halnya tersebut, maka ikutlah waktu yang telah sesuai hitungannya dalam jam dan astronomi tersebut, bisa juga bila diselaraskan adalah nabi juga mungkin telah mengetahui akan ditemukannya perhitungan astronomi modern tentang perhitungan jadwal sholat tahunan, peredaran bulan dan matahari pula. Bukankah nabi banyak tahu pengabaran tabir-tabir tentang keadaan umatnya di masa depan. Makna teks ini juga seakan-akan membenarkan tersirat bahwa akan ada hari yang selama setahun lamanya, bila tidak buat apa para sahabat yang pemahaman agamanya sangat tinggi perlu bertanya “Wahai Rasulullah, pada hari yang seakan satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu sehari semalam?” dan bilakah demikian maka pertanyaannya bagaimana puasa waktu itu bila kriteria hadis tentang melihat hilal secara langsung sendiri tidak terpenuhi yaitu perhitungan terbit bulan akan membingungkan karena setahun serasa sehari, dengan kata lain 6 bulan siang hari dan 6 bulan malam hari. Bagaimana anda dapat melihat bulan secara mata dan menentukan awal ramadhan dan sholat Id bila keadaan waktu tersebut benar-benar terjadi? Lihatlah pula pertanyaan dari orang lain dibawah ini.

“Mereka lalu bertanya kepada Rasulullah, "Apakah pada hari yang lamanya seperti satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali saja?" Rasulullah kemudian menjawab, "Tidak, akan tetapi tentukanlah waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu tersebut)".

"Kemacetan" rotasi bumi pada masa dajjal tersebut tentu menimbulkan problem dalam prosesi ibadah, karena kita ketahui bahwa shalat lima waktu memiliki ketergantungan kepada perputaran bumi dan peredarannya terhadap matahari, dimana shalat Subuh wajib dilaksanakan ketika fajar, shalat Dzuhur yang wajib didirikan ketika matahari tergelincir dari puncak vertikal, shalat Maghrib yang wajib dikerjakan saat matahari tenggelam. Dan juga shalat Jum’at yang wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan.

Belum lagi dengan peribadatan lainnya seperti kapan bulan Dzulhijjah datang sehingga orang dapat melaksanakan ibadah Haji, kapan orang wajib mengeluarkan Zakat yang telah mencapai nishab dan haul, kapan Idul Fitri, Idul Adha dan beragam ibadah lainnya yang susah untuk diterapkan pada masa kedatangan dajjal ini.

Lebih pelik lagi adalah; bagaimana cara kita berpuasa? Misalkan saja dajjal datang pada bulan Ramadhan, dan kebetulan hari itu merupakan hari yang memiliki durasi selama satu tahun, itu artinya hari tersebut akan mengalami waktu siang selama enam bulan dan akan diselimuti malam selama enam bulan juga.

Tentu ini menimbulkan hambatan serius dalam berpuasa, karena puasa adalah menahan lapar-dahaga dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari Subuh hingga Maghrib. Lalu apakah pada masa itu umat Islam diwajibkan berpuasa dan menahan makan-minum dari pagi hingga petang yang tenggang waktunya adalah enam bulan? Jangankan menahan makan-minum selama enam bulan, untuk menahan selama 14 jam saja masih banyak yang tidak kuat. Apa lah puasa selama setengah tahun, untuk puasa sehari saja masih banyak yang bolong-bolong.

Untungnya para sahabat dahulu telah mempertanyakan hal tersebut, sehingga Rasulullah dapat memberikan solusinya dan jawaban Rasulullah inilah yang dijadikan landasan syariat tentang bagaimana tata-cara umat Islam melaksanakan Shalat, Zakat, Puasa dan Haji pada saat "kemacetan" tata-surya tersebut terjadi di masa dajjal nanti.

Banyak ulama yang telah menjelaskan hadits di atas dan menerangkan tata-cara ibadah jika perjalanan waktu "tersendat" sedemikian rupa. Salah satunya adalah apa yang diterangkan Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (kompilasi fatwa Ibnu Taymiyah) bahwa, "(Ibadah pada masa itu) tidak lagi menggunakan patokan waktu yang berdasar akan terbitnya matahari maupun tenggelamnya…" Karena pada masa itu peredaran matahari tidaklah normal sebagaimana hari-hari biasanya.

Fatwa Ibnu Taymiyah ini kemudian diperjelas oleh syaikh Abdullah ibn Baz dalam fatwanya yang menegaskan bahwa; "Satu hari yang memiliki masa satu tahun tersebut tidak dihitung sebagai satu hari, dengan demikian tidak cukup mengerjakan shalat lima waktu sekali saja dalam tenggang waktu tersebut. Akan tetapi wajib mengerjakan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali dengan cara membagi hari tersebut sesuai patokan jam yang digunakan pada negara masing-masing yang berlaku pada hari-hari biasa…"

Kemudian syaikh Ibn Baz melanjutkan "…demikan halnya wajib –bagi para muslimin– untuk mengerjakan puasa Ramadhan dan menentukan kapan permulaan Ramadhan dan kapan berakhirnya, serta kapan permulaan fajar dan kapan berakhirnya…" Maka dapat dikiaskan juga atas hadits ini tentang ibadah lainnya seperti Zakat dan Haji.

Sehingga wajib mengeluarkan zakat maal ketika sudah mencapai nishab (standar minimum) dan telah berlalu selama haul (setahun). Sama halnya dengan ibadah Haji yang harus ditentukan kapan bulan Dzulhijah yang dengan itu dapat diketahui pula kapan hari Tarwiyah, hari Arafah, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq tiba.

Dari sini dapat kita bayangkan, betapa sulitnya tantangan yang akan dihadapi umat Islam pada era dajjal kala itu. Oleh karenanya, saat itu harus ada integrasi antara pemimpin umat dan para ulama untuk bisa membagi waktu menjadi "pecahan" 24 jam. Mereka juga dituntut untuk mempublikasikan hal tersebut kepada segenap umat Islam di seluruh pelosok dunia.

