Sabtu, 28 Juni 2014

Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu?


Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu?

Sebelum membaca bagian ini, ada baiknya membaca terlebih dahulu bagian awalnya dilink rahasia tersembunyi mata uang.

Jangan sampai indonesia muncul sufyani seperti di Mesir? Tergantung sikap militer beriman, sih!. Ada juga kemungkinan lainnya, bila sekuler masih memimpin, kekacauan bisa pula terjadi yang mungkin saja karena jenuh dan hilangnya kesabaran masyarakat pada keadaan negeri, semuanya ada kemungkinannya, yang terpenting yang nyata dekat dulu dan lebih real dari hanya sebuah kemungkinan yang masih direlung waktu kedepan dan pikiran walaupun tidak boleh juga mengabaikan persiapan penanggulangan akan sikonnya bila terjadi. Usaha paling dekat adalah menangkan partai islam, bila menangkan yang banyak diparlemen, aleg ulama, dai, pemuka golongan/suku islami dan cendikiawan islam (berdasarkan kreteria-kreteria memilih pemimpin dalam islam), bila merumuskan “sesuatu” tentu nilai hukum-hukum islami lebih kedepan berdasarkan hukum-hukum dari Allah SWT. Nah suara ini mirip syuro, karena biar mau dijegal pun, keputusan atas pertimbangan islami ini tetap bisa menang dengan voting alias suara non islami bisa dianggap tidak ada/tidak mampu mengambil keputusan, masalahnya kalau tidak dominan nilai syuronya hampir tidak ada. ini di parlemen dan syuro model ini yang harus ada diparlemen. Voting juga ada sebenarnya terjadi dimasa lalu, bila tidak salah ketika khalifah Usman diangkat. Modelnya agak beda juga.

Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan  Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari. Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79)

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas. Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu suara. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika musyawarah tidak bisa memberikan mufakat untuk menentukan pemimpin terpilih dari calon-calon yang ada. Ini salah satu bagian demokrasi yang dianggap bertentangan dengan islam karena suara tidak berasal dari umat islam yang kaffah saja.

Secara sepihak demikian, namun bila dilihat hakikinya adanya “akibat”, pada kenyataan dinegeri ini telah berlaku “asbab” (asbab ini dari akibat yang lebih lalu, dan akibat yang lebih lalu itu dari asbab yang lebih lalu pula, dsb), yaitu telah ada kesepakatan hasil musyawarah (syuro pada makna universal) yang tertuang dalam undang-undang pemilu dan tata cara memilih presiden dan wakil rakyat, jadi secara ringkas hasil musyawarah yang telah lalu tersebut telah dibekukan menjadi aturan lebih ringkas sesuai ketidakmufakatan musyawarah tersebut yaitu cara-cara mencari kondidat, semisal harus lewat membentuk partai atau memakai pemilihan langsung untuk presiden. Bisa saja orang-orang berkata itukan hasil musyawarah yang kemudian dituang kedalam undang-undang dan itulah hasil musyawarah yang diringkas aturannya untuk kedepannya. Seharusnya dikatakan yang tidak islami darinya adalah syarat kreterianya yang terlalu lebar memasukkan semua unsur termaksud unsur ideologi non islami, jika saja unsurnya adalah hanya islam, orang-orang utama, beriman dan bertaqwa, shidiq, fhatonah, amanah, dsb. Tentu kacamata syuro awal tersebut mendekati kebenaran. Namun kan keputusan tersebut datang dari musyawarah universal yang telah lalu. Toh ini dianulir oleh para pemuka agama islam yang memberikan solusi khusus bagi umat islam dengan mengambil aturan nash cara memilih pemimpin maka kita ambil bagian yang islami ini dalam pilihan dengan mengabaikan melebarkannya pada unsur-unsur lain dan bila tidak ada maka kita memakai kaedah fiqh. Inilah, insyaAllah, siasat yang diridhoiNya. Inilah unsur dimana kita meninggalkan semua unsur golongan-golongan non islami tersebut. Kita mempersepsikan pembagian ini walau terlihat kita ada didalam sistemnya.

Unsur-unsur lain tersebut
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama (sesudah islam datang) adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

Sekulerisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Dan ideologi/kepercayaan lain diluar islam.

Ini hadits yang membuktikan bahwa dalam Islam ada juga serupa “pemilu” yang dilakukan pada saat Rosul memerintahkan para sahabat memilih majelis umat. Dalam Sîrah Ibnu Katsîr juz 2 hal 198, cetakan Libanon; dan Sîrah Ibnu Hisyâm, juz 2 hal 64 cetakan Libanon terdapat riwayat sebagai berikut: “Rasul saw telah meminta dari kaum Anshar pada saat “bay’at aqabah II” setelah mereka membay’at Rasul saw, agar mereka memilih para wakil diantara mereka yang Rasul merujuk mereka untuk meminta pendapat.

Rasul saw, bersabda: Pilihlah untukku, duabelas wakil diantara kalian, agar mereka bisa bertanggung jawab (menjadi wakil) atas kaumnya dalam urusan mereka. Ka’ab Bin Malik berkata: ”kemudian mereka mengeluarkan (memilih) dua belas orang wakil dari mereka, sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aws”.

Memilih wakil dalam sirah tersebut tidak dengan cara pemilu namun dengan cara syuro mufakat. Arti Naqîb dalam hadits tersebut adalah para pembesar kaum, jadi para tokoh agama/adat/tokoh masyarakat, bukannya wakil rakyat yang dipilih dengan pemilu suara terbanyak, tapi masalahnya cara “perwalian” untuk mendapatkan wakil-wakil tersebut pada kondisi, keadaan dan situasi sekarang adalah harus lewat pemilu, sarananya partai dan pemilu.

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal masih ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

Siasat dalam pemilihan ini, siasat masuk dalam demokrasi ini adalah menjadikan pilihan suara kita hanya untuk kreteria secara pemimpin islami. Unsur-unsur lain diabaikan dan dijauhi karena kebebasan memilih toh hak kita yang ternyata masih dijamin pembolehannya. Masalah mereka yang lain ya, terserah yang punya hati. Siasat ini lahir karena ketakutan bahwa negara akan mengadopsi sistem non syariah yang tentu saja imbasnya adanya aturan “non syariah” itu bagi siapapun yang berada dinegara tersebut dan aturan itu bisa saja terjadi terus menerus selama tidak ada sebagian umat islam mencoba meruntuhkannya atau merubah membalik keadaannya.

Kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan. Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13.

Syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah”. As Siyasah asy-Syar'iyah hlm. 126.

Salah satu partai pun punya mekanisme syuro di partainya, dan keputusan-keputusan partai selalu merujuk kesepakatan syuro termaksud bakal calon presidennya, juga nantinya pertimbangan presiden pun (bila menang) sebelum mengambil keputusan harus meminta masukan dan mendengar keputusan dari syuro partainya pula terlebih dahulu atau syuro staf ahlinya. Nah syuro partai atau syuro staf ahli ini diisi oleh cendikiawan islam sfesifik ilmu, dai dan ulama. ini masukan ke batasan pemerintah. Dalam hal ini syuro ini juga terdiri dari ulama, dai dan cendikiawan islam agar semua keputusan dapat bersumber dari ajaran islam dan hukum yang diridhoi Tuhan, artiannya memarginalkan dan mengecilkan keputusan yang datang dari sumber luar islam atau tidak islami. Diharapkan juga kepada pemimpin daerah memiliki hal syuro serupa tersebut. Gambaran keputusan presiden, gubernur dan bupati harus mempertanyakan “apakah ini datang langsung dari Allah (hukum-hukum yang jelas di nash) atau ini sesuatu yang ada ijtihadnya”, bila dari hukum-hukum Allah, yang telah mutlak didalam nash, mereka mengambil hukum-hukum tersebut mutlak tanpa penolakan (masalahnya itu berarti presiden, gebernur dan bupati haruslah terpilih dari orang-orang bertauhid) dan bila pun mau dijegal diparlemen juga bakalan tetap menang karna suara terbanyak milik umat islam pro syariah ini. Bila dalam rana ijtihad, keputusan syuro jadi salah satu pertimbangan presiden, gubernur dan bupati menentukan kebijakannya, bila tidak salah pelajaran ini ada diperang khandaq antara dialog nabi Muhammad SAW dan sahabat Salman Al-Farisi.

Karena adanya pembagian dengan batasan 2 model kekuasaan dipusat (parlemen dan presiden) dan adanya pembagian kekuasaan di pusat dan daerah, 2 model syuro ini harus ada dan melengkapi 2 batasan pembagian kekuasaan ini. Dua model syuro ini yang akan saling melengkapi dan menjadikannya lebih dekat kepada syariat islam atau memang hanya mendekati nilai hakikat tujuan dan maksud syuro dalam islam. Sama bila kita berkata bank dan asuransi syariah belum sepenuhnya terbebas dari sistem riba, tapi lumayan solusi ini setidaknya telah menghilangkan beberapa bagiannya dari pada tidak sama sekali dan kedepan akan selalu tetap mencoba membebaskannya keseluruhan dari unsur riba, mencoba hingga berhasil membebaskannya, tidak hanya sekedar kata-kata “mencoba” tapi tidak lebih berupaya berusaha secara maksimal. Begitupun kita harusnya sadar mengaplikasikannya secara pribadi dan kolektif untuk menabung, asuransi atau menggadaikan dengan cara dan sistem syariah ini dan sebisanya menjauhi bank, asuransi, pegadaian konvensional ribawi lainnya itu.

Jadi hasil keputusan atau kebijakan pada musyawarah yang diinginkan adalah musyawarah umat islam pro syariah yang mengalahkan musyawarah dari non islami atau tidak pula terjadi percampuran antara islami dan non islami dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Serupa pilihannya mau mendominankan bank konvensional atau bank syariah dan mau nabung kemanakah arah umat islam. Caranya???.

Masalahnya tuntutan hal ini adalah ulama, dai dan cendikiawan islam pro syariah harus mempunyai suara terbanyak di parlemen mengalahkan total dari suara yang mengusung keputusan non islami/non syariat (karena pastinya keputusan yang lahir dari musyawarah ini akan selalu dicoba dijegal yang ujung-ujungnya voting sih, jadi kalau ada keputusan kaya gini nih jangan pernah tidak hadir ya, tanggungjawab besar loh sama Allah SWT) dan harus mengusung presiden yang beriman dan bertaqwa mempunyai tauhid yang benar kepada Allah SWT. Ini tidak bisa akan ada bila sebagian umat tidak mau membentuk jamaah yang mengikuti aturan yang “telah ada sebelumnya” berlaku dinegeri ini, Pemilu. Dan untuk memenangkannya dibutuhkan persatuan umat islam itu sendiri dengan sebuah sarana yaitu partai berasas islam dan juga harus mempertahankan terus perulangan kemenangannya dalam pemilu. Sarananya akan menjadi bernilai wajib sesuai tujuannya tersebut. Maka demokrasi tanpa mengganti label pokok kalimatnya “demokrasi”, telah tertekan mengadopsi pada sistem yang islami dalam subtansi-subtansinya hanya tinggal pembuktiannya pada hasil undang-undang dan pembuktiannya dilapangan. Ini kenyataan real yang harus dihadapi, tidak perlu menyalahkan masa lalu (menyalahkan takdir) tapi tidak melupakan hikmahnya, yang terpenting untuk menghadapi masa depan hingga menggenapkan semuanya dalam keseluruhan sistem murni islam yang tentu butuh waktu lagi nantinya kedepan. Tentunya kita harus memahami tahapan yang kemungkinan memang tidak langsung dapat terjadi mutlak dan solusi-solusi strategisnya kedepan jangka pendek dan tujuan jangka panjangnya dengan perencanaan yang matang. Strategi ini telah ditunjukkan oleh Wali Songo yang awalnya mencampurkan budaya setempat (sebagian orang menganggap bi’dah) dengan nilai islami, namun sayangnya kebablasan sampai sekarang, orang-orang setelah Wali Songo yang belum berujung kembali memurnikannya dari percampurannya dan meninggalkan budaya setempat itu, mengganti murni hanya menampilkan adab murni islam (yang dimaksud bukan budaya Arab Saudi). Coba bila Wali Songo bersikap keras dengan langsung pemurnian adab islam maka apa yang terjadi? “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159). Maka batasan pemakaian demokrasi adalah batasan jangan sampai kebablasan selamanya tanpa tujuan akhir memurnikannya keseluruhan, namun juga harus dilihat dari ketika semua element masyarakat sipil militer tidak lagi tabu pada konsep pengaturan negara dalam islam dan mereka berbondong-bondong sendiri dengan kemauan dan kesadaran sendiri ingin memurnikannya, tentu mereka akan mendekat disekelilingmu. Hal yang nyata tahapan awalnya adanya pembuktian lapangan keberhasilan solusi-solusi syariat terhadap kehidupan mereka terlebih dahulu baru dapat membuka ruang berbicara aplikasi lebih dalam dan jauh lebih dalam. Bila telah membulatkan tekad untuk memurnikan nantinya hal demokrasi ini, maka kapan finishnya serahkan kepada Allah SWT dengan tawakkal sebab kita tidak tahu kehendakNya kearah mana dihari esok dan lusa, kapan batasan pemanfaatannya sampai batasan akhirnya, apakah langsung tersambung hingga masa Imam Mahdi ataukah tidak dan yang hanya hingga dapat sampai menjadi penyeimbang dari sistem yang ada atau menjadi demokrasi bersyariat ataupun menjadi daulah islamiyyah yang bernama NKRI namun yang diingatkan adalah usaha dulu, baru tawwakal di finishnya, Bila gagal dan kemudian masih ada kesempatan usaha, maka usahakan lagi lalu tawakkal lagi di finishnya, seterusnya sampai ketetapan itu berubah atau teralihkan, bukanlah tawakkal namanya tanpa adanya usaha terlebih dahulu. Inilah salah satu solusi damai dalam negeri yang awalnya damai.

Hal strategi ini dikatakan ada pula terungkap dalam percakapan antara wali songo dalam buku “HET BOOK VAN BONANG”. Buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda, yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap.

Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam. Dalam naskah kuno itu diantaranya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo. ”Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bida’h”.

Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya “…” itu”.

Sunan Ampel: “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?

Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64) .

[Sumber : Abdul Qadir Jailani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia], hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu.

Pen: Anda bisa membaca langsung bukunya atau searching dengan paman google masalah apa yang dibahas Wali Songo tersebut. Perlu dibedakan antara hal-hal yang menjadi alat/sarana saja, hal-hal adat/tradisi/modernis yang hukumnya dapat diserupakan hukum pada hiburan, dan dengan hal-hal tradisi yang katanya terasa tak lengkap bila tidak ada hingga menjadikan upacara atau adat yang mengikuti atau menambah sebagai pelengkap bentuk ibadah yang murni hingga menjadikannya bentuk ibadah juga. Contoh bersifat sarana atau alat: Speaker/toa dan microphone untuk adzan berfungsi agar suara adzan dapat lebih berjangkauan luas terdengar suaranya dan kolektif sifat manfaatnya. Dalam photo-photo pemuda-pemuda Palestina melempar batu ke tank-tank Israel dengan memakai celana levis, saat sholat bila memungkinkan akan lebih baik memakai busana yang dianggap sebagai busana-busana muslim. Sarana dapat disesuaikan kemanfaatannya dan berapa lama pembatasan waktu pemakaian pemanfaatannya berdasarkan beberapa pertimbangan yang bernilai syar’i. Selain itu praktik yang dilakukan saat zaman walisongo. Ketika itu, para sunan turun ke panggung politik untuk menata Kerajaan Demak. "Yang menyitir para sunan, praktiknya dilakukan oleh para raden seperti Raden Patah dan Maulana Malik Ibrahim”, ulama dan ormas islam sekarang maukah melakukannya? Dan masyarakat umum/awam maukah mendengar apakata ulama-ulama dan ormas-ormas islam tersebut?

Antara Adat Dan Ibadah
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.

Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkisar pada dua hadits.

Pertama  : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .

“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.

Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.

Kedua : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu

Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat.

Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun tentang  bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rasul-Nya), firmanNya.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157] [2].

Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]

Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.

Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali” [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama  yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]

Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.

“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]

Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]

Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.

Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.
Kategori: Bid'ah Dan Bahayanya

Jika bisa dirinci jauh kedalam lagi ciri-ciri adat, tradisi dan teknologi mungkin seperti ini :
  1. Adat, tradisi atau teknologi yang menjadi sarana, semua sepakat bukan bidah, maksud sama “sarana/alat” tapi berbeda nama dalam kalangan nahdiyin, “bidah hasanah”. Seperti: mobil, komputer, internet, pemecahan ilmu-ilmu agama menjadi beberapa sub-ilmu, ilmu pengetahuan dunia, dsb. Kalau tujuannya berbuat haram, sarana bisa jadi haram. Kalau tujuannya syari, sarana bisa jadi wajib, sunnah, dsb.
  2. Adat, tradisi atau teknologi yang berbentuk hiburan, seperti: perlombaan tradisional dan moderen, musical tradisional dan modern, hukumnya sesuai hukum pada hiburan. *(kebanyakan orang-orang utama (yang ingin berderajat tinggi) meninggalkan hal begini, alasannya kenapa anda bisa merujuk pada pembahasannya dikitab-kitab), kalau tidak bisa meninggalkan semuanya, maka jadikan ada dan tidak adanya sama saja, bila masih tidak bisa maka seimbangkan baik dan buruknya, dsb.
  3. 1)Adat dan tradisi yang menjadi ibadah, 1a)dijauhi karena percampuran yang berpotensi mendekati penyekutuan kepada Tuhan, seperti sesajen, 1b) dijauhi karena sesuatu yang benar-benar tidak ada contoh prilaku/akhlak, seperti: memukul dan melukai diri dalam asyuro, 1c)tertolak karena bertentangan terbalik dengan hukum yang jelas dalam syariat, seperti: budaya minum tuak (miras). 1d)budaya lama sebelum islam atau budaya baru sesudah islam lainnya yang tidak sesuai syariat. 2)adat, tradisi, teknologi yang masih dipertentangkan karena menjadi sarana/alat yang masih dalam rana ijtihad (sepertinya harus dirinci jauh lagi sub bagiannya), seperti: apa yang dibahas Walisongo diatas tadi, tandatanya setelah faham adalah (dapat membedakan mana ibadahnya, sarana, percampuran dengan hal tradisi lain, bentuk hiburannya, bukan merupakan kewajiban terus-menerus, sifat “serupa” diberi tahapan-tahapan hukumnya atau adanya pembatalan-pembatalan hukumnya, dsb), setelah membulatkan tekad maka bertawakkallah. 3)peralihan hukum karena keadaan darurat, pertimbangan fiqh, contohnya, pada tahapan awal dari kasus Walisongo diatas, dsb…. Dsb.

Masalah bidah ini, terkait dengan masalah tingkat ”keragu-raguan” dan tingkat “kehati-hatian” seseorang atau kesadaran seseorang, yang mana tiap orang berbeda tingkatnya, untuk hal ini sangat sensitif, diserahkan ke pertimbangan individu masing-masing, sebaiknya Anda membaca banyak-banyak jenis referensi dan sisi-sisi pembedahan masalah-masalah ini sebelum membulatkan tekad untuk bertawakkal.

Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya (HR. Muslim : 1480).

Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat Al Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. (Al Baqarah : 233).

Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ”Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 1/635).

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura’ telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.

Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159).

Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura’ ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy Syura’ : 36-39).

Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 7/211).

Seluruh ayat Al Quran di atas menyatakan bahwasanya syura’ (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura’ adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” (As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126).

Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.

Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy. Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat Al Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.

Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunggu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.

Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits Al ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum. *kasus fitnah

Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.

Amir Al Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura’. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura’, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) (Al Aqd Al Farid hlm. 43)

Saat Samarkand jatuh ketangan pasukan muslim, orang Samarkand datang ke khalifah protes.

Samarkhand, adalah sebuah negeri di daerah Asia Tengah, ibukota Uzbekistan saat ini. Saat itu dikirimlah pasukan Islam dipimpin oleh Quthaibah bin Muslim. Dengan tujuan untuk menyelamatkan dan mengislamkan Samarkhand. Pada dini hari, dimulailah operasi penaklukan Samarkhand. Penaklukan itu terjadi dengan sangat mudah tanpa perlawanan yang berarti, karena saat itu mayoritas penduduk Samarkhand sedang terlelap tidur. Sehingga ketika subuh atau pagi harinya mereka baru menyadari bahwa kota mereka telah ditaklukkan.

Melihat kota Samarkhand telah dikuasai dengan tiba-tiba, mereka pun lantas mengajukan keberatan kepada panglima perang. Kenapa mereka keberatan? Sebab mereka tahu bahwa penaklukan yang terjadi dini hari itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, tidak sesuai dengan sunnah Rasululullah, sehingga mereka mengajukan keberatan. Selama ini mereka mendengar bahwa jika ada tentara Islam yang hendak menawan sebuah kota, sesuai dengan ajaran Nabi mereka, maka mereka akan memberitahukan terlebih dahulu kapan mereka akan tiba, melalui pintu kota sebelah mana mereka akan menyerang, berapa jumlah personel yang dikerahkan, kemudian tentara Islam dilarang oleh Rasulullah untuk menghancurkan bangunan, membunuh anak-anak, orang-orang lanjut usia dan wanita serta musuh yang sudah menyerah, juga dilarang menghancurkan tempat-tempat ibadah, dilarang merusak pohon-pohon dsb.

Bagi Rasulullah dan tentara Allah yang haq, mengislamkan musuh lebih mulia daripada membunuh atau menawannya dalam keadaan kafir. Sebab salah satu tujuan jihad dalam Islam bukan hendak membunuh musuh sebanyak-banyaknya tetapi justru menyelamatkan musuh sebanyak-banyaknya, yaitu dengan membawa mereka ke dalam agama yang selamat lagi menyelamatkan yaitu Islam.

Maka rakyat Samarkhand kemudian mengirim utusan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz tentang keberatan mereka dalam penaklukan Samarkhand. Khalifah pun faham apa yang terjadi, lantas beliau memanggil hakimnya untuk mengadili panglima perang dan seluruh pasukan yang terlibat. Akhirnya diputuskan bahwa penaklukan Samarkhand yang baru saja dilakukan adalah tidak sah menurut hukum Islam, dan pasukan yang terlibat mendapat hukuman yaitu dengan cara meminta maaf satu per satu kepada seluruh penduduk kota Samarkhand. Maka terjadilah peristiwa luar biasa, pasukan Muslim yang mencapai jumlah ribuan itu lantas bertebaran keseluruh pelosok kota, door to door, untuk meminta maaf kepada seluruh penduduk kota Samarkhand tanpa terkecuali. Bagi mereka ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan Pemimpin adalah lebih utama. Sungguh peristiwa luar biasa, mengharukan, dan ajaib, yang belum pernah diajarkan oleh Pemimpin ataupun diajarkan dalam ilmu perang mana pun. Itulah indahnya Islam.

Beberapa bulan kemudian dilakukan lagi ekspedisi oleh tentara Muslim ke Samarkhand. Kali ini tentu saja semua dilakukan dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka apa yang terjadi?

Yang terjadi adalah sebuah keajaiban. Tanpa disangka-sangka, penduduk Samarkhand ternyata sudah menanti di depan pintu kota untuk menyambut pasukan Islam tersebut, bukan dengan senjata tetapi dengan senyuman hangat yang penuh harapan. Mereka berbondong-bondong ingin memeluk Agama Islam, karena mereka telah merasakan akhlak Islam yang sungguh agung yang diajarkan Rasulullah SAW, dan merasakan bahwa hanya dengan Islam mereka akan mendapat keselamatan. Hati mereka sungguh puas dan redha menerima kedatangan Islam.

Selain itu ini adalah teladan kekesatrian/kewiraan/kependekaran dengan jalan terang-terangan, juga bukan diam membiarkan keburukan atau diam karena menyengaja keburukan tetap ada dengan tujuan tertentu walau terlihat mulia atau pun memancing/menunggu kekacauan dengan cara-cara tidak syar’i walau terlihat bertujuan mulia (agak licik menurut penulis, juga kurangnya/tidak adanya upaya membendung mudharat diwaktu-waktu tersebut).

Bila menang kita bisa tunjukkan dengan bukti kerja nyata dalam berapa masa 5-10 tahun bahwa iniloh solusi syariat islam, dimana masyarakat butuh bukti lapangan, mungkin perbaikan ekonomi dan penurunan harga-harga, menambah ruang untuk pekerjaan, perbaikan kesejahteraan, pendidikan (juga termaksud mengurangi fitnah ilmu), kesehatan, kestabilan keamanan dan hilangnya/kurangnya kriminalitas, termaksud rasa aman kaum minoritas tentunya dengan solusi dan pandangan syariat islam. Sesuatu yang universal diingankan masyarakat untuk kebaikannya di dalam negara. Setelahnya tanpa diminta pun, mungkin saja malahan masyarakat keseluruhan sendiri yang bakal ingin dan menyuarakan mengganti sistem keseluruhan dengan kesadaran mereka sendiri tanpa merasa dipaksa karena adanya pembuktian ini bahwa ternyata solusi itu buat kebaikan mereka pula dan nyata terasa manfaatnya. itu sih kalau masyarakatnya mau dengan sendiri atau kalau jalannya normal dan cepat, tidak ada tangan pihak ketiga, aseng dan asing, belum masanya huruhara dunia atau dicobanya digagalkannya atau dikendalikannya pemilu karena melihat adanya indikasi pro syariat menang dan itupun kalau menang suara. ini salah satu solusi, tawaran dari solusi damai pada keadaan negeri nan damai sebelumnya. solusi lain sesuaikan dengan sikonnya ntar.

Disini dalam tahap kedua ini diperlukan lagi sinergi kerjasama antara yang berada didalam sistem dan yang berada diluar sistem, dakwah menyadarkan masyarakat terhadap pemurnian pandangan islam terhadap negara. Namun harus hati-hati terhadap pengabaran negara dalam sudut pandang islam yang jangan sampai membuat ada bagian masyarakat menjauhi partai berasas islam (bisa menggembosi/tidak membantu perolehan suara pada pemilu). Gambaran kasar tujuannya adalah seperti awalnya, memenangkan jumlah suara parlemen dan presiden, mengajukan bukti-bukti dan manfaat lapangan keberhasilan solusi syariah, kepuasan masyarakat hingga ditinjau bukti dimana pada pemilu berikut telah 75% lebih masyarakat menyatukan suara kepada partai berasas islam (yang kemaren lalu memegang pimpinan 5 tahun tersebut, bila menang), bila hal ini kelak terlihat jelas maka makin dekatlah kepada tujuan akhir dimana sarana kemaren akan ditinggalkan secara keseluruhan tentunya atas inisiatif semua element masyarakat sipil militer dan bahkan non islam yang menginginkannya terwujudnya keseluruhan sistem karena bila hal ini terjadi maka tidak ada kekacauan yang akan mendahului kemauan masyarakat luas tersebut. Dakwah-dakwah insentif pada tahap dua ini menjadi teramat penting.

Bisa dengan membumikan perkataan senada seperti “demokrasi bukan dari islam tapi memilih pemimpin islam/partai berasas islam sebuah keharusan”, pengertian dan pemahaman dari dua hal yang seakan-akan bertentangan ini yang harus dirinci dan didengungkan jelas agar masyarakat mengerti dan namun tidak memberatkan pada salah satunya yang tentu saja menimbulkan banyak kerancuan bahkan perpecahan. Toh kedua-duanya adalah perkataan yang benar, namun sesuaikanlah pada tempatnya yang pas atau pada lingkup kedua-duanya dapat disatukan/tidak menimbulkan perpecahan. Maka ketika pemahaman masyarakat meningkat, tujuan akhir akan lebih jelas kedepannya.

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlakuk adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Mumtahinah [60] : 8-9)

Bila pun masyarakat luas tidak menginginkan pergantian keseluruhan sistem, dapat saja tetap berlaku adil dalam memakai sistem demokrasi, yaitu masing-masing kaum versus islam berhak mencoba berjuang memenangkan sistem, selama keadaan damai dan janganlah membantu kemenangan atau menjadi kawan dari partai berbasis non islam, karena sama saja membantu melawan/memerangi penegakan syariat islam atau membiarkan saja sistem dikuasai penuh oleh golongan yang tidak berpihak kepada islamisasi untuk subtansi-subtansi sistem dalam sebuah negeri. Maka sikap diam atau golput pun adalah sesuatu pilihan yang jelek, meninggalkan sebuah kesempatan amalan baik diduniawi untuk maslahat bersama, apalagi kalau sikap golput adalah disengaja untuk menunggu kacau, maka kesannya adalah siasat licik dan pembiaran kepada mudharat yang terjadi juga bisa saja memperbesar efek-efek mudharat yang terjadi.

Demokrasi ini mau dibawah kemana, demokrasi teokrasi atau demokrasi sekuler liberal? Namun, terlepas dari kritik-kritik itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan pula tambahan ‘bersama rakyat’, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”. Penulis melihat demokrasi khusus adalah kedaulatan rakyat islam dalam memilih syariat islam sebagai hukum negaranya, demokrasi patokannya adalah menuruti kehendak mayoritas manusia yang berhukum dengan hukum Tuhan, dengan mendominankan suara ulama, dai dan cendikiawan islam diparlemen dan memenangkan presiden dari orang-orang utama dalam tauhid kepada Allah SWT. “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat, dimenangkan oleh rakyat/umat islam yang berhukum dari Tuhan, demokrasi yang bersyariat islam”. Bila telah menang dan berjalan, tentu saja ditengah jalan akan ada mekanisme otomatis proses pengaturan konsep negara secara islam dengan sendirinya atau istilahnya langsung berteori dan berpraktek, teori yang menghasilkan praktek dan praktek yang menghasilkan teori. Pengarahannya akan lebih jelas seiring dengan waktu perjalanannya. So, usahakan dan biarkan berjalan dulu, see, wait and then more action. Jangan belum menang, sudah ribut. Cape dech!

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Oleh: Ust. Felixsiauw

MUHARRIKDAKWAH - Dalam Islam ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, dan pendekatan keduanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun fiqh hukum itu hanya ada hitam-putih dan jelas, bila terkait hukum benda maka hukumnya halal atau haram, bila terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5 (ahkamu-khamsah) yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.

Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, dan sebagaimana yang kita pahami, dakwah itu memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.

Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan pada dalil Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Misalnya ketika ada seorang Muslimah bertanya “Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan fiqh dan dakwah bisa berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.

Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya jelas “haram” bagi wanita tidak berhijab atau melepas hijab selain kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya bisa dijawab dengan menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami kewajiban berhijab. Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki adalah dari Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya yang taat” misalnya.

Pendekatan secara dakwah ini intinya menguatkan, memotivasi dan memberikan harapan agar pelaku maksiat tak lari dari pendakwah, mau terus belajar agar pemahamannya meningkat, dan bila pemahamannya sudah meningkat, insyaAllah kemaksiatannya akan ditinggalkan.

Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahan seseorang hanya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah

Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh nggak?”

Kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa” ikut aja dulu, karena merasa tak enak atau karena ingin dia ikut pada kita terlebih dahulu, karena kita justru melegitimasi pacaran yang maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan tetapi kita harus jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut kajian, itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.

Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka hijab bagi wanita?”, jawabannya harus tegas “ya haram”, tidak boleh dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat.

Islam memang tak memaksa dan memberi pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau tidak, menjadi beriman atau malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah memilih menjadi seorang Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya, “saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya”. Logis.

Karena itulah selepas Rasul wafat ada kaum yang menolak melaksanakan kewajiban zakat. Maka Khalifah Abu Bakar nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka mau melaksanakan kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila sudah memilih Islam ya kewajibannya membayar zakat.

Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul bahwa hukum berhijab itu adalah suatu keharusan – “hukumnya wajib” bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara dakwah, bisa banyak macam dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum fiqhnya harus disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak orang dari hukum Allah.

Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah, yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik.

Juga saat ditanya “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan sebelum menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa melainkan pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak penanya.

Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh iya, sekarang banyak orang menggunakan simbol agama untuk mencapai popularitas, uang, dsb..” Sangat-sangat tak elok

Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat mendengar jawaban semisal itu? Kira-kira begini “Ohh orang berhijab banyak parah ya? mendingan hijab hati deh” atau “Iya bener, mendingan kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang penting baik”

Lalu makin banyaklah orang beralasan saat ditanya kenapa belum tunaikan kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah aja berhijab, tapi ancur”

Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat, “Muslimah berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”. Ini jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan

Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih kuat dibanding paksaan, namun bukan berarti selama menunggu kemauan, kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti ketika seorang Muslimah belum memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak berhijab menjadi hilang. Karena ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas

Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw “Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah)

Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.

Maka Muslimah yang belum bisa berhijab pun seharusnya “memaksakan” diri dalam ketaatan, pasti Allah mudahkan dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan “tidak mau memaksakan” lantas menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan dan kelalaian saja.

Sampaikan kebenaran pada ummat agar mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan cara yang baik pula, setelah itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan dan kabar gembira lalu semuanya sempurnakan dengan tawakal

Buat yang sudah berhijab, semoga istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya. Bagi yang belum, selamat “memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada orang yang mendekat pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat pada-Nya.. akhukum, @felixsiauw

Belajar dari Kasus Irak: Da’i Serukan Golput, Syiah Kuasai Negara Oleh: AM Waskito

Baru-baru ini Ja’far Umar Thalib ditanya oleh jamaah pengajiannya tentang hukum mengikuti pemilu. Dia menjawab bahwa demokrasi itu haram, tidak boleh diikuti. Demokrasi juga sistem bid’ah yang diadopsi dari para filsuf kafir. Singkat kata, jangan mengikuti even pemilu 2014 yang sebentar lagi digelar.

Jika kesimpulan atau fatwa Ja’far Umar Thalib ini ditelan mentah-mentah, maka konsekuensinya kaum Muslimin (Ahlus Sunnah) akan meninggalkan tempat-tempat pengadaan pemilu, kemudian orang Syiah, Liberal, non Muslim memenuhi TPS-TPS, sehingga akhirnya terpilihlah tokoh-tokoh politisi yang anti Islam seperti Jalaluddin Rahmat, Ulil Abshar Abdala, dan sebagainya. Kalau mereka terpilih dan dominan suaranya diparlemen kemudian membuat aneka masalah dalam kehidupan Umat, ya jangan salahkan mereka; tapi salahkan diri sendiri yang telah diberi kesempatan memilih orang yang benar, tapi tak dimanfaatkan.

Umat Islam harus ingat dengan baik. Terpilihnya Nuri Al Maliki dan rezim Syiah di Irak, hal itu adalah melalui mekanisme demokrasi. Ketika itu banyak dai-dai Islam menyerukan golput, lalu terpilihlah tokoh-tokoh Syiah sehingga mendominasi parlemen dan pemerintahan; sampai akhirnya pemerintahan Irak jatuh ke tangan Syiah. Kini Syiah di Indonesia, Liberal, jaringan China, non Muslim berusaha mengambil kesempatan untuk menguasai Indonesia. Faktanya, mereka sangat gencar mencalonkan tokoh-tokohnya, melakukan lobi politik, melakukan politik pencitraan, dan seterusnya.

Kami akan jelaskan kembali masalah ini sebagai bagian dari amanat yang harus disampaikan. Meskipun masih saja (banyak) yang salah paham atau tidak mengerti.

[1]. Bagaimana hukum demokrasi menurut ajaran Islam? Jawabnya jelas, demokrasi bukan sistem Islam, tidak dikenal dalam sejarah Islam, dan statusnya HARAM menurut Syariat Islam. Mengapa demikian? Karena patokan dalam sistem Islami adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan dalam demokrasi patokannya adalah menuruti kehendak mayoritas manusia. Betapa jauhnya perbedaan antara taat kepada Allah dan Rasul, dengan mengikuti selera mayoritas manusia. Kedudukan demokrasi dalam hal ini sama seperti hukum makan daging babi, seks bebas, minum khamr, ribawi, dan lainnya yang sama-sama haram.

[2]. Daging babi haram, seks bebas haram, ribawi haram, minum khamr haram; tetapi mengapa di tengah kehidupan bangsa kita masih banyak (atau ada) yang melakukan hal-hal haram itu? Mengapa negara tidak menetapkan keharaman hal-hal itu secara tegas? Mengapa dan mengapa? Ya jawabnya mudah: karena negara Indonesia ini bukan berdasarkan Syariat Islam. Sekali lagi, sistem dan UU di negara kita ini bukan Islam. Kalau berlaku sistem Islam, tidak perlu demokrasi-demokrasian. Kita tak butuh demokrasi di sebuah negara yang Islami. Jawaban Ja’far Umar Thalib dan selainnya bisa dibenarkan, dalam konteks sistem Islami. Kalau dalam sistem sekuler seperti Indonesia ini, justru manfaatkan celah politik sekecil mungkin.

[3]. Negara seperti Indonesia ini kan bukan Islami. Sebagian kalangan Muslim malah menyebutnya sebagai negara thaghut, kafir, syirik. Jelas kan bahwa negara kita bukan (belum) negara Islami. Jika demikian, maka dalam urusan-urusan yang bersifat sosial-kemasyarakat, dalam urusan birokrasi, kepemimpinan, dan kenegaraan kita tidak bisa memaksakan Syariat Islam berlaku. Kalau dalam urusan pribadi, keluarga, lingkup terbatas, kita bisa menerapkan Syariat Islam; tapi dalam lingkup masyarakat luas, tidak bisa memaksakan. Paling yang bisa kita lakukan adalah: cara politik, lobi pejabat, tekanan publik, pembentukan opini, dan yang semisal itu.

[4]. Bisa saja sebagian Muslim ingin memaksakan agar Syariat Islam berlaku dalam kehidupan sosial, birokrasi, politik, kepemimpinan. Tapi hal itu akan ditolak oleh kalangan sekuler, hedonis, non Muslim yang sejak lama memang benci Islam. Resikonya akan terjadi konflik sosial, dalam skala kecil atau meluas. Atau paling kasarnya, akan terjadi perang antara pendukung Syariat Islam dan para penentangnya; seperti zaman DI/TII dulu. Mungkin dalam batas tertentu para pendukung Syariat tidak menolak jika harus menempuh cara perang untuk memberlakukan Syariat; masalahnya, apa yang sudah Anda siapkan untuk peperangan itu sendiri? Kalau Rasulullah SAW dan para Shahabat RA saja melakukan persiapan luar biasa untuk peperangan ini, apakah kita cukup dengan semangat dan keyakinan akan Nashrullah (pertolongan Allah)?

[5]. Jalan demokrasi atau pemilu adalah langkah kompromi antara arus pendukung Syariat Islam dengan para penentangnya, daripada kita menempuh cara perang (konflik). Kalau ada dua jalan, untuk mencapai tujuan yang sama (penegakan Syariat Islam), satu jalan melalui perang, jalan lain melalui kompetisi politik; maka Syariat Islam membimbing kita untuk menempuh madharat yang lebih kecil. Kaidahnya, ikhtaru akhaffi dhararain (memilih madharat yang lebih kecil). Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW sebelum penaklukan Makkah. Waktu itu terbuka dua jalan, secara terbuka memerangi Kota Makkah, atau memilih perjanjian damai dengan mereka. Lalu Nabi SAW memilih jalan damai, melalui perjanjian Hudaibiyah. Tujuannya sama, menaklukkan Makkah, tetapi menempuh cara yang lebih sedikit madharatnya.

Manhaj ini dipahami secara jelas oleh para sahabat. Ketika Rasulullah saw telah bersabda, maka tidak ada ungkapan lain apa pun yang menyelisihi sabda beliau. Walaupun itu perkataan Abu Bakar, atau Umar. Padahal, keduanya adalah dua guru Islam sekaligus khalifah rasyidah setelah Rasulullah saw. Umar bin Al-Khattab pernah berkata, “Rendahkanlah oleh kalian pendapat akal dalam agama karena aku pernah mendapatkan kehinaan itu pada peristiwa Abu Jandal karena menolaknya (yakni sabda Rasulullah).” Kala itu, Umar berkata : “Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan? Tetapi, mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?” Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Tahanlah logikamu, karena aku adalah utusan Allah dan Dia tidak akan menelantarkan diriku.” Merasa tidak puas, Umar pun pergi ke Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita? Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan?” Umar ketika itu berpikir bahwa kesepakatan yang disetujui pada perjanjian Hudaibiyah, isinya merupakan kehinaan besar bagi umat Islam. Namun setelah itu, berkah Rasulullah saw pun tampak. Dalam perjalanan pulang Rasulullah saw dari Hudaibiyah, surat Al-Fath pun turun. Semua ayatnya adalah kabar gembira dan semuanya adalah kebaikan bagi Rasulullah saw dan umat Islam. Bahkan, salah seorang sahabat berkata, “Kalian menganggap kemenangan itu adalah penaklukan Mekkah, sedangkan kami menganggap kemenangan itu adalah perjanjian Hudaibiyah. Karena setelah perjanjian itu kemenangan dan kebaikan pun datang disebabkan oleh berkah berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pen: tahanlah logikamu yang memang benar itu sejenak! Tempatkanlah pada tempatnya yang tepat (adilkanlah). Sebagian orang menganggap kemenangan itu dengan berdirinya khalifahan, tapi anehnya terkhusus negeri ini, penulis menganggap kemenangan awal itu ketika memenangkan demokrasi dan menjalankan penegakan syariah didalam sistemnya dengan aman seterusnya tanpa hambatan luar hingga masa penentuan penaklukan dunia kelak. Berlahan-lahan menggolkan/merevisi undang-undang ke prosyariah, undang-undang perekonomian, sosial, pendidikan, hukum pidana dan perdata, dsb. Selama demokrasi itu subtansinya mengikuti aturan nash dan hukum baku dalam islam, yang pokok bisa belakangan nyusul. Sakit nga sudah cape-cape berpuluh tahun bikin sistem demokrasi mendunia, ehh… ternyata bisa diislamisasi jua aiii.

Pada waktu peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, islam telah memiliki wilayah kekuasaan yang menjalankan syariahnya, Madinah dan juga sanggup mempertahankan keamanannya dari rongrongan serangan luar namun kurang punya legitimasi dari suku-suku lain, sebelumnya pula telah terjadi perang berkali-kali. Bahkan umat islam bisa saja lebih gencar berperang karna musyrikin Mekkah pada waktu itu sudah tidak mampu membendung atau membuat serangan lagi kepada Madinah (seakan-akan sudah hampir kalah). Bila dilihat, melakukan cara damai daripada pilihan perang lebih utama selama memang adanya maslahat besar dibelakangnya, meskipun awalnya telah terjadi perang, kecerdasan menilai sikonnya dan sebab akibat teramat penting. Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa Abu Bakar adalah seorang yang paling mencintai umat setelah Rasulullah, sedangkan Umar adalah seorang yang paling keras terhadap pegangan agamanya, dan bila tidak salah sahabat mu’adz adalah yang paling mengetahui halal dan haram.

Diriwayatkan dari Anas secara marfu, dia berkata, “Umatku yang paling penuh cinta kasih kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam memegang agama Allah adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, yang paling mengetahui masalah halal dan haram adalah Mu’adz, dan yang paling taat adalah Zaid. Setiap umat memiliki kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah.”

Bila ada serupa perjanjian Hudaibiyah, bila pengambil keputusan seperti karakteristik Umar biasanya barat/non islam menyatakan sebagai islam garis keras, kemungkinan jalan jihad fisik yang dominan. Masalahnya nusantara adalah negeri damai dan karakteristik kebanyakan orang-orangnya adalah (sekedar garis besarannya saja) karakteristik serupa Abu Bakar atau yang dikatakan islam moderat (buktinya jalur tarekat dominan di negeri ini) tapi jangan lupa Abu Bakar bisa tegas pula terhadap yang membedakan syariat. Dalam perjanjian Hudaibiyah point-point aturannya dibuat oleh musyrikin Mekkah, itulah Umar yang keras memegang agamanya bisa bersikap demikian, namun diminta untuk menahan logikanya. Didalam perjanjian itu terwujud saling interaksi antara kedua pihak dalam kaitan sesistem perjanjian tersebut. Bila Anda bisa lebih jeli saja, Anda bisa melihat dalam kacamata lain hal-hal dibelakang demokrasi sekarang ini yang dibuat oleh pandangan barat yang mungkin saja berbeda dengan demokrasi dijaman kuno dahulu sebelum islam hadir (mungkin saja bukan dimaksud demokrasi ala Aristoteles atau sebagainya seperti pengertian yang sekarang), Anda bisa membagi dari satu jenis sistem demokrasi menjadi paling sedikit 3 cabang arah dan tujuan berbeda dalam wujudnya. Bisakah Anda melihat ujung panahnya, lubang panahnya bahkan bulu panahnya?.

PERJANJIAN HUDAIBIYAH, BUKTI KEJENIUSAN POLITIK NABI MUHAMMAD SAW
Berkembangnya Agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kaum musyrikin Mekah. Ini terjadi pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah. Pada saat itu rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah Haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh Suku Quraisy, penduduk Mekah. Maka setelah terjadi negosiasi beberapa waktu, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai. Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama-sama dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku-suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik menyerang Madinah. Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang dibuat oleh Kaum Muslimin berupa parit. Serta berkat bantuan dari Allah SWT dengan mengirimkan berupa badai yang sangat dingin yang menerpa pasukan musyrikin tersebut. Perang ini dipandang sebagai akhir dari usaha Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin Madinah.

Sedangkan isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut menurut riwayat, intinya adalah:
  1. Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
  2. Bagi penduduk Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
  3. Bagi penduduk Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
  4. Bagi penduduk selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
  5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah.
  6. Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dipersilahkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.

Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
  1. Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
  2. Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
  3. Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
  4. Point ini bisa disebut imbang.
  5. Kaum Muslimin yang sudah capek-capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
  6. Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.

Pada saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja. Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan seperti itu.

Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat-sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 2 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:

  1. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku-suku lain pun pasti mengakuinya.
  2. Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur'an Surat Al Hajj ayat 39-40.

O ya selain itu dikatakan bahwa pada masa itu orang yang sudah berislam yang berada di Mekkah tidak boleh menyeberang ke Madinah, begitupun yang sudah menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya di Mekkah harus dikembalikan ke Mekkah, kemudian adanya pelepasan tawanan di Madinah dengan berupa pembayaran atau sebagainya, terjaminnya keselamatan orang yang mulai memiliki keimanan dihatinya namum belum menampakkannya yang berada di Mekkah. Ternyata hal ini malah menguntungkan islam itu sendiri, dimana orang-orang yang berada di Mekkah ini bisa berdakwah lebih leluasa dan tidak bersembunyi lagi karena adanya perjanjian damai ini kemudian ditambah para “tawanan politik” yang mengalami kebaikan akhlak islam di Madinah terhadap para “tawanan politik” menjadi tertarik pula dengan islam dan efeknya memberi penyampaian berita dan kabar pula secara lebih luas kepada penduduk Mekkah tentang apa itu islam dan bagaimana perlakuan islam terhadap mereka disana (Madinah) setelah mereka telah kembali berada di Mekkah, maka sedikit demi sedikit dakwah islam telah dapat diterima lebih luas oleh penduduk Mekkah, islam mulai memberikan pengaruh dan penerimaan yang lebih luas pada masyarakat Mekkah yang mulai terbuka pola pikirannya waktu itu dan yang tentu saja salah satu imbasnya akan mudah kepada penaklukannya kelak saat bila terjadi. Selain itu, bisa saja cara ini tidak akan membuat Mekkah (kota sendiri) jadi rusak karena peperangan yang tentu berakibat merusak. Dan bukan pula hal ini dimaknai bahwa Rasulullah tunduk terhadap musyrikin Mekkah atau dikatakan tunduk pada sistem mereka, proses yang berlangsung dalam sistem tersebut tentu berbeda fungsi, tujuan dan caranya, dalam sebuah sistem perjanjian paling sedikit terbagi 2 cara kerja berbeda maka tentu saja bila kita memikirkan hal serupa konteks ini, kita dapat membuat kesimpulan strategi baru cara membangun hal serupa contoh ini dimasa kekinian.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
  1. Berkembangnya syiar Islam.
  2. Kehidupan masyarakat aman dan damai.
  3. Pengiktirafan Rasulullah dan negara Islam di Madinah.
  4. Membuka jalan kepada pembebasan Mekah daripada Musyrikin Quraisy.
  5. Orang Islam dapat membuat perhubungan dengan kabilah Arab yang lain.

Kesan Perjanjian Hudaibiyah
  1. Rencana utama: Pembukaan Kota Mekah
  2. Musyrikin Quraisy semakin lemah.
  3. Islam berkembang dengan meluas dan Madinah semakin maju
  4. Orang Yahudi yang khianat diusir dari Madinah.
  5. Rasullah mengajar ummatnya bagaimana untuk membuat perjanjian dengan kaum kafir.
  6. Corak politik Rasulullah yang lebih menjurus kepada pemerhatian dan pemikiran.

Maka dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.

Kemudian dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.

Dalam pada itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan itu benar- benar terjadi. Maka ketika Bani Bakr yang menyatakan berpihak kepada Quraisy dan didukung beberapa tokoh Quraisy diantaranya Ikrima bin Abu Jahal menyerang Bani Khuza'ah yang menyatakan memihak Madinah, Nabi Muhammad segera menyiapkan rencana untuk menghukum Kaum Quraisy. Dan pada akhirnya, terjadilah penaklukan Mekah tanpa perlawanan berarti dari penduduk Mekah.

Maka tepatlah ketika Kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah, dalam perjalanan turun Surat Al Fath (Kemenangan).... Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.

Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat bersama 1400 shahabat, sedang dalam fathu makkah dua tahun setelahnya beliau berangkat bersama 10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.

Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.

Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”

Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad saw. dan shahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.

Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah swt bersama mereka. Kematangan itu tergambar di bai’atur ridlwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29).

Allahu a'lam bishshawab.

PERHATIAN: Kalau kita sudah sampai di titik ini, jangan dibalikkan lagi ke tahap elementer, seperti ungkapan “demokrasi itu haram, bid’ah, sistem kufar, syirik” dan seterusnya. Kita sudah progress pada tahap pertengahan, jangan dimentahkan lagi dengan ungkapan-ungkapan elementer. Mohon jangan membiasakan diri berputar-putar dalam kebingungan dan ketidak-jujuran dalam membangun pemahaman.

[6]. Bagi kalangan yang memutlakkan haramnya pemilu demokrasi dengan segala argumennya, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab: “Bagaimana menurut Anda jika melalui proses demokrasi dapat ditetapkan Syariat Islam sebagai hukum negara? Bagaimana jika melalui proses pemilu dapat dipilih pemimpin sesuai Syariah? Bagaimana jika melalui demokrasi, kaum Muslimin bisa berkesempatan mengatur negara dengan nilai-nilai Islam?” Mohon pertanyaan ini dijawab dengan jujur. Jika mereka SETUJU dengan demokrasi semacam itu, berarti yang jadi masalah bukan demokrasinya, tapi hasilnya. Jika mereka TAK SETUJU, maka itu aneh. Mengapa mereka tak setuju dengan penegakan Syariat Islam, kepemimpinan Syariah, dan kekuasaan Islam?

[7]. Mungkin mereka akan membantah dengan pernyataan berikut: “Mana buktinya bahwa mekanisme demokrasi bisa menetapkan Syariat Islam? Mana buktinya sistem demokrasi bisa memilih pemimpin sesuai Syariat? Mana buktinya bahwa demokrasi bisa menghasilkan dominasi politik Islam?” Jika demikian pertanyaannya, maka kami bisa berikan sedikit data-data untuk dipikirkan. Pemilu demokrasi di Pakistan pernah berhasil mengangkat Nawaz Syarif sebagai PM, lalu mereka memberlakukan Syariat Islam; meskipun usia pemberlakuan itu sebentar, sebelum Nawaz Syarif disingkirkan. Sistem demokrasi di Pakistan pernah mem-back up kepemimpinan Presiden Ziaul Haq rahimahullah yang Islami. Pemilu demokrasi di Kelantan Malaysia berhasil memantapkan negara bagian itu dengan UU Syariah. Pemilu demokrasi di Mesir berhasil memperbaiki Konstitusi sehingga lebih Islami, dan berhasil mengangkat Presiden Mursi yang hafal Al Qur’an sebagai pemimpin Mesir. Begitu juga, sistem demokrasi di Sudan menjadi jalan dominasi kaum Muslimin di sana. Termasuk demokrasi di Turki berhasil memperbaiki kehidupan rakyat Turki dan adopsi nilai-nilai Islam (seperti busana Muslim dan jilbab) ke dalam kultur sekuler Turki. Bahkan demokrasi di Palestina mengukuhkan Hamas sebagai dominator di wilayah Ghaza. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang ada.

[8]. Mungkin masih ada keraguan dengan pertanyaan: “Tapi faktanya Ikhwanul Muslimin di Mesir dibantai, Mursi digulingkan, FIS di Aljazair dibantai sampai jatuh korban puluhan ribu Muslim?” Jika situasi Mesir dan Aljazair dijadikan ukuran, itu konteksnya berbeda. Di sana yang terjadi adalah kezhaliman, kelicikan, kejahatan terbuka terhadap mekanisme kompetisi politik yang jujur dan damai. Sebagian orang menggunakan cara kekerasan untuk menghancurkan kemenangan yang diperoleh melalui kompetisi politik yang fair. Jadi dasar masalahnya bukan di kompetisinya itu sendiri. Tapi pada orang yang ngeyel dan tak mau kalah secara sportif, lalu memakai cara-cara kekerasan. Logikanya begini: Ada perlombaan lari diikuti 10 orang pelari. Dari perlombaan itu diperoleh seorang pemenang sebagai juara. Dia dapat piala. Tapi ada yang tak terima. Mereka menghajar sang juara sampai babak belur, lalu piala di tangannya diberikan kepada pelari lain yang kalah. Yang salah disini kan kezhalimannya, bukan kompetisi larinya.

[9]. Kalau kami umpamakan, pemilu demokrasi itu seperti bunga bank. Para ulama Muslim kontemporer sudah sepakat bahwa bunga bank itu haram, karena termasuk ribawi. Tapi pernah diajukan pertanyaan oleh sebagian orang kaya Muslim yang menyimpan uangnya di bank-bank Swiss. Mereka bertanya: “Bagaimana harus kami gunakan bunga bank ini? Jika tidak kami ambil, ia akan dikumpulkan untuk lembaga-lembaga Nashrani, lalu dipakai untuk membiayai kegiatan Kristenisasi. Kalau kami ambil, ia haram hukumnya sesuai fatwa ulama. Apa yang harus kami lakukan?” Akhirnya diberikan fatwa, bahwa bunga bank itu boleh diambil, lalu disedekahkan untuk pembangunan fasilitas sosial seperti jalan raya, jembatan, penerangan jalan, dan lainnya yang bukan bersifat konsumsi. Nah dalam konteks ini, situasinya mirip dengan pemilu demokrasi.

[10]. Yakin, haqqul yakin, bahwa demokrasi bukanlah sistem Islam, bukanlah cara Islami. Singkat kata, ia haram. Tapi kalau hak suara demokrasi kita tidak digunakan untuk mendukung misi perjuangan Islam, ia akan digunakan oleh anasir-anasir anti Islam untuk mencapai kekuasaan, mencapai parlemen, masuk ke proses legislasi UU, untuk mendominasi kepemimpinan birokrasi, dan lainnya. Apa Anda mau hak politik kita diambil kaum anti Islam? Atau dengan kata lain, apa Anda mau bunga bank uang Anda dikumpulkan lembaga-lembaga Zending untuk mengkristenkan Umat manusia? Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

[11]. Terakhir, ini penting disampaikan, bahwa mekanisme demokrasi bukan satu-satunya jalan politik yang tersedia bagi Ummat ini. Masih ada jalan-jalan lain yang terbuka dan perlu terus dikembangkan, sesuai daya dan kesempatan. Jadi tulisan ini bukan bermaksud menafikan jalan-jalan perjuangan lain. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Tapi diharapkan tetap bersatu untuk mendulang suara, jihad 5 tahunan sampai ketetapan itu berubah.

Demikianlah, bahwa asal hukum pemilu demokrasi adalah haram, bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Tapi dalam situasi darurat, di sebuah negara yang tidak berhukum dengan Syariat Islam, hak suara kita dalam pemilu demokrasi perlu dimanfaatkan, untuk mendukung missi perjuangan Islam. Jangan sampai yang menjadi pemimpin, anggota parlemen, perumus UU, pemimpin birokrasi, dan sebagainya adalah manusia-manusia hedonis, anti Islam, atau sesat akidah. Jika mereka yang terpilih, tentu akan melahirkan banyak musibah dan fitnah bagi Umat ini. Paling kasarnya, sejelek-jeleknya politisi Muslim, dia masih punya sisa-sisa loyalitas kepada agama dan Umatnya. Daripada yang terpilih adalah politisi anti Islam. Nas’alullah al ‘afiyah.

Semoga pembahasan ini bermanfaat, ikut mencerahkan Umat, dan berterima di hati kaum Muslimin.

Demokrasi, Halal atau Haram dalam pandangan Islam??

Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memposisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.

Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:
  1. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
  2. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
  3. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
  4. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
  5. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
  6. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
  7. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi

Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasian sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
1.      Tauhid sebagai landasan asasi.
2.      Kepatuhan pada hukum.
3.      Toleransi sesama warga.
4.      Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
5.      Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.

Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
  1. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
  2. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
  3. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
  4. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
  5. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.

Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
  1. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
  2. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
  3. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
  4. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.

Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Untuk ini diperlukan kontrol pemuka agama islam untuk menyarankan bahkan menfatwakan memilih partai berasas islam, pemimpin berkreteria islam dan larangan buat golput.

Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
  1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
  2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
  3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
  4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
  5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
  6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
  7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
  1. Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
  2. Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab

Sebab dan akibat
Demokrasi gagal karena prilaku orang-orang yang terpilih didalamnya yang mempunyai suara terbanyak bisa menggagalkan/mengalahkan suara aspirasi yang kalah suara karena akhirnya kalah voting. Suara aspirasi kalah banyak diparlemen atau hanya terbolak balik kiri dan kanan karena rakyat yang memilihnya tidak dominan memilihnya, bisa karena dibeli, karena pembalikan fitnah yang benar tidak dipercaya dan yang salah dipercaya, hipnotis media, phobia, kurangnya ilmu, dsb. Selain itu suara rakyat tidak dominan kepada suara aspirasi karena adanya larangan sebagian guru-guru aspirasi yang mengharamkan masuk kedalam sistem walau semisal hanya sekedar sejenak bersatu memperjuangkan aspirasi dibilik suara, karena adanya guru-guru antiaspirasi yang punya kepentingan duniawi dan dikuatkan dukungan hasil duniawi pula dan kurangnya dakwah dari guru-guru aspirasi yang dapat membedakan masalah, manfaat, dan sikonnya kepada rakyat dan sayangnya rakyat pun banyak pula yang tidak terdidik dengan aspirasi kebenaran.

Kebanyakan manusia melihat akibat saja namun lupa melihat sebabnya, akibat lalu yang menghasilkan sebabnya, sebab lalu yang menghasilkan akibat lalu tersebut. Lupa memperhitungkan rantai lingkaran setannya, lupa pula memperhitungkan butterfly effect-nya, bagian mekanisme pembentukan rangkaian takdir (dalam sudut pandang manusia).

Semua partai jelek, semua pejabat gila kekuasaan dan tukang korupsi, itulah salah satu alasan golput. Munculnya korupsi karena adanya kesempatan, adanya kesempatan karena berhasilnya kumpulan koruptor memenangi dan melenggang dikekuasaan yang identik dengan lahan basahnya, kumpulan ini berhasil menarik suara masyarakat berpihak padanya. Suara masyarakat berhasil tertarik karena adanya iming-iming meninabobokan, dibeli, satu hobby, sugesti, dsb. Plus dibantu oleh golputers sendiri. Golputers sendiri akan makin muncul bertambah karena sikap apatis yang berhubungan dengan “melihat akibat saja” kemudian “yang lebih muda yang idealis” melihat hal serupa termaksud merasakan pula rasa kecewa “yang lebih tua yang mengalami” kemudian ikut-ikutan apatis. Sayangnya nilai idealis ini tidak disertakan, dimanfaatkan dan ditujukan kepada yang amanah, hingga yang amanah kalah suara dan tidak memegang suara yang dominan dalam kekuasaan, mereka pun termarjinalkan didalam sistem. Ini hanya sekedar satu sisi, tentu saja sebab akibat itu mengandung banyak faktor dan sisi-sisi lainnya. Secara sadar Anda bisa meneliti sebab-sebab dan akibat-akibat Anda menjadi atau berbuat golput.

Pernah penulis berkata kepada tetua-tetua penulis, jangan pilih itu nanti ujung-ujungnya nyesal, benar sih ujungnya nyesal, beberapa tahun kemudian, jangan pilih itu, nanti nyesal lagi, nah nyesel lagi, kemudian berulang lagi, nyesalnya dibeberapa tahun berikutnya. Maklumlah penulis tidak punya harta yang dianggap berwibawa mengatasi kepunyaannya tetua-tetua, tidak punya kedudukan yang bisa dihormati tetua dan juga masih belum makan banyak asam garam kata mereka, jadi ya… cuma bisa sekedar mengingatkan yang mungkin saja masuk telingan kanan keluar ditelinga kiri namun anehnya tetua-tetua ternyata tidak kapok-kapok juga, sungguh hipnotis informasi hebat.

Tetua ada yang berkata, tuh dukunganmu berkoalisi dengan pemenang yang tidak aspirasi, penulis mau berkata, ya, karena mereka belum mampu dominan berkuasa, habisnya banyak orang-orang kaya tetua sih … (maunya berkata gitu tapi nga jadi, tau nih mulut terkunci rasanya dan penulis juga nga pandai bicara), mereka mengambil kaedah fiqh untuk mendekati penguasa (yang cocok dan pas keadaan pada saat situasi itu), mungkin ini hanya salah satu cara dimana Tuhan menolak sebagian kerusakan, karena kaedah fiqh ini sesuai untuk mengurangi kerusakan, maka ada beberapa bagian yang masih bisa baik, karena kesempatan masuknya orang amanah tersebut dan kerja kerasnya, adanya penyeimbang keadaan saat mengambil keputusan, sehingga keputusan tidak ekstream dan cendrung soft dan tentu saja akan ada jalur lain dimana sistem atau pekerjaan (usaha) dapat tersisipi oleh yang amanah (katakanlah bersifat universal), setengah amanah, seperempat amanah (mungkin 3/4nya nga amanah), dsb. Cara lainnya dimana mereka yang memegang kekuasaan itu akan saling menghancurkan dirinya sendiri (sesama kawannya atau sesama jenisnya), telah terbukti berkali-kali dan juga akan terulang kembali dan kembali. Bisa dibayangkan kerusakan akan lebih besar seandainya tidak ada gejolak dalam tubuh mereka sendiri, dan mereka pun sebagian waktu dan energinya terkuras untuk hal tersebut termaksud menghabiskan beberapa bagian apa yang tidak halal pada mereka untuk meredam laju aspirasi, dengan kata lain ada juga akibat sampingannya seperti dapat membuat tambah kegelapan dihatinya. Dan berbagai cara lainnya. Masih bukan sistem islami saja, yang islami mampu menolak beberapa balanya, apalagi kalau sistem tersebut bisa islami.

Kadang-kadang orang-orang pun menyamaratakan “sesuatu” tanpa membedakan prilaku atau pelakunya, sebab-sebab, fitnah-fitnah, dsb. Katakan apakah sama orang kafir dengan orang beriman? Apakah sama niat dan tujuan muslim yang memasuki sebuah pekerjaan dan sistem dengan non islami yang memasuki sebuah pekerjaan dan sistem.

Ambil contoh tentang mengharamkan poligami, orang-orang menyamaratakan yang berpoligami yang tidak syar’i dan yang berpoligami karena hal syar’i, kesannya poligami adalah sesuatu yang buruk karena apa-apa yang dilihat atau terlihat atau teropini tersugesti adalah yang buruk atau cuma menyengaja mau melihat yang buruknya saja, lalu menguatkan menyamaratakannya menyesuaikan apa yang sengaja ia benarkan dihatinya. Selalu hanya ingin bersangka buruk saja kepada orang-orang yang berpoligami. Pernah setahun lalu penulis tidak sengaja berdiskusi masalah poligami dengan seorang gadis, ketika itu penulis katakan, coba katakan saja “sah-sah saja berpoligami dan semoga bukan Saya” bila tidak berminat.

Penulis katakan coba pikirkan kembali, kenapa Tuhan tidak mengharamkan atau menghalalkan secara tegas, kenapa harus dibuat mengembang, “seakan-akan boleh-boleh saja 1 s/d 4” (walau ada yang menafsirkan dengan memakai syarat tertentu) dan itu akan membuat manusia berpolemik dan bertengkar berlarut-larut sepanjang masa. Bukankah Tuhan mudah saja untuk menegaskan haram dan tidaknya dalam wahyuNya?

Mengapa pula muslimah-muslimah generasi terawal tidak menolak/meminta keringanan akan hijab/jilbab (sehubungan dengan penulis belum menemukan adanya satu literatur pun tentang adanya sikap penolakan tersebut dari generasi muslimah awal-awal islam) kalau memang itu menyusahkan kaum wanita, bukankah diantara mereka, ada yang tahu atau mendengar berita/cerita bagaimana kehidupan wanita-wanita di Persia dan Romawi pada saat itu dan tren wanita pada saat itu (Arab jaman itu sebagai bangsa pedagang petualang diberbagai negeri-negeri tetangganya dan sahabat-sahabat nabi ada yang berasal dari negeri-negeri Persia dan Romawi). Apa kalian akan menyalahkan mereka pula?

Saat ini kita tahu beberapa hikmah dari sikap antipoligami dan ada hikmah apakah dibalik poligami? Kenapa Tuhan mau melihat manusia memperdebatkan itu sepanjang masa? kesannya sih jadi mempertanyakan hak absolut Allah SWT. Namun pikirkanlah apa ada rahasia yang baik antara masing-masing pilihan itu?

Beberapa alasan penulis jelaskan, hingga si gadis mengakui sah-sah saja hal tersebut. Penulis katakan, kalau saya cwe, saya mau dipoligami, atas inisiatif dan kesiapan saya dan melihat kemampuan dan persetujuan suami. Bila semisal kami hidup sederhana, bisa saja saya yang mencarikan madu yang agak kaya (punya rezeki yang lebih besar), tentu saja yang bisa hidup harmonis, saling membantu dan tak iri dengan saya. Otomatis nilai kesejahteraan kami dan dia meningkat, atau demi menyelamatkan sesama wanita, kenapa tidak. Menjadikan sahabat terbaik sebagai madu. Dan bahkan mungkin saja mencarikan madu yang lebih cantik atau muda dari saya untuk menyenangkan suami. Kau pikir suami tidak tambah cinta melihat pengorbanan istri, katanya istri dituntut taat pada suami, bila ia melakukan itu satu kakinya telah menginjak surga, tinggal melangkah, nah pertanyaannya klo si istri taat saja sudah kya itu, gmana klo sih istri sudah taat ditambah menyenangkan si suami dengan kasih sayang yang besar itu, berat loh ujian bermadu itu, disitu pula istri bisa lebih dekat dengan Tuhan dalam sabarnya dan lebih banyak waktu senggangnya dari gangguan suami. Istiqomah dalam beratnya berumah tangga seperti itu dan memasukkan banyak hikmah dalam hidupnya. Secara kodrat pria kebanyakan “minat” seperti itu, namun ada juga sebagian kecil tidak mau bermadu. Kenapa saya tahu? Adakalanya tulisan itu bisa mencerminkan akhlaknya, banyak tulisan karya pria termaksud banyak tulisan non muslim yang mencerminkan itu terlebih lagi percakapan kaum muda.

Bila saat ini ada 1000 cwo umur pas buat nikah, seharusnya kan cwe pasangannya satu bandingan yaitu 1000 cwe, jadi idealnya 1000cwo:1000cwe, nah sekarang lihat dulu berapa bandingan cwe sama cwo dalam sensus dikotamu, kota tetanggamu, negaramu, negara tetanggamu dan dunia untuk umur 20-30? Anggaplah sekarang ini cwe sama cwo sudah berbanding 1:4 di kota atau negaramu malahan ada dibeberapa tempat perbandingannya sangat jauh, coba klo dipasangkan satu-satu, berarti ada 3000 cwe tidak dapat nafkah batin tiap 1000 pasangan, nah buat yang 3000 cwe yang tersisihkan dan kalah ini beberapa bagian akan 2x lebih rentan terhadap godaan-godaan cwo-cwo iseng, karena siapa sih nga mau dapat kasih sayang nafkah batin? Maka bisa lebih banyak jadilah secara terselubung dan rela hati terjadi hal-hal perselingkuhan gitu. bisa saja diantara mereka beberapa bagian menjadi madu terselubung (poligami halal dikebiri pembolehannya dan selalu dijelekkan, poligami terselubung akan menjadi-jadi), mengganggu suami orang atau pasang badan rela diganggu, bisa pula menambah adanya lesbian, beberapa bagian jadi perawan tua dan beberapa bagian karena harus juga mikir perut, cari nafkah makan jadi beralih profesi wanita malam karena tak ada pencari nafkah makan buat mereka dan ingat mereka juga butuh nafkah batin loh sama besarnya dengan apa yang kamu inginkan soal kasih sayang tuh, ayo kira-kira wanita mana yang egois, yang 1000 cwe bilang egois buat cwo yang poligami cwe, trus yang 3000 cwe nga kebagian bilang egois yang 1000 cwe tuh. Coba renungi dan pikirkan atau bertanya pada mereka, klo kamu jadi wanita bagian yang 3000 tuh, gmana perasaanmu klo nga kebagian cwo-cwo tuh dan gmana kau menafkahi lahir batinmu? Ingatlah wanita yang kita bicarakan bukan 4000 saja, dikotamu ada ratusan ribu hingga jutaan, lawan-lawan kasih sayangmu ada lebih besar jumlahnya, loh?! berapa banyak perawan/gadis tua muda, janda-janda dan wanita penghibur yang bermunculan menggila nakalnya karena mereka harus mencari nafkah sendiri, berapa banyak anak-anak yang menjadi liar tak terkontrol, seandainya ada aturan sah-sah poligami mungkin tuh semua berkurang, karena alasan pertama cwe berbuat adalah mencari nafkah, nafkah fisik dan tentu saja nafkah batin. Ditambah agamanya tidak kuat, mereka akan mencari kesempatan? Ya, lagi-lagi kesempatan. Secara kebalikkan poligami halal bisa menyelamatkan antara 1000 s/d 3000 cwe bila dilihat dalam kacamata lainnya, efeknya akan tidak terasa bila cuma 1 atau 2 orang, tapi kalau kolektif terjadi efeknya akan terasa terlihat jelas, termaksud berkurangnya wanita malam yang terlihat dinihari. Mungkin sebab akibat dan butterfly effect-nya ini kurang terpikir olehmu. Oleh karena pilihanmu mengharamkan poligami dan mendengungkannya mendunia?

Dan ada juga efek sampingan lebih dalamnya adalah masalah keributan rumah tangga, kriminalitas seperti (KDRT), hak waris, harta gono-gini, status nasab dan nasib anak yang kurang “legitimet”, dsb ketika ada perpisahan karena poligami terselubung tadi yang dikatakan kurang “legitimet” dan juga akan makin memperbesar efek stigma negatif pada seluruh pelaku poligami yang bakalan berimbas pula kepada poligami halal nan syar’i.

Mungkin kau pula tidak tahu bahwa bisa jadi diakhirat kau harus mempertanggungjawabkan hal pilihan ini pula, 3000 cwe ini bisa beralasan dan menjadi salah satu saksi dan penuntutmu pula di akhirat, untuk menyeretmu pula beserta mereka akan apa yang kau lakukan di dunia. Mengapa kau berbuat nista? Salah satu alasan mereka bisa meneriakkan masalah ini, didunia tidak ada yang menafkahi, tidak ada pria penafkah, karena semua wanita yang menikah egois tidak membagi cintanya dan mengharamkan poligami, yang terpampang jalan yang tidak halal. Lalu bagaimana bila berjuta-juta wanita menjadikan ini pertanggungjawaban diakhirat. Karena sebab akibat masih terhubung pada Pemberi sebab akibat, karena sebab akibat dapat jadi alur cerita jalan persaksian pula. Dan ingatlah akibat-akibatnya serta butterfly effect-nya yang luas jangkauan imbas akibatnya. Maka katakan saja sah-sah saja poligami, sebab yang mengharamkan bahkan membuat aturan hidup antipoligami, bisa saja diakhirat dituntut oleh wanita-wanita yang terjebak berjalan digelapnya malam. Dan mengapa dikatakan dineraka lebih banyak wanitanya? Salah satunya karena mereka menolak ayat Tuhan yang mengisyaratkan sah-sah saja poligami, mengambil separuh dan membuang separuh nash. Katakanlah “sah-sah saja poligami dan semoga bukan saya” bila tidak minat dan namun ya, semoga saja dalam perjalanannya, Engkau bukanlah berada dibagian posisi yang 3000 cwe yang tersisihkan kalah itu.

Untungnya pula pada suatu masa kelak, penerus-penerus yang antipoligami ini dengan kesadaran sendiri akan “sangat berlomba-lomba” minta dipoligami walau untuk sekedar hanya melebelkan nama pria padanya (agar mendapatkan marga) bahkan lebih parah dari itu ketika mereka dengan terang-terangan berlomba-lomba minta dipoligami seperti keledai kawin tanpa ada rasa malu dan tidak secara sembunyi-sembunyi lagi, yaitu ketika satu pria berbanding 50 wanita. Banyak pria yang mati ketika huruhara dunia. Semua pria masa itu akan menjadi selebritis bagi wanita, yaitu kaum yang akan merasakan kiamat langsung.

Wahai saudaraku, lihat dengan hatimu, disini Anda bisa memperhatikan fitnah/kotoran pun akan tetap mengimbas kepada yang syari walaupun ia berbuat sesuai hal syari, tapi fitnahnya yang mengejar dan mendatanginya hingga ia terkena imbasnya pula walaupun tidak berbuat serupa hal tidak syari tersebut, walaupun ia sudah punya dinding pemisah jelas untuk dapat membedakan dan dibedakan, bukankah keburukkan akan selalu berbentur kepada kebaikan, bukankah bau bangkai lebih tajam baunya buat orang-orang lain yang mencium biarpun ada haruman didekatnya, fahamilah ini, maka Anda akan tahu kekotoran pun akan melekatkan predikatnya biarpun kepada lawan kekotoran tersebut karena sifat lengketnya karena banyak yang melihatnya dari luar tanpa dasar ilmu yang dalam lalu menyamaratakan semuanya, tidak jeli membedakan. Dalam sistem atau diluar sistem (baca: demokrasi atau poligami), yang syari/yang islam akan tetap kena imbasnya dari adanya fitnah/kekotoran sebagaimana imbas pandangan jelek terhadap seluruh poligami ini, mau setinggi bagaimanapun iman dan taqwamu dan sangat-sangat baiknya perlakuanmu kepada istri-istrimu dan biar bagaimana pun tingginya keikhlasan istri-istrimu berbagi cinta, kau tetap kena imbas jeleknya dari pandangan orang lain terhadap poligami, sebab banyak yang melihatnya tidak jeli dan faham. Dan bukankah ini dari dulu menjadikannya pula olok-olokan keseluruh umat islam, baik yang berbuat maupun tidak akan agama KITA tampaklah kebencian mereka terhadap syiar islam, mereka yang tidak melakukan pun kena imbas juga, bahkan ada kalangan yang “mengaku islam” pun mengolok-olok syariat yang sah-sah saja ini, secara pembalikkan pun begitu pula, poligami adalah syariat yang sah-sah saja (dari islam), begitu islam masuk ke demokrasi (luar islam), imbas kotorannya pun akan terkena buat mereka walaupun ada dinding pemisah pembeda dan dapat dibedakan, walaupun niat dan tujuan berbeda, karena diluar, orang-orang menyamaratakan semua yang masuk disistemnya, padahal kaupun yang ada diluar sistem juga terkena efek-efek lain-lainnya yang banyak dari kekotoran yang ada di sistem ini, sebut saja bila kau adalah pekerja kemungkinan kau terkena imbas BPJS dengan label bank konvensional ribawi dibelakangnya, dikantongmu pun ada uang kertas pula, dan baru saja kita memperbaharui opini umat, diseberang sana mereka pun tiba-tiba seakan-akan mau mengusung perubahan, revolusi mental, wahh… hallooooo… darimana saja kemaren-kemaren! dan kemudian pula mengatakan kekotoran, seperti: situs-situs Islam lebih berbahaya daripada pornografi, perda syariat Islam bakalan dilarang karena mereka anggap bakal menganggu kemajemukan NKRI, ada yang ingin menjadi intel mesjid mengawasi kutbah jumat, dsb. Emangnya islam itu kekotoran peradaban bagi mereka, nah kalian pun kena kan, wahai… Saudaraku.

Lebih lanjut baca link pembahasan poligami dari beberapa sisi sudut pandang :
  1. http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/poligami-syariat-yang-ditentang.html
  2. http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/poligami-syariat-yang-ditentang-kasih.html
  3. http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/ada-apa-dengan-poligami.html
  4. http://www.solusiislam.com/2014/05/surat-dari-seorang-perawan-tua-kepada.html  
  5. http://www.eramuslim.com/oase-iman/poligami-dari-berbagai-sisi.htm
  6. http://ping.busuk.org/v/728258/pandangan-wanita-dara-tentang-poligami-sanggup-jadi-isteri-kedua-pengakuan-berani-mati.html  

Menyerukan manusia agar tidak menyukai poligami, adalah keburukan. Tetapi memