Jumat, 09 Agustus 2013

C. Jihad Menurut Islam


 C. Jihad Menurut Islam




Jihad artinya perjuangan yang sungguh-sungguh di jalan Allah dengan seluruh kemampuan baik dengan harta, jiwa, lisan, mau pun yang lainnya. Jihad terutama ditujukan untuk membela kaum yang tertindas:

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.” [An Nisaa' 75]

Jihad merupakan satu kewajiban penting dalam Islam:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan.” Muttafaq Alaihi.

Dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: “Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.

Mari kita lihat pendapat para Imam Madzhab tentang Jihad:

Madzhab Hanafi
 Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain (Al-Kasaani, Op. Cit., juz VII, hal. 97.)

Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah SWT. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah (uhammad ‘Ilyasy, Munah al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil, juz III, hal. 135.)

Madzhab as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.(Al-Khathiib, Haasyiyah al-Bujayrimi ‘alaa Syarh al-Khathiib, juz IV, hal. 225.) Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. (Ibn Qudaamah, al-Mughniy, juz X, hal. 375.) Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya. (Ibid, juz X, hal. 30-38.)

Meski demikian, jika kita pelajari sejarah Islam, maka kita akan tahu bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kita membunuh orang-orang kafir selain di medan perang.

Saat pertama Islam datang, ummat Islam ditindas begitu hebat. Sebagai contoh, Bilal dijemur di padang pasir yang panas dengan perut ditindih dengan batu yang besar. Namun ummat Islam saat itu dilarang untuk melawan orang-orang kafir.

Ketika penindasan begitu hebat bahkan Nabi Muhammad akan dibunuh, ummat Islam tidak berperang melawan orang-orang kafir. Namun memilih untuk menghindar dan hijrah ke kota Yatsrib (Madinah yang jaraknya sekitar 500 km dari Mekkah). Mereka tinggalkan seluruh harta bendanya di Mekkah.

Ada 3 alasan utama penghindaran perang pada masa awal tersebut, yaitu: belum mencukupinya kekuatan pihak muslimin, belum adanya basis daerah/pemerintahan/pertahanan sendiri dan belum turunnya ayat yang membolehkan atau mewajibkan berlakunya perang. 3 hal ini akan terpenuhi semua setelah Hijrah (Madinah)

Yang menarik adalah nabi-nabi terdahulu dalam berdakwah tidak memerangi suku atau bangsanya sendiri, nabi-nabi dahulu berdakwa dengan hanya menetap dan bertempat tinggal bertahun-tahun diantara suku sendiri hingga ada yang mengikutinya dan ada pula yang menolak ajakan dan peringatannya tanpa melakukan peperangan, kebanyakan akhir dari cara dakwah ini adalah dimusnahkannya atau dikutuknya suku/ummat nabi-nabi tersebut dan menyelamatkan sisa suku yang mengikuti nabi-nabiNya. Sementara nabi-nabi terdahulu yang melakukan peperangan adalah melakukan peperangan dengan bangsa lain. Di masa nabi Muhammad SAW saat telah berada di Madinah, telah diizinkan untuk memerangi suku/bangsanya sendiri yang tidak beriman atau kafir. Bila Kita ditampar pipi kiri, Kita tidak selalu memberi pipi kanan buat ditampar juga, namun pada situasi dan kondisi tertentu maka kita diperbolehkan membalas menampar pipi juga (Qishas). Ini menjadi kesempurnaan metoda dakwah yang berlian.

Namun Nabi Muhammad bukanlah orang yang gemar membuat permusuhan atau peperangan hanya karena perbedaan agama atau keyakinan. Terhadap kaum Yahudi di Yatsrib, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian damai yang dinamakan Piagam Madinah untuk saling melindungi dan berdamai.

“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” [An Nisaa' 90]

Terhadap kaum kafir Mekkah pun Nabi sempat membuat perjanjian damai di Hudaibiyyah yang sayangnya dilanggar oleh orang-orang kafir tersebut.

Ciri-ciri umum sifat kaum kafir terhadap perjanjian, bila diadakan perjanjian dengan umat Islam:
7. Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
8. Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian), padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan denganmu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian[29]. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak[30]. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (tidak menepati janji).
9. Mereka memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah, lalu mereka menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang mereka kerjakan.
10. Mereka tidak memelihara (hubungan) kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian[31]. Mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
11. Jika mereka bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
12. Jika mereka melanggar sumpah(janji)nya setelah mereka berjanji, dan mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti. (QS. At Taubah Ayat 7-12)

[29] Bahkan mereka akan mengganggumu semampunya. [30] Yakni jangan tertipu oleh basa-basi mereka karena mereka dalam keadaan takut kepadamu. Mereka sesungguhnya adalah musuhmu.  [31] Karena permusuhan mereka kepada keimanan dan orang-orangnya. Sebab yang menjadikan mereka memusuhi dan membencimu adalah iman, oleh karena itu bela agamamu dan tolonglah serta jadikanlah orang yang memusuhi iman sebagai musuhmu dan orang yang membela iman sebagai kawanmu, bersikaplah dengan memperhatikan ada iman atau tidak, dan jangan kamu jadikan cinta kasih dan permusuhan atas dasar hawa nafsu.

Ciri-ciri dibawah ini juga bisa dikaitkan dengan ciri-ciri pemimpin diktaktor salah satunya dengan janji-janjinya ketika pemilu/pemilihan atau pertama kali dilantik:

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.

Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat*.

Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. QS. Al Baqarah: 83-86

(*Ayat ini berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.)

Ummat Islam diperintahkan Allah untuk mempersiapkan senjata semaksimal mungkin
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al Anfaal 60]

Pesawat tempur Republik Islam Iran Saeqeh


Untuk perjuangan di jalan Allah, Usman menginfakkan 1/3 hartanya, Umar 1/2 hartanya, sementara Abu Bakar seluruh hartanya.

Sekarang sulit terjadi. Banyak orang-orang kaya seperti pangeran-pangeran Arab justru menghabiskan hartanya untuk membeli klub sepak bola Inggris seperti Syeikh Mansour membeli Manchester City, dan Sulaiman Al Fahim mengakuisi Portsmout, kini pangeran Faisal bin Fahd bin Abdullah asal Saudi yang berniat membeli sebagian besar klub sepakbola elit Eropa, Liverpool dengan harga trilyunan rupiah:

Di jaman Nabi, ummat Islam mempersenjatai diri mereka sehingga mampu mengimbangi persenjataan musuh yang menyerangnya. Musuh pakai pedang, ummat Islam juga pakai pedang. Musuh pakai panah, ummat Islam juga pakai panah (senjata jarak jauh). Bahkan saat pedang Romawi begitu kuat hingga bisa mematahkan pedang lainnya, pedang ummat Islam punya keunggulan yang tidak dimiliki pedang Romawi. Yaitu sangat ringan namun sangat tajam sehingga bisa merobek-robek kain yang dilempar ke udara! Bahkan di perang Yarmuk, pasukan Khalid bin Walid yang hanya berjumlah 24 ribu pasukan mampu mengalahkan 200 ribu pasukan Romawi karena persenjataannya dengan kavaleri kuda mengungguli pasukan Romawi yang kebanyakan hanya berjalan kaki (infantri)!

Nabi secara bertahap dan sistematis mempersiapkan pemerintahan, negara Islam, dan juga tentara serta persenjataan sehingga ummat Islam bisa menangkis serangan musuh.

Saat ummat Islam begitu kuat, untuk menghindari serangan musuh yang terjadi berulang-kali, baru usaha penaklukan kota Mekkah yang dinamakan Futuh Mekkah dilakukan. Orang-orang kafir di Mekkah begitu gentar sehingga tak berani melawan. Namun Nabi tidak membantai mereka. Siapa yang berlindung di Masjidil Haram, dia selamat. Siapa yang berlindung di rumah Abu Sofyan, dia selamat. Siapa yang menutup pintu rumahnya, dia selamat. Boleh dikata penaklukkan kota Mekkah itu nyaris tanpa korban jiwa. Abu Sofyan yang merupakan dedengkot perang orang-orang kafir diampuni oleh Nabi Muhammad. Demikian pula dengan Wahsyi yang membunuh paman Nabi, Sayyidina Hamzah dan Hindun yang memakan jantung paman Nabi diampuni. Padahal menurut hukum sekarang, sebagai penjahat perang, mereka pantas dihukum mati.

Jihad merupakan satu perintah Allah dalam Al Qur’an untuk menegakkan yang hak dan mengalahkan kebathilan. Untuk melindungi kaum-kaum tertindas dari orang-orang zhalim yang menindas/membantai.

Keutamaan Jihad
Allah Ta’ala berfirman pula: “Berangkatlah engkau semua, dengan rasa ringan atau berat dan berjihadlah dengan harta-harta dan dirimu semua fisabilillah.” (at-Taubah: 41)

 Allah Ta’ala berfirman lagi: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka berperang fisabilillah, sebab itu mereka dapat membunuh dan dibunuh, menurut janji yang sebenarnya dari Allah yang disebutkan dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih dapat memenuhi janjinya daripada Allah? Oleh sebab itu, bergembiralah engkau semua dengan perjanjian yang telah engkau semua perbuat dan yang sedemikian itu adalah suatu keuntungan yang besar.” (at-Taubah: 111)

Allah Ta’ala berfirman pula: “Tidaklah sama antara orang-orang yang duduk-duduk -di rumah yakni tidak mengikuti peperangan- dari golongan kaum mu’minin yang bukan karena keuzuran, dengan orang-orang yang berjihad fisabilillah dengan barta-harta dan dirinya. Allah melebihkan tingkatan orang-orang yang berjihad dengan harta-harta dan dirinya itu daripada orang-orang yang duduk-duduk tadi. Kepada masing-masing dari kedua golongan itu, Allah telah menjanjikan kebaikan dan Allah lebih mengutamakan orang-orang yang berjihad daripada orang-orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar, yaitu berupa derajat-derajat -yang tinggi, juga pengampunan dan kerahmatan daripadaNya dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (an-Nisa’: 95-96)

Allah Ta’ala juga berfirman: “Hai sekalian orang-orang yang beriman. Sukakah kalau saya tunjukkan kepadamu semua akan sesuatu perdagangan yang dapat menyelamatkan engkau semua dari siksa yang menyakitkan? Yaitu supaya engkau semua beriman kepada Allah dan RasulNya dan pula berjihad fisabilillah dengan harta-harta dan dirimu semua. Yang sedemikian itu adalah lebih baik untukmu semua, jikalau engkau semua mengetahui. Allah juga akan mengampunkan dosa-dosamu semua serta memasukkan engkau semua dalam syurga-syurga yang mengalirlah sungai-sungai di bawahnya, demikian pula beberapa tempat tinggal yang indah di syurga ‘Adn -kesenangan yang kekal- dan yang sedemikian itu adalah suatu keuntungan yang besar. Ada pula pemberian-pemberian yang lain-lain yang engkau semua mencintainya, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (as-Shaf: 10-13)

Dari Abu Zar r.a., katanya: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, amalan apakah yang lebih utama?” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu beriman kepada Allah dan berjihad fisabilillah.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Anas r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya sekali berangkat untuk berperang fisabilillah, di waktu pagi ataupun sore itu adalah lebih baik nilainya daripada dunia dan segala apa yang ada di dalamnya ini -yakni dari harta benda di dunia dan seisinya ini.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya: “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w., lalu berkata: “Manusia manakah yang lebih utama?” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu orang mu’min yang berjihad fisabilillah dengan diri dan hartanya.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapakah?” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu orang mu’min yang -memencilkan dirinya -dalam suatu jalanan di gunung - maksudnya suatu tempat diantara dua gunung yang dapat digunakan sebagai kediaman- dari beberapa tempat di gunung-, untuk menyembah kepada Allah dan meninggalkan para manusia dari kejelekannya diri sendiri.” -Jadi mengasingkan diri dari orang banyak sehingga tidak akan sampailah kejelekannya diri sendiri itu kepada orang-orang banyak tadi-. (Muttafaq ‘alaih)

Dari Sahl bin Sa’ad r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bertahan -yakni tetap berdiam di dalam posnya bagi tentara- selama sehari fisabilillah adalah lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya. Tempat cemeti seorang diantara engkau semua dari syurga itu lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya. Juga sekali berangkat yang dilakukan oleh seorang hamba untuk berperang fisabilillah, baik di waktu pagi ataupun sore, adalah lebih baik daripada dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam Islam, wanita boleh ikut berperang untuk memberi minum dan mengobati prajurit yang terluka. Jadi wanita macam Florence Night Angel sudah ada di jaman Islam!

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)

Hal-Hal Yang Harus Diingat Dan Diperhatikan Dalam Berjihad

a.      Nabi melarang kita menakut-nakuti atau menteror manusia sehingga mereka bukannya cinta, tapi malah takut terhadap Islam. Kesannya Islam jadi malah menyeramkan:
Tak pernah ummat Islam membuat ketakutan dengan membunuh orang-orang tak berdosa di kota Mekkah atau di negara-negara orang kafir.

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Permudahlah dan jangan mempersulit dan jadikan suasana yang tenteram jangan menakut-nakuti. (Shahih Muslim No.3264)

b.      Nabi melarang kita membunuh wanita dan anak-anak:
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.: Bahwa seorang wanita didapati terbunuh dalam suatu peperangan yang diikuti Rasulullah saw. lalu beliau mengecam pembunuhan kaum wanita dan anak-anak kecil. (Shahih Muslim No.3279)

c.       Jangan Melampau batas atau semena-mena dalam berjihad:
Jihad yang dilakukan menurut Islam hanyalah mempersiapkan seluruh kekuatan baik harta, jiwa, senjata, lisan, dan sebagainya untuk berjuang di jalan Allah agar musuh tak bisa semena-mena membantai ummat Islam. Bukan untuk membunuh secara sadis orang-orang kafir (tidak melampaui batas) karena dalam Islam diajarkan “Laa ikrohaa fid diin”. Tak ada paksaan dalam agama.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas QS. AL-BAQARAH : 190

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 256]

Jangan melampau batas dalam hal ini seperti : larangan menyiksa mayat, larangan membakar musuh, atau penyiksaan dengan api, larangan membunuh musuh yang telah takluk atau ditawan, menawan musuh dengan cara yang baik tidak menghina atau berbuat hal tercela, dsb.

Walaupun hukum Qishash (membalas dengan yang serupa) dibolehkan atau diberlakukan tetapi lebih baik lagi dengan tidak berbuat yang semena-mena (melampaui batas), memaafkan apa yang bisa dimaafkan adalah lebih baik.

Bukankah Tuhan Maha Pemaaf, bagaimana Kita mau dimaafkan Tuhan sebesar-besarnya bila Kita sendiri tidak bisa memaafkan makhlukNya yang lain, bersabar adalah hal yang terbaik.

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. QS. An Nahl:126

Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. QS. Al Hajj: 60

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. QS. Asy Syuura: 42

d.      Dilarang membunuh diri atau seakan-akan berjihad tapi ternyata melakukan bunuh diri atau karena berjihad dengan niat pamer keberanian, bukan karena Allah SWT dan penegakan agama Islam:
Jabir Ibnu Samurah ra berkata: pernah dibawa kepada Nabi SAW seorang laki-laki yang mati bunuh diri dengan tombak,  lalu beliau tidak menyolatkannya. Riwayat Muslim.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang bunuh diri dengan benda tajam, maka benda tajam itu akan dipegangnya untuk menikam perutnya di neraka Jahanam. Hal itu akan berlangsung terus selamanya. Barang siapa yang minum racun sampai mati, maka ia akan meminumnya pelan-pelan di neraka Jahanam selama-lamanya. Barang siapa yang menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri, maka ia akan jatuh di neraka Jahanam selama-lamanya. (Shahih Muslim No.158)

Hadis riwayat Tsabit bin Dhahhak ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang bersumpah dengan agama selain Islam secara dusta, maka ia seperti apa yang ia ucapkan. Barang siapa yang bunuh diri dengan sesuatu, maka ia akan disiksa dengan sesuatu itu pada hari kiamat. Seseorang tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang tidak ia miliki. (Shahih Muslim No.159)

Lihat hadits di bawah bagaimana seorang yang berperang di jalan Allah dengan semangat sehingga orang-orang mengira dia adalah ahli surga. Namun karena tak tahan sakit dia bunuh diri dengan senjatanya sendiri agar mati dan akhirnya menurut Allah masuk neraka.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku ikut Rasulullah saw. dalam perang Hunain. Kepada seseorang yang diakui keIslamannya beliau bersabda: Orang ini termasuk ahli neraka. Ketika kami telah memasuki peperangan, orang tersebut berperang dengan garang dan penuh semangat, kemudian ia terluka. Ada yang melapor kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasulullah, orang yang baru saja engkau katakan sebagai ahli neraka, ternyata pada hari ini berperang dengan garang dan sudah meninggal dunia. Nabi saw. bersabda: Ia pergi ke neraka. Sebagian kaum muslimin merasa ragu. Pada saat itulah datang seseorang melapor bahwa ia tidak mati, tetapi mengalami luka parah. Pada malam harinya, orang itu tidak tahan menahan sakit lukanya, maka ia bunuh diri. Hal itu dikabarkan kepada Nabi saw. Beliau bersabda: Allah Maha besar, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk memanggil para sahabat: Sesungguhnya tidak akan masuk surga, kecuali jiwa yang pasrah. Dan sesungguhnya Allah mengukuhkan agama ini dengan orang yang jahat. (Shahih Muslim No.162)

Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra., ia berkata: Rasulullah saw. bertemu dengan orang-orang musyrik dan terjadilah peperangan, dengan dukungan pasukan masing-masing. Seseorang di antara sahabat Rasulullah saw. tidak membiarkan musuh bersembunyi, tapi ia mengejarnya dan membunuhnya dengan pedang. Para sahabat berkata: Pada hari ini, tidak seorang pun di antara kita yang memuaskan seperti yang dilakukan oleh si fulan itu. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda: Ingatlah, si fulan itu termasuk ahli neraka. Salah seorang sahabat berkata: Aku akan selalu mengikutinya. Lalu orang itu keluar bersama orang yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahli neraka. Kemana pun ia pergi, orang itu selalu menyertainya. Kemudian ia terluka parah dan ingin mempercepat kematiannya dengan cara meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan ujung pedang berada di dadanya, lalu badannya ditekan pada pedang hingga meninggal. Orang yang selalu mengikuti datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Aku bersaksi bahwa engkau memang utusan Allah. Rasulullah saw. bertanya: Ada apa ini? Orang itu menjawab: Orang yang engkau sebut sebagai ahli neraka, orang-orang menganggap besar (anggapan itu), maka aku menyediakan diri untuk mengikutinya, lalu aku mencarinya dan aku dapati ia terluka parah, ia berusaha mempercepat kematian dengan meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan ujung pedang berada di dadanya, kemudian ia menekan badannya hingga meninggal. Pada saat itulah Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya ada orang yang melakukan perbuatan ahli surga, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal sebenarnya ia ahli neraka. Dan ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal ia termasuk ahli surga. (Shahih Muslim No.163)

Hadis riwayat Jundab ra., ia berkata: Rasulullah bersabda: Ada seorang lelaki yang hidup sebelum kalian, keluar bisul pada tubuhnya. Ketika bisul itu membuatnya sakit, ia mencabut anak panah dari tempatnya, lalu membedah bisul itu. Akibatnya, darah tidak berhenti mengalir sampai orang itu meninggal. Tuhan kalian berfirman: Aku haramkan surga atasnya. (Shahih Muslim No.164)

Jadi seorang Mujahid sejati menurut Islam akan berperang membunuh musuh tanpa rasa takut sedikit pun. Dia tidak akan membunuh dirinya sendiri dengan senjata karena takut ditangkap atau disiksa oleh musuh!

e.       Jika musuh ingin berdamai, hendaknya kita juga berdamai:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Anfaal 61]

Jihad


Meski sudah mengungsi ke Madinah, kaum kafir berulang-kali menyerang ummat Islam pada Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Ummat Islam hanya bertahan membela diri saat mereka diserang di sekitar kota Madinah. Begitu musuh kalah dan mundur, ummat Islam membiarkan mereka mundur dengan damai. Sementara tawanan yang ada diperlakukan dengan baik dan dibebaskan setelah mendapat tebusan baik dengan uang, atau pun sekadar mengajar ummat Islam untuk membaca.

a.      Allah memerintahkan kita memeriksa dulu orang-orang yang akan kita bunuh:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu [dulu juga kafir], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An Nisaa' 94]

Kata Usamah: “Wahai Rasulullah, sungguh dia mengatakannya hanya karena takut pada senjata.” Nabi bersabda, “Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau tidak?” Demikianlah, Nabi berulang-ulang mengucapkan hal itu sehingga Usamah berharap baru masuk Islam saat itu sehingga dimaafkan Nabi.

b.      Kita tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang mengucapkan salam atau pun tahlil dengan alasan mereka bukan Islam. Mereka kafir. Tidak bisa begitu.

Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)

Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)

Mungkin ada yang berdalih, kan Abu Bakar ra juga memerangi orang-orang Islam yang sholat. Mereka tidak paham yang diperangi Khalifah Abu Bakar itu adalah orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu Bakar sebagai Khalifah Islam pada waktu itu memang berhak memerangi orang-orang yang memisahkan sholat dan zakat, yaitu orang-orang yang memilih-milih dalam syariat agama Islam mana yang diambilnya dan mana yang dibuangnya.

Jadi kalau ada yang merasa berjihad dengan membunuh sesama Muslim yang mengucapkan tahlil dan sholat? Mungkin dilihat dan diteliti lagi apa orang tersebut memilih-milih dalam syariat yang lainnya, bahkan hukuman kalau perlu ditunda dahulu agar terang dikatakan seakan-akan bisa mengintip hatinya.

Di Sahih Muslim disebut bagaimana Usamah bin Zaid membunuh seseorang yang mengucapkan tahlil saat ditugaskan perang. Sebetulnya apa yang dilakukan Usamah wajar karena mengira orang itu cuma berpura-pura agar selamat. Kata Usamah: “Wahai Rasulullah, sungguh dia mengatakannya hanya karena takut pada senjata.” Nabi bersabda, “Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu atau tidak?” Demikianlah, Nabi berulang-ulang mengucapkan hal itu sehingga Usamah berharap baru masuk Islam saat itu sehingga dimaafkan Nabi.

Kalimat Tahlil saja sudah cukup menyelamatkan nyawa seorang Muslim. Aneh jika Tahlil sudah diucap dan sholat dilakukan serta zakat ditunaikan masih dibunuh juga. Apalagi jika aliran tersebut masih termasuk yang dianggap lurus menurut Risalah Amman yang didukung 200 ulama dari 50 negara. Di antaranya: Yusuf Qaradhawi, Mufti Mesir Ali Jum’ah, Syeikh Al Azhar Tontowi, KH Hasyim Muzadi, dsb:

c.       Jangan lari dari jihad atau jangan mengungsi apabila kaum kafir mengambil tanahmu (mencoba mengusirmu dari negerimu (telah menjadi tanah jihad)):
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak akan berperang.’ Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?’ Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.” (2:246)

Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. QS. Muhammad: 20

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari keinginan untuk berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (4:77)

Lari atau mengungsi dibolehkan dengan tujuan:
  1. Mengungsi khusus untuk orangtua (lebih baik ikut jihad), anak-anak dan perempuan saja, tidak untuk laki-laki muslim yang sehat, karena status jihad pada negerinya tersebut adalah wajib diikutinya,
  2. Mencari bantuan (baik mencari bantuan secara diplomasi, mencari bantuan persenjataan atau harta atau bantuan fisik),
  3. Menggabungkan diri dengan satuan pasukan Islam lainnya,
  4. Pelarian yang merupakan bagian dari strategi/siasat berperang,

Bila pria sehat melarikan diri atau mengungsi dari medan jihadnya bisa diartikan orang tersebut adalah bersifat fasik atau munafik atau orang yang akan mendapatkan kecelakaan kelak.

Adapun laki-laki sehat yang beralasan menjauhkan keluarganya (orang tua, anak dan istri) dari medan perang, hendaklah secepatnya kembali balik ke medan jihadnya atau lebih baik lagi dengan menyerahkan urusannya kepada Allah SWT tentang keluarganya, dengan membuat janji temu dengan keluarga disuatu tempat bila telah dalam keadaan damai nantinya.

Melihat berdasarkan fiqh Prioritas :
  1. Orang yang berada ditanah jihad, wajib berjihad dengan segala kemampuannya
  2. Orang yang berada diluar tanah jihad, (1) bila berminat dengan keutamaan jihad dan mampu, hendaklah dia ikut berjihad di tanah jihad tersebut namun harus menguasai dahulu bahasa setempat di tanah jihad, menguatkan sendi-sendi agamanya dan membulatkan kepasrahan dan hati karena Allah SWT, (2) bila tidak mampu berjihad secara langsung maka hendaklah mengirim bantuan harta, obat-obatan, senjata atau bantuan diplomasi, (3) bila tidak mampu pula berjihad lah dengan belajar lebih giat ilmu keagamaan dan berjihad lah dengan hawa nafsu, (4) jangan menghalang-halangi seseorang terhadap salah satu dari 3 pilihan diatas.
  3. Wajib keseluruhan umat Islam dimanapun berada untuk berbai’at dan berjihad bila Imam Mahdi telah memanggil.

Tanah jihad adalah “Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. QS. Al Anfaal: 16

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. QS. At Taubah: 24


a.      Tidak mendahului melakukan peperangan:
Sebagaimana petunjuk Al-Qur'an dan Hadits, prinsip perang dalam Islam adalah tidak memerangi orang-orang yang tidak memerangi mereka. Dengan kata lain Islam tidak memulai peperangan.

“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)

Firman Allah: "Dan perangilah di jalan Allah orang-oran yang memerangi kalian, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Baqarah: 190)

Agar orang yang diperangi mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah) bukanlah tujuan dari perang. Sebab ini bertentangan dengan Islam. Perang dalam Islam bertujuan sebagai pembelaan diri dan menolak kezhaliman, sebagaimana yang disebutkan di atas.

Namun, jika di saat perang mereka (yang diperangi) mengucapkan kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah), maka saat itu juga darah mereka haram ditumpahkan, kecuali jika mereka melakukan pelanggaran undang-undang syari'at yang menuntut hukuman mati, seperti membunuh orang lain dengan sengaja.

Siapakah yang diperangi
Marilah sejenak Kita melihat penggalan dari Tafsir Al-Barru tentang perang ini :
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 190
[Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.]
1). Sekarang, sampai ayat 195 nanti, kita bicara hal yang paling sensitif: perang. Karena ini menyangkut terganggunya ketenteraman kehidupan, menyangkut degradasi pembangunan, dan menyangkut nyawa banyak orang, maka sebelum bicara soal ini, Allah memperkenalkan kita kepada tahapan-tahapan pendahuluan yang harus dilalui sebelum sampai ke tahapan yang paling puncak dalam penegakan agama Allah ini. Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak dilewati, kemudian langsung loncat ke puncak, maka alih-alih menjadi solusi, perang malah bisa menjadi penyebab runtahnya peradaban dan terhinanya umat.
Allah memulainya dengan memperkenalkan kepada kita apa yang dimaksud dengan الْبِرُّ (al-birru, perbuatan bajik) beserta unsur-unsur yang membentuknya di ayat 177. Tanpa mengenal konsep ini, kita bisa terjerembab ke dalam lawannya, الإِثْمُ (al-itsmu, perbuatan dosa). Perang, dalam Islam, merupakan bagian dari الْبِرُّ (al-birru, perbuatan bajik) dan tidak boleh, sesedikit apapun, tercemari oleh الإِثْمُ (al-itsmu, perbuatan dosa). Setelah itu, di ayat 178 dan 179, Allah menyampaikan konsep qishash (hukuman setimpal).
Apa sebab? Sebab Islam memandang bahwa pengobar perang itu adalah pelaku kejahatan terorganisir. Dan tidak ada kejahatan terorganisir kalau tidak didahului oleh kejahatan individual. Karena agama bersifat preventif, maka sebelum berkembang menjadi kejahatan terorganisir, harus secepatnya dihentikan sejak masih individual; dan di situlah fungsinya qishash. Kemudian melalui ayat 180-182, Allah menarik perhatian kita ke masalah washiat (pesan suci). Yang namanya kejahatan terorganisir pasti ada pemimpin tertingginya. Kalau perang, niscaya ada panglimanya; bahkan panglima pun ada yang mengangkatnya, ada pangti (panglima tertinggi)-nya. Soalannya ialah, apa yang mendasari pengangkatan dan pergantian kepemimpinan pada sebuah organisasi kejahatan? Jawabannya cuma satu: atas dasar suksesnya pelaksanaan dan keberlanjutan kejahatan tersebut. Maka pengangkatan dan pergantian itu bisa bottom-up (demokrasi), bisa top-down (washiat), bahkan bisa juga perebutan kekuasaan (kudeta). Pokoknya mana yang paling kondusif pada masa dan keadaannya masing-masing.
Namanya saja kejahatan, tidak perlu ada formula yang pakem. Karena formula yang pakem akan mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan. Agama adalah keteraturan. Islam adalah ajaran yang keteraturannya berasaskan pada prinsip-prinsip keadilan; karena hanya dengan begitu suasana kedamaian (islam—dengan huruf “i” kecil) bisa terwujud. Sebagai agama langit—artinya lejitimasinya sepenuhnya bergantung pada titah langit—maka Islam menetapkan washiat sebagai formula penting dalam hal pengangkatan dan pergantian pemimpin tertingginya.
Banyak pihak—bahkan di kalangan Islam sendiri—yang meributkan konsep ini, tapi hebatnya, keributan mereka sontak berhenti kalau raja-raja dan diktator-diktator ber-washiat—bahkan jauh hari sebelum tanda kemangkatannya—dengan mempersiapkan apa yang disebut putra mahkota. Tetapi harus secepatnya disampaikan bahwa masalah yang satu ini memang berat karena di dalamnya berjumpa banyak kepentingan. Itu sebabnya, di ayat 183-188, Allah mengajak kita berpuasa. Karena berpuasa, seperti telah diuraikan, adalah “negasi” (penolakan, berkata “tidak”, mengobarkan perang) kepada seluruh kepentingan-kepentingan itu yang tersimpulkan pada tiga perkara utama: makan, minum, dan libido. Tujuannya: takwa, menjunjung tinggi hukum-hukum Allah. Harapannya (ayat 189), agar semua pihak dalam Islam mencapai puncak pendakian: الْبِرُّ (al-birru, kebajikan yang sempurna) dengan mau (dengan pilihan rasionalnya alias secara suka rela) memasuki al-bayt (rumah risalah) dari pintu yang benar. “Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak akan berperang.’ Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?’ Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.” (2:246)
 2). Barulah setelah itu, perang boleh dibicarakan. Dapat kita bayangkan, begitu panjangnya perjalanan, begitu banyaknya tahapan-tahapan krusial, yang harus ditempuh sebelum sampai ke sana. Sayangnya banyak orang yang tidak sabar. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari keinginan untuk berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (4:77)
Mengapa (untuk sampai ke perintah) perang dibuat sedemikian berliku jalannya?
Pertama, perang pada dasarnya tidak menyenangkan, karena akan memporak-porandakan pranata kehidupan, berpotensi meruntuhkan peradaban, memisahkan orang-orang yang saling mencintai, menjauhkan suami dari istri, orang tua dari anak-anaknya. Perang, karenanya, tidak disenangi oleh manusia. Sehingga memantik perang adalah kejahatan.
Kedua, perang pasti menimbulkan korban jiwa. Dalam perspektif Islam, tiap jiwa adalah milik Allah. Sehingga hanya Dia-lah satu-satunya yang punya hak untuk mematikan jiwa-jiwa tersebut melalui berbagai peristiwa alamiah ciptaan-Nya—semisal penyakit, bencana alam, kerentaan, kecelakaan, dan sebagainya. Kematian di luar itu harus ada yang mempertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pemilik jiwa-jiwa tersebut.
Penangungjawab itu ada dua macam: penanggung jawab LIAR (tanpa mengantongi surat izin dari Sang Pemilik jiwa) dan penangung jawab RESMI (mengantongi surat izin). Yang pertama itulah yang disebut pelaku kejahatan karena membuat (atau mengkondisikan penyebab terjadinya) ketercabutan jiwa secara ilegal. Sedangkan yang kedua disebutشَهِيد (syaɦīd, saksi); yakni Figur Ilahi yang mendapatkan mandat syar’i dari Sang Pemilik jiwa (4:41) untuk menjadi saksi atas kematian mereka yang mempertaruhkan nyawanya di dalam suatu perang. Jika ada mobilisasi umat untuk pergi berperang di suatu medan atau negara tertentu, pertanyaannya ialah, siapa yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan dan kematian mereka kelak di hadapan Allah swt? Syaɦĭd (saksi) inilah satu-satunya yang boleh mengambil keputusan tentang perang dan damai.
Ketiga, agar perang dan semangat perang tidak gampang dibajak oleh pihak-pihak tertentu, termasuk oleh musuh-musuh Islam. Karena manakala perang dengan gampang diinisiasi tanpa memenuhi tahapan-tahapan dan unsur-unsur syar’inya, maka perang (atau semangat perang) seperti itu akan gampang dibajak oleh kelompok-kelompok tertentu demi memenuhi tujuan kelompk-kelompok tersebut, dan setelah itu mencampakkan umat ke dalam lembah kehina-dinaan. Pendeknya, umat akan gampang digiring bagai hewan piaraan menuju ke tempat-tempat pejagalan untuk memenuhi hajat musuh-musuhnya sendiri. Dalam hubungan itulah sehingga Allah mendahului ayat perang ini dengan pentingnya memasuki rumah melalui pintunya yang benar, dan tidak memlalui pintu belakang. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (kepada perdamaian itu) dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (8:60-61)
3). Karena memantik perang adalah kejahatan—siapapun pelakunya—maka satu-satunya perang yang diperbolehkan ialah perang untuk menghentikan kejahatan tersebut: وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (wa qātilū fī sabĭlillāɦi al-ladzĭna yuqātilūnakum, dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian). Di penggalan ayat yang dimulai dengan perintah untuk berperang ini, terkandung tiga unsur penting yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, adanya huruf وَ (wa, dan) di awal kalimat mengindikasikan dengan jelas bahwa ayat ini masih merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya (189) yang berbicara soal الأهِلَّةِ (al-aɦillah) dan memasukiالْبُيُوتَ (al-buyūt) melalui pintu yang Allah tunjuk. Urgensi الأهِلَّةِ (al-aɦillah) karena pada 4 (empat) bulan-bulan haram (9:36), perang harus dihentikan—paling tidak untuk sementara—demi menghormati kemuliaan bulan-bulan tersebut. Dan tentu saja, pemegang otoritas tertinggilah (yaitu syaɦīd, saksi ilahi) yang berhak melakukan tindakan itu.
Kedua, penggunaan frasa فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah) memberikan peringatan keras bahwa perintah perang yang dimaksud di ayat ini tidak berlaku pada sebarang perang. Perintah perang hanya berlaku bilamana alasan-alasan syar’i-nya terpenuhi. Lagi-lagi di sini muncul kembali arti penting dan keniscayaan seorang syaɦīd (saksi ilahi); karena dialah yang paling memahami secara menyeluruh dan mendalam hukum-hukum syar’i yang dengannya sebuah perang pantas disebut فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah). Kalau tidak, maka pihak-pihak tertentu, termasuk musuh-musuh Islam, bisa merekrut umat dengan memanipulasi istilah sakral ini untuk mengampu kepentingan hegemonik mereka.
Ketiga, kehadiran anak kalimat الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (al-ladzĭna yuqātilūnakum, orang-orang yang memerangi kalian) adalah sebagai objek dari kata kerja perintah قَاتِلُواْ (qātilū, perangilah). Yakni bahwa perintah perang tidak berlaku pada sebarang objek. Allah hanya mengeluarkan perintah perang untuk menghadapi pihak yang secara terang-terangan mengangkat senjata. Sehingga bisa diartikan bahwa perang dalam Islam adalah bentuk lain dari penegakan hukum qishash. Tetapi karena perang melibatkan jumlah personil yang tidak sedikit dan dengan persenjataan yang lengkap sehingga aparat keamanan (kepolisian) tidak mungkin lagi mengatasinya, maka cara satu-satunya yang bisa ditempuh untuk menghentikan atau menghukum para pelakunya ialah dengan (terpaksa) mengibarkan bendera perang terhadapnya. Bisa dikatakan, di ranah “keamanan” sebutannya قِصَاص (qishāsh, hukuman setimpal), sementara di ranah “pertahanan” sebutannya قِتَال (qitāl, perang mempertahankan diri). Maknanya equivalen, sama-sama memberikan pembalasan yang setara. “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qishāsh. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (2:194)
4). Berperang artinya berusaha untuk saling membunuh. Emosi dan perhitungan rasional cenderung tak diindahkan. Kemanusiaan kadang tak berarti lagi. Tetapi kendati demikian, dalam Islam, aturan perang tetap wajib ditegakkan: وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ [wa lā ta’tadū innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas]. Penggalan ayat ini mengisyaratkan dengan jelas adanya sifat qishāsh di dalam qitāl. Perang dalam Islam adalah menerapkan hukum yang setimpal dan mempertahankan diri.
Makna “melampaui batas” ialah bahwa berperang فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah) itu bukanlah balas dendam, pun bukan bermaksud menghabisi mereka, apalagi membunuh wanita-wanita, anak-anak, oran-orang tua, agamawan, dan mereka yang telah menyerah, tetapi menghentikan kejahatan terorganisir mereka dan mengusir mereka dari tempat-tempat yang telah mereka kuasai. Apabila perang (dalam pengertian mempertahankan diri) ini berubah menjadi balas dendam, bermaksud menghabisi mereka, menodai wanita-wanitanya, membunuh orang-orang yang tidak berdaya, serta mengejar mereka untuk merampas wilayah negeri mereka sendiri, maka perang seperti ini telah berubah menjadi kejahatan pula. Ini bukan lagi defensif, tapi sudah berubah menjadi agresif. Kita telah menyandang predikat agresor dan kolonial. Prilaku kita kembali sama dengan prilaku bejat mereka. Kita telah berbuat “melampaui batas”. Dan Allah memberikan peringatan tegas: إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ (innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas). Sehingga perang seperti itu tidak pantas lagi disebut فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah) kendati alasan pencetusnya berkategori فِي سَبِيلِ اللّهِ (fī sabīlil-lāɦ, di jalan Allah). “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai cacian selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas’.” (HR. Muslim no. 4688)
 5). Hadis Nabi saw.:[Telah menceritakan kepada kami Abu al-Qasim bin Abu az-Zinad berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abu Habibah dari Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah saw apabila mengutus pasukannya beliau bersabda: "Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, kalian berperang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) melawan orang-orang yang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian mengkhianati perjanjian, janganlah kalian curang (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan), janganlah kalian merusak jasad, janganlah kalian membunuh anak-anak dan orang-orang yang mendiami tempat-tempat ibadah."] (Musnad Ahmad no. 2592. Lihat juga Sunan Abu Daud no. 2246, Sunan Tirmidzi no. 1328, Sunan Ibnu Majah no. 2848)
 SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 192
[Kemudian jika mereka berhenti (dari memerangi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.]
1). Karena perang dalam perspektif Islam adalah mempertahankan diri dan menghentikan serangan yang diprakarsai musuh, maka jika tujuan itu telah tercapai, secara otomatis perang (melawan mereka) harus pula dihentikan: فَإِنِ انتَهَوْاْ (fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti--dari memerangi kalian). Coba perhatikan indah dan efektifnya bentukan kalimat dalam Alquran. “Kemudian jika mereka berhenti”, seakan menjadi kalimat yang menggantung. Kalau mereka berhenti, terus apa? Kelanjutan kalimatnya tidak dituliskan karena sudah inheren di dalam tujuan perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) itu. Mafhum bahwa perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) bertujuan menghentikan makar yang sengaja disulut, sehingga jikalau musuh menghentikan makar tersebut, dengan sendirinya perang melawan mereka pun harus dihentikan, tanpa perlu lagi menyebut kelanjutan kalimat itu secara eksplisit.
Tujuan itu sudah terfahami secara saksama oleh pembaca yang mengikuti narasi sejak awal. Kalau tetap dilanjutkan, berarti perang itu telah kehilangan alasan pembenarnya, kehilangan tumpuan rasionalnya, kehilangan dalil syar’inya. Dan perang seperti itu mendadak berubah menjadi makar baru. Itu artinya, Allah menyusun suatu kalimat tidak saja memerhatikan format gramatikanya tapi juga materi (rasionalitas) dari setiap proposisi yang menyusun kalimat tersebut. Secara lengkap, ayat tadi seharusnya berbunyi: “Kemudian jika mereka berhenti dari memerangi kalian maka kalian pun    harus menghentikan permusuhan kalian kepada mereka.” Kita lihat betapa panjangnya sambungan kalimat yang dipotong. “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Alquran ketika datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka). Dan sungguh Aluran itu benar-benar kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji.” (41:41-42)
2). Kata إِن (in, jika) di penggalan ayat فَإِنِ انتَهَوْاْ (fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti--dari memerangi kalian) adalah syarat. Kalau ada syarat berati harus ada juga jawaban atas syarat tersebut. Menurut logika bahasa, jawaban atas syarat hanya wujud manakala syarat tersebut terpenuhi. Sehingga tidak mungkin jawaban atas syarat mendahului  terwujudnya syarat. Dalam hal فَإِنِ انتَهَوْاْ (fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti--dari memerangi kalian), mengindikasikan bahwa perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) hanya boleh berhenti (atau dihentikan) apabila mereka (musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kemanusiaan itu) juga menghentikan perbuatan makarnya atau kejahatan terorganisirnya terhadap kemanusiaan. Kalau tidak, berarti Imam kaum Muslim harus tetap mengerahkan para mujaɦidīn (pejuang fī sabīlil-lāɦ) dengan seluruh tenaga dan potensi yang ada untuk meneruskan perjuangan menghadang gerak laju para penjahat kemanusiaan itu.
Di sinilah pentingnya stok sumber daya (tenaga, spirit, dana, logistik, dan teknologi persenjataan) mendapat perhatian sangat penting dari pemimpin umat. Dan, Islam, sebagai agama yang paripurna, telah mensistematisasi semua itu dengan sangat mencengangkan. Kalau umat Islam KALAH, itu pasti karena ada yang SALAH. Kalau penganut agama Tuhan jadi PECUNDANG, itu pasti karena ada yang jadi MALIN KUNDANG. “Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka ia menerbangkan debu. Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.” (100:1-5)
3). Kendati Allah memandatir hamba yang mengimani-Nya untuk berjuang di pihak-Nya guna menghentikan perang, teror dan sabotase yang dilakukan para pembuat makar. Serta mengizinkan mereka membunuh penjahat-penjahat kemanusiaan itu di medan laga mana saja mereka temui. Tetapi, dalam pada itu, andai para musuh-musuh Allah itu menghentikan permusuhannya, Dia membujuk mereka dengan ungkapan penuh kasih: فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (fa innallāɦa ghafūrur-rāhīm, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang). Ungkapan ini mempertegas kembali tujuan perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah); yaitu bahwa perang dalam Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas dakwah: mengajak mereka kembali kepada kemanusiaan, kepada kebenaran, kepada Allah. Bahkan seandainya pun mereka belum ada keinginan untuk kembali kepada Penciptanya, cukup menghentikan saja dulu perbuatan makarnya, Allah sudah menjanjikan mereka ampunan.
Dan kalau Allah sendiri sudah menyebut diri-Nya غَفُورٌ (ghafūrun, Maha Pengampun), maka Imam kaum Muslim yang di tangannya keizinan berperang itu tergenggam, pun harus memberikan ampunan massal kepada mereka. Inilah yang terjadi pada Nabi Saw saat menaklukkan Mekah (Fathu Makkah); Baginda memberikan ampunan massal kepada penduduk Mekah yang dulu mengusir Beliu dan para sahabatnya serta sejauh ini selalu terdepan di dalam mengangkat senjata melawan manusia suci itu beserta kaum Muslim di Madinah. “Dari Anas (bin Malik) ra, bahwa Ummu Sulaim selalu membawa parang ketika perang Hunain (perang pertama pasca Fathu Makkah, pen.), lalu Abu Thalhah melihatnya sehingga ia pun mengadu: ‘Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim selalu membawa parang.’ Beliau lalu bertanya kepada Ummu Sulaim: ‘Untuk apakah kamu selalu membawa parang?’ Ummu Sulaim menjawab: ‘Jika ada orang Musyrik mendekatiku, maka aku akan membelah perutnya.’ Rasulullah saw tertawa mendengarnya. Ummu Sulaim berkata: ‘Wahai Rasulullah, bunuhlah orang-orang yang anda bebaskan di hari penaklukan kota Makkah, sekarang mereka telah lari dari Anda.’ Maka Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah mencukupi dan memperbaiki’.” (Shahih Muslim no. 3374)
4). Pasangan Nama Allah غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ghafūrur-rāhīm, Maha Pengampun Maha Penyayang)—termasuk yang disertai kata sandang ال (al)—muncul 76 kali dalam Alquran, dan hanya sekali bertukar posisi, yaitu di 34:2; “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang Maha Pengampun.” Keterlebihdahuluan Nama غَفُورٌ (ghafūrun, Maha Pengampun) atas Nama رَّحِيمٌ (rāhīmun, Maha Penyayang) seakan hendak mengungkap rahasia pengetahuan Allah bahwa manusia makhluk ciptaan-Nya itu sangat rentan terhadap noda dan dosa, terhadap khilaf dan salah. Untuk meminimalisir teraktualisasinya potensi itu, Allah lalu memilih orang-orang suci dari kalangan manusia sendiri guna mendemonstrasikan kepada mereka bagaimana caranya berfikir, berkata, dan bertindak tanpa salah dan dosa. Tetapi andaipun manusia itu pada awalnya menentang dan memalin-kundangi orang-orang suci tersebut, bahkan mengangkat senjata untuk membunuhnya, namun kemudian berhenti memanipulasi kebenaran yang datang dari langit seraya menyadari kekhilafannya selama ini, Allah dengan segala sifat welas asih-Nya menerimanya dengan tangan terbuka.
Karena Dia adalah غَفُورٌ (ghafūrun, Maha Pengampun). Dan umat Islam yang selama ini teraniaya oleh horor rekayasa mereka itu, pun harus membuka diri untuk berlapang dada menerima mereka sebagai saudara, walaupun berbeda keyakinan dan ideologi. Cuma alangkah baiknya jikalau mantan musuh Allah dan kemanusiaan tersebut melangkah lebih jauh lagi, yakni kembali ke pangkuan Penciptanya, mengimani-Nya, mengibadahi-Nya, dan menyatui-Nya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah akan merasakan kepadanya nikmat رَّحِيمٌ (rāhīmun, Maha Penyayang)-Nya. “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (4:110)
 5). Hadis Nabi Saw.: [Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Syaiban dari Yahya telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata; Khuza'ah membunuh seorang laki-laki dari Bani Laits pada saat Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekah) karena terbunuhnya seorang laki-laki dari mereka oleh Bani Laits. Maka peristiwa itu pun dikabarkan kepada Rasulullah saw. Beliau bergegas menaiki kendaraannya, kemudian menyampaikan khutbah seraya bersabda: “Allah telah melindungi kota Mekah dari serangan tentara gajah serta memberi kekuatan kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman untuk mempertahankannya. Tidak seorang pun yang boleh berperang di negeri ini. Larangan itu telah ada sejak dahulu. Dan juga tidak dibolehkan bagi orang-orang yang sesudahku. Namun, hanya dikecualikan kepadaku untuk sesaat di siang hari. Dan pada waktu ini telah kembali menjadi haram. Tidak boleh dipotong pohon berdurinya, tidak boleh ditebang pepohonannya, dan jangan dipungut barang-barang yang hilang tercecer kecuali untuk diumumkan. Siapa yang anggota keluarganya terbunuh, dia mempunyai dua pilihan yang baik, yaitu menerima uang tebusan (diyat) atau atau meminta agar si pembunuh dibunuh.” Kemudian datanglah seorang laki-laki dari penduduk Yaman yang namanya Abu Syahin, ia berkata, “Tuliskanlah untukku ya Rasulullah.” Maka beliau pun bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syahin.” Lalu seorang laki-laki dari Quraisy berkata: “Kecuali al-Idzkhir, karena kami menggunakannya di rumah dan kuburan kami.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Melainkan Al Idzkhir.”] (Shahih Muslim no. 2415. Lihat juga Sunan Tirmidzi no. 737)
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 193
[Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ad-dīn (agama itu hanya) untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada (lagi) permusuhan (antara kalian dan mereka), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.]
1). Ayat 192 bercita rasa penutup pembahasan tentang perang. Tetapi kini, perintah itu datang lagi. Apa sesungguhnya yang terjadi? Perhatikan kembali ayat sebelumnya: فَإِنِ انتَهَوْاْ (fa-in intaɦaū, kemudian jika mereka berhenti—dari memerangi kalian), maka ampunan Allah bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana kalau mereka tidak ada niatan untuk berhenti? Atau sudah pernah berhenti tapi kumat lagi? Ya, tidak ada pilihan lain: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ [wa qātilūɦum hattā lā takūna fitnatun wa yakūnad-dīnu lillāɦi, dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ad-dīn (agama itu hanya) untuk Allah]. Perang harus berlanjut, karena “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai”. Lebih mulia mati syahid daripada mencium kaki penindas.
Kehidupan adalah ujian, kematian adalah kepastian. Penindas dan yang ditindas sama-sama mengikuti ujian persamaan. Penindas dan yang ditindas sama-sama akan mati, yang beda hanya waktunya. Sehingga tidak ada alasan untuk takut mati. Menoleransi kejahatan hanya akan memperluas ruang gerak kejahatan tersebut. Dan sama dengan membiarkan korban terus berjatuhan. Padahal, secara psikologis, tiap orang yang terzalimi jiwanya pasti berteriak minta perlindungan dan pertolongan. Firman-Nya: “Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah padahal kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah) dari kalangan bapa-bapa, ibu-ibu maupun anak-anak, semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, juga berilah kami penolong dari sisi-Mu!’.” (4:75)
2). Karena perang itu menimbulkan fitnah, kerusakan sistem, maka hanya dengan menghentikan perang yang disulut para penjahat kemanusiaan itulah fitnah bisa dienyahkan dan sistem bisa ditata kembali. Untuk itu, perang harus diteruskan sampai tiada lagi fitnah yang racunnya menyeruak ke dalam darah daging masyarakat: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ (wa qātilūɦum hattā lā takūna fitnatun, dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah). Jadi kalau puasa dimulai dengan WAKTU dan disudahi dengan WAKTU (baca ayat 187), maka perang dimulai dengan KEADAAN dan diakhiri dengan KEADAAN. Yaitu dimulai oleh keadaan MENYERANG, saat penjahat kemanusiaan mengangkat senjata dan menyatakan perang, kemudian disudahi oleh keadaan GENCATAN SENJATA, saat mereka menghentikan serangannya dan meninggalkan wilayah dan/atau negara yang mereka duduki.
Maka dari itu, diantara ayat yang paling banyak kita jumpai di dalam Alquran ialah ayat-ayat tentang perang, jauh melebihi ayat-ayat tentang salat-puasa-zakat-haji. Karena inti penegakan sistem ada di sana. Musuh-musuh kemanusiaan tidak takut kepada orang yang beribadah (salat-puasa-zakat-haji) namun kehilangan ideologi dan semangat jihadnya. Kalau perlu mereka membantu pembangunan masjid mewah, memobilisasi kebutuhan pokok bulan Ramadlan, membangun lembaga pengumpul zakat-infak-sedekah yang profesional, memfasilitasi pelaksanaan haji dan umrah. Yang mereka takuti ialah bersatunya umat Islam lantas berbicara soal perlunya menyingkirkan pelbagai bentuk penindasan, diskriminasi, dan neokolonialisme. Mereka lantas menstigmatisasi istilah JIHAD dengan memelihara sekelompok kecil orang yang di dalam nama kelompoknya ada kata jihad lalu membuat makar di sana-sini. Mereka, karenanya, mendorong terbentuknya sebanyak mungkin ormas dan sekte, lalu mereka pelihara semuanya dengan baik, karena dengan begitu mereka bisa mengadu-domba satu sama lain. Mereka bisa menjepit posisi umat Islam ke dalam dilema-dilema. “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah . Jika mereka berhenti (dari memerangimu), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (8:39-40)
3). Sebegitu gigihnyakah Islam dalam memerangi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan? Betul. Sebab Islam adalah kemanusiaan itu sendiri. Pecinta kemanusiaan sejati adalah pembenci kejahatan terhadap kemanusiaan. Cinta dan benci adalah dua sisi dari satu mata uang. Tanpa salah satunya, maka yang satunya pun tidak bernilai sama sekali. Kalau tidak begitu, lalu apa artinya cinta? Pihak mana saja yang mengusung nama Islam tetapi tidak ramah terhadap nilai-nilai kemanusiaan—seperti toleran, cinta, kasih sayang, kompetisi, keadilan, pendidikan, keterbukaan—yang bersifat universal itu, maka itu bukan “atas-nama Islam”, melainkan “meng-atas-nama-kan Islam”. Terhadap para pembuat makar, perang harus tetap diasaskan, agar: وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ [wa yakūnad-dīnu lillāɦi, dan (sehingga) ad-dīn (agama itu hanya) untuk Allah].
Apa maksudnya agama untuk Allah? Apakah Allah butuh agama? Kata “untuk” di situ adalah dalam maknanya sebagai “milik”. Agama itu milik Allah, dan bukan milik siapa-siapa. Tujuan filosofis dari penggalan ayat ini ialah bahwa klaim individu harus dinegasi. Karena dari klaim individu itulah lantas berkembang menjadi formula khauvinis (sempit): primordialisme, sektarianisme, parokialisme, institusionalisme, hingga nasionalisme. Benturan dan perang terjadi setelah formula khauvis ini mengalami proses radikalisasi. Agama bisa ‘dijadikan’ sebagai salah satu katalisator yang mengerikan. Inilah yang menerangkan kenapa sering terjadi perang yang “meng-atas-nama-kan agama”.
Islam harus memerangi semua itu. Karena Islam datang untuk mengembalikan agama pada proporsinya, yaitu: الدِّينُ لِلَّهِ (ad-dīnu lillāɦi, agama milik Allah semata)—bukan milik saya, bukan milik Anda, bukan milik mereka. Kematian saya, kematian Anda, kematian mereka, tidak menyebabkan kematian agama. “Tidak ada paksaan untuk dalam ad-dīn (agama); (karena) sungguh telah jelas jalan-benar daripada jalan-sesat. Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (penindas dan pelaku kejahatan lainnya) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (2:256)
4). Lagi-lagi Allah menekankan bahwa perang fī sabīlil-lāɦ (di jalan Allah) tidak dimaksudkan untuk melampiaskan amarah dan kebencian kepada pihak-pihak tertentu. Kebencian kepada pelaku kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari cinta terhadap kemanusiaan. Maka Allah mengulangi kembali maklumat yang telah Dia umumkan di ayat sebelumnya: فَإِنِ انتَهَوْا [fa-in intaɦaū, jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian)] dengan tambahan: فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ [falā ‘udwāna illā ‘alāzh-zhālimīn, maka tidak ada (lagi) permusuhan (antara kalian dan mereka), kecuali terhadap orang-orang yang zalim]. Ingat, pembahasan kita soal perang ini bermula dari perintah Allah di ayat 190: وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ (wa qātilū fī sabĭlillāɦi al-ladzĭna yuqātilūnakum, dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian). Artinya penyulut pertama perang dan permusuhan adalah mereka (musuh-musuh kemanusiaan), bukan kaum Muslim. Sehingga, logikanya, apabila mereka sudah menghentikan perang dan permusuhan tersebut, bukan saja perlawanan terhadapnya yang harus dihentikan tetapi juga permusuhan.
Terusan إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ (illā ‘alāzh-zhālimīn, kecuali terhadap orang-orang yang zalim) adalah pertanda selesainya tugas kemiliteran (pertahanan) dan selanjutnya penyerahan tugas kepada kepolisian (keamanan). Bila sistem sudah kembali tegak dan pranata sosial sudah bekerja dengan benar seperti sediakala, tidak berarti bahwa dengan sendirinya kejahatan individual pun musnah. Selama yang menghuni suatu komunitas itu masih manusia yang punya hawa nafsu maka selama itu pula potensi kejahatan tetap ada. Kini saatnya sistem keamanan diperbaiki guna meredam peluang teraktualisasinya potensi (keburukan) tersebut. Jika mereka mengaktualisasikannya, yakni melakukan kezaliman, maka aparat penegak hukum harus bertindak, kebenaran harus bicara, keadilan harus ditegakkan. “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (Tapi) jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, supaya mereka berhenti.” (9:11-12)
5). Hadis Nabi saw.: [Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar ra(ma) bahwa dua orang laki-laki mendatangi Ibnu Jubair mengadukan perihal fitnah yang menimpa Ibnu Jubair, keduanya berkata: “Sesungguhnya orang-orang telah berbuat sesuatu kepadanya, sedangkan kamu wahai Ibnu Umar sebagai sahabat Rasulullah saw, apa yang menghalangimu tidak ikut campur dalam urusan ini?” Ibnu Umar menjawab: “Yang menghalangiku ialah karena Allah telah mengharamkan darah saudara Muslim.” Lalu keduanya berkata: “Bukankah Allah telah berfirman: ‘Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah?’.” (2:193) Maka Ibnu Umar menjawab: “Kami telah berperang hingga fitnah itu tidak ada lagi dan dīn (agama) ini sudah menjadi milik Allah. Sedangkan kalian menginginkan peperangan hingga terjadi fitnah dan dīn (agama) ini menjadi bukan milik Allah.
Utsman bin Shalih menambahkan dari Ibnu Wahhab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Fulan dan Haiwah bin Syuraih dari Bakr bin Amru al-Ma'afiri bahwa Bukair bin Abdullah telah menceritakan kepadanya dari Nafi' bahwa seseorang menemui Ibnu Umar seraya berkata: “Wahai Abu Abdurrahman apa yang menghalangimu untuk berhaji dan berumrah pada tahun ini dan kamu meninggalkan jihad di jalan Allah padahal kamu tahu bahwa Allah sangat menganjurkan hal itu?” Ibnu Umar menjawab: “Wahai anak saudaraku, Islam ini dibangun atas lima dasar: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, salat lima waktu, puasa di bulan Ramadlan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah.” Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, apakah kamu tidak mendengar apa yang disebutkan Allah di dalam kitabnya: ‘Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali pada perintah Allah’ (49:9).” (Juga firman Allah) “Perangilah mereka hingga tidak ada fitnah.” (2:193) Ibnu Umar menjawab: “Kami telah melakukan hal itu pada masa Rasulullah saw ketika Islam masih sedikit sehingga seseorang dari kami di-fitnah karena agamanya, baik dengan dibunuh maupun disiksa sampai Islam semakin menyebar dan tidak ada lagi fitnah.” Orang itu berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu tentang Utsman dan Ali?” Ibnu Umar menjawab: “Adapun Utsman, maka Allah telah memaafkannya sedangkan kalian telah membenci untuk memaafkannya. Sedangkan Ali, dia adalah sepupu Rasulullah saw dan menantunya.” Lalu dia mengisyaratkan dengan tangannya seraya berkata: “Inilah rumahnya sebagaimana kamu lihat.”] (Shahih Bukhari no. 4153)
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 194
 [Bulan haram dengan bulan haram, dan pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh. Maka barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.]
1). Munculnya kembali masalah qishāsh di ayat ini menunjukkan bahwa pembahasan kita selama ini belum ke mana-mana, belum keluar dari subjek utamanya, masih tentang pembangunan masyarakat madani, yang dibangun di atas dua tonggak sosiologis: الْبِرّ (al-birr)—sebagai watak personalnya (ayat 177)—dan الْقِصَاصُ (al-qishāsh)—sebagai pranata sosialnya (ayat 178). Untuk melahirkan watak personal yang memiliki kemampuan menangkal pelbagai kejahatan individual, صِيَام (shiyām, puasa)—perang melawan kejahatan diri—adalah instrumennya (ayat 183). Sementara untuk membangun pranata sosial yang memiliki kemampuan menangkal pelbagai kejahatan komunal, قِتَال (qitāl, perang)—perjuangan melawan kejahatan sosial—adalah perangkatnya (ayat 190). Ayat yang kita bahas sekarang (194) kembali menekankan—dan sekaligus semacam inti sari—bahwa qitāl itu ialah bentuk terapan lain dari qishāsh. Maka bagian pertama ayat ini berbicara tentang pemaknaan ulang qishāsh, sedangkan bagian keduanya membincang soal momentum diterapkannya qitāl. Karena baik qishāsh ataupun qitāl adalah sama-sama demi kemaslahatan manusia dan kemanusiaan, bukan demi kemaslahatan kelompok tertentu saja, maka pelaksanaan keduanya harus tetap berada dalam koridor takwa kepada Allah. Selama semuanya dilaksanakan dalam koridor takwa, pada hakikatnya itu bukan lagi perbuatan “kalian”, tetapi perbuatan Allah. “Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, sementara Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (45:19)
2). Bulan haram adalah bulan-bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Arab pra-Islam, semua pihak menghormati bulan-bulan tersebut. Ini diantara tradisi lama yang dipertahankan, bahkan diadopsi, oleh Islam. Melalui pengadopsian ini, Allah mengajarkan bahwa tidak semua tradisi lama patut dicap “ketinggalan jaman” dan karenanya harus ditinggalkan. Menurut 9:36, bulan-bualan haram itu ada 4 (empat), yang kemudian oleh Rasulullah saw dipertegas kembali nama-namanya: Zulqaiddah (bulan ke-11), Zulhijjah (bulan ke-12), Muharram (bulan ke-1), dan Rajab (bulan ke-7). Salah satu bentuk penghormatan yang paling masyhur pada masa itu ialah larangan berperang. Kalaupun perang sudah terlanjur berkobar, maka begitu tiba bulan-bulan haram, gencata senjata harus diberlakukan, senjata-senjata harus digantung. Pedang-pedang harus disarungkan. Itu telah menjadi semacam hukum adat yang mengikat seluruh unsur dan anggota masyarakat.
Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan saat itu hendak mengecoh Nabi dan para sahabatnya dengan memanfaatkan bulan-bulan haram tadi. Mereka tahu bahwa Nabi suci itu paling patuh memegang perjanjian; pasti para pengikutnya dilarangnya membawa senjata. Sayangnya, mereka lupa bahwa Islam adalah logika kemanusiaan: kemuliaan manusia jauh lebih tinggi ketimbang kemuliaan bulan. Bagi Islam, semua hukum dan peraturan dibuat justru dalam rangka memuliakan harkat dan martabat manusia. Sebelum mereka sempat melaksanakan niat jahatnya, Allah terlebih dahulu mewahyukan kepada Nabi-Nya: الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ (asy-syaɦrul harām bisy-syaɦril harām wal-hurumātu qishāshun, bulan haram dengan bulan haram, dan pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh). Kata kunci dari penerapan hukum qishāsh ialah: وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ (wal-hurumātu qishāshun, dan pada hal-hal yang terhormat berlaku hukum qishāsh). Jadi, apa saja yang dihormati oleh manusia, padanya berlaku hukum qishāsh. Inilah prinsip keadilan yang sesungguhnya. “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: ‘Berperang pada bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (lagi dosanya) di sisi Allah . Dan fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antaramu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (2:217)
3). Setelah sebelumnya menerangkan filosofi hukum qishāsh, selanjutnya Allah mengajarkan amalan praktisnya: فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ (famani’tadā ‘alaykum fa’tadū ‘alayɦi bimitsli mā’tadā ‘alaykum, maka barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu). Kita sekarang sudah mendapatkan tiga terma perlawanan. Di ayat 190, Alquran menggunakan kata kerja perintah: قَاتِلُواْ (qātilū, perangilah). Di ayat 191, yang digunakan ialah kata kerja perintah: اقْتُلُو (uqtulū, bunuhlah). Di ayat 194 ini, Allah memerintahkan kaum Muslim dengan kata: اعْتَدُوا (i’tadū, seranglah). Sebetulnya kita juga sudah bertemu rumpunan kata اعْتَدُوا (i’tadū, seranglah) ini di ayat 190; saat itu Allah mengatakan begini: لاَ تَعْتَدُواْ (lā ta’tadū) yang diterjemahkan dengan “jangan melampaui batas”. Dari sisi perubahan kata kerja, keduanya sama, kecuali bahwa di ayat 194 ini dalam bentuk perintah (amr), sementara yang di ayat 190 dalam bentuk larangan (naɦyi). Lalu kenapa artinya berbeda? Sebenarnya tidak. Secara etimologi, “menyerang” adalah “perbuatan melampaui batas”. Itu sebabnya di ayat 190 ditegaskan: إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ (innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas). Oleh karena itu Allah melarangnya. Tetapi karena Islam—baik perintah maupun larangannya—selalu ada pintu daruratnya, maka jika pihak musuh “menyerang” atau “melampaui batas” (dalam hal ini melanggar kemuliaan bulan-bulan haram) terlebih dahulu, Imam kaum Muslim juga diperintah untuk melakukan hal yang sama demi melindungi kemuliaan manusia dan kemanusiaan. Dengan catatan penting: بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ (bimitsli mā’tadā ‘alaykum, seimbang dengan serangannya terhadapmu). Kalau serangan balik melebihi serangan mereka, itu bukan qishāsh lagi. Itu adalah balas dendam. Sedangkan pemiliki dendam tidak punya tempat di Surga. “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (15:47)
4). Agar “serangan” balik tidak berkategori “melampaui batas”, maka dalam suasana seperti itupun Allah tetap mewanti-wanti kaum Muslim agar tetap memelihara sifat-sifat takwa: وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (wattaqūllāɦa wa’lamū annallāɦa ma’al-muttaqīn, bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Pesan ini juga menyiratkan bahwasanya Imam kaum Muslim itu ialah figur yang berada di puncak derajat ketakwaan sehingga pantas menyandang gelar “Imamul Muttaqīn”, agar peluang berbuat “melampaui batas”, sekecil apapun, tertutup. Semakin rendah derajat ketakwaan seorang pemimpin semakin besar juga peluangnya melakukan perbuatan-perbuatan yang “melampaui batas”, dan Allah semakin menjauh pula dari padanya. Karena, وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (wa’lamū annallāɦa ma’al-muttaqīn, dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Sebaliknya, إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ (innal-lāɦa lā yuhibbul-mu’tadīn, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas). Kalau pemimpinnya saja kurang atau bahkan tidak bertakwa, dapat kita bayangkan bagaimana pula dengan pengikutnya di bawah. Kalau pemimpinnya “mengancam”, umatnya pasti dengan gampang dan tampa merasa bersalah melakukan perbuatan-perbuatan ini: “melempar”, “membakar”, dan “membunuh”. “Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kalian (kaum musyrik) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrik yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhimu; maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya . Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (9:3-4)
5). Hadis Nabi saw.: [Telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Yahya Abu as-Sukain berkata, telah menceritakan kepada kami al-Muharibi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Suqah dari Sa'id bin Jubair berkata: “Aku pernah besama Ibnu Umar saat dia terkena ujung panah pada bagian lekuk telapak kakinya. Dia lalu merapatkan kakinya pada tunggangannya, lalu aku turun dan melepaskannya. Kejadiaan itu terjadi di Mina. Kemudian peristiwa ini didengar oleh al-Hajjaj, maka dia pun menjenguknya seraya berkata; ‘Seandainya kami ketahui siapa yang membuatmu terkena mushibah ini!’ Maka Ibnu Umar menyahut; ‘Engkaulah yang membuat aku terkena mushibah ini.’ Al-Hajjaj berkata; ‘Bagaimana bisa!’ Ibnu Umar menjawab: ‘Engkau yang membawa senjata di hari yang tidak diperbolehkan membawanya. Dan engkau pula yang membawa masuk senjata ke dalam Masjidil Haram padahal tidak diperbolehkan membawa masuk senjata ke dalam Masjidil Haram pada hari ini’."] (Shahih Bukhari no. 913)
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 195
 [Dan infakkanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, (karena) sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.]
1). Masalah perang untuk pertama kali dibicarakan di ayat 190, permulaan ayatnya berbentuk perintah: وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ (wa qātilū fī sabĭlillāɦi, dan perangilah di jalan Allah). Kemudian untuk sementara tema perang dihentikan di ayat 195 ini, dan permulaan ayatnya pun berbentuk perintah: وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ (wa anfiqū fī sabĭlillāɦi, dan berinfaklah di jalan Allah). Apa yang bisa kita tangkap dari kedua permulaan ayat itu? Karena keduanya muncul di awal dan akhir rangkaian ayat yang membincang soal perang, bisa dipastikan keduanya mempunyai makna yang paralel. Kata وَقَاتِلُواْ (wa qātilū) bermakna “berjihadlah dengan jiwa kalian”, sementara kata وَأَنفِقُوا (wa anfiqū) bermakna “berjihadlah dengan harta kalian”. Kesempurnaan perjuangan manakala melibatkan keduanya secara padu, sebagaimana firman Allah (61:11): وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ (wa tujāɦidūna fī sabīlillāɦi bi amwālikum wa anfusikum, dan berjihad(lah) di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian).
Perang diasaskan adalah dalam rangka melindungi jiwa dan harta benda warga suatu komunitas, termasuk aset-aset negara yang ada di dalamnya. Pada saat yang sama, perang tidak bisa berjalan tanpa dukungan personil (jiwa) dan logistik (harta benda). Maka indikasi kesadaran bela negara bisa dilihat dari dua sisi sekaligus: semangat mengorbankan jiwa, dan semangat mengorbankan harta benda. Jikalau kedua hal itu tidak ada, jangan berharap sebuah komunitas bisa eksis tanpa sokongan pihak musuh-musuhnya sendiri. Dan eksistensi semacam itu niscaya tidak dalam makna “tegak dan tegar dengan penuh percaya diri.” Renungkan ayat ini dalam-dalam: “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah hendak mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir. Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): ‘Berimanlah kalian kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang mempunyai kelapangan (harta) di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: ‘Biarkanlah kami tetap bersama orang-orang yang tinggal.Mereka rela tetap bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung.” (9:85-88)
2). Setelah memahami arti pentingnya infak kaitannya dengan jihad fī sabīlillāɦ, penggalan berikut dari ayat 195 ini seharusnya dengan mudah juga difahami: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (wa lā tulqū bi aydīkum ilāt-taɦlukati, dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan). Keengganan untuk membelanjakan harta di jalan Allah, lambat laun, hanya akan merendahkan martabat suatu komunitas, bahkan pada akhirnya, membinasakannya. Pada awalnya mereka dilemahkan dari berbagai sisi, kemudian diadu domba dan dicerai-beraikan (ingat adagium: divide and rule, pecah-belah dan kuasai), lalu karena kemiskinan dan kebodohan, dimunculkan pemimpin-pemimpin dan kelompok-kelompok bayaran untuk saling membunuh satu sama lain. Ending-nya, mereka (musuh-musuh, harimau-harimau lapar itu) datang melakukan finishing-touch (sentuhan akhir). Namanya saja touch (sentuhan), tidak perlu mengorbankan banyak nyawa dan dana. Ibarat pohon yang sudah dikampak sendiri oleh pemiliknya, maling datang tinggal menyentuhnya pakai telunjuk, dengan sekedip mata pohonnya langsung roboh.
Penggalan ayat ini, dengan begitu, hendaknya menyadarkan semua pihak di dalam tubuh umat Islam bahwa infaq (mendonasikan harta di jalan Allah), peruntukan pertama dan utamanya ialah demi terbangun dan berdirinya pohon keumatan. Dan karena pemimpin umat adalah ulama pewaris Nabi, maka pemegang otoritas dalam penerimaan dan pengelolaan infaq juga mereka. Apabila ini tidak dilakukan, maka sama saja dengan melucuti senjata ulama di medan perang. Buntutnya, ulama dengan mudah didikte oleh pihak-pihak yang justru tidak menghendaki pohon itu berdiri tergak. “Berangkatlah kalian (ke medan perang) baik dalam keadaan ringan ataupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kalian mengetahui. Kalau yang kamu (Muhammad) serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu’. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (9:41-42) Maka janganlah kalian mengikuti orang-orang kafir itu, dan berjihadlah melawan mereka melalui (petunjuk) Alquran dengan jihad yang besar.” (25:52)
3). Selanjutnya: وَأَحْسِنُوا (wa ahsinū, dan berbuat baiklah). Kata kerja perintah ini seasal dengan terma yang sangat terkenal: حَسَنَة (hasanah, kebaikan); lawannya: سَيِّئَة (sayyiah, keburukan). Artinya, membelanjakan harta di jalan Allah demi tegak berdirinya pohon keumatan tadi adalah suatu kebaikan; sebaliknya, berpangku tangan, menjadi penonton yang pasif, adalah suatu keburukan. Dan penilaian Allah tentang حَسَنَة (hasanah, kebaikan) dan سَيِّئَة (sayyiah, keburukan) ini ialah: “Barangsiapa yang membawa kebaikan maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa keburukan maka dia tidak diberi balasan melainkan sebanding dengan keburakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (6:160)
Dengan demikian, bisa difahami, bahwasanya berinfak di jalan Allah, yakni berbuat حَسَنَة (hasanah, kebaikan) sama dengan menggerakkan progresifitas umat sebesar 10 (sepuluh) kali lipat. Sungguh luar biasa. Sementara tidak berbuat apa-apa sudah sama dengan keburukan itu sendiri, walaupun nilainya hanya 1 (satu). Keburukan-keburukan itulah yang kelak menggerogoti pohon keumatan hingga mencapai titik kebinasaannya. Sangat wajar kalau di dalam ayat tentang perang, tiba-tiba Allah mengeluarkan perintah untuk berbuat baik. Sehingga mengertilah kita sekarang makna daripada doa sapu jagat yang paling sering dan paling banyak dipanjatkan (2:201): رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (rabbanā ātinā fid-dun’yā hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan wa qinā ‘adzāban-nār, wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka).
4). Orang yang berbuat حَسَنَة (hasanah, kebaikan) disebut الْمُحْسِنِينَ (al-muhsinīn). Dan siapakah penghulu dari kaum muhsinīn itu? Tentu para nabi dan umatnya yang patuh, terutama Nabiullah Ibrahim as: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan حَسَنَة (hasanah, kebaikan) bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (perjumpaan dengan) Allah dan (keselamatan pada) Hari Akhir. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kaya Maha Terpuji.” (60:6) Begitu dzurriyat (keturunan) Nabi Ibrahim yang paling agung, Rasulullah Muhammad saw. Cermatilah petunjuk Allah ini: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan حَسَنَة (hasanah, kebaikan) bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (perjumpaan dengan) Allah dan (keselamatan pada) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah.” (33:21)
Jadi sama sekali tidak tepat jikalau membaca doa sapu jagat tadi sambil membayangkan figur-figur duniawi yang berhasil mengumpulkan sejumlah besar harta benda atau menduduki jabatan-jabatan penting dengan mengandaikan حَسَنَة (hasanah, kebaikan) bersama mereka. Berdasarkan ayat-ayat yang barusan dikutip, sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad-lah yang harus dirujuk oleh pikiran pada saat memanjatkan doa sapu jagat tersebut kepada Allah. Dan pikiran saat itu membayangkan pengorbanan keduanya di dalam berjuang menegakkan pohon agama tauhid. Barulah nyambung antara doa yang dibaca (Alquran), yang membaca doa (orang beriman), dan yang dipintai doa (Allah swt). Setelah begitu, penutup ayat 195 ini baru terasa proporsional: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (innallāɦa yuhibbul-muhsinīn, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik). “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (3:133-134) “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya'qub kepadanya (Ibrahim). Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (6:84)
5). Hadis Nabi saw. : [Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Zubair telah menceritakan kepada kami Syaiban—dalam jalur lain—Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim—lafazh juga miliknya—telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepadaku Syaiban bin Abdurrahman dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw bersabda: “Barngsiapa yang berinfak sepasang kuda perang fī sabīlillāɦ (untuk membela agama Allah), maka ia akan dipanggil kelak oleh penjaga surga, bahkan setiap penjaga pintu surga mengatakan, ‘kemarilah’.” Kemudian Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, itulah orang yang tidak ada kebinasaan baginya.” Rasulullah saw bersabda: “Sungguh, saya berharap kamu termasuk salah seorang dari mereka.”] (Shahih Muslim no. 1706)
[Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amr bin as-Sarh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Haiwah bin Syuraih, dan Ibnu Luhai'ah, dari Yazid bin Abu Habib, dari Aslam Abu Imran, ia berkata; Kami pergi berperang dari Madinah menuju Konstantinopel, dan kami dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, sementara orang-orang Romawi menempelkan punggung mereka pada dinding kota. Kemudian terdapat seseorang yang menyerbu musuh, lalu orang-orang berkata: Tahan, tahan! Lā ilāha illāllāɦ, ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan. Kemudian Abu Ayyub berkata: Sesungguhnya ayat ini turun mengenai kami, orang-orang Anshar. Tatkala Allah membela Nabinya dan memenangkan Islam, kami berkata: Mari kita mengurusi harta kita dan memperbaikinya. Kemudian Allah ta'ala menurunkan ayat: “Dan infakkanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (2:195) Menjatuhkan diri sendri ke dalam kebinasaan adalah mengurusi harta kami dan memperbaikinya serta meninggalkan jihad. Abu Imran berkata: Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah hingga ia dikuburkan di Konstantinopel.] (Sunan Abu Daud no. 2151). (Bila tertarik dengan pengembangan tafsir al-Barru, Anda bisa membantu dengan mendonasi ke sumber: http://www.tafsir-albarru.com).
Dengan akhlak seperti itu, bahkan kerajaan Romawi dan Persia pun takluk di tangan Islam. Itu bukan dari pembantaian. Tapi dari akhlak Islam yang indah dan Rahmatan lil ‘Alamin. Rahmat Semesta Alam. Negara-negara jajahan Romawi dan Persia lebih senang berada di bawah Negara Islam karena jizyah (Pajak) yang mereka bayar ke pemerintah Islam jauh lebih kecil daripada pajak mencekik yang ditarik oleh Kerajaan Romawi dan Persia. Jizyah itu pun bukan pemerasan. Tapi dipakai untuk membiayai pasukan perang guna melindungi keamanan mereka dari serangan musuh.

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan penggalian khandaq, ternyata ada sebongkah batu sangat besar menghalangi penggalian itu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit mengambil kapak tanah dan meletakkan mantelnya di ujung parit, dan berkata: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Terpecahlah sepertiga batu tersebut. Salman Al-Farisi ketika itu sedang berdiri memandang, dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Pecah pula sepertiga batu itu, dan Salman melihat lagi kilat yang memancar ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul batu tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul sekali lagi dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan untuk ketiga kalinya, batu itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk. Salman berkata: “Wahai Rasulullah, ketika anda memukul batu itu, saya melihat kilat memancar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai Salman, engkau melihatnya?” Kata Salman: “Demi Dzat Yang mengutus anda membawa kebenaran. Betul, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika saya memukul itu, ditampakkan kepada saya kota-kota Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Para shahabat yang hadir ketika itu berkata: “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumahrumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian saya memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepada saya kota-kota Kaisar Romawi dan sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian pada pukulan ketiga, ditampakkan kepada saya negeri Ethiopia dan desa-desa sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Lalu beliau berkata ketika itu: “Biarkanlah Ethiopia (Habasyah) selama mereka membiarkan kalian, dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kalian.” Selain itu apa maksud di dalam tulisan yang di block tebal ini? Ini ada hubungannya pula dengan perkara akhir zaman.

Bagaimana dengan Bom Bunuh Diri dan Saling Membunuh antara Muslim
Nah apa bedanya para pembom bunuh diri? Meski ceritanya berperang melawan musuh, namun dia membunuh dirinya karena bisa jadi takut disiksa atau dibunuh musuh. Bukankah dia bisa mencari senjata yang bisa membunuh musuh tanpa harus membunuh dirinya sendiri seperti dengan pedang, panah, pistol, senapan, rudal, dan sebagainya?

Mengenai bom bunuh diri, ini adalah hal yang syubhat. Sebagian ulama membolehkannya dan memberi nama bom istisyhad, sedang ulama lain mengharamkannya karena bunuh diri adalah dosa:

Mengapa ada bom bunuh diri?
Aksi bom bunuh diri, akhir-akhir ini semakin sering terjadi dan. memunculkan pro-kontra. Lebih-lebih lagi, Amerika menuding, Islam berada di balik sejumlah aksi teroris. Ironisnya, sebagian besar negara-negara di dunia (tidak terkecuali negara yang mayoritas berpenduduk muslim), terkesan mengamini tudingan itu.

Aksi terorisme dengan menggunakan metode bom bunuh diri menjadi fenomena mencolok dalam satu tahun terakhir ini. Model ini memasuki tahap yang cukup menakutkan masyarakat dunia. Dulu, aksi bom bunuh diri hanya dikenal dalam khalayak Timur Tengah. Biasanya, yang jadi sasaran aksi adalah satu wilayah komunitas Israel dan sekutunya.

Tapi belakangan, aksi bom bunuh diri sudah menjamah Indonesia. Ini menjadi menarik dan merupakan fenomena tersendiri. Mengapa? Adalah aksi bom bunuh diri di Paddy’s Club, Bali setahun lalu yang kemudian menjadi perhatian dunia (lebih-lebih Amerika Sekerikat) hingga sekarang. Dan yang terakhir, aksi bom bunuh diri di Hotel Marriott, Jakarta, 5 Agustus lalu.
Bom bunuh diri di beberapa negara tiga bulan terakhir ini, sungguh mengerikan. Sebab ternyata, diantara pelakunya adalah, dua perempuan seperti yang terjadi di Bandara Tushino, Moskow, Rusia. Ia melakukan bom bunuh diri di tempat penjualan tiket di pintu masuk bandara pada konser terbuka yang dipadati pengunjung. Akibatnya, 20 orang tewas dan 22 lainnya luka parah. Di Riyadh, Arab Saudi, 29 tewas dan 194 luka-luka dalam tiga aksi bom bunuh diri, termasuk sembilan pelaku peledakan bom.

Aksi bom bunuh diri lain juga sering terjadi di Israel dan pos-pos militer tentara AS. Seperti bom bunuh diri yang meledak di pos pemeriksaan militer di Hotel Palestina , Baghdad , Iraq. Dalam ledakan tersebut empat orang tewas. Bom bunuh diri juga menjalar ke Turki dan Maroko. Terakhir bom bunuh diri di kantor PBB di Iraq dan menewaskan 24 orang.

Bom bunuh diri pertama kali dalam sejarah abad ke-20 dipelopori kelompok Hisbullah. Dari sinilah dimulai babak baru yang dihembuskan (kalangan Amerika Serikat dan sekutunya) sebagai terorisme internasional. Hizbullah mengemas aksi bom bunuh diri itu dengan interprestasi pembelan agama, jihad dan syadid. Dari Hizbullah inilah lahir pengebom-pengebom bunuh diri kelas satu.

Dalam sejarah Indonesia, serangan aksi bunuh diri pernah terjadi pada 1900-an saat pasukan Belanda menumpas perlawanan bersenjata ulama Aceh. Belanda menyebutkan Aceh Moord. Yakni bunuh diri ala Aceh. Modusnya, mereka nekat membunuh orang Belanda, walaupun disadari, bahwa dia juga akan mati saat itu.

Bom bunuh diri paling heroik dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia pada 1945 dilakukan oleh Muhammad Toha di Bandung Selatan dengan meledakkan dirinya di gudang mesiu demi melemahkan kekuatan Belanda. Peristiwa ini yang dikenal dengan “Bandung Lautan Api.”

Nasionalisme Dibalut Agama
Masyarakat umum memahami serangan bom bunuh diri sebagai tindakan yang dimotivasi ajaran agama tertentu. Hal ini dapat dimaklumi. Sebab, akhir-akhir ini berita yang berkembang di publik sebagian besar pelaku bom bunuh diri adalah orang Islam. Tetapi kalau dicermati lebih dalam, bom bunuh diri bukanlah tindakan mengatasnamakan agama saja, tetapi justru kebanyakan disebabkan oleh faktor nasionalisme.

Data internasional menyebutkan, bahwa peristiwa bom bunuh diri hingga tahun 2000 menunjukan, urutan pertama dilakukan pasukan Macan Tamil, yang berperang untuk memisahkan diri dari Sri lanka.

Di urutan kedua kelompok Hamas. Kelompok ini berjuang demi suatu negara Palestina. Tidak berbeda dengan Macan Tamil, nasionalisme menjadi motor utama yang membuat mereka rela mengorbankan jiwanya. Nasionalisme Hamas dibalut dengan unsur jihad dan syahid dalam interpretasi radikal. Hal serupa juga terjadi di Afhganistan. Nasionalisme tumpah menjadi darah dan diinterpretasikan dari sisi agama, hingga perlawanan berubah menjadi perang melawan kaum kafir.

Marilah Kita paparkan bom bunuh diri tersebut
Berkaca dari gerakan Hizbullah dan Hamas pada waktu itu, mereka melakukan bom bunuh diri dengan alasan sebagai berikut :

Diumpamakan seseorang membawa senjata sendiri atau mempunyai senjata sederhana dan menyerang anggaplah sebuah gerbang, dimana terdapat beberapa prajurit dengan senjata canggih dan mesin-mesin perang yang canggih seperti senjata otomatis berpeluru kaliber besar, kemudian yang diketahui bahwa daerah tersebut adalah daerah milik si Pembom bunuh diri (masih di wilayah negerinya), bila ia menyerang secara langsung, maka ia gugur tanpa adanya ikut gugurnya musuh atau kekalahan musuh, tanpa adanya kekacauan yang diperbesar-besarkan atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin, seperti memberi efek kejadian besar hingga sedikit membuat jeri pihak pasukan-pasukan musuh atau membuat musuh tidak berani bertindak terlalu agresif, membuat musuh berpikir berulang-ulang bahwa masih ada pembela disana yang berani (masih eksisnya perlawanan) atau agar bisa di blow up oleh media pers sehingga apa yang terjadi dapat diketahui sebab-sebabnya secara dunia international hingga menjadi isu hangat dan perbincangan di dunia international, dan bisa memberi dampak respon untuk diplomasi secara mendunia.

Mereka pula menganggap bahwa pembunuhan dengan cara bom bunuh diri ini telah dibalas dengan pembalasan setimpal hal yang sama dengan matinya pula si pembawa bom (hukum Qishash juga telah dilaksanakan)

Maka bagian ini membuat bom bunuh diri menjadi ada andil membuat hal tersebut. Seperti Anda bermain game “Counter Strike” dengan sendirian melawan musuh banyak namun Anda belum sempat membuat sesuatu jasa sudah mati duluan dikeroyok, mati konyol namanya.

Maka marilah Kita menyimpulkan perbedaan-perbedaan bom bunuh diri berdasarkan kasus per kasus, karena hal ini lah yang jarang dibahas atau diketahui oleh orang yang pada umumnya mengganggap bom bunuh diri serupa jenisnya dan hal ini lah yang membedakan bahwa ada beberapa versi bom bunuh diri sebenarnya, Pengklasifikasian jenis bom bunuh diri ini belum ada ditulis sebelumnya di buku-buku selain dalam tulisan ini :

Klasifikasi bom bunuh diri berdasarkan tempat dan tujuan pelaku :
  1. (a) Bom bunuh diri yang dilakukan di tanah jihad (Tanah umat Islam yang dikuasai oleh kaum kafir) atau (b) Bom bunuh diri dalam kondisi perang umat Islam melawan kaum kafir (Tanah jihad pula). Biasanya adalah bom bunuh diri pada basis pertahanan musuh, pada basis pusat pemerintahan/komando musuh, pada kompoi pasukan musuh, pada jalur strategis tertentu, pada kendaraan yang dipakai sebagai kegiatan militer musuh. Qishash buat mereka yang melakukan bom bunuh diri dengan terbunuhnya orang lain.
  2. Bom bunuh diri karena rasa Nasionalisme individu-individu yang melakukan bom bunuh diri tersebut karena pembelaan kepada negaranya, golongan atau bangsa/sukunya, bisa disebabkan karena perang atau terjadinya pertikaian antar suku/golongan.
  3. Bom bunuh diri di luar tanah jihad / tanah damai / tanah yang ada terikat perjanjian, dan orang yang melakukan ini menganggapnya bagian dari jihadnya. Umumnya ditempat publik, bukan di pusat pemerintahan/komando lawannya.
  4. Bom bunuh diri karena kestresan pribadi / faktor kegoncangan mental pelaku terhadap sesuatu hal yang terjadi pada dirinya atau lingkungannya.
  5. Bom bunuh diri karena hasil rekayasa “pihak-pihak tertentu” yang mencari keuntungan sesaat, misalnya: Pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab ini menyuruh seseorang yang diberi pekerjaan membawa “barang jinjingan” atau “barang dikendaraan” ke suatu tempat, namun tidak disadari orang tersebut, ternyata ia membawa bom dalam barangnya dan hingga diledakkan bersama barang bawaannya dari jarak jauh atau sebelumnya telah dipasang bom waktu dan meledak ketika telah diperkirakan sampai pada tempat yang menjadi target, atau Menghipnotis/mencuci otak seseorang hingga menjadi pelaku pembom bunuh diri atau melakukan bom lewat agennya “pihak tertentu” itu (lempar batu sembunyi tangan), kemudian menjadikan seseorang sebagai “kambing hitam” yang kebetulan berada di tempat kejadian, dsb. Termaksud didalamnya adalah sabotase. Umumnya tujuannya adalah untuk memojokkan golongan tertentu atau menjadikan “kambing hitam” golongan tertentu atau rekayasa buat tujuan yang lebih besar didalam tabirnya.

Secara garis besar, terdapat dua pendapat ulama dalam masalah melakukan aksi bom manusia dalam peperangan melawan musuh kafir, seperti yang terjadi di Palestina, sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Ulama masa kini yang membolehkan seperti Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Teologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi (Syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi (ulama Mesir), Dr. Yusuf AI- Qaradhawi (Ulama Qatar), dll.

Al-Qadah dalam kitabnya Al-Mughamarat bin An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi AI-Islam telah menyebutkan sekitar 20 dalil syara' yang mendasari bolehnya melakukan aksi bom manusia, yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang membolehkan aksi bom manusia ini.

Diantaranya adalah: Surat an-Nisa' ayat 74, yang artinya: "Karena itu hendaklah orang- orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan Maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar."

Wajhud dalalah dari ayat ini menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh· Karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andai kata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi SAW.

Surat al-Baqarah ayat 195 yang artinya: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."

Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat Abu Ayyub AI-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut, yang dipahami sebagai larangan mengorbankan diri dalam peperangan, pada hal sababun nuzul dari ayat tersebut adalah karena kaum anshar merasa sudah saatnya meninggalkan perang dan mengurus harta benda, sebagaimana yang dipaparkan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya.

Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini.

Hadits Nabi SAW sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi SAW, beliau bersabda: "Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan rasulullah bersabda lagi, {Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang Anshar tersebut terbunuh. (HR. Muslim)

Perkataan Nabi SAW, “Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga" adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri seperti halnya akasi bom manusia dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.

Namun demikian sebagian ulama' seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh AI-Utsaimin dan Haiah Kibarul Ulama' mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan dalil-dalilnya:

Syaikh Nashiruddin AI-Albani ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau menjawab, bahwa aksi bom manusia dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan Islam yang berlandaskan hukum Islam, dan seorang tentara harus bertindak berdasarkan perintah pimpinan perang (amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah. Jika tidak ada pemerintahan Islam di bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom manusia tidak sah dan termasuk bunuh diri.

Syaikh Shaleh AI-Utsaimin ketika ditanya mengenai seseorang yang memasang bom dibadannya lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang kafir untuk melemahkan mereka, beliau menjawab, bahwa tindakan itu adalah bunuh diri. Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi. Beliau berdalil dengan firman Allah SWT, yang melarang bunuh diri: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa': 29). Beliau juga berdalil dengan hadits- hadits Nabi SAW yang melarang bunuh diri, seperti hadits Nabi SAW: “Barang siapa yang mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Haiah Kibarul Ulama' bahwa Syariah Islam telah datang untuk melindungi lima hal penting dan melarang untuk melanggarnya, lima hal itu adalah: agama, kehormatan, harta benda, kehidupan, dan akal budi. Orang-orang Islam dilarang untuk melanggar hal tersebut di atas terhadap orang-orang Islam yang berhak dilindungi. Orang-orang tersebut mempunyai hak-hak yang harus dilindungi berdasarkan pada syari'ah orang Islam, tidak diperbolehkan untuk melanggar hak setiap sesama muslim atau membunuhnya tanpa adanya sebab yang membolehkannya. Barang siapa melakukannya, maka ia telah melakukan dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda: "Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, adalah tidak diperkenankan (untuk ditumpahkan darahnya) kecuali berdasarkan pada tiga hal, balasan karena telah membunuh seorang (qishash), menghukum pezina (rajam), seseorang yang meninggalkan agamanya (murtad), meninggalkan al Jama'ah” (HR.Bukhari dan Muslim).

Tidak hanya muslim, non muslim pun juga berhak mendapatkan perlindungan, mereka adalah: 1. Mereka (non muslim) yang mengadakan perjanjian, 2. Dzimmi, 3. Mereka (non muslim) yang mencari perlindungan dari kaum muslim.

Dengan demikian ada sebagian yang menganggap, maka apa yang terjadi yaitu peristiwa pemboman (bom bunuh diri) adalah sesuatu yang dilarang, yang Islam tidak menyetujui hal tersebut, hukumnya adalah haram berdasarkan pada beberapa hal: 
  • Kegiatan ini merupakan pelanggaran terhadap sucinya wilayah muslimin dan hal ini dapat menimbulkan ketakutan siapa saja yang dilindungi di dalamnya. 
  • Kegiatan ini mengandung sifat membunuh orang-orang yang hidup, yang dilindungi syari'ah Islam.
  • Kegiatan ini mengakibatkan kerusakan di bumi. 
  • Kegiatan ini mengandung unsur perusakan, harta benda dan apa-apa yang dimiliki, dan hal itu dilarang.

Bila kita melihat dua pendapat di atas, pendapat ulama yang membolehkan aksi bom bunuh diri dalam situasi peperangan melawan orang kafir lebih kuat daripada yang mengharamkan, dengan pertimbangan bahwa ulama yang membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih jeli, dan dalil-dalilnya lebih sesuai untuk fakta yang dimaksudkan, yaitu dalam konteks perang seperti di Palestina. Inipun masih melihat pada motif pelaksanaan bom manusia itu sendiri. Kalau untuk menegakkan agama Allah maka boleh dan pelaku mati syahid tetapi bila tujuannya hanya murni bunuh diri karena ingin lepas dari segala kepenatan hidup maka hukumnya bunuh diri dan pelakunya berdosa.

Keputusan ini berdasar pada berbagai referansi yang semua menerangkan dibolehkannya bunuh diri dalam peperangan bukan dalam keadaan damai. Demkian seperti yang termaktub dalam  Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.

Ulama berbeda pendapat tentang kenekatan seseorang di medan perang dan menyerang musuh sendirian. Al-Qasim bin Mukhaimarah, al-Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari kalangan ulama (madzhab Malikiyah) berkata: “Tidak mengapa seseorang sendirian menghadapi pasukan musuh yang cukup banyak jika ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah semata. Jika ia tidak memiliki kekuatan maka termasuk bunuh diri. Dan suatu pendapat menyatakan: “(Meski ia tidak memiliki kemampuan) namun jika ia mencari kesyahidan dan niatnya ikhlas, maka silahkan melakukannya, karena yang diincar cuma salah satu dari musuh. Demikian itu ada dalam firman Allah SWT.: ”Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi untuk mendapatkan keridhaan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 207).

Ibn Khuwaizin Mindad berkata: “Adapun jika seseorang berani menyerang musuh yang berjumlah seratus, sejumlah tentara musuh, sekelompok pencuri, penyerang dan pemberontak, maka untuk hal ini ada dua kondisi: Jika ia mengetahui dan menduga kuat dirinya akan menewaskan musuh yang diserangnya dan ia selamat, maka hal itu bagus. Demikian pula jika ia mengetahui dan menduga kuat ia akan mati, namun akan bisa membuat mereka kalah, kacau atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin, maka hukumnya juga boleh. Telah sampai kepadaku kisah pasukan kaum saat melawan pasukan Persia (Iran), kuda-kuda kaum muslimin lari ketakutan dikarenakan gajah. Maka salah seorang anggota pasukan bertekat membuat patung gajah dari tanah liat sehingga kudanya menjadi tenang dan terbiasa melihat gajah. Maka ketika berperang kudanya tidak takut lagi pada gajah sehingga berani menghadapi pasukan gajah menyerangnya. Lalu ia diingatkan: “Sungguh hal itu akan membuatmu terbunuh.” Lalu ia menjawab; “Tidak mengapa saya terbunuh tapi kaum muslimin mendapat kemenangan.” Begitu pula dalam perang Yamamah ketika Bani Hanifah bertahan di suatu kebun. Salah seorang pasukan muslimin berkata: “Letakkan aku dalam perisai, lalu lemparkan aku kepada mereka.” Kemudian para pasukan lain melakukannya dan ia melawan musuh sendirian serta berhasil membuka pintu kebun tersebut.”

Bagian Pendapat yang mana yang benar?
Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. (Hadis Qudsi)

“Sesungguhnya ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA, padahal ia AHLI NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL AHLI NERAKA, padahal ia AHLI SURGA” (HR Bukhari & Muslim)

Ada sebuah kisah tentang seorang Alim Ulama dan Pelacur yang dihadapkan ke Pengadilan ALLAH azza wa jalla di hari akhirat dimana mereka berdua dengan didampingi oleh malaikat atib dan roqib menunggu keputusan Allah apakah akan dimasukkan ke dalam Surga atau Neraka.
Ketika giliran ‘Alim ulama’ tersebut, Allah swt memerintahkan malaikatul Malik, ‘Wahai Malik, campakkan orang ini ke dalam Neraka Jahannam.’

Saudara/i Bingung bukan..?

Jangankan suadara/i…., sang Alim ulama tersebut pun bingung dan protes keras dengan mengatakan: “Wahai Allah..ketika hamba-Mu hidup di dunia, hamba banyak melakukan amalan-amalan shaleh, yang wajib maupun yang sunnah, kenapa Engkau campakkan hamba ke dalam Neraka Jahannam.???

Protes sang ulama tersebut ‘diamini’ pula oleh kedua malaikat yang senantiasa mencatat amalan-amalan baik ataupun buruk seorang manusia 24 jam sehari semalam nonstop yaitu malaikat atib dan roqib.

Kemudian Allah mengatakan kepada kedua malaikat tersebut. “AKU lebih tau apa yang tidak kalian ketahui…”

Kemudian ketika giliran sang pelacur tersebut disidangkan, Allah memerintahkan kepada Malaikat Ridwan: “Wahai Ridwan…bawalah perempuan ini masuk ke dalam Surga-KU.”

Elo…bukankah dia seorang pezina..?? Makin bingung bukan.??

Kedua malaikat yang senantiasa mendampingi hidup sang pelacur tersebut juga mempertanyakan hal yang sama dengan membuka ‘buku catatan Amal” sang pelacur tadi, dimana lebih banyak catatan amal yang negatif (Maksiat) daripada yang positif (amal shaleh).

Kemudian Allah SWT mengatakan kepada kedua malaikat tadi: “AKU lebih Tau apa yang kalian tidak Ketahui..”

PERTANYAAN KITA BERSAMA ADALAH..MENGAPA DEMIKIAN..????

Ternyata, dalam melakukan KETAATAN kepada Allah swt, sang ‘Alim Ulama’ tersebut terbersit/terselip dalam hatinya sikap UJUB dan SOMBONG, walupun sebesar biji dzarah, dan “MERASA’ bahwa dengan amalan-amalannya, pasti akan menghantarkannya ke SURGA-NYA Allah.

Sedangkan sang pelacur tadi, walaupun dalam melaksanakan ‘KEMAKSIATAN’ kepada Allah dalam kehidupannya sehari-harinya (dengan ‘KEADAAN TERPAKSA’ karena Beban Hidup yang harus ditanggungnya) tetapi dalam Hatinya yang terdalam.. ada terbersit rasa Berdosa dan dia senantiasa MENGHARAPKAN PENGAMPUNAN Allah, tetapi Takdir kematian mendahuluinya sebelum dia sempat bertaubat. (Tapi bukan berarti Kita membenarkan kelakuan seperti ini, cuma ada kasus tertentu yang seperti ini kejadiannya dihadapan Allah SWT, maka hati-hati dengan hati)

APA HIKMAH di balik kisah diatas..??

Dari kisah diatas, ternyata apa yang diketahui ALLAH yang tidak diketahui malaikat atib dan raqib yang senantiasa mencatat amalan-amalan baik dan buruk kita adalah NIAT yang tersimpan atau terbersit dari hati kita yg terdalam.

Allah lah yang MAHA TAU apapun yang menjadi NIAT kita dalam beribadah…

Bukankah Setiap Amal Tergantung Niatnya..????

Diterima/sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.

Bukankah Allah hanya MENERIMA amal-amalan yang NIAT nya LILLAHI TA’ALA..??

Ketika kita merasa ‘CUKUP’ dengan KEMAMPUAN diri kita dalam menunaikan kewajiban-kewajiban dan amal-amal shaleh, tanpa disadari kita telah ‘MELUPAKAN’ Hakikat dari makna ”laa hawla wala quwwata illabillahil ‘aliyil ‘azim” dan merasa bahwa dengan kemampuan diri kita sendirilah kita akan mendapat balasan surga-Nya.

Disaat itulah..akan timbul sifat UJUB dan SOMBONG yang muncul terkadang tanpa disadari.
Teringat sabda Rasulullah saw: Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim)

Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya. (HR. Muslim)

Barangsiapa membanggakan dirinya sendiri dan berjalan dengan angkuh maka dia akan menghadap Allah dan Allah murka kepadanya. (HR. Ahmad)

Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub) dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)

Pada saat itu..”Hilanglah’ sikap seorang ‘HAMBA’ dimata KHALIQ-NYA”

Bukankah seorang HAMBA adalah seseorang yang senantiasa merasa lemah tak berdaya bagaikan seorang bayi yang senantiasa MEMBUTUHKAN kasih sayang dan pertolongan orangtuanya..???

Lupakah kita hadits rasulullah saw berikut ini:
Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena RAHMAT Allah Ta’ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar). (HR. Muslim)

Sedangkan bagi sang pelacur, dihatinya yang terdalam timbul rasa PENYESALAN dan KETIDAKBERDAYAAN ketika melakukan maksiat sehingga dia senantiasa berdoa dan berharap akan PERTOLONGAN dan PENGAMPUNAN Allah.

Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya. (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii’)

Manusia dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niat mereka. (HR.-Muslim)

Bukankah semestinya itu sikap seorang HAMBA..??

LAA HAWLA WA LA QUWWATA ILLAH BILLAHIL ALIYIL ADZIM…..
“Tiada daya untuk dapat MENGHINDAR dari MAKSIAT dan Tiada upaya untuk bisa MENTAATI Allah…KECUALI dengan IZIN dan PERTOLONGAN ALLAH…”

Pertanyaan kita bersama adalah…?? Bagaimana seharusnya kita berupaya untuk selalu mendapatkan pertolongan Allah.??

Jawabannya adalah: Jadilah diri kita sebenar-benarnya HAMBA yang senantiasa MERASA tidak mampu dan berdaya dihadapan-NYA, yang senantiasa mengharapkan PERTOLONGAN-NYA.

Subhanallah….. Itulah makna dari hadits yg telah saya kemukakan diatas:
“Sesungguhnya ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA, padahal ia AHLI NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL AHLI NERAKA, padahal ia AHLI SURGA” ( HR Bukhari & Muslim )

Semoga kita semua termaksud Ahli surga dengan melakukan amal-amalan shaleh tanpa ada sifat ujub, sombong dan merasa mampu dengan ‘kemampuan’ diri sendiri sehingga melupakan ‘ketidakberdayaan’ diri sebagai seorang HAMBA ALLAH dan RAHMAT-NYA. InsyaAllah..amin ya robbal’alamin.
Subhanallah…walhamdulillah..walailahaillaallah..Allahu Akbar.. walahawla wala quwwata illabillahil ‘aliyil ‘adziim.

Adakah pelaku yang benar dalam melakukan bom bunuh diri ini?
Maka marilah Kita menyimpulkan perbedaan-perbedaan bom bunuh diri berdasarkan kasus per kasus, karena hal ini lah yang jarang dibahas atau diketahui oleh orang yang umumnya mengganggap bom bunuh diri serupa jenisnya dan hal ini lah yang membedakan bahwa ada beberapa versi bom bunuh diri sebenarnya, Klasifikasi bom bunuh diri berdasarkan tempat dan tujuan pelaku :
  1. (a) Bom bunuh diri yang dilakukan di tanah jihad (Tanah umat Islam yang dikuasai oleh kaum kafir) atau (b) Bom bunuh diri dalam kondisi perang umat Islam melawan kaum kafir (Tanah jihad pula). Biasanya adalah bom bunuh diri pada basis pertahanan musuh, pada basis pusat pemerintahan/komando musuh, pada kompoi pasukan musuh, pada jalur strategis tertentu, pada kendaraan yang dipakai sebagai kegiatan militer musuh. Qishash buat mereka yang melakukan bom bunuh diri dengan terbunuhnya orang lain.
  2. Bom bunuh diri karena rasa Nasionalisme individu-individu yang melakukan bom bunuh diri tersebut karena pembelaan kepada negaranya, golongan atau bangsa/sukunya, bisa disebabkan karena perang atau terjadinya pertikaian antar suku/golongan.
  3. Bom bunuh diri di luar tanah jihad / tanah damai / tanah yang ada terikat perjanjian, dan orang yang melakukan ini menganggapnya bagian dari jihadnya. Umumnya ditempat publik, bukan di pusat pemerintahan/komando lawannya.
  4. Bom bunuh diri karena kestresan pribadi / faktor kegoncangan mental pelaku terhadap sesuatu hal yang terjadi pada dirinya atau lingkungannya.
  5. Bom bunuh diri karena hasil rekayasa “pihak-pihak tertentu” yang mencari keuntungan sesaat, misalnya: Pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab ini menyuruh seseorang yang diberi pekerjaan membawa “barang jinjingan” atau “barang dikendaraan” ke suatu tempat, namun tidak disadari orang tersebut, ternyata ia membawa bom dalam barangnya dan hingga diledakkan bersama barang bawaannya dari jarak jauh atau sebelumnya telah dipasang bom waktu dan meledak ketika telah diperkirakan sampai pada tempat yang menjadi target, atau Menghipnotis/mencuci otak seseorang hingga menjadi pelaku pembom bunuh diri atau melakukan bom lewat agennya “pihak tertentu” itu (lempar batu sembunyi tangan), kemudian menjadikan seseorang sebagai “kambing hitam” yang kebetulan berada di tempat kejadian, dsb. Termaksud didalamnya adalah sabotase. Umumnya tujuannya adalah untuk memojokkan golongan tertentu atau menjadikan “kambing hitam” golongan tertentu atau rekayasa buat tujuan yang lebih besar didalam tabirnya.

Jawabnya, Dengan kondisi dan keadaan penakdiran Allah SWT yang pas waktu dan tempatnya, Semua tergantung Niat, Hanya Rahmat dan karunia Allah SWT yang bisa memasukkan seseorang kepada Surga, bisa jadi ada diantaranya yang dimaafkan Allah SWT dan bisa jadi ada yang tidak, Masing-masing pelaku bagaimana pun caranya telah didekatkan kepada takdirnya dan telah kering tinta Qalam dan karena kita tidak tahu bahwa “Sesungguhnya ada orang secara LAHIRIAH terlihat berbuat AMAL AHLI SURGA, padahal ia AHLI NERAKA. Dan ada seseorang yang secara LAHIRIAH ia berbuat AMAL AHLI NERAKA, padahal ia AHLI SURGA” (HR Bukhari & Muslim)

Saling membunuh antara sesama muslim
Dikatakan yang boleh diperangi itu adalah orang-orang kafir harbi di medan perang. Bukan dari 1. Mereka (non muslim) yang mengadakan perjanjian, 2. Kafir Dzimmi, 3. Mereka (non muslim) yang mencari perlindungan dari kaum muslim dan 4. Pedagang yang dilindungi karena perdagangan antar bangsa yang saling menguntungkan.

Bagaimana dengan pelaku pembunuhan sesama muslim
“Jika terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)

Maraknya pencurian dan perampokan di minimarket belum juga berhenti. Di antara pelakunya adalah oknum TNI. Dwi Widarto, seorang  anggota TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas di KRI Suharso 990, tewas mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Timah panas itu melesat dari senjata api yang sedang digenggam korban¸ saat duel dengan salah seorang kasir sebuah minimarket Indomaret Jalan Laban, Kecamatan Menganti, Gresik, Minggu (28/10) malam. Dan ternyata, pelaku berpangkat Sersan Dua (Serda) ini juga terlibat aksi perampokan di sejumlah tempat lainnya di Surabaya. Di antaranya, perampokan Indomaret Balongsari, Alfamidi Benowo, SPBU Ngesong dan perampasan pistol polisi di Margomulyo (SurabayaPagi.com, edisi 30 Oktober 2012).

Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana  ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qisash (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri.  Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.

Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus dosa pelaku dari siksa di akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi masyarakat, khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa.

Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam al-wadh’iyyah al-muta’alliqah bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh (keringanan), dll.

Sebagai contoh, pembunuhan yang dilakukan seorang kasir di dalam kasus di atas baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab, membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.

Hukum dan Tahapan Pembelaan Terhadap Diri, Harta dan Kehormatan
Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.

Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.

Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597).

Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya, (Lihat:  al-Badai’: 7/93, mughnil muhtaj: 4/1966-197, bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni: 329-331, ).

Dalil masalah ini adalah firman Allah SWT: “Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)

Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.

Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)

Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.

Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).

Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda: ”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad)

Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.

Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:
“jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).

Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri, sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur yang lain berpegang pada firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)

Dan firman Allah SWT: “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)

‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya kehormatan seorang muslim merupakan perkara haram, (Lihat: Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/600-608).

Tidak Ada Sanksi
Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan, maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh (keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di  atas. Selain dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah Saw:

 ”siapa saja yang menghunus pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya (HR. al-hakim)

Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya.

Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya, Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya: “Wahai Rasulullah: “bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab: “jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia masuk neraka” (HR. Muslim).

Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu. Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam  perkara yang mubah. Begitupun pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan, ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada qishash atau pun diyat baginya, (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).

Namun, pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan dipengadilan, apakah benar bahwa seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan pelaku kriminal. (Wallahu a’lam bi as-showab.)

Bagaimana terhadap Negeri Diktator dari kalangan Muslim
Bila negeri muslim dikuasai diktaktor dari kalangan muslim pula kemudian Anda menolak sebagian undang-undangannya berdasarkan ketidaksesuaian dengan syariat dengan dalil-dalil yang telah jelas akan hal tersebut, atau adanya dijumpai banyaknya hal-hal yang tidak mengenakkan didalam kehidupan di negeri tersebut, misalnya pencekikan pajak, ketidakseimbangan kesejahteraan, tidak adanya lapangan pekerjaan, ketidaktersediaan pangan, dsb.

Mungkin ada sebagian yang diam dan mengambil perlawanan secara pribadi saja (didalam hati) dan ada pula sebagian yang bersuara lantang mendemo, kemudian Anda dan kumpulan Anda yang berdemo diserang oleh pemerintah tersebut?

Apakah Anda berhak melawan balik? Karena bisa jadi ada pula pihak ketiga yang mengail diair keruh hingga memanaskan situasi? Mampukah memenuhi banyaknya faktor-faktor pendukung untuk sebuah revolusi yang disiapkan atau ada?

Taat kepada pemimpin, bila ia Khalifah Islam dan memegang syariat Islam yang benar, patutlah kita berbai’at kepada khalifah tersebut, namun bila ia pemimpin diktaktor, maka yang dimaksud ketaatan pada pemimpin lebih diberatkan kepada ketaatan pada undang-undang dan peraturan-peraturan umum negeri tersebut selama tidak bertentangan dengan syariat dan demi kebaikan interaksi horizontal antara masyarakat di dalam negeri tersebut, agar lebih mudah kepada interaksi hubungan sosial antar manusia sendiri, misalnya undang-undang berlalu lintas, agar ditaati untuk kepentingan dan kebaikan bersama termaksud hukum-hukumnya. Namun bila negeri tersebut membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat, seperti : pembolehan nikah sesama jenis, patutlah kita bila tidak berani, tidak menerima di dalam hati dan mengusahakan keluarga terdekat tidak melakukan hal tersebut, bila mampu bersuara maka menasehati pemerintah tersebut baik lewat wakilnya maupun perkelompok dengan demo, namun bila Anda dipaksa pembungkaman dengan kekerasan oleh diktaktor muslim, maka adakah hak dan kemauan untuk melawan?

Ada 3 pilihan yang ada, yang harusnya mengikuti garis takdirNya kelak.
  1. Layaknya seperti saat nabi Muhammad SAW bersikap saat masih berada di Mekkah, karena masih berada pada daerah jahiliyah,
  2. Layaknya nabi Muhammad SAW saat berada di Madinah yang telah mempersiapkan diri sebagai pemimpin, telah siapnya sahabat-sahabatnya berjihad/berperang, telah siapnya basis pemerintahan lain (Madinah), telah turunnya ayat berperang dan telah siapnya kemampuan harta dan persenjataan atau Layaknya Imam Mahdi yang akan siap menjadi pemimpin hanya semalam, mendapat kursi khalifah secara mudah, di dukung pasukan panji hitam yang memiliki kemampuan berperang hebat dan orang-orang yang membai’atnya,
  3. Atau seperti nabi-nabi terdahulu dalam berdakwah tidak memerangi suku atau bangsanya sendiri, nabi-nabi dahulu berdakwa dengan hanya menetap dan bertempat tinggal bertahun-tahun diantara suku sendiri hingga ada yang mengikutinya dan ada pula yang menolak ajakan dan peringatannya tanpa melakukan peperangan fisik dengan umatnya sendiri, menerima hinaan dan kesusahan sampai datangnya ketetapan Allah SWT yang kebanyakan akhirnya adalah dimusnahkannya atau dikutuknya suku/ummat nabi-nabi tersebut dan menyelamatkan sisa suku yang mengikuti nabi-nabiNya. Namun dalam jaman sekarang kemungkinan besar adalah hanya terjadi perpindahan rezim yang satu ke rezim yang lain.

Berbeda dengan umat-umat nabi-nabi terdahulu, bila seseorang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu, namun umat Islam boleh memilih bila sesuai situasi dan kondisinya menampar balik pipi kanan orang tersebut atau memberi pipi kiri sendiri juga buat ditampar. Bila ada yang mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu namun Islam selain boleh seperti itu juga mengajarkan ada yang mengingini bajumu, bisa memberikannya dahulu kain, benang dan jarum, sesuai situasi dan keadaan yang pas dengan takaran yang pas pula. Seperti termaktup di dua hadis ini:

Dari Subayi' bin Khalid, ia berkata, "Aku pernah datang ke kota Kufah saat penaklukkan kota Turtas (wilayah dekat Khurasan) tempat aku biasa mengambil domba. Lalu aku masuk masjid yang saat itu kulihat seorang lelaki setengah baya, dari penampilannya dapat diketahui —jika kamu memandangnya—- ia layaknya lelaki pendatang dari Hijaz. Lalu aku bertanya, 'Siapakah lelaki ini?' Orang-orang melihatku dengan wajah kurang suka, kemudian mereka menjawab, 'Sungguhkah kamu tidak mengenali lelaki ini? Dia adalah Hudzaifah bin Al Yaman, salah seorang sahabat Rasulullah SAW.' Lalu Hudzaifah berkata, 'Orang-orang biasa bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal kebaikan, tetapi aku justru bertanya kepada beliau tentang hal-hal buruk (yang akan terjadi).' Dengan pandangan tajam orang-orang pun memperhatikan Hudzaifah, lalu ia berkata, 'Aku tahu apa yang kalian gundahkan. Sesungguhnya aku pernah berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu tentang Islam yang telah Allah anugerahkan kepada kami, apakah Islam akan menghadapi keburukan (Jahiliah) seperti yang dulu pernah dihadapi?' Rasulullah pun menjawab, 'Ya.'Maka aku berkata, 'Lalu bagaimana cara Islam menghadapinya?' Beliau menjawab, '(Dengan) pedang!' Maka aku berkata, 'Wahai Rasulullah, lalu apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika Allah memiliki seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia menzhalimimu dan mengambil sesuatu yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan) selain kamu harus menaatinya. Jika tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit batang pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan parit-parit dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut, maka ia akan diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa terjatuh ke dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat semua pahala kebaikannya'." (Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud

Hudzaifah berkata, "Aku bertanya lagi kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, apakah setelah datangnya Islam akan ada keburukan lain?' Beliau menjawab, ''Keburukan berkedok kedamaian dan kelompok yang terselimuti kekufuran dan anggota kelompoknya pun terselimuti olehnya. "Hudzaifah berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan keburukan berkedok kedamaian?' Beliau menjawab, 'Ketika hati seluruh kaum sudah tidak dapat lagi kembali kepada kebaikan sedia kala.' Maka aku bertanya lagi, 'Apakah setelah Islam datang akan ada keburukan lain yang akan kembali datang?' Beliau menjawab, 'Fitnah orang buta dan tuli (akan kebenaran), dan fitnah itu memiliki pemanggil yang berada di atas pintu neraka. Jika kamu mati, wahai Hudzaifah, dalam kondisi menggigit batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka'. (Hasan: ibid.)


Yang paling ditakutkan adalah fitnah yang lebih mengerikan dari fitnah Dajjal, yaitu kalian saling tidak menghargai nyawa sesama muslim, tidak tahu sebab membunuh dan dibunuh dan karena adanya makar, pembuatan fitnah dan adu domba dari pihak ketiga yang membuat keadaan itu terjadi dan makin menjadi, keadaan di awal-awal menuju huru hara akhir jaman akan seperti ini seperti terlihat pula dikeadaan awal di konflik Syria. Seperti contoh yang paling awal pada perang siffin dan perang jamal. Jihad itu sebagaimana amal lainnya harus pakai ilmu. Jika tidak bisa tertolak dan malah berdosa.


Berapa hal lainnya dalam pengkondisian keadaan untuk pilihan berjihad dijabarkan kembali di QS. An Nisaa' :88-100

83. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). QS. An Nisaa' :83
[322]. Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[323]. Menurut mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

87. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan[328] dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah[329]? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
[328]. Maksudnya: golongan orang-orang mukmin yang membela orang-orang munafik dan golongan orang-orang mukmin yang memusuhi mereka.
[329]. Pengertian disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling[330], tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,
[330]. Diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah. Lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa demam Madinah, karena itu mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat Nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Madinah. Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah. Sahabat-sahabat berkata: Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah? Sahabat-sahabat terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. Yang sebahagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang yang sebahagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini yang mencela kaum Muslimin karena menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan supaya orang-orang Arab itu ditawan dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke Madinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain.

kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
[331]. Ayat ini menjadi dasar hukum suaka.
[332]. Tidak memihak dan telah mengadakan hubungan dengan kaum muslimin.
[333]. Maksudnya: menyerah.

Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka.
-kelak = mengacu pada waktu hingga keadaan terkini/sekarang, kecuali tidak membiarkan kamu, tidak mengemukan perdamaian atau mereka turun tangan memerangi kamu, maka perangilah/balaslah.

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[334]. Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
[335]. Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336]. Bersedekah di sini maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[337]. Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu[338]: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu[339], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[338]. Dimaksud juga dengan orang yang mengucapkan kalimat: laa ilaaha illallah.
[339]. Maksudnya: orang itu belum nyata keislamannya oleh orang ramai kamupun demikian pula dahulu.

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[340] satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[341] dengan pahala yang besar,
[340]. Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[341]. Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. Sebagian ahli tafsir mengartikan qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin pada no. [340].

(yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
-Beberapa tingkatan derajat (lebih banyak dari yang duduk/tidak ikut berperang karena tidak ada ujur) sampai dengan satu derajat (lebih banyak dari yang duduk/tidak ikut berperang karena ada ujur), duduk pengertiannya tidak mengusakan dan melaksanakan jihad.

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[342]. Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
-orang yang sanggup keluar dari negeri yang menindas/kafir, haruslah berhijrah, bila sampai tak hijrah dan hingga ia ikut memerangi/membantu langsung/tidak langsung memerangi muslim lainnya karena paksaan penindas, bisa jadi orang yang celaka.

kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),

mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. An Nisaa' : 87-100

Bersambung ...

Bila ingin membaca lebih lanjut ebook ini, Klik tulisan ini untuk kembali ke-link-link di daftar isi

Anda sedang membaca artikel tentang C. Jihad Menurut Islam dan anda bisa menemukan artikel C. Jihad Menurut Islam ini dengan url http://manfaatputih.blogspot.com/2013/08/c-jihad-menurut-islam.html, anda boleh menyebarluaskannya atau mengcopypaste-nya jika artikel C. Jihad Menurut Islam ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link C. Jihad Menurut Islam sebagai sumbernya.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentarmu disini!

Download Ebook LINK

.......................................................

MAU BACA LEBIH LANJUT
KLIK DAFTAR ISI DISINI

atau

Mau Download EBOOK ini

klik LINK ini :


Anda bisa download ebook ini di sini :

Pembahasan Tuntas Peradaban Manusia dari awal hingga akhir full Final.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

Surat Al Kahfi diantara Nubuat Nasrani versus Nubuat Islam.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

.......................................................

DAFTAR ISI

Daftar Isi :






















































Pembahasan Beberapa Hal Penting:

























































7. Periode Zaman Kiamat/Zaman Peradaban Manusia Akhir Yang Tidak Mengenal Islam









Di dalam penulisan ini ada beberapa penjabaran baru yang belum pernah terlihat di dalam tulisan peneliti lainnya, Semoga hal ini bermanfaat untuk menambah kemanfaatan buku ini.


Bantinglah Otak Untuk Mencari Ilmu Sebanyak-Banyaknya Guna Mencari Rahasia Besar Yang Terkandung Di Dalam Benda Besar Yang Bernama Dunia Ini, Tetapi Pasanglah Pelita Dalam Hati Sanubari, Yaitu Pelita Kehidupan Jiwa. (Al- Ghazali)




Hak Cipta oleh M. Yusuf . Diberdayakan oleh Blogger.