Dengan kata lain, mereka lazim menciptakan sebuah sistem "Kalender Darurat" bersifat temporal yang khusus digunakan pada masa "kemacetan" tata-surya ini terjadi. Tanpa itu, umat Islam akan kebingungan mengenali kapan datangnya Dzuhur maupun Maghrib, karena Dzuhur yang biasanya ditandai dengan waktu siang dan Maghrib yang ditandai oleh terbenamnya matahari, kala itu kedua-duanya akan dilaksanakan pada waktu siang hari atau malam hari tanpa ada pembeda.

Dengan demikian, hadits di atas merupakan rujukan utama untuk umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah di akhir zaman kelak. Pun demikian, untuk mengamalkan hadits shahih ini tidak pula harus menunggu hingga datangnya dajjal nanti, karena hadits tersebut dapat diterapkan juga pada zaman sekarang oleh para penduduk bumi bagian utara maupun selatan yang terkadang matahari tidak muncul sampai beberapa bulan lamanya.

Seperti penduduk Eskimo misalkan, jika terdapat penduduk muslim di sana yang menemui kesulitan dalam beribadah hingga tidak mengetahui kapan bulan Ramadhan tiba, lalu fajar terbit dan terbenam secara tidak normal, maka mereka dapat menggunakan patokan waktu 24 jam ini atau menggunakan waktu yang berlaku di negara terdekat dari wilayah mereka.

Beginilah hebatnya sebuah mukjizat Rasul. Dapat menjelaskan mengenai perkara yang "kira-kira" akan dibutuhkan oleh umat Islam di masa mendatang, mampu menerangkan secara exact tentang perkara gaib yang belum terjadi. Karena seluruh berita yang dikabarkan Rasulullah tentang masa depan bukanlah berdasarkan prophecies (ramalan) yang bersifat prediktif-spekulatif. Sehingga tingkat akurasinya mencapai titik seratus persen dan pasti akan terjadi.”

Karena saat sekarang jaman satelit, telekomunikasi dan internet maka adalah baik tim rukyah bagaimanapun metoda kreterianya mengikut kepada kiblat atau rukyah dilakukan dari kiblat saja, hanya perlu sedikit tim saja dan hanya butuh berapa menit saja kita akan mengetahui hasilnya pula walau jarak daerah yang jauh, perlulah diingat bahwa zona waktu bumi cuman plus minus 12 jam jarak terjauh bukan selisih selang lebih sehari. Rukyah per daerah masing-masing bisa dilakukan kembali bila kondisi satelit dan komunikasi hilang kembali dimana masing-masing per daerah kehilangan kabar daerah lain/sekitarnya. Pilihannya mana lebih penting persatuan umat dalam hal ini atau pengelompokan-pengelompokan yang saling mengklaim diri benar. Allah SWT, InsyaAllah lebih menyukai persatuan umat dari pada kebenaran per daerah ada tidaknya melihat hilal secara langsung. Dan sekalian juga sudah saatnya pula pusat waktu khusus Islam diadakan di Mekkah. Dan umat Islam tidak sedih melihat kondisi perbedaan sudut pandang agama sekarang ini. Membiarkan hal ini berlarut-larut lebih banyak mudharatnya buat kaum Islam sendiri terutama membuat kebingungan terhadap agama sendiri. Tidakkah kalian belajar dari 2 peristiwa di awal-awal Islam.

cuplikan literatur

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi SAW adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orangmengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Legalisasi Metodologi Rukyah Dan Hisab
Membicarakan metodologi rukyah (dalam konteks Indonesia) tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadis yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama– hadis mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadis sekaligus praktek yang dilakukan pada periode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab.

Pada kesempatan yang sama, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salah satunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.

Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informatif, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.

Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).Memang, banyak hadis secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode nabi berbeda dengan periode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: “innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”.Jadi, memprioritaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada periode nabi.

Dan Akhirnya. Meskipun sulit, namun harapan untuk bersatu itu tidak akan pernah pudar, dan terus harus kita perjuangkan, sebagaimana agama kita satu maka hilalpun satu. - http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/12/makalah-hisab-dan-rukyat.html


Baru-baru ini di Nusantara, setelah wukuf di hari jumat di Arafah, ada yang berhari raya haji di hari sabtu sama dengan orang-orang yang sedang beribadah haji di Arab Saudi, dengan artian juga mengikuti waktu wukuf dihari jumat yang sama walau dahuluan. Ada pula yang berhari raya dihari minggu.

Yang satu, salah satu dari sekian alasannya, karena sholat jumatnya sama waktunya, waktu yang dipakai real di dunia juga berdasarkan waktu masuk adalah dahuluan di Nusantara. Yang satunya lagi, salah satu dari sekian alasannya karena memaknai dengan caranya tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih. Bila dianggap waktu adalah lebih dahuluan di Nusantara, maka wukuf-nya kan belum masuk waktunya. Dengan artian setelah ada wukuf di sana (Arafah), barulah Nusantara masuk waktu wukuf-nya (sekedar sebanding perbandingannya).

Sekedar hitungan sekedarnya dan ala kadarnya yang sangat perlu dikritisi lebih lanjut oleh para ahlinya.

  • Pergantian siang malam sebanding bagai melilit surban di kepala diawali dari timur menuju ke barat. Hal real harian.
  • Putaran waktu real bumi adalah 24 jam untuk sehari semalam penuh. Waktu di Nusantara dahuluan (dianggap saja 4 jam) dari pada Mekkah. Hal real harian
  • Sholat jumat di Nusantara sama waktunya sholat jumat di Mekkah (sama-sama hari Jumat) walau Jumat di Nusantara dahuluan. Hal real harian. Sebanding dengan awal hari atau awal bulan dari timur ke barat di +12 jam.
  • Waktu wukuf di Arafah didahulukan, sebanding masuk waktu wukuf di Nusantara belakangan, sebanding dengan awal hari dan awal bulan di Mekkah dahuluan kemudian baru Nusantara (asumsi pada hitungan 24 jam, yaitu 20 jam kemudian barulah masuk di Nusantara).
  • Kabah adalah pusat wilayah bumi juga pusat alam semesta ini, karena ia berada atau diletakkan secara istimewa ditengah/dipusat alam semesta walaupun mungkin saja keberadaannya didalam galaksi hanya disamping sekalipun, ia berada diantara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, Asumsi ini dikuatkan oleh 20 ayat Alqur’an yang menyinggung tentang keantaraan (bainiyyah)yang memisahkan langit dan bumi, ia adalah sesistem tanah diatas air dan darinya bumi diperluas, dibawahnya ada air (dapat dimaknai kemungkinan-kemungkinanya (sekedar cocoklogi, bukan tafsir resmi), antara lain: air zam-zam atau memang ada daerah luas yang berisi air tanah didalam tanahnya atau yang dimaksud adalah didalam bumi, memang ada magma/cairan (liquid) dan juga dapat dimaksud bumi (sebagai benda angkasa) berada di sekeliling air (materi (air) langit / lumpur hitam / sebanding dengan eter/ether (liquid hitam yang kemungkinan dingin (bintang dilempari salju/es, geosentris) / bisa pula bila mau disebandingkan dengan dark metter (materi gelap, heliosentris yang merancukan dan tidak mengakui adanya perhitungan eter dengan menggantinya ke dark metter yang diperhitungkan antah berantah, mementahkan analisis adanya eter), karena dibarat sana, matahari (baca cocokloginya: teori matahari) ini ditenggelamkan didalam lumpur hitam dan memang pula matahari mau tenggelam dimanapun disudut bumi pada mata memandang ini, keberadaannya diluar angkasa dikelilingi lumpur hitam yang serupa pengertian dari materi gelap atau serupa liquid cair rada kental tidak jernih, di timur …. lanjutannya, sebab dalam kisah Zulkarnain ini selain tafsir nyatanya, ada cocoklogi tentang adanya teori/hipotesa penting didalamnya dan juga hal menakutkan, namun dibalik peringatan buruk tentu ada kabar baik dan dibalik kabar kebaikan tentu ada lawan keburukkannya.
  • Dianggap waktu Mekkah adalah waktu patokan (pengganti Greenwich). Kemudian dibagi dua jenis menyesuaikan hal diatas, yaitu : yang pertama, +12 jam (sebagai awal hari/awal bulan), +4 jam (Nusantara), 0 jam (Mekkah) dan –12 jam (akhir hari/akhir bulan) dan yang kedua, 0 jam (Mekkah, waktu wukuf/awal hari/awal bulan) diteruskan dihitung 24 jam seharian, 0  jam, +12 jam, +20 jam (waktu Nusantara), +24 jam (akhir hari/akhir bulan).
  • Batasan diantara -12 jam ke +12 jam atau diantara 24 jam ke 0 jam, harus meyakini, dipatok dan ditetapkan batasan jelas pemisah/batasan wilayahnya, bahwa satu diantaranya awal hari/awal bulan dan satu diantaranya akhir hari/akhir bulan sebagai hal multak yang real.
  • Hari wukuf pada hitungan-hitungan sekedarnya ini, diselaraskan pada hitungan ketika hari wukuf di Mekkah terjadi pada hari jumat, ini adalah point penting dalam hitungan ini. Maka kita berpatok wukuf di Arafah dan wukufnya hari jumat, juga akan menyangkut masalah real lapangan antara Jumatan di Nusantara dengan jumatan di Mekkah sebagai asumsi dasar hitungan.
  •  Dsb…



  1. Asumsi pertama, waktu wukuf harus dihitung mulai dari Mekkah (Arafah) hingga seterusnya selama 24 jam putaran bumi, dianggap waktu berjalan sesuai nama hari dengan berganti versi hitungan hari dan waktu asumsi ini.



Biru : hari jumat (waktu wukuf di Arafah) – selisih 20 jam kemudian, masuk hari jumat untuk wilayah Nusantara.
Jingga : hari sabtu (waktu lebaran Haji di Mekkah (Kabah/Kiblat)) – selisih 20 jam kemudian masuk hari sabtu di Nusantara (sebagian yang berhari raya di hari sabtu di nusantara, hanya berselisih 20 jam (masih dalam batas satu hari satu malam yang 24 jam)
Ungu : hari minggu di Mekkah, mengikuti pergantian waktu, dalam 20 jam kemudian sebagian yang berhari raya di hari minggu di Nusantara, telah berselisih selama 20 jam + 4 Jam + 20 Jam, melebihi jumlah jam pada batasan satu hari yang 24 jam lamanya.

Kelemahan : pertama, waktu telah melebihi 24 jam (satu hari penuh) dan kedua, hari jumat yang selama ini dilakukan di Nusantara yang dahuluan secara versi real waktu yang dipakai di dunia akan dianggap salah, dengan artian sebanding dengan selama ini jumatan di Nusantara adalah hari kamis, bukankah asumsi ini adalah masuknya awal hari mulai dari Mekkah, kecuali waktu real dari dahulu lalu itu ditinggalkan mulai sekarang dan kita harus menyatakan kesalahan dahulu hari kamis dianggap hari jumat.

  1. Asumsi kedua, waktu wukuf dihitung ditengah (0) berdasarkan Mekkah sebagai pusat wilayah bumi (berada ditengah bumi), menggantikan Greenwich, dianggap waktu berjalan sesuai nama hari dengan berganti versi hitungan hari dan waktu asumsi ini.



Biru : +12 jam yang memulai awal hari, kemudian 8 jam setelahnya maka hari jumat masuk waktunya di Nusantara – selisih 4 jam kemudian barulah masuk hari jumat untuk wilayah Mekkah. 12 jam sesudah Mekkah adalah akhir hari/akhir bulan. Setelahnya kemudian ditambah 20 jam (12 jam + 8 jam) lagi dari Mekkah maka di Nusantara hari mulai berganti hari sabtu.
Jingga : hari sabtu di Nusantara, ada sebagian yang berhari raya pada hari tersebut, kemudian dalam 4 jam berikutnya masuk hari sabtu di Mekkah, dimana juga berhari raya pada hari tersebut. (putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari, 24 jam)
Ungu : hari minggu di Nusantara, setelah Mekkah berlebaran selama 20 jam, maka berlebaranlah di hari minggu sebagian orang di Nusantara (bila dilihat sekilas putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari di bumi, 24 jam juga, namun benarkah itu?). setelahnya 4 jam kemudian Mekkah masuk hari minggu, saat itu orang di Kiblat telah berlebaran sehari yang lalu.

Kelemahan : pertama, karena dalam 0 jam yang berpatok Mekkah, maka selisih Mekkah dengan batasan akhir hari tersebut harusnya adalah 12 jam kemudian, itu berarti pilihan minggu melebihi batasan satu hari penuh yang harusnya sama tersebut dan kedua, pilihan dari minggu akan ada pertentangan pendapat juga tentang jumat adalah jumatan pada hari yang sama, sabtu adalah sabtu juga di Mekkah pada batasan harinya meskipun asumsi ini yang dipakai.

  1. Asumsi ketiga, waktu wukuf harus dihitung mulai dari Mekkah (Arafah) sebagai awal hari dari hitungan langsung 24 jam, dan akan dikonversi kembali ke waktu real yang dipakai hari ini.

Biru : hari jumat (waktu wukuf di Arafah) – harusnya selisih 20 jam kemudian, baru masuk hari jumat untuk wilayah Nusantara. Sebagai asumsi bahwa awal hari/awal bulan dihitung dari Mekkah sebanding dengan pernyataan waktu wukuf di Arafah. Padahal waktu nyata lapangan, sesuai jam dunia, Nusantara akan masuk hari sabtunya pada saat plus 20 jam tersebut. Maka yang berlebaran di hari sabtu di Nusantara akan mendahului selama 4 jam dari waktu asumsi ini. Dengan asumsi ini pula orang yang melakukan lebaran di Nusantara dahuluan dari waktu wukuf dianggap mendahului waktu. Namun dari sini pula, secara jelas pada kenyataan lapangan telah bertentangan dengan jumatan selama ini di Nusantara yang dahuluan sebelum Arafah, dengan artian sebanding dengan pernyataan masuk hari kamis pada jumatan di Nusantara. Karena mendahului jumatan di Mekkah dalam versi waktu asumsi ini. Jadi pernyataan ini sama saja menganggap salah selama ini kita telah selalu sholat jumatannya bukan pada waktu yang harusnya sesuai asumsi tersebut.
Jingga : hari sabtu (waktu lebaran Haji di Mekkah (Kabah/Kiblat)) – selisih 20 jam kemudian masuk hari sabtu di Nusantara. Sedangkan pada waktu real lapangan, maka konversinya saat itu memang benar masuk di hari minggu dalam kenyataaan waktu yang dipakai dunia. Tapi kembali lagi tentang jumatan yang mendahului Mekkah, apakah salah selama ini? Selama bertahun-tahun kita hidup telah melakukannya?

  1. Asumsi keempat, waktu wukuf dihitung ditengah (0) berdasarkan Mekkah sebagai pusat wilayah bumi (berada ditengah bumi), menggantikan Greenwich, dan akan dikonversi kembali ke waktu real yang dipakai hari ini.


Biru : +12 jam yang memulai awal hari, sebanding awal jumat dari hitungan sana, kemudian 8 jam setelahnya maka hari jumat masuk waktunya di Nusantara – selisih 4 jam berikutnya lagi masuk hari jumat untuk wilayah Mekkah (sesuai dengan kenyataan waktu dunia yang dipakai sekarang, dan sesuai dengan jumatan yang dahuluan di Nusantara baru di Mekkah). Setelahnya kemudian ditambah 20 jam (12 jam (akhir hari) + 8 jam) lagi dari Mekkah maka di Nusantara hari mulai berganti hari sabtu.
Jingga : hari sabtu di Nusantara ada sebagian yang berhari raya pada hari tersebut, kemudian dalam 4 jam berikutnya masuk hari sabtu di Mekkah, dimana juga berhari raya pada hari tersebut. (putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari, 24 jam), setelahnya 8 jam kemudian akhir hari berakhir di -12jam

Kriteria Danjon (1932,1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.

Ada berpendapat bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal dari ufuk tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini. Ada pendapat secara pandangan normal, minimal bulan telah 6 derajat diatas ufuk baru dapat dilihat. Maka ditetapkanlah atau disepakatilah beberapa derajat pasti yang dapat melihat hilal tanpa alat bantu diantara 2-6 derajat itu. Kemudian ilmu astronomi sebagai klaim kepastian dan keakuratan ilmunya sebagai persepsi kesatuan waktu keseluruhan dunia tentunya akan diujicoba dengan cara astronomi harus menentukan negara, wilayah dan kota-kota yang dapat melihat hilal secara langsung tanpa alat bantu ditiap awal bulan baru sesuai derajat yang disepakati mudah melihat hilal. Terserah mau diuji berapa puluhan atau ratus kali dahulu di tiap-tiap daerah dan kota nantinya yang telah astronomi pastikan itu (pada setiap awal bulan hijriah) dan bila ketepatan astronomi mendekati 100%, maka bukankah perhitungan astronomi tersebut adalah telah tepat dapat mewakili rukyah. Bila pun haruslah ada yang melihat langsung sesuai dengan keharusan hadits “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari". Hal yang akan dapat saja mengotakkan wilayah (saat kekinian) karena masing-masing golongan bisa melakukan sendiri-sendiri dan bila mau diintegerasi satu waktu serempak secara seluruh dunia maka setelah ditentukan oleh astronomi dimana terjadi hilal yang dapat dilihat di negara/wilayah dan kota-kota mana saja hal tersebut dapat dilihatnya hilal, timnya bisa langsung mengabarkan secara cepat keseluruhan belahan dunia. Yang repot adalah waktu menunggu buat wilayah yang agak jauh atau berselisih jam/waktu besar dari kota-kota tersebut. Bisa-bisa ada yang menunggu sampai tengah malam. Tapi bila “benar” karena akurasinya astronomi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan 100% tepat, bisa saja bagi yang berselisih jauh jamnya dari lokasi lihat bulan itu, melakukan kegiatan ibadah sesuai waktunya dan memastikan secara langsung kemudian nantinya kabar dari lokasi lihat hilal tersebut berikutnya dari media informasi setelah ada kabar serempak adanya hilal yang nyata, toh sebagaimana astronomi mengklaim dapat menghitung jauh hari sebelumnya.

Namun karena adanya kabar lain, maka harus dipastikan pula terlebih dahulu kebenaran hal ini. “Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah”. Dan berbagai hal lainnya yang menyelisihi syarat-syarat dapat dipakainya ilmu astronomi untuk satu hitungan mendunia tersebut yang mungkin saja ada pula, karena penulis hanya sekedar memperkirakan saja tanpa ilmu yang dalam dalam hal ini. Namun bila merujuk matahari dan bulan atau siang malam seperti melilitkan surban, sebenarnya apakah arah terbit matahari dan bulan selalu sama arah awal ke akhirnya (dalam rujukan geosentris).

Disini penulis tidak mengupas lebih jauh hingga hal mengenai ketaatan pada kepemimpinan, hal ini berdasarkan yang mana memenuhi kebenaran pada ayat-ayat alam saja. Jadi berdasarkan nalar, logika, berdasarkan realitas dari kenyataan saint pada hitungan waktu, baik itu geosentris maupun heliosentris yang diterima dan dipakai hari ini dan juga berdasarkan kenyataan penciptaan alam semesta (bumi) bahwa siang malam terjadi selama 24 jam, pada dasarnya salah satu alasan secara mekanisme alam tertolak, kecuali ilmu pengetahuan tidak dapat menghitungnya lagi.



“sebagai penentu masuknya awal bulan, mirip dengan syarat ketinggian matahari untuk munculnya fajar dalam penentuan masuknya waktu shubuh. Jadi, kriteria imkan rukyat didukung oleh logika fikih yang jelas” dikutip dari tweet di chirpstory.com


“Mengenai perbedaan antara penetapan awal bulan hijriyah untuk hal ibadah dengan penetapan waktu shalat diterangkan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah yang saat ini menjabat sebagai anggota Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) sebagai berikut.

Allah menjadikan sebab untuk penetapan waktu shalat. Ketika sebab ini ditemukan dengan cara apa pun, maka hukum shalat itu berlaku. Misalnya saja, shalat Zhuhur. Yang menandakan masuknya waktu Zhuhur adalah dengan zawalnya matahari, yaitu tergelincirnya matahari ke arah barat. Jika telah diketahui zawalnya matahari dengan cara apa pun, maka masuklah waktu Zhuhur. Begitu pula ketika diketahui panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya, maka hukum akhir waktu shalat Zhuhur berlaku. Karenanya, waktu shalat bisa diketahui melalui hisab falaki.

Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.

Ringkasnya, untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan cara apa pun, maka berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu diketahui dengan cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan, dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan penglihatan, sedangkan hisab tidak dijadikan patokan dalam masalah ini. Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul hilal untuk masalah ini.

Untuk memasuki awal bulan, kita dapati dalil menyebutkan, “Berpuasalah karena melihat hilal.” Dan tidak dikatakan, berpuasalah karena keluarnya hilal dari sarangnya. Namun hanya dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah karena melihat hilal.” Sedangkan untuk waktu shalat, misal waktu Zhuhur disebutkan, “Kerjakanlah shalat karena awalnya matahari (tergelincirnya matahari ke arah barat, pen.).” Ini jelas berbeda, masuknya awal bulan disuruh melihat, sedangkan waktu shalat cuma mengetahui keadaan. Sehingga tak tepat jika penentuan awal bulan diqiyaskan (disamakan) dengan jadwal shalat. (Sumber fatwa: Ahlalhdeeth.Com)

Untuk penetapan waktu shalat, cukup dengan mengetahui keadaan, yang di mana bisa diketahui lewat ilmu hisab. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu Zhuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu Ashar masih terus ada selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (saat matahari tenggelam) belum hilang. Waktu shalat ‘Isya’ ialah hingga pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq) selama matahari belum terbit. Jika matahari terbit, maka tahanlah diri dari shalat karena ketika itu matahari terbit antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim no. 612). Di dalam hadits tidak dipersyaratkan harus melihat keadaan matahari. Berarti dengan ilmu hisab pun bisa diperkirakan.

Untuk masalah melihat hilal disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan menjadi 30 hari).” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Lihatlah di sini dipersyaratkan melihat, tidak dengan hisab. http://rumaysho.com”

“Apakah perputaran bulan pada bumi bukan merupakan ayat-ayat alam, sunnatullah yang tidak ada campur tangan manusia didalamnya, bukankah ia adalah dalil-dalil pula? Bukankan bila bulan telah melebihi 0 derajat diatas ufuk menandakan masuk hari/bulan baru, bukankah ini merupakan dalil-dalil secara realitas yang benar-benar real pula?”

Ilmu astronomi dewasa ini telah dapat menerka secara akurat, dimana dan kapan waktu terjadinya gerhana dan dimana imbas-imbas wilayah yang terdampak dan terlihat.

Tentu pertanyaan yang timbul, apakah dalil pada nash dan dalil pada alam itu akan kontradiksi atau bertentangan, tidak bisakah keduanya saling menguatkan atau berkesinambungan atau pula sebenarnya malah tidak berkontradiksi.

Mungkin akan ada yang menyamakan, bila begitu usaha manusia atau pilihan antara tanda kutip “kekanan” atau “kekiri” dari seorang individu adalah sunnatullah pula, karena masing-masing hasil, keadaan, akibat, dsb. Diciptakan Allah SWT pula, seperti game bola, model tendangan, arah, dsb telah discriptkan pencipta gamenya, dan akan berputar/random beberapa model gayanya itu-itu saja, dan tinggi rendah kekanan atau kesamping arahnya sesuai beberapa model limit yang ditetapkan, juga sesuai dengan apa dan beberapa macam bentuk-bentuk yang telah dituangkan dalam kelengkapan permainan tersebut oleh penciptanya. Padahal hal ini berkaitan dengan interaksi manusia, atau dimana hal ini berkaitan dengan perjanjian, sebab akibat, hak, kewajiban, resiko, tanggung jawab, imbas, dsb manusia itu sendiri dari hasil olahnya tersebut, dimana hal ini masuk pada rambu-rambu batasan-batasan syariat, pada pemberian dan penahanan nikmatNya, pada ketaatan pada perintah dan larangan yang juga digariskan oleh Sang Pencipta.

Karena dalil alam tentang keadaan bulan ini berinteraksi dengan urusan manusia, dimana tentu harus sesuai garis rambu-rambu/batasan-batasan syariatNya, seharusnya dalil nash dan dalil alam ini dapat berjalan bersama agar tidak terjadi paradoks.

Apakah melihat hilal adalah ijma? Bagaimana hukum mengenai hal yang telah ijma?

Bila saja Anda pernah iseng membuat kalender hijriah sendiri, dimana anda membuat 3 kalender hijriah berbeda perhitungan, dimana yang pertama, anda membuat berdasarkan perhitungan yang dilakukan NU, yang kedua, berdasarkan putusan yang dikeluarkan muhammadiyah, sedangkan yang ketiga, anda buat berdasarkan putusan/penetapan bulan-bulan islam yang terjadi di Arab Saudi. Dalam hal ini mungkin kalender hijriah dari metode muhammadiyah anda sudah bisa langsung membuat 1 tahun kalender, sedangkan dua yang lain, anda akan menunggu tiap bulannya untuk memastikannya. Bila anda rutin membuatnya selama 5 tahun, anda akan menemukan dari ketiga-tiganya masing-masing perbedaan waktu atau perbedaan tanggal dan hari. Ringkasnya mungkin seperti ini, misalnya terjadi pada hari raya, walaupun bulan-bulan lain juga akan ada kadang-kadang masing-masing perbedaan, masing-masing mengklaim akan tanggal yang sama (dalam hijriah) namun hari berbeda (nama hari seperti biasa), dalam hal ini tentang harinya ada yang mendahului sehari dan ada yang membelakangi sehari. Atau akan ada pula perbedaan akan jumlah hari pada bulan-bulannya (29/30) pada masing-masing kalender tadi, bahkan ada yang dua diantara tiga itu jumlah bulan sama kemudian berbalik yang lain yang sama, kadang ketiganya tidak sama jalan model bulan-bulannya masing-masing setahunnya. Atau seseorang yang selalu ikut lebaran/awal puasa, dsb sesuai dengan waktu tetapan di Arab Saudi, mungkin tahu ini, maka kadang-kadang ia akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan Muhammadiyah, dalam hal ini NU akan terlambat sehari (tanggal satu dimulai disitu untuk kalender NU), atau harinya berbeda. Dan pada lain kesempatan maka kadang-kadang, ia pula akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan NU, dimana Muhammadiyah akan dahuluan sehari (awal bulan disitu untuk kalender versi Muhammadiyah), dan pastinya juga harinya berbeda. Jadi bila mau dibuatkan kalender hijriah secara pemakaian global di dunia, seperti hampir mustahil dapat dilakukan. Seandainya saja, kita tidak mengenal kalender masehi, dimana kita memakai kalender hijriah, kerancuan ini tetap ada, bila patokan atau kreteria masih tidak ketemu sepakat.

Namun sebenarnya kalender hijriah dapat dibuat secara global dan dapat sama dipakai didunia, dimana hal ini dikaitkan secara dalil alam/saint dan secara dalil nash, dan kesampaian informasi antar wilayah dimana saja yang hanya menghitung menit saja.

“Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.

Ringkasnya, untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan cara apa pun, maka berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu diketahui dengan cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan, dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan penglihatan, sedangkan hisab tidak dijadikan patokan dalam masalah ini. Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul hilal untuk masalah ini.”

Pada hal ini, hisab merujuk kepada bisa tidaknya hilal bisa dilihat secara mata atau alat melihat, atau kapan tepatnya derajat diatas ufuk yang tepat agar hilal bisa dapat dilihat secara mata, yang 90% faktor penghalangnya penglihatan tak mengganggu. Bila derajat tersebut tidak mencukupi derajat yang tepat tadi, maka perhitungan saintnya digenapkan bulannya, seperti “Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa”, maka kalender versi ini sudah dapat menghitung jauh-jauh hari sebelumnya, umpama dihitung setahun. Namun masalah lainnya tetap akan ada muncul, mungkin pada posisi Indonesia, hal ini akan memicu kesamaan waktu antara Muhammadiyah dan NU, namun pada masa-masa tertentu ia tidak akan sama pada kiblat, seperti yang diutarakan diatas sebelumnya. Pada suatu saat, kriteria ini akan membelakangi sehari pada kiblat. Karena bisa saja. Semisal saja derajat yang dimaksud adalah 60, pada waktu senja itu telah tiba diwilayah Indonesia “manapun”, posisi bulan belum sampai derajatnya berdasarkan hitungan saintnya, maka demikian pula tidak dapat dilihat secara mata pula pada senja itu di Indonesia, namun ternyata ketika pergiliran senja telah tiba di Mekkah, derajat bulan itu telah sampai atau melebihi 60 pada wilayah seputar yang sama dengan Mekkah dan seterusnya itu dan tentu saja dapat dilihat, ketika itu pula Indonesia menggenapkan bulannya/menambah sehari, di Arab sebaliknya telah mencukupi bulannya. Maka kelender tadi tidak dapat dipakai global, hanya dapat dipakai di Indonesia.

Nah disini mungkin kalender ini dapat dipakai global seluruh dunia bila patokannya adalah waktu melihat hilal di Mekkah, atau yang artinya waktu perhitungan saint menunjukkan derajat bulan ketika diatas Mekkah telah sesuai tetapannya, misal 60 tadi.

Kenapa Mekkah, padahal banyak pula dalil alam dan dalil nash penguatnya hal ini. Hari raya berbicara tentang “sebuah” sholat juga, ketika sholat jumat, ternyata hari jumat tidaklah berbeda hari untuk sholat jumat ‘DIMANAPUN DI DUNIA”, tragisnya klo sholat hari raya di Mekkah bertepatan dengan hari jumat, ada yang selisih akan sholat dihari raya yang tidak jumat namun tidak beda sholat jumatannya pada waktu itu, adapula dalil tentang hari arafah, dan juga Mekkah adalah pusat dari daratan bumi, hal ini menyebabkan garis Mekkah sebenarnya sebagai pusat 0 waktu dunia, kurangnya faktor-faktor penghalang penglihatan di Mekkah.

Sekedar permisalan, misalkan 4 derajat diatas ufuk adalah derajat dimana hilal dari bulan dapat dilihat mata secara langsung/alat melihat. Misalkan di Indonesia, hilal telah mencapai 0.9 derajat. Maka NU akan menggenapkan bulan karena nyata pula bakal tidak dapat dilihat mata, demikian pemerintah pula (entah bila suatu saat pemerintahannya dari Muhammadiyah, mungkin berubah). Sementara Muhammadiyah akan mencukupi atau mengganjilkan bulan, karena hilal diatas ufuk. Sementara di Mekkah sendiri, ketika pergiliran senja telah tiba, derajat hilal adalah 2.9 yang artinya juga secara nyata tidak dapat dilihat mata/alat penglihatan. Maka di Mekkah akan menggenapkan bulan. Dalam hal ini NU dan Mekkah akan sama kena harinya, Muhammadiyah dahuluan sehari. Kebalikkannya bila di Indonesia, derajat hilal ketika pergiliran senja telah mencapai 2.9 derajat. NU dan biasanya pemerintah akan menggenapkan bulan (karena dalam hal lapangan akan tidak mampu melihat hilal), sementara Muhammadiyah akan mencukupkan bulan, sementara itu 4 jam kemudian, ketika pergiliran senja/pergiliran menjelang malam tiba di Mekkah, hilal disana ternyata terlihat mencapai 4.9 derajat, maka Mekkah akan mencukupi bulan karena hilal akan terlihat mata/alat penglihatan. Mekkah dan Muhammadiyah akan sama harinya, sedangkan NU akan belakangan sehari.

Apakah ada orang Indonesia yang punya kriteria “ikut Kiblat”? ada. Pemerintahan islam atau yang mewakili urusan islam bukan hanya ada di Indonesia, majelis ulama pun demikian, ulama atau ormas yang bermahzab sama pun juga ada diluar, masing-masing punya porsi dan batasan ketaatan dan porsi/batasan apa yang jadi ketidaktaatan. Semisal seorang ulama atau sebuah ormas islam di Indonesia memutuskan menggenapkan bulan, ternyata di wilayah lain, semisal 4 jam kemudian (jarak berdasarkan perbedaan jam), ormas serupa atau bermahzab sama/ulama semahzab sama telah mempersaksikan hilal dan atau “menyepakati” untuk mencukupkan bulan, sementara berita ini dalam hitungan menit sudah terdengar, terlihat atau terbaca di seluruh dunia. Penentuan hari arafah yang hanya ada disatu tempat saja, yang menentukan lebaran haji, dsb. Dia tidak berbicara yang hanya ala nusantara saja atau dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang langitnya sebatas langit lokal saja.

Dan Mereka berselisih setelah pengetahuan itu datang padanya.

Yang dimaksud disini, agar adanya kalender hijriah yang sama secara global yang sudah baku setahun kalender, dan tapi juga (maaf, kurang tahu bagaimanan bahasa tepatnya) secara “seremonialnya” melihat hilal tetap dilakukan untuk memenuhi hadis. Yang kemungkinan tidak akan berselisih antara kalender tadi dan keadaan lapangan penentuan masuk bulannya. Karena ia merujuk kesatu tempat saja (sebagai “fungsi” area kiblat, juga sebagai “fungsi” area ummul qura) dan perhitungan saint kalendernya (kesepakatan tingginya hilal) pada tempat itu pula.

Apakah dalam pergiliran menjelang senja/malam itu, pada wilayah-wilayah yang berbeda-beda tempat dan waktunya, sesuai garis sejajar kiblat maka akan bisa pula terdapat perbedaan derajat hilalnya, para ahlinya tentu lebih faham dan namun ini berdasarkan kira-kira penulis saja, pendapat pribadi penulis saja. Masalah apakah tepat kriterianya dan tepat bila di Mekkah sebagai patokan dan apakah benar-benar kalender seperti itu tidak salah bertahun-tahun, perlu para ahli-ahlinya yang meneliti, dan bagaimanapun untuk menguatkan hal ini perlu adanya ijma bersama dari para ulama-ulama. Dan selama informasi dan komunikasi itu saling tembus hanya hitungan menitan saja dimanapun didunia.

Silahkan untuk memikirkannya atau bahkan memvisualisasikan secara lebih baik dan sebenarnya penulis hanya berharap akan adanya pertemuan lanjutan para ulama-ulama seluruh dunia dengan melibatkan seluruh organisasi dan seluruh golongan dengan tanda kutip “ahlusunnah” untuk membuat bersama ijma ulama yang menyangkut hal-hal teknis ini dan menjadikan patokan untuk dipakai secara keseluruhan di bumi.

Cerita ini hanya fiktif karangan penulis saja.
Bulan ramadhan, sekitar diantara 10 malam terakhir, setelah terawih, diluar masjid, disebuah gang. Seorang sahabat menunggu sahabatnya.
Sahabat satu : “Sob, jalan-jalan ngopi yuk sebentar di café!”
Sahabat dua : “Lain kali z, fren! Nanggung nih, ini malam ganjil, malam jumat lagi, mau memperbanyak ibadah nih malam, siapa tau malam laillatul qadar, men!”
Sahabat satu : (terheran-heran) “Loh, bukankah ini malam genap!”
Sahabat dua : “Ahh, itukan islammuuuu, islamku nih sudah masuk malam ganjil, akukan ikut puasa yang dahuluan sehari itu nah!”

Singkat kata, beberapa saat kemudian keduanya adu argumen, tambah lama tambah keras suara-suara terdengarnya, makin keras makin emosi masing-masing mereka jadinya. Setelah berapa lama terdengar suara-suara keras, sahabat ketiga muncul dari masjid. Kemudian ia melerai, menegur, mengingatkan, menjaga persaudaraan dan menanyakan masalah apakah yang terjadi. Setelah mendengarkan dengan seksama dua pendapat dari masing-masing sahabatnya, dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan, setelah berdehem-dehem sebentar lalu sahabat ketiga mengeluarkan pendapat.

Sahabat ketiga : Ohh, gitu toh! Itu z kok repot, sih!”
Kedua-dua sahabat : (serempak menjawab) “Ya, repot dong!”
Sahabat ketiga : “Makanya, kalau nga mau repot, mendingan selalu jaga dan memperbanyak ibadah terlebih di 10 malam terakhir, wong sudah dikasih tahu nabi dari 1400 tahun lalu.”

Kedua-dua sahabat : “Tapi… tapikan… bedanya gimana dong? Apakah kita akan selalu begini?”
Anda-Anda sendiri yang bisa menjawabnya. The end.

Bila ada perbedaan 2 pendapat atau adanya 2 ijtihad yang berbeda, dimana kemudian ditemukan adanya perselisihan yang menyilang antara tanda kutip “ahli sunnah”, bila janji dan amanat diabaikan, seperti: amanat ukhuwah/persaudaraan, amanat berpegang tali Allah SWT secara langsung, menyelisihi sunnah nabi Muhammad SAW, dsb maka tinggalkan perselisihannya, teliti ulang dan lakukanlah apa yang kamu tahu, kerasnya pada dirimu untuk memegang yang kamu tahu kebenarannya, lembut/keras keluar untuk penyikapan perselisihan itu pada sikonnya, jangan terjebak pada kekerasan dari perselisihan tersebut.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra bahwa Rasulullah SAW bersabda , “Bagaimana denganmu jika kamu berada di tengah kekacauan, janji janji dan amanat mereka abaikan, kemudian mereka berselisih seperti ini ? ”Lalu, beliau menyilangkan antara jari jari. Abdullah bin Amr bertanya, ”Lalu, dengan apa engkau menyuruhku?” Beliau menjawab, “Jagalah rumah, keluargamu, lidahmu, dan lakukanlah apa yang kamu tahu dan tinggalkan yang mungkar, serta berhati hatilah dengan urusanmu sendiri, lalu tinggalkanlah perkara yang umum“ (HR Abu Daud dan Nasa’i)

Kenapa harus Kiblat (Kabah) sebagai pusat/patokan, soalnya Allah SWT telah menunjuk Kabah sebagai pusat dunia dan alam semesta pula bahkan sebagai pemersatu semua itu, baik manusia, dunia (bumi) maupun alam semesta ini, bukan hanya sebagai kiblat sholat. Bila Kiblat dihancurkan atau tidak ada orang yang tawaf lagi, maka tunggulah sebentar lagi datangnya kiamat, karena alam semesta akan pula ikut rusak mengikutinya.

Bersambung ...

Bila ingin membaca lebih lanjut ebook ini, Klik tulisan ini untuk kembali ke-link-link di daftar isi

Anda sedang membaca artikel tentang A. Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan dan anda bisa menemukan artikel A. Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan ini dengan url http://manfaatputih.blogspot.com/2013/08/a-terbaginya-sudut-pandang-keagamaan.html, anda boleh menyebarluaskannya atau mengcopypaste-nya jika artikel A. Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link A. Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan sebagai sumbernya.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentarmu disini!

Download Ebook LINK

.......................................................

MAU BACA LEBIH LANJUT
KLIK DAFTAR ISI DISINI

atau

Mau Download EBOOK ini

klik LINK ini :


Anda bisa download ebook ini di sini :

Pembahasan Tuntas Peradaban Manusia dari awal hingga akhir full Final.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

Surat Al Kahfi diantara Nubuat Nasrani versus Nubuat Islam.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

.......................................................

DAFTAR ISI

Daftar Isi :






















































Pembahasan Beberapa Hal Penting:

























































7. Periode Zaman Kiamat/Zaman Peradaban Manusia Akhir Yang Tidak Mengenal Islam









Di dalam penulisan ini ada beberapa penjabaran baru yang belum pernah terlihat di dalam tulisan peneliti lainnya, Semoga hal ini bermanfaat untuk menambah kemanfaatan buku ini.


Bantinglah Otak Untuk Mencari Ilmu Sebanyak-Banyaknya Guna Mencari Rahasia Besar Yang Terkandung Di Dalam Benda Besar Yang Bernama Dunia Ini, Tetapi Pasanglah Pelita Dalam Hati Sanubari, Yaitu Pelita Kehidupan Jiwa. (Al- Ghazali)




Hak Cipta oleh M. Yusuf . Diberdayakan oleh Blogger.