Rukyat adalah aktivitas mengamati
visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak
setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada
saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu
ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah
terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu
setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya
hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya
Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat,
karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan
"cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan
bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of
light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan
dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD
Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu
tersebut.
Kriteria
Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi
sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam,
seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan
penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta
Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari
Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat
bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan
pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa
penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan
matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya
mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria
yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya
di Indonesia:
Rukyatul
Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria
penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal
secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal
terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30
hari.
Kriteria ini berpegangan pada
Hadits Nabi Muhammad: Berpuasalah kamu
karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang
maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di Indonesia
digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah
dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun,
hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai
penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul
Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria
penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip:
Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal
ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset);
maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender)
Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat
Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan
oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul
Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000, PERSIS
sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode
Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan
hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan
dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk
atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5,
QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran
astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Imkanur
Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria
penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada
Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi
jika:
- Pada saat Matahari terbenam, ketinggian
(altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak
lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
- Pada saat bulan terbenam, usia Bulan
minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat
adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur
Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3
kemungkinan kondisi.
- Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat.
Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru.
Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat.
Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat
kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan
baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal antara 0 sampai 2
derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi
secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil
dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan
hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat
hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu
belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil
kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang
berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat
dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi
ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada
petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada
bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR)
melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan
dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki
bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.
Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat
di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka
minimum yang berbeda.
Rukyat
Global
Rukyat Global adalah kriteria
penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu
penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam
arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum
melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Perbedaan
Kriteria
Metode penentuan kriteria
penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan
perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari
melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut
pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya
Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat
NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat.
Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993
dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender
resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi
sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara
itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus
2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan
ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan
awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun demikian, Pemerintah
Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan
persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta
mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Alangkah sedihnya melihat
perbedaan ini, yang sebagian orang menganggap hal yang wajar dan sepi-sepi saja
dengan menganggap bagian toleransi, selama hal ini berlangsung perpecahan umat
akan terus dan terus terjadi, apakah itu sesuatu yang baik. Tidak kah mereka
belajar dari 2 keadaan/peristiwa yang terjadi di masa awal Islam.
Bila kita meminta satu saja
kriteria yang dipegang sebagai pilihan, mengingat persatuan umat adalah lebih
penting dari hal lainnya, maka para golongan akan berteriak ini dan itu
berbagai alasan, lagi-lagi golonganlah yang tepat dan utama, namun alasan ini
juga berfaedah karena siapakah yang berhak dalam kebenarannya dan siapakah yang
mempuni dalam ilmu keagamaannya dan putusannya selain nabi. Untuk mewujudkan
satu kreteria atau satu keputusan akan susah karena pengaruh kekelompokan dan atau
tidak adanya kesatuan umat itu sendiri.
Bilakan 1 hari seperti setahun
itu benar pada masa Dajjal layaknya keadaan harian yang sebenarnya, kriteria
seperti apa yang akan mereka pegang, dimana bulan tidak tampak selama setengah tahun
(6 Bulan)?
Bilakah ilmu astronomi hilang
kembali dimana umat kembali ke jaman tanpa satelit dan internet, kriteria apa
yang dipakai?
Bilakan orang-orang Islam yang
berada di seputar kutub selatan atau utara yang ada mendapat siang
berbulan-bulan dan malam berbulan-bulan, kreteria apa yang cocok buat mereka?
Atau perlukah menunggu Imam Mahdi
memutuskannya dalam persatuan umat termasuk kriteria yang benar dan
menggugurkan kriteria lainnya.
Kita tau dalam hal Islam, Nabi
sangat berhati-hati memberikan pemahaman kepada sahabat-sahabat tentang Islam,
bilakah nabi tidak tau hal ini, dan tidak menspesifikkan kreteria yang jelas
padahal nabi pernah ber-Isra Mi’raj yang notabene juga adalah perjalanan waktu
ke masa depan hingga melihat penghuni surga dan neraka yang menuju kesana
dimana surga dan neraka terbuka setelah kiamat dan banyaknya tabir masa depan
yang nabi mengetahuinya, mungkinkan nabi membiarkan umatnya seperti ini,
ataukah karena Sunatullah agar terlihat keimanan dari masing-masing individu
umatnya.
Sebagian masyarakat Indonesia
sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki 1 Ramadhan atau 1 Syawal,
maka Indonesia juga harus mengikutinya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih
dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini sebenarnya merupakan pencampuradukkan
dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan
pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.
Dalam penanggalan Masehi, waktu
Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia
yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di
Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan
karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring,
sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat
lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak
terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7,
dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan
dibandingkan Madinah.
Berdasarkan data astronomis,
posisi ketinggian hilal di Arab Saudi kemarin berada pada 0 derajat 12 menit.
Karena posisinya yang sudah lebih dari 0 derajat, yang berarti hilal sudah mewujud;
maka kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada hari
Selasa 09 Juli 2013. Namun karena dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal
Kerajaan Saudi menganut sistem Rukyat Murni (harus
melihat hilal dengan mata telanjang), maka karena tak satupun Rakyat Saudi
yang melihat hilal, maka Pemerintah Saudi menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari
Rabu 10 Juli 2013.
Ini berbeda dibanding dua tahun
lalu (2011), dimana penentuan kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi pada 1 Syawal
1432 Hijriah sejalan dengan keputusan akhir Kerajaan; yakni jatuh pada hari
Selasa, 30 Agustus 2011. Mengapa bisa sejalan? Karena pada Senin
(29/8/2011), cukup banyak Rakyat Saudi yang telah melihat hilal, padahal
posisi hilal ketika itu hanya kurang dari 1 (satu) derajat. Hal ini membuat
banyak astronom, termasuk Mohamad Odeh (suhunya Thomas Djamaluddin) yang
mengatakan bahwa mereka (Rakyat Saudi) NGAWUR dan SALAH LIHAT.
Namun tidak seperti Pemerintah
dan sebagian ulama Indonesia yang meragukan kesaksian warganya, dengan tegasnya
para ulama Arab Saudi yang diikuti oleh Pemerintahnya tidak sedikitpun
meragukan kesaksian warganya yang telah melihat hilal. Mereka berpegang
teguh dengan sunnah yang telah digariskan oleh Rasulullah Muhammad saw:
“Sahabat
Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu
berkata: sungguh saya telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw
bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Badwi
menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa
Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai
Bilal, beritahulah orang-orang supaya mereka berpuasa.” (H.R
Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Dari
Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya
memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka
beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa” (H.R
Abu Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)
Selain itu dikisahkan pula:
“Bahwa
suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang
mengarungi padang pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan
kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal, maka Rasulullah saw
memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari
berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).” (H.R.
Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Nabi saw
bersabda: “Shumuu li ru’yatihi wa
ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah
saat awal Syawal dengan melihatnya juga). [HR. Bukhari, Muslim].
Dari
hadits-hadits tadi telah jelas menyiratkan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan
dan 1 Syawal, Islam tidak mengenal sistem demokrasi, dimana suara terbanyak
yang harus jadi acuan seperti sidang isbat kemarin! Untuk menentukan bulan baru
tidak dibutuhkan kesaksian banyak orang, namun cukup SATU ORANG atau BEBERAPA
ORANG SAJA! Asal orang tersebut bersedia bersumpah, maka kesaksiannya
dianggap SAH!!
Maka tidak heran rasanya jika
seorang mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan
memberikan fatwa kepada umat) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Asheikh dalam
khotbah Jumatnya di Masjid Imam Turki bin Abdullah menggambarkan orang-orang
yang meragukan melihat bulan sebagai ‘orang yang termotivasi dan menyimpang
dengan mulut kotor’.
“Ada lidah busuk yang meragukan
agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti Sunnah Nabi tentang
puasa dan menandai Idul Fitri,” katanya.
Mufti mengatakan syariah sangat
jelas dalam prosedur melihat bulan. Dia menambahkan umat Muslim tidak boleh
menafikan Sunnah karena adanya pendapat palsu.
Lantas, mengapa Pemerintah RI dan
sebagian ulama serta para pakar astronomi tidak mempercayai keterangan para
saksi yang melihat hilal?
Alasannya macam-macam serta
terkesan dibuat-buat dan mengada-ada. Ada yang mengatakan bahwa dengan
ketinggian hilal yang sangat rendah, hilal tidak mungkin dapat terlihat (kalau sudah berpendapat demikian, buat apa
dikirimkan Tim Rukyat untuk melihat hilal???). Ada yang mengatakan bahwa
kemungkinan besar mata orang yang melihat hilal terkecoh oleh gejala alam. Ada
yang mengatakan bahwa mereka tidak disumpah oleh hakim. Ada yang mengatakan
bahwa kesaksian mereka berbeda dengan kebanyakan yang lain. Selain itu, ada
pula yang mengatakan bahwa orang-orang yang melihat hilal tsb adalah
orang-orang tua yang pandangannya sudah mulai kabur. Mereka lupa bahwa ada
Tuhan yang dapat memberi mukjizat yang dapat membantah semua teori mereka
sekaligus menjadikan hal ini menjadi jelas tanpa perlu untuk diperdebatkan.
Firman Allah: “Apabila Allah berkehendak menetapkan
sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah!“, lalu jadilah
dia.” {QS. 3:47}
“Dia-lah
yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan,
Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!“, maka jadilah ia.” {QS.
40:68}
Dalam hal ini patut pula disimak
pernyataan ustadz Ibnu Dawam dalam artikelnya [Dasar-dasar Penetapan awal dan
akhir Ramadhan menurut Al Qur’an dan Hadits. (Jawaban terhadap Imkan ru’yah
Prof. Dr. T. Djamaluddin)] bahwa memvonis
hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan
besar terhadap Ilmu Pengetahuan, termasuk ilmu astronomi itu sendiri, yang
sekaligus juga menghina pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara
khusus berupa hidayah kepada siapa yang Allah menginginkannya dengan menghapus
segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar
matahari, maupun hambatan atmosfir lainnya.
“Dalam Fatâwa Nûr ‘Alad-Darb (juz
16 hal. 75) yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Dâ-imah (semacam MUI di Kerajaan
Saudi Arabia) melalui website resminya www.alifta.net, terdapat keterangan
sebagai berikut:
Jika seseorang menghadap mahkamah
(qâdhi) atau pihak yang berwenang dalam penetapan puasa dan hari raya, kemudian
bersaksi bahwa dia telah melihat hilal, namun pengakuannya tersebut ditolak dan
tidak memakai hasil ru’yah-nya tersebut, maka di sini terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
dia wajib berpuasa (sekalipun sendiri-pent), karena dengan ru’yah-nya tersebut,
bararti bulan (Ramadhân) telah masuk bagi dirinya selaku pribadi.
Namun ulama yang lain berpendapat
bahwa ia tidak boleh berpuasa jika hasil ru’yah-nya ditolak, tetap tidak boleh
puasa, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam: ‘Puasa itu adalah saat kalian semua
berpuasa, Idul Fithri adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul
Fithri, dan ‘Idhul Adh-ha adalah hari dimana kalian semua melaksanakan ‘Idhul
Adh-ha’. Sehingga dia tidak boleh berpuasa pada hari di mana jama’ah kaum
muslimin (bersama pemerintahnya) tidak berpuasa.
Inilah pendapat yang dipilih oleh
Abul ‘Abbâs Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan sekumpulan ulama yang lain.
Pendapat inilah yang lebih jelas dalam pendalilan, berdasarkan sabda Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam; ‘hari berpuasa adalah hari di mana kalian semua
berpuasa’. Maka kesaksian ru’yah seseorang otomatis menjadi batal bagi dirinya
dan bagi orang lain, sehingga tidak boleh ia berpuasa. Inilah pendapat yang
paling mendekati kebenaran.
Namun jika ia berpuasa dengan
berpegang pada pendapat mayoritas ulama (bahwa ia wajib berpuasa secara
pribadi-pent) maka yang demikian pun tidak mengapa InsyaAllah. Hanya saja tidak
berpuasa (dalam kasus seperti ini-pent), adalah lebih utama dan lebih afdol.
Pendapat penulis :
Marilah kita lihat secara
kenyataan keadaan untuk memilih pendapat harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa
ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri
dan kelompoknya
- Sholat jumat di Saudi Arabia (Kiblat)
sama harinya hari jumat buat sholat jumat di Indonesia, Indonesia lebih dulu + 4-6
jam (shaf lebih awal dari kiblat), waktu sholat berdasarkan pergerakan matahari
bukan bulan.
- Waktu sholat harian telah dikulkulasi
bertahun-tahun dengan ilmu astronomi modern sehingga tidak perlu melihat
bayangan matahari lagi, cukup dengan menyamakan jam (lihatlah jadwal sholat
tahunan). Pada hal tersebut ilmu astronomi dipercaya semua golongan untuk
digunakan tapi untuk hitungan bulan Hijriah tidak berlaku oleh sebagian orang/golongan.
- Setelah hari wukuf di Arafah, esoknya
adalah Idul adha (waktu berdasarkan bulan) lokasi Arab Saudi, seyogyanya
Indonesia lebih dahulu pula pelaksanaannya tapi bila perhitungan lihat bulan
tidak tepat maka tidak sama. Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji,
sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji
itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad
shahih. Maka
wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya
dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri
Al-Haramain yang mulia. Dan
karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang
menjadikan ‘Ied jatuh pada hari selainnya. Dan barangsiapa yang menyembelih
pada hari selainnya, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat
yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang
orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya
saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu
was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan
kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan
seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa
dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah
dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya
satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
- Bila Kiblat sebagai zona waktu nol, maka
jarak terjauh siang hari dan malam hari plus minus 12 jam, jarak terjauh tidak
melebihi 24 jam (sehari semalam) melainkan setengah hari saja. Pengikutan arah
sesuai matahari dan bulan terbit (pergantian siang dan malam) dengan
pengelihatan zona waktu berdasarkan bujur dan lintang
- Kiblat Malaikat adalah Kabah juga sama
dengan Kiblat sholat umat Islam
- Persatuan umat lebih penting dari
kebenaran atas nama kelompok
- Hambatan atmosfir di Saudi Arabia kurang
dari hambatan alam di Indonesia, sehingga Hilal lebih mudah dilihat mata
- Diharuskan melihat hilal dengan mata
pada hadis secara tekstual adalah kebenaran, secara saint dan kreteria benar
juga bila hilal telah melebihi nol derajat masuk bulan baru.
- Adanya prasangka bahwa perbedaan ini
sering bermuatan kepentingan politik, kesenangan sesaat, pembenaran dan
pengkultusan kelompok, dan sebagainya
- Di
Mekkah (kiblat) bila waktu telah ditetapkan, maka semua manusia dari belahan
dunia, dari negara dan hirarki apa pun yang umroh, dari mahzab apa pun dan dari
golongan apa pun yang berada disana, semua sama melaksanakan pada waktunya, dan
tidak ada membawa perselisihan/pertentangan waktu baik di negaranya atau di
golongannya.
- Teknologi
informasi, telekomunikasi dan Internet memungkinkan manusia untuk saling
mengetahui dan berkomunikasi dalam waktu menitan saja walau terhalang jarak
yang jauh
- Adanya
anggapan orang-orang bahwa bila salah maka itu kesalahan pemerintah atau
pimpinan golongannya, bukan kesalahan Kami, karena hanya mengikuti saja. Anggapan
yang tentu saja salah pada tempatnya “(Yaitu)
bahwasanya, seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS
An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am [6]:
164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7., (masing-masing
bertanggung jawab kepada apa pilihan yang dipilihnya sendiri)
- Adanya
masyarakat yang melakukan pilihan karena mengikuti pilihan paling ramai yang diikutinya,
padahal kadang kala secara kedaerahan benar yang paling ramai pemilihnya namun
dilihat menyeluruh di dunia pilihannya kadang hanya 1/3 dan 2/3 telah
melakukannya atau kebalikkannya
- Di
wilayah Indonesia termaksud shaf bagian depan hitungan sholat seluruh dunia,
yaitu + 4-6 jam sebelum shaf tengah (kiblat) bersujud, namun suatu saat akan
terbalik keadaan ini, bilakah “matahari terbit dari barat” itu akan permanen
maka wilayah Indonesia menjadi shaf bagian akhir setelah shaf tengah (kiblat)
bersujud, yaitu - 4-6 jam, maka jadwal tahunan sholat akan berubah dan harus
direvisi juga menit dan detiknya mengikuti putaran matahari terbalik ini.
Berhubungan dengan adanya 2
kejadian diawal Islam, penting adanya pemimpin atau persatuan umat, sebagaimana
kita tahu bahwa ramadhan dan idul fitri bukan hanya berkenaan puasa saja
melainkan juga berkenaan dengan sholat Id itu sendiri, yaitu bila kita
sesuaikan waktu sholat adalah setelah beberapa saat terbit matahari pada sebuah
hari sudah selayaknya seperti jumatan yang sama harinya dengan kiblat, dan
mestinya berkenaan sholat juga, berarti sholat Id haruslah sama harinya. Mengapa
kiblat?
Bila seumpama kiblat dahuluan
harinya maka di Indonesia pelaku pilihan kedua akan sholat Id terlambat selama
20 – 24 jam karena secara hitungan waktu nyatanya Indonesia dahuluan masuk
siang dan malamnya +4-6 jam, hal yang lucu bila diikut sertakan hal ghaib yaitu
Malaikat yang punya kiblat yang sama di Kabbah maka apakah Malaikat yang berada
di shaf yang jauh (baca: Indonesia ada di awal shaf dunia, dengar pula tentang
kebenaran adzan yang tidak terputus di bumi, selesai adzan di daerah yang satu
terawal, daerah sesudahnya yang lain masuk pula berikutnya, silih berganti dan
tertib) sholat mengikuti kiblat juga pada waktu yang sama dengan tertib urutan
siang dan malam hingga sampai di shaf kiblat itu dan seterusnya hingga berakhir
seluruhnya pada putaran penuh bumi yang akhir/ujung untuk hari tersebut dan atau
adakah Malaikat yang mengikuti waktu yang lainnya seperti di Indonesia itu,
dimana shaf Malaikat di Indonesia ini baru sujud dalam sholat Id setelah hampir
sehari setelah shaf Malaikat yang notabene harusnya ditengah (baca : Mekkah
adalah pusat dunia) Shaf di Mekkah telah dahuluan sujud dalam sholat Id hampir
sehari sebelumnya padahal nyatanya harusnya fajar dan sore indonesia adalah
datang dahuluan atau Indonesia berada di garis depan waktu sebelum kiblat. Apakah
para malaikat diseluruh dunia tidak sujud bersamaan waktunya secara teratur jam
per jam baik di shaf awal (< +12 jam) mengikuti kiblatnya di shaf tengah (0
jam) hingga shaf terakhir (> -12 jam) ketika sholat Id.
Hal yang terpenting adalah bila
diarahkan sama berpatokan kiblat, maka persatuan umat seluruh dunia terjaga dan
InsyaAllah, tidak ada saling fitnah-fitnahan yang berkata golongan ini salah,
golongan itu benar, yang ini bego yang itu jelek, dsb. Seperti yang Kita tahu
di Mekkah terkumpul beberapa aliran, kelompok dan mahzab berbeda dan terkumpul pula
manusia-manusia dari berbeda-beda daerah dan negara dengan terkumpulnya manusia
yang sedang umroh pada Ramadhan, yang pada waktunya sama melakukan puasa dan
sholat id disana, tidak bertentangan atau membawa permasalahan beda waktu dari
golongannya atau negaranya.
Setau penulis Kita memang tidak
dapat berpatokan pada satu kreteria saja, dan lagi ilmu agama harusnya sejalan
dengan saint pula, bila kita berpatokan pada melihat bulan secara mata, bisa
jadi pada waktu lain tidak akan bisa, dahulu masing-masing terkotak pada
kedaerahan hingga perlulah hal tersebut sekarang setelah astronomi maju dan
adanya jaman satelit, dimana informasi dan komunikasi canggih dan lebih mudah
maka pengotakan daerah telah tidak ada sama sekali, mungkin bila suatu saat
hilang lagi keadaan tersebut. jadi kreteria itu dipakai silih berganti sesuai
dengan keadaan. Percayalah bila tidak ada pengotakan daerah di awal Islam
sebelum adanya kemajuan teknologi maka bisa jadi kreteria akan diberi
sejelas-jelasnya. Hal ini tersirat dari salah satu dari 2 makna hadis ini
(makna teks dan makna simbol, makna simbolnya akan dibahas dalam periode
diktator)
kita coba untuk mengutip satu
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab suannnya, dari An Nawwas
bin Sam’an Al Kilabi ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang Dajjal, beliau bersabda: “Jika
saat Dajjal keluar aku masih bersama kalian maka akulah yang akan melindungi
kalian darinya. Namun jika ia keluar dan aku tidak lagi bersama kalian, maka
setiap orang harus melindungi dirinya sendiri. Allah adalah pelindung bagiku
dan setiap muslim. Barangsiapa dari kalian berjumpa dengannya, hendaklah ia
bacakan awal surat Al Kahfi, sebab itu akan melindungi kalian dari fitnahnya.”
Kami lalu bertanya, “Berapa lama ia akan tinggal di bumi?” beliau menjawab:
“Empat puluh hari. Satu hari seakan setahun, dan sehari seakan sebulan, dan
sehari seakan sepekan dan hari-harinya dia sama sebagaimana hari-hari kalian.”
Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah,
pada hari yang seakan satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu
sehari semalam?” beliau menjawab: “Tidak, namun sesuaikanlah (setiap waktu
shalat). Kemudian Isa putera Maryam akan turun di sisi menara putih,
sebelah timur kota Damaskus. Lalu ia menemukan Dajjal di pintu Lud (sebuah
tempat di dekat Baitul Maqdis), lantas ia pun membunuhnya.” HR. Abu Daud;
4321, Derajat hadits ini shahih, karena perawinya adalah perawi shahih.
Berdasarkan hadits diatas, maka
bagi penduduk yang tinggal di daerah gelap atau terang atau wisatawan yang
sedang mengadakan perjalanan ke wilayah tersebut, harus melaksanakan shalat
lima waktu dengan patokan dua puluh empat jam. Yaitu melaksanakan shalat-shalat
tersebut pada masing-masing waktunya, sesuai dengan jarak antara waktu shalat
yang satu dengan waktu shalat lainnya pada hari-hari biasa. Pertanyaan ini tertuang
karena pertanyaan tentang cara orang yang sholat di daerah gelap berbulan-bulan
atau terang berbulan-bulan seperti daerah dekat kutub utara atau kutub selatan,
lantas bagaimana perhitungan bulan dan waktu matahari bila mereka mengkotak-kotakan
berdasarkan daerah per daerah tersebut, bagaimana cara mereka melihat bulan untuk
menentukan awal ramadhan atau menentukan waktu sholat?
Apa tentulah mengikuti garis
khatulistiwa sesuai dengan bujur dan lintang mereka pula. Hadis ini juga
mengisaratkan secara tersurat bahwa kelak akan ada penemuan waktu atau jam dan
Nabi mengetahui halnya tersebut, maka ikutlah waktu yang telah sesuai
hitungannya dalam jam dan astronomi tersebut, bisa juga bila diselaraskan
adalah nabi juga mungkin telah mengetahui akan ditemukannya perhitungan
astronomi modern tentang perhitungan jadwal sholat tahunan, peredaran bulan dan
matahari pula. Bukankah nabi banyak tahu pengabaran tabir-tabir tentang keadaan
umatnya di masa depan. Makna teks ini juga seakan-akan membenarkan tersirat
bahwa akan ada hari yang selama setahun lamanya, bila tidak buat apa para
sahabat yang pemahaman agamanya sangat tinggi perlu bertanya “Wahai Rasulullah, pada hari yang seakan
satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu sehari semalam?”
dan bilakah demikian maka pertanyaannya bagaimana puasa waktu itu bila kriteria
hadis tentang melihat hilal secara langsung sendiri tidak terpenuhi yaitu
perhitungan terbit bulan akan membingungkan karena setahun serasa sehari,
dengan kata lain 6 bulan siang hari dan 6 bulan malam hari. Bagaimana anda
dapat melihat bulan secara mata dan menentukan awal ramadhan dan sholat Id bila
keadaan waktu tersebut benar-benar terjadi? Lihatlah pula pertanyaan dari orang
lain dibawah ini.
“Mereka
lalu bertanya kepada Rasulullah, "Apakah pada hari yang lamanya seperti
satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali
saja?" Rasulullah kemudian menjawab, "Tidak, akan tetapi tentukanlah
waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu
tersebut)".
"Kemacetan"
rotasi bumi pada masa dajjal tersebut tentu menimbulkan problem dalam prosesi
ibadah, karena kita ketahui bahwa shalat lima waktu memiliki ketergantungan
kepada perputaran bumi dan peredarannya terhadap matahari, dimana shalat Subuh
wajib dilaksanakan ketika fajar, shalat Dzuhur yang wajib didirikan ketika
matahari tergelincir dari puncak vertikal, shalat Maghrib yang wajib dikerjakan
saat matahari tenggelam. Dan juga shalat Jum’at yang wajib dilaksanakan sekali
dalam sepekan.
Belum
lagi dengan peribadatan lainnya seperti kapan bulan Dzulhijjah datang sehingga
orang dapat melaksanakan ibadah Haji, kapan orang wajib mengeluarkan Zakat yang
telah mencapai nishab dan haul, kapan Idul Fitri, Idul Adha dan beragam ibadah
lainnya yang susah untuk diterapkan pada masa kedatangan dajjal ini.
Lebih
pelik lagi adalah; bagaimana cara kita berpuasa? Misalkan saja dajjal datang
pada bulan Ramadhan, dan kebetulan hari itu merupakan hari yang memiliki durasi
selama satu tahun, itu artinya hari tersebut akan mengalami waktu siang selama
enam bulan dan akan diselimuti malam selama enam bulan juga.
Tentu
ini menimbulkan hambatan serius dalam berpuasa, karena puasa adalah menahan
lapar-dahaga dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari Subuh hingga
Maghrib. Lalu apakah pada masa itu umat Islam diwajibkan berpuasa dan menahan
makan-minum dari pagi hingga petang yang tenggang waktunya adalah enam bulan?
Jangankan menahan makan-minum selama enam bulan, untuk menahan selama 14 jam
saja masih banyak yang tidak kuat. Apa lah puasa selama setengah tahun, untuk
puasa sehari saja masih banyak yang bolong-bolong.
Untungnya
para sahabat dahulu telah mempertanyakan hal tersebut, sehingga Rasulullah
dapat memberikan solusinya dan jawaban Rasulullah inilah yang dijadikan
landasan syariat tentang bagaimana tata-cara umat Islam melaksanakan Shalat,
Zakat, Puasa dan Haji pada saat "kemacetan" tata-surya tersebut
terjadi di masa dajjal nanti.
Banyak
ulama yang telah menjelaskan hadits di atas dan menerangkan tata-cara ibadah
jika perjalanan waktu "tersendat" sedemikian rupa. Salah satunya
adalah apa yang diterangkan Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (kompilasi
fatwa Ibnu Taymiyah) bahwa, "(Ibadah pada masa itu) tidak lagi menggunakan
patokan waktu yang berdasar akan terbitnya matahari maupun tenggelamnya…"
Karena pada masa itu peredaran matahari tidaklah normal sebagaimana hari-hari
biasanya.
Fatwa
Ibnu Taymiyah ini kemudian diperjelas oleh syaikh Abdullah ibn Baz dalam
fatwanya yang menegaskan bahwa; "Satu hari yang memiliki masa satu tahun
tersebut tidak dihitung sebagai satu hari, dengan demikian tidak cukup mengerjakan
shalat lima waktu sekali saja dalam tenggang waktu tersebut. Akan tetapi wajib
mengerjakan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali dengan cara membagi hari
tersebut sesuai patokan jam yang digunakan pada negara masing-masing yang
berlaku pada hari-hari biasa…"
Kemudian
syaikh Ibn Baz melanjutkan "…demikan halnya wajib –bagi para muslimin–
untuk mengerjakan puasa Ramadhan dan menentukan kapan permulaan Ramadhan dan
kapan berakhirnya, serta kapan permulaan fajar dan kapan berakhirnya…"
Maka dapat dikiaskan juga atas hadits ini tentang ibadah lainnya seperti Zakat
dan Haji.
Sehingga
wajib mengeluarkan zakat maal ketika sudah mencapai nishab (standar minimum)
dan telah berlalu selama haul (setahun). Sama halnya dengan ibadah Haji yang
harus ditentukan kapan bulan Dzulhijah yang dengan itu dapat diketahui pula
kapan hari Tarwiyah, hari Arafah, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq tiba.
Dari
sini dapat kita bayangkan, betapa sulitnya tantangan yang akan dihadapi umat Islam
pada era dajjal kala itu. Oleh karenanya, saat itu harus ada integrasi antara
pemimpin umat dan para ulama untuk bisa membagi waktu menjadi
"pecahan" 24 jam. Mereka juga dituntut untuk mempublikasikan hal
tersebut kepada segenap umat Islam di seluruh pelosok dunia.
Dengan
kata lain, mereka lazim menciptakan sebuah sistem "Kalender Darurat"
bersifat temporal yang khusus digunakan pada masa "kemacetan"
tata-surya ini terjadi. Tanpa itu, umat Islam akan kebingungan mengenali kapan
datangnya Dzuhur maupun Maghrib, karena Dzuhur yang biasanya ditandai dengan
waktu siang dan Maghrib yang ditandai oleh terbenamnya matahari, kala itu
kedua-duanya akan dilaksanakan pada waktu siang hari atau malam hari tanpa ada
pembeda.
Dengan
demikian, hadits di atas merupakan rujukan utama untuk umat Islam dalam melaksanakan
ritual ibadah di akhir zaman kelak. Pun demikian, untuk mengamalkan hadits
shahih ini tidak pula harus menunggu hingga datangnya dajjal nanti, karena
hadits tersebut dapat diterapkan juga pada zaman sekarang oleh para penduduk
bumi bagian utara maupun selatan yang terkadang matahari tidak muncul sampai
beberapa bulan lamanya.
Seperti
penduduk Eskimo misalkan, jika terdapat penduduk muslim di sana yang menemui
kesulitan dalam beribadah hingga tidak mengetahui kapan bulan Ramadhan tiba,
lalu fajar terbit dan terbenam secara tidak normal, maka mereka dapat
menggunakan patokan waktu 24 jam ini atau menggunakan waktu yang berlaku di
negara terdekat dari wilayah mereka.
Beginilah
hebatnya sebuah mukjizat Rasul. Dapat menjelaskan mengenai perkara yang "kira-kira"
akan dibutuhkan oleh umat Islam di masa mendatang, mampu menerangkan secara
exact tentang perkara gaib yang belum terjadi. Karena seluruh berita yang
dikabarkan Rasulullah tentang masa depan bukanlah berdasarkan prophecies
(ramalan) yang bersifat prediktif-spekulatif. Sehingga tingkat akurasinya
mencapai titik seratus persen dan pasti akan terjadi.”
Karena saat sekarang jaman
satelit, telekomunikasi dan internet maka adalah baik tim rukyah bagaimanapun
metoda kreterianya mengikut kepada kiblat atau rukyah dilakukan dari kiblat
saja, hanya perlu sedikit tim saja dan hanya butuh berapa menit saja kita akan
mengetahui hasilnya pula walau jarak daerah yang jauh, perlulah diingat bahwa
zona waktu bumi cuman plus minus 12 jam jarak terjauh bukan selisih selang
lebih sehari. Rukyah per daerah masing-masing bisa dilakukan kembali bila
kondisi satelit dan komunikasi hilang kembali dimana masing-masing per daerah
kehilangan kabar daerah lain/sekitarnya. Pilihannya mana lebih penting
persatuan umat dalam hal ini atau pengelompokan-pengelompokan yang saling
mengklaim diri benar. Allah SWT, InsyaAllah lebih menyukai persatuan umat dari
pada kebenaran per daerah ada tidaknya melihat hilal secara langsung. Dan
sekalian juga sudah saatnya pula pusat waktu khusus Islam diadakan di Mekkah. Dan
umat Islam tidak sedih melihat kondisi perbedaan sudut pandang agama sekarang
ini. Membiarkan hal ini berlarut-larut lebih banyak mudharatnya buat kaum Islam
sendiri terutama membuat kebingungan terhadap agama sendiri. Tidakkah kalian
belajar dari 2 peristiwa di awal-awal Islam.
cuplikan literatur
Hisab
yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan
awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah
terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu
terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada
di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab,
bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah
menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat
ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan
hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan
untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5
disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan
waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah
hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan
Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi SAW adalah
ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.
Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan
hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh
sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum
berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi
sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat.
Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak
berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al
Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk
menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat
di mana tidak ada orangmengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam
tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan
karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu
ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan
terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah
terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat
menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat
Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini
karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada
hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang
tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan
di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak
dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan
lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada
musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas,
dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah
timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya
lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan
Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman
tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku
untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan
pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah
pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat
sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu
haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat
menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena
wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau
kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal
hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi
kacau balau.
Argumen-argumen
di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu
yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu
pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa
dalam upaya melakukan pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional
sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan
rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al
Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam
kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah)
menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati
bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam
tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam
menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk
menentukan waktu-waktu shalat”.
Legalisasi Metodologi
Rukyah Dan Hisab
Membicarakan
metodologi rukyah (dalam konteks Indonesia) tentunya tidak lepas dari
organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari
raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala
prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan
bertendensi pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadis yang
secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal
bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu
pada pendapat mayoritas ulama– hadis mengenai rukyah tersebut mempunyai
kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di
atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadis sekaligus praktek yang dilakukan
pada periode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan
metode hisab.
Pada
kesempatan yang sama, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras
menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode
paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini
mengemuka salah satunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut
mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia
juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan
penentuan awal bulan.
Semangat
al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman
ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang
pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini
bukan hanya bersifat informatif, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat
Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.
Mengenai
redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu
bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”,
meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas
hilal (penampakan bulan).Memang, banyak hadis secara eksplisit memerintahkan
untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadan maupun Syawal.
Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode
nabi berbeda dengan periode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh
lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi
sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: “innâ ummatun ummiyyatun,
lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”,
Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung.
Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan
tangannya)”.Jadi, memprioritaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan pada periode nabi.
Dan
Akhirnya. Meskipun sulit, namun harapan untuk bersatu itu tidak akan pernah
pudar, dan terus harus kita perjuangkan, sebagaimana agama kita satu maka
hilalpun satu. - http://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/12/makalah-hisab-dan-rukyat.html
Baru-baru
ini di Nusantara, setelah wukuf di hari jumat di Arafah, ada yang berhari raya
haji di hari sabtu sama dengan orang-orang yang sedang beribadah haji di Arab
Saudi, dengan artian juga mengikuti waktu wukuf dihari jumat yang sama walau
dahuluan. Ada pula yang berhari raya dihari minggu.
Yang
satu, salah satu dari sekian alasannya, karena sholat jumatnya sama waktunya,
waktu yang dipakai real di dunia juga berdasarkan waktu masuk adalah dahuluan
di Nusantara. Yang satunya lagi, salah satu dari sekian alasannya karena memaknai
dengan caranya tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh
Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih. Bila dianggap waktu adalah lebih
dahuluan di Nusantara, maka wukuf-nya kan belum masuk waktunya. Dengan artian
setelah ada wukuf di sana (Arafah), barulah Nusantara masuk waktu wukuf-nya
(sekedar sebanding perbandingannya).
Sekedar
hitungan sekedarnya dan ala kadarnya yang sangat perlu dikritisi lebih lanjut
oleh para ahlinya.
- Pergantian
siang malam sebanding bagai melilit surban di kepala diawali dari timur menuju
ke barat. Hal real harian.
- Putaran
waktu real bumi adalah 24 jam untuk sehari semalam penuh. Waktu di Nusantara
dahuluan (dianggap saja 4 jam) dari pada Mekkah. Hal real harian
- Sholat
jumat di Nusantara sama waktunya sholat jumat di Mekkah (sama-sama hari Jumat)
walau Jumat di Nusantara dahuluan. Hal real harian. Sebanding dengan awal hari
atau awal bulan dari timur ke barat di +12 jam.
- Waktu
wukuf di Arafah didahulukan, sebanding masuk waktu wukuf di Nusantara
belakangan, sebanding dengan awal hari dan awal bulan di Mekkah dahuluan
kemudian baru Nusantara (asumsi pada hitungan 24 jam, yaitu 20 jam kemudian
barulah masuk di Nusantara).
- Kabah
adalah pusat wilayah bumi juga pusat alam semesta ini, karena ia berada atau
diletakkan secara istimewa ditengah/dipusat alam semesta walaupun mungkin saja keberadaannya
didalam galaksi hanya disamping sekalipun, ia berada diantara 7 lapis langit
dan 7 lapis bumi, Asumsi ini dikuatkan oleh 20 ayat Alqur’an yang menyinggung
tentang keantaraan (bainiyyah)yang memisahkan langit dan bumi, ia adalah sesistem
tanah diatas air dan darinya bumi diperluas, dibawahnya ada air (dapat dimaknai
kemungkinan-kemungkinanya (sekedar cocoklogi, bukan tafsir resmi), antara lain:
air zam-zam atau memang ada daerah luas yang berisi air tanah didalam tanahnya
atau yang dimaksud adalah didalam bumi, memang ada magma/cairan (liquid) dan
juga dapat dimaksud bumi (sebagai benda angkasa) berada di sekeliling air
(materi (air) langit / lumpur hitam / sebanding dengan eter/ether (liquid hitam
yang kemungkinan dingin (bintang dilempari salju/es, geosentris) / bisa pula
bila mau disebandingkan dengan dark metter (materi gelap, heliosentris yang
merancukan dan tidak mengakui adanya perhitungan eter dengan menggantinya ke
dark metter yang diperhitungkan antah berantah, mementahkan analisis adanya
eter), karena dibarat sana, matahari (baca cocokloginya: teori matahari) ini
ditenggelamkan didalam lumpur hitam dan memang pula matahari mau tenggelam
dimanapun disudut bumi pada mata memandang ini, keberadaannya diluar angkasa
dikelilingi lumpur hitam yang serupa pengertian dari materi gelap atau serupa
liquid cair rada kental tidak jernih, di timur …. lanjutannya, sebab dalam
kisah Zulkarnain ini selain tafsir nyatanya, ada cocoklogi tentang adanya
teori/hipotesa penting didalamnya dan juga hal menakutkan, namun dibalik
peringatan buruk tentu ada kabar baik dan dibalik kabar kebaikan tentu ada
lawan keburukkannya.
- Dianggap
waktu Mekkah adalah waktu patokan (pengganti Greenwich). Kemudian dibagi dua
jenis menyesuaikan hal diatas, yaitu : yang
pertama, +12 jam (sebagai awal hari/awal bulan), +4 jam (Nusantara), 0 jam
(Mekkah) dan –12 jam (akhir hari/akhir bulan) dan yang kedua, 0 jam (Mekkah, waktu wukuf/awal hari/awal bulan)
diteruskan dihitung 24 jam seharian, 0
jam, +12 jam, +20 jam (waktu Nusantara), +24 jam (akhir hari/akhir
bulan).
- Batasan
diantara -12 jam ke +12 jam atau diantara 24 jam ke 0 jam, harus meyakini,
dipatok dan ditetapkan batasan jelas pemisah/batasan wilayahnya, bahwa satu
diantaranya awal hari/awal bulan dan satu diantaranya akhir hari/akhir bulan
sebagai hal multak yang real.
- Hari
wukuf pada hitungan-hitungan sekedarnya ini, diselaraskan pada hitungan ketika
hari wukuf di Mekkah terjadi pada hari jumat, ini adalah point penting dalam
hitungan ini. Maka kita berpatok wukuf di Arafah dan wukufnya hari jumat, juga
akan menyangkut masalah real lapangan antara Jumatan di Nusantara dengan
jumatan di Mekkah sebagai asumsi dasar hitungan.
- Dsb…
- Asumsi pertama, waktu wukuf
harus dihitung mulai dari Mekkah (Arafah) hingga seterusnya selama 24 jam
putaran bumi, dianggap waktu berjalan sesuai nama hari dengan berganti
versi hitungan hari dan waktu asumsi ini.
Biru
: hari jumat (waktu wukuf di Arafah) – selisih 20 jam kemudian, masuk hari
jumat untuk wilayah Nusantara.
Jingga
: hari sabtu (waktu lebaran Haji di Mekkah (Kabah/Kiblat)) – selisih 20 jam
kemudian masuk hari sabtu di Nusantara (sebagian yang berhari raya di hari
sabtu di nusantara, hanya berselisih 20 jam (masih dalam batas satu hari satu
malam yang 24 jam)
Ungu
: hari minggu di Mekkah, mengikuti pergantian waktu, dalam 20 jam kemudian
sebagian yang berhari raya di hari minggu di Nusantara, telah berselisih selama
20 jam + 4 Jam + 20 Jam, melebihi jumlah jam pada batasan satu hari yang 24 jam
lamanya.
Kelemahan
: pertama, waktu telah melebihi 24 jam (satu hari penuh) dan kedua, hari jumat
yang selama ini dilakukan di Nusantara yang dahuluan secara versi real waktu
yang dipakai di dunia akan dianggap salah, dengan artian sebanding dengan
selama ini jumatan di Nusantara adalah hari kamis, bukankah asumsi ini adalah
masuknya awal hari mulai dari Mekkah, kecuali waktu real dari dahulu lalu itu ditinggalkan
mulai sekarang dan kita harus menyatakan kesalahan dahulu hari kamis dianggap
hari jumat.
- Asumsi kedua, waktu wukuf
dihitung ditengah (0) berdasarkan Mekkah sebagai pusat wilayah bumi
(berada ditengah bumi), menggantikan Greenwich, dianggap waktu berjalan
sesuai nama hari dengan berganti versi hitungan hari dan waktu asumsi ini.
Biru
: +12 jam yang memulai awal hari, kemudian 8 jam setelahnya maka hari jumat
masuk waktunya di Nusantara – selisih 4 jam kemudian barulah masuk hari jumat
untuk wilayah Mekkah. 12 jam sesudah Mekkah adalah akhir hari/akhir bulan.
Setelahnya kemudian ditambah 20 jam (12 jam + 8 jam) lagi dari Mekkah maka di
Nusantara hari mulai berganti hari sabtu.
Jingga
: hari sabtu di Nusantara, ada sebagian yang berhari raya pada hari tersebut,
kemudian dalam 4 jam berikutnya masuk hari sabtu di Mekkah, dimana juga berhari
raya pada hari tersebut. (putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari, 24
jam)
Ungu
: hari minggu di Nusantara, setelah Mekkah berlebaran selama 20 jam, maka berlebaranlah
di hari minggu sebagian orang di Nusantara (bila dilihat sekilas putaran waktu
sesuai dengan satu putaran hari di bumi, 24 jam juga, namun benarkah itu?).
setelahnya 4 jam kemudian Mekkah masuk hari minggu, saat itu orang di Kiblat
telah berlebaran sehari yang lalu.
Kelemahan
: pertama, karena dalam 0 jam yang berpatok Mekkah, maka selisih Mekkah dengan
batasan akhir hari tersebut harusnya adalah 12 jam kemudian, itu berarti
pilihan minggu melebihi batasan satu hari penuh yang harusnya sama tersebut dan
kedua, pilihan dari minggu akan ada pertentangan pendapat juga tentang jumat
adalah jumatan pada hari yang sama, sabtu adalah sabtu juga di Mekkah pada
batasan harinya meskipun asumsi ini yang dipakai.
- Asumsi ketiga, waktu wukuf
harus dihitung mulai dari Mekkah (Arafah) sebagai awal hari dari hitungan
langsung 24 jam, dan akan dikonversi kembali ke waktu real yang dipakai
hari ini.
Biru
: hari jumat (waktu wukuf di Arafah) – harusnya selisih 20 jam kemudian, baru
masuk hari jumat untuk wilayah Nusantara. Sebagai asumsi bahwa awal hari/awal
bulan dihitung dari Mekkah sebanding dengan pernyataan waktu wukuf di Arafah.
Padahal waktu nyata lapangan, sesuai jam dunia, Nusantara akan masuk hari
sabtunya pada saat plus 20 jam tersebut. Maka yang berlebaran di hari sabtu di
Nusantara akan mendahului selama 4 jam dari waktu asumsi ini. Dengan asumsi ini
pula orang yang melakukan lebaran di Nusantara dahuluan dari waktu wukuf
dianggap mendahului waktu. Namun dari sini pula, secara jelas pada kenyataan lapangan
telah bertentangan dengan jumatan selama ini di Nusantara yang dahuluan sebelum
Arafah, dengan artian sebanding dengan pernyataan masuk hari kamis pada jumatan
di Nusantara. Karena mendahului jumatan di Mekkah dalam versi waktu asumsi ini.
Jadi pernyataan ini sama saja menganggap salah selama ini kita telah selalu sholat
jumatannya bukan pada waktu yang harusnya sesuai asumsi tersebut.
Jingga
: hari sabtu (waktu lebaran Haji di Mekkah (Kabah/Kiblat)) – selisih 20 jam
kemudian masuk hari sabtu di Nusantara. Sedangkan pada waktu real lapangan,
maka konversinya saat itu memang benar masuk di hari minggu dalam kenyataaan
waktu yang dipakai dunia. Tapi kembali lagi tentang jumatan yang mendahului
Mekkah, apakah salah selama ini? Selama bertahun-tahun kita hidup telah
melakukannya?
- Asumsi keempat, waktu wukuf
dihitung ditengah (0) berdasarkan Mekkah sebagai pusat wilayah bumi
(berada ditengah bumi), menggantikan Greenwich, dan akan dikonversi
kembali ke waktu real yang dipakai hari ini.
Biru
: +12 jam yang memulai awal hari, sebanding awal jumat dari hitungan sana,
kemudian 8 jam setelahnya maka hari jumat masuk waktunya di Nusantara – selisih
4 jam berikutnya lagi masuk hari jumat untuk wilayah Mekkah (sesuai dengan
kenyataan waktu dunia yang dipakai sekarang, dan sesuai dengan jumatan yang
dahuluan di Nusantara baru di Mekkah). Setelahnya kemudian ditambah 20 jam (12
jam (akhir hari) + 8 jam) lagi dari Mekkah maka di Nusantara hari mulai
berganti hari sabtu.
Jingga
: hari sabtu di Nusantara ada sebagian yang berhari raya pada hari tersebut,
kemudian dalam 4 jam berikutnya masuk hari sabtu di Mekkah, dimana juga berhari
raya pada hari tersebut. (putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari, 24
jam), setelahnya 8 jam kemudian akhir hari berakhir di -12jam
Kriteria
Danjon (1932,1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika
minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Ada
berpendapat bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal dari ufuk tidak mungkin
dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada
kondisi ini. Ada pendapat secara pandangan normal, minimal bulan telah 6
derajat diatas ufuk baru dapat dilihat. Maka ditetapkanlah atau disepakatilah
beberapa derajat pasti yang dapat melihat hilal tanpa alat bantu diantara 2-6
derajat itu. Kemudian ilmu astronomi sebagai klaim kepastian dan keakuratan
ilmunya sebagai persepsi kesatuan waktu keseluruhan dunia tentunya akan
diujicoba dengan cara astronomi harus menentukan negara, wilayah dan kota-kota
yang dapat melihat hilal secara langsung tanpa alat bantu ditiap awal bulan
baru sesuai derajat yang disepakati mudah melihat hilal. Terserah mau diuji
berapa puluhan atau ratus kali dahulu di tiap-tiap daerah dan kota nantinya
yang telah astronomi pastikan itu (pada setiap awal bulan hijriah) dan bila
ketepatan astronomi mendekati 100%, maka bukankah perhitungan astronomi
tersebut adalah telah tepat dapat mewakili rukyah. Bila pun haruslah ada yang
melihat langsung sesuai dengan keharusan hadits “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena
melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30
hari". Hal yang akan dapat saja mengotakkan wilayah (saat kekinian) karena
masing-masing golongan bisa melakukan sendiri-sendiri dan bila mau diintegerasi
satu waktu serempak secara seluruh dunia maka setelah ditentukan oleh astronomi
dimana terjadi hilal yang dapat dilihat di negara/wilayah dan kota-kota mana
saja hal tersebut dapat dilihatnya hilal, timnya bisa langsung mengabarkan
secara cepat keseluruhan belahan dunia. Yang repot adalah waktu menunggu buat
wilayah yang agak jauh atau berselisih jam/waktu besar dari kota-kota tersebut.
Bisa-bisa ada yang menunggu sampai tengah malam. Tapi bila “benar” karena akurasinya
astronomi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan 100% tepat, bisa saja bagi
yang berselisih jauh jamnya dari lokasi lihat bulan itu, melakukan kegiatan
ibadah sesuai waktunya dan memastikan secara langsung kemudian nantinya kabar
dari lokasi lihat hilal tersebut berikutnya dari media informasi setelah ada
kabar serempak adanya hilal yang nyata, toh sebagaimana astronomi mengklaim
dapat menghitung jauh hari sebelumnya.
Namun
karena adanya kabar lain, maka harus dipastikan pula terlebih dahulu kebenaran
hal ini. “Dalam penanggalan Masehi, waktu
Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia
yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di
Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan
karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring,
sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat
lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau
jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana
pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan
Madinah”. Dan berbagai hal lainnya yang menyelisihi syarat-syarat dapat
dipakainya ilmu astronomi untuk satu hitungan mendunia tersebut yang mungkin
saja ada pula, karena penulis hanya sekedar memperkirakan saja tanpa ilmu yang
dalam dalam hal ini. Namun bila merujuk matahari dan bulan atau siang malam
seperti melilitkan surban, sebenarnya apakah arah terbit matahari dan bulan
selalu sama arah awal ke akhirnya (dalam rujukan geosentris).
Disini
penulis tidak mengupas lebih jauh hingga hal mengenai ketaatan pada kepemimpinan,
hal ini berdasarkan yang mana memenuhi kebenaran pada ayat-ayat alam saja. Jadi
berdasarkan nalar, logika, berdasarkan realitas dari kenyataan saint pada
hitungan waktu, baik itu geosentris maupun heliosentris yang diterima dan
dipakai hari ini dan juga berdasarkan kenyataan penciptaan alam semesta (bumi)
bahwa siang malam terjadi selama 24 jam, pada dasarnya salah satu alasan secara
mekanisme alam tertolak, kecuali ilmu pengetahuan tidak dapat menghitungnya
lagi.
“sebagai penentu masuknya awal bulan, mirip dengan syarat ketinggian
matahari untuk munculnya fajar dalam penentuan masuknya waktu shubuh. Jadi,
kriteria imkan rukyat didukung oleh logika fikih yang jelas” dikutip dari tweet
di chirpstory.com
“Mengenai perbedaan antara penetapan awal bulan hijriyah untuk hal
ibadah dengan penetapan waktu shalat diterangkan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad
Al-Khatslan hafizhahullah yang saat ini menjabat sebagai anggota Al-Lajnah
Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia) sebagai berikut.
Allah menjadikan sebab untuk penetapan waktu shalat. Ketika sebab
ini ditemukan dengan cara apa pun, maka hukum shalat itu berlaku. Misalnya
saja, shalat Zhuhur. Yang menandakan masuknya waktu Zhuhur adalah dengan
zawalnya matahari, yaitu tergelincirnya matahari ke arah barat. Jika telah
diketahui zawalnya matahari dengan cara apa pun, maka masuklah waktu Zhuhur.
Begitu pula ketika diketahui panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya,
maka hukum akhir waktu shalat Zhuhur berlaku. Karenanya, waktu shalat bisa
diketahui melalui hisab falaki.
Adapun
untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit)
sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan
terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka
tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.
Ringkasnya, untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab
sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan
cara apa pun, maka berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu
diketahui dengan cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan,
dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan penglihatan, sedangkan hisab tidak
dijadikan patokan dalam masalah ini. Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul
hilal untuk masalah ini.
Untuk memasuki awal bulan, kita dapati dalil menyebutkan,
“Berpuasalah karena melihat hilal.” Dan tidak dikatakan, berpuasalah karena
keluarnya hilal dari sarangnya. Namun hanya dikatakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah karena
melihat hilal.” Sedangkan untuk waktu shalat, misal waktu Zhuhur disebutkan,
“Kerjakanlah shalat karena awalnya
matahari (tergelincirnya matahari ke arah barat, pen.).” Ini jelas berbeda,
masuknya awal bulan disuruh melihat, sedangkan waktu shalat cuma mengetahui
keadaan. Sehingga tak tepat jika penentuan awal bulan diqiyaskan (disamakan)
dengan jadwal shalat. (Sumber fatwa: Ahlalhdeeth.Com)
Untuk penetapan waktu shalat, cukup dengan mengetahui keadaan, yang
di mana bisa diketahui lewat ilmu hisab. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu Zhuhur dimulai saat matahari
tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan seseorang sama dengan
tingginya dan selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu Ashar masih terus ada
selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya
merah (saat matahari tenggelam) belum hilang. Waktu shalat ‘Isya’ ialah hingga
pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq)
selama matahari belum terbit. Jika matahari terbit, maka tahanlah diri dari
shalat karena ketika itu matahari terbit antara dua tanduk setan.” (HR.
Muslim no. 612). Di dalam hadits tidak dipersyaratkan harus melihat keadaan
matahari. Berarti dengan ilmu hisab pun bisa diperkirakan.
Untuk masalah melihat hilal disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka
berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal
tertutup, maka genapkanlah (bulan menjadi 30 hari).” (HR. Bukhari no. 1900
dan Muslim no. 1080). Lihatlah di sini dipersyaratkan melihat, tidak dengan
hisab. http://rumaysho.com”
“Apakah
perputaran bulan pada bumi bukan merupakan ayat-ayat alam, sunnatullah yang
tidak ada campur tangan manusia didalamnya, bukankah ia adalah dalil-dalil
pula? Bukankan bila bulan telah melebihi 0 derajat diatas ufuk menandakan masuk
hari/bulan baru, bukankah ini merupakan dalil-dalil secara realitas yang
benar-benar real pula?”
Ilmu
astronomi dewasa ini telah dapat menerka secara akurat, dimana dan kapan waktu
terjadinya gerhana dan dimana imbas-imbas wilayah yang terdampak dan terlihat.
Tentu
pertanyaan yang timbul, apakah dalil pada nash dan dalil pada alam itu akan
kontradiksi atau bertentangan, tidak bisakah keduanya saling menguatkan atau
berkesinambungan atau pula sebenarnya malah tidak berkontradiksi.
Mungkin
akan ada yang menyamakan, bila begitu usaha manusia atau pilihan antara tanda
kutip “kekanan” atau “kekiri” dari seorang individu adalah sunnatullah pula,
karena masing-masing hasil, keadaan, akibat, dsb. Diciptakan Allah SWT pula,
seperti game bola, model tendangan, arah, dsb telah discriptkan pencipta
gamenya, dan akan berputar/random beberapa model gayanya itu-itu saja, dan
tinggi rendah kekanan atau kesamping arahnya sesuai beberapa model limit yang
ditetapkan, juga sesuai dengan apa dan beberapa macam bentuk-bentuk yang telah
dituangkan dalam kelengkapan permainan tersebut oleh penciptanya. Padahal hal
ini berkaitan dengan interaksi manusia, atau dimana hal ini berkaitan dengan
perjanjian, sebab akibat, hak, kewajiban, resiko, tanggung jawab, imbas, dsb
manusia itu sendiri dari hasil olahnya tersebut, dimana hal ini masuk pada
rambu-rambu batasan-batasan syariat, pada pemberian dan penahanan nikmatNya, pada
ketaatan pada perintah dan larangan yang juga digariskan oleh Sang Pencipta.
Karena
dalil alam tentang keadaan bulan ini berinteraksi dengan urusan manusia, dimana
tentu harus sesuai garis rambu-rambu/batasan-batasan syariatNya, seharusnya
dalil nash dan dalil alam ini dapat berjalan bersama agar tidak terjadi
paradoks.
Apakah
melihat hilal adalah ijma? Bagaimana hukum mengenai hal yang telah ijma?
Bila
saja Anda pernah iseng membuat kalender hijriah sendiri, dimana anda membuat 3
kalender hijriah berbeda perhitungan, dimana yang pertama, anda membuat
berdasarkan perhitungan yang dilakukan NU, yang kedua, berdasarkan putusan yang
dikeluarkan muhammadiyah, sedangkan yang ketiga, anda buat berdasarkan
putusan/penetapan bulan-bulan islam yang terjadi di Arab Saudi. Dalam hal ini
mungkin kalender hijriah dari metode muhammadiyah anda sudah bisa langsung
membuat 1 tahun kalender, sedangkan dua yang lain, anda akan menunggu tiap
bulannya untuk memastikannya. Bila anda rutin membuatnya selama 5 tahun, anda
akan menemukan dari ketiga-tiganya masing-masing perbedaan waktu atau perbedaan
tanggal dan hari. Ringkasnya mungkin seperti ini, misalnya terjadi pada hari
raya, walaupun bulan-bulan lain juga akan ada kadang-kadang masing-masing
perbedaan, masing-masing mengklaim akan tanggal yang sama (dalam hijriah) namun
hari berbeda (nama hari seperti biasa), dalam hal ini tentang harinya ada yang
mendahului sehari dan ada yang membelakangi sehari. Atau akan ada pula
perbedaan akan jumlah hari pada bulan-bulannya (29/30) pada masing-masing
kalender tadi, bahkan ada yang dua diantara tiga itu jumlah bulan sama kemudian
berbalik yang lain yang sama, kadang ketiganya tidak sama jalan model bulan-bulannya
masing-masing setahunnya. Atau seseorang yang selalu ikut lebaran/awal puasa,
dsb sesuai dengan waktu tetapan di Arab Saudi, mungkin tahu ini, maka
kadang-kadang ia akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan Muhammadiyah,
dalam hal ini NU akan terlambat sehari (tanggal satu dimulai disitu untuk
kalender NU), atau harinya berbeda. Dan pada lain kesempatan maka kadang-kadang,
ia pula akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan NU, dimana
Muhammadiyah akan dahuluan sehari (awal bulan disitu untuk kalender versi
Muhammadiyah), dan pastinya juga harinya berbeda. Jadi bila mau dibuatkan
kalender hijriah secara pemakaian global di dunia, seperti hampir mustahil
dapat dilakukan. Seandainya saja, kita tidak mengenal kalender masehi, dimana
kita memakai kalender hijriah, kerancuan ini tetap ada, bila patokan atau
kreteria masih tidak ketemu sepakat.
Namun
sebenarnya kalender hijriah dapat dibuat secara global dan dapat sama dipakai
didunia, dimana hal ini dikaitkan secara dalil alam/saint dan secara dalil
nash, dan kesampaian informasi antar wilayah dimana saja yang hanya menghitung
menit saja.
“Adapun
untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit)
sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan
terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka
tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.
Ringkasnya,
untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab sebagai pertanda
masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan cara apa pun, maka
berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu diketahui dengan
cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan, dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan
penglihatan, sedangkan hisab tidak dijadikan patokan dalam masalah ini.
Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul hilal untuk masalah ini.”
Pada
hal ini, hisab merujuk kepada bisa tidaknya hilal bisa dilihat secara mata atau
alat melihat, atau kapan tepatnya derajat diatas ufuk yang tepat agar hilal
bisa dapat dilihat secara mata, yang 90% faktor penghalangnya penglihatan tak
mengganggu. Bila derajat tersebut tidak mencukupi derajat yang tepat tadi, maka
perhitungan saintnya digenapkan bulannya, seperti “Adapun untuk masalah hilal,
syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk
berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan
tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i
untuk berpuasa”, maka kalender versi ini sudah dapat menghitung jauh-jauh hari
sebelumnya, umpama dihitung setahun. Namun masalah lainnya tetap akan ada
muncul, mungkin pada posisi Indonesia, hal ini akan memicu kesamaan waktu
antara Muhammadiyah dan NU, namun pada masa-masa tertentu ia tidak akan sama
pada kiblat, seperti yang diutarakan diatas sebelumnya. Pada suatu saat,
kriteria ini akan membelakangi sehari pada kiblat. Karena bisa saja. Semisal
saja derajat yang dimaksud adalah 60, pada waktu senja itu telah
tiba diwilayah Indonesia “manapun”, posisi bulan belum sampai derajatnya
berdasarkan hitungan saintnya, maka demikian pula tidak dapat dilihat secara
mata pula pada senja itu di Indonesia, namun ternyata ketika pergiliran senja
telah tiba di Mekkah, derajat bulan itu telah sampai atau melebihi 60
pada wilayah seputar yang sama dengan Mekkah dan seterusnya itu dan tentu saja
dapat dilihat, ketika itu pula Indonesia menggenapkan bulannya/menambah sehari,
di Arab sebaliknya telah mencukupi bulannya. Maka kelender tadi tidak dapat
dipakai global, hanya dapat dipakai di Indonesia.
Nah
disini mungkin kalender ini dapat dipakai global seluruh dunia bila patokannya
adalah waktu melihat hilal di Mekkah, atau yang artinya waktu perhitungan saint
menunjukkan derajat bulan ketika diatas Mekkah telah sesuai tetapannya, misal 60
tadi.
Kenapa
Mekkah, padahal banyak pula dalil alam dan dalil nash penguatnya hal ini. Hari
raya berbicara tentang “sebuah” sholat juga, ketika sholat jumat, ternyata hari
jumat tidaklah berbeda hari untuk sholat jumat ‘DIMANAPUN DI DUNIA”, tragisnya
klo sholat hari raya di Mekkah bertepatan dengan hari jumat, ada yang selisih
akan sholat dihari raya yang tidak jumat namun tidak beda sholat jumatannya
pada waktu itu, adapula dalil tentang hari arafah, dan juga Mekkah adalah pusat
dari daratan bumi, hal ini menyebabkan garis Mekkah sebenarnya sebagai pusat 0
waktu dunia, kurangnya faktor-faktor penghalang penglihatan di Mekkah.
Sekedar
permisalan, misalkan 4 derajat diatas ufuk adalah derajat dimana hilal dari
bulan dapat dilihat mata secara langsung/alat melihat. Misalkan di Indonesia,
hilal telah mencapai 0.9 derajat. Maka NU akan menggenapkan bulan karena nyata
pula bakal tidak dapat dilihat mata, demikian pemerintah pula (entah bila suatu
saat pemerintahannya dari Muhammadiyah, mungkin berubah). Sementara
Muhammadiyah akan mencukupi atau mengganjilkan bulan, karena hilal diatas ufuk.
Sementara di Mekkah sendiri, ketika pergiliran senja telah tiba, derajat hilal
adalah 2.9 yang artinya juga secara nyata tidak dapat dilihat mata/alat
penglihatan. Maka di Mekkah akan menggenapkan bulan. Dalam hal ini NU dan
Mekkah akan sama kena harinya, Muhammadiyah dahuluan sehari. Kebalikkannya bila
di Indonesia, derajat hilal ketika pergiliran senja telah mencapai 2.9 derajat.
NU dan biasanya pemerintah akan menggenapkan bulan (karena dalam hal lapangan
akan tidak mampu melihat hilal), sementara Muhammadiyah akan mencukupkan bulan,
sementara itu 4 jam kemudian, ketika pergiliran senja/pergiliran menjelang
malam tiba di Mekkah, hilal disana ternyata terlihat mencapai 4.9 derajat, maka
Mekkah akan mencukupi bulan karena hilal akan terlihat mata/alat penglihatan.
Mekkah dan Muhammadiyah akan sama harinya, sedangkan NU akan belakangan sehari.
Apakah
ada orang Indonesia yang punya kriteria “ikut Kiblat”? ada. Pemerintahan islam
atau yang mewakili urusan islam bukan hanya ada di Indonesia, majelis ulama pun
demikian, ulama atau ormas yang bermahzab sama pun juga ada diluar,
masing-masing punya porsi dan batasan ketaatan dan porsi/batasan apa yang jadi
ketidaktaatan. Semisal seorang ulama atau sebuah ormas islam di Indonesia
memutuskan menggenapkan bulan, ternyata di wilayah lain, semisal 4 jam kemudian
(jarak berdasarkan perbedaan jam), ormas serupa atau bermahzab sama/ulama semahzab
sama telah mempersaksikan hilal dan atau “menyepakati” untuk mencukupkan bulan,
sementara berita ini dalam hitungan menit sudah terdengar, terlihat atau
terbaca di seluruh dunia. Penentuan hari arafah yang hanya ada disatu tempat
saja, yang menentukan lebaran haji, dsb. Dia tidak berbicara yang hanya ala
nusantara saja atau dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang
langitnya sebatas langit lokal saja.
Dan
Mereka berselisih setelah pengetahuan itu datang padanya.
Yang
dimaksud disini, agar adanya kalender hijriah yang sama secara global yang
sudah baku setahun kalender, dan tapi juga (maaf, kurang tahu bagaimanan bahasa
tepatnya) secara “seremonialnya” melihat hilal tetap dilakukan untuk memenuhi
hadis. Yang kemungkinan tidak akan berselisih antara kalender tadi dan keadaan
lapangan penentuan masuk bulannya. Karena ia merujuk kesatu tempat saja
(sebagai “fungsi” area kiblat, juga sebagai “fungsi” area ummul qura) dan
perhitungan saint kalendernya (kesepakatan tingginya hilal) pada tempat itu
pula.
Apakah
dalam pergiliran menjelang senja/malam itu, pada wilayah-wilayah yang
berbeda-beda tempat dan waktunya, sesuai garis sejajar kiblat maka akan bisa
pula terdapat perbedaan derajat hilalnya, para ahlinya tentu lebih faham dan namun
ini berdasarkan kira-kira penulis saja, pendapat pribadi penulis saja. Masalah
apakah tepat kriterianya dan tepat bila di Mekkah sebagai patokan dan apakah
benar-benar kalender seperti itu tidak salah bertahun-tahun, perlu para
ahli-ahlinya yang meneliti, dan bagaimanapun untuk menguatkan hal ini perlu
adanya ijma bersama dari para ulama-ulama. Dan selama informasi dan komunikasi
itu saling tembus hanya hitungan menitan saja dimanapun didunia.
Silahkan
untuk memikirkannya atau bahkan memvisualisasikan secara lebih baik dan
sebenarnya penulis hanya berharap akan adanya pertemuan lanjutan para
ulama-ulama seluruh dunia dengan melibatkan seluruh organisasi dan seluruh
golongan dengan tanda kutip “ahlusunnah” untuk membuat bersama ijma ulama yang
menyangkut hal-hal teknis ini dan menjadikan patokan untuk dipakai secara
keseluruhan di bumi.
Cerita
ini hanya fiktif karangan penulis saja.
Bulan
ramadhan, sekitar diantara 10 malam terakhir, setelah terawih, diluar masjid,
disebuah gang. Seorang sahabat menunggu sahabatnya.
Sahabat
satu : “Sob, jalan-jalan ngopi yuk sebentar di café!”
Sahabat
dua : “Lain kali z, fren! Nanggung nih, ini malam ganjil, malam jumat lagi, mau
memperbanyak ibadah nih malam, siapa tau malam laillatul qadar, men!”
Sahabat
satu : (terheran-heran) “Loh, bukankah ini malam genap!”
Sahabat
dua : “Ahh, itukan islammuuuu, islamku nih sudah masuk malam ganjil, akukan
ikut puasa yang dahuluan sehari itu nah!”
Singkat
kata, beberapa saat kemudian keduanya adu argumen, tambah lama tambah keras
suara-suara terdengarnya, makin keras makin emosi masing-masing mereka jadinya.
Setelah berapa lama terdengar suara-suara keras, sahabat ketiga muncul dari
masjid. Kemudian ia melerai, menegur, mengingatkan, menjaga persaudaraan dan
menanyakan masalah apakah yang terjadi. Setelah mendengarkan dengan seksama dua
pendapat dari masing-masing sahabatnya, dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan,
setelah berdehem-dehem sebentar lalu sahabat ketiga mengeluarkan pendapat.
Sahabat
ketiga : Ohh, gitu toh! Itu z kok repot, sih!”
Kedua-dua
sahabat : (serempak menjawab) “Ya, repot dong!”
Sahabat
ketiga : “Makanya, kalau nga mau repot, mendingan selalu jaga dan memperbanyak
ibadah terlebih di 10 malam terakhir, wong sudah dikasih tahu nabi dari 1400
tahun lalu.”
Kedua-dua
sahabat : “Tapi… tapikan… bedanya gimana dong? Apakah kita akan selalu begini?”
Anda-Anda
sendiri yang bisa menjawabnya. The end.
Bila
ada perbedaan 2 pendapat atau adanya 2 ijtihad yang berbeda, dimana kemudian ditemukan
adanya perselisihan yang menyilang antara tanda kutip “ahli sunnah”, bila janji
dan amanat diabaikan, seperti: amanat ukhuwah/persaudaraan, amanat berpegang
tali Allah SWT secara langsung, menyelisihi sunnah nabi Muhammad SAW, dsb maka tinggalkan
perselisihannya, teliti ulang dan lakukanlah apa yang kamu tahu, kerasnya pada
dirimu untuk memegang yang kamu tahu kebenarannya, lembut/keras keluar untuk
penyikapan perselisihan itu pada sikonnya, jangan terjebak pada kekerasan dari
perselisihan tersebut.
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash ra bahwa Rasulullah SAW bersabda , “Bagaimana denganmu jika kamu berada di
tengah kekacauan, janji janji dan amanat mereka abaikan, kemudian mereka
berselisih seperti ini ? ”Lalu, beliau menyilangkan antara jari jari. Abdullah
bin Amr bertanya, ”Lalu, dengan apa engkau menyuruhku?” Beliau menjawab,
“Jagalah rumah, keluargamu, lidahmu, dan lakukanlah apa yang kamu tahu dan
tinggalkan yang mungkar, serta berhati hatilah dengan urusanmu sendiri, lalu
tinggalkanlah perkara yang umum“ (HR Abu Daud dan Nasa’i)
Kenapa harus Kiblat (Kabah)
sebagai pusat/patokan, soalnya Allah SWT
telah menunjuk Kabah sebagai pusat dunia dan alam semesta pula bahkan
sebagai pemersatu semua itu, baik manusia, dunia (bumi) maupun alam semesta
ini, bukan hanya sebagai kiblat sholat. Bila Kiblat dihancurkan atau tidak ada
orang yang tawaf lagi, maka tunggulah sebentar lagi datangnya kiamat, karena
alam semesta akan pula ikut rusak mengikutinya.
Bersambung ...
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentarmu disini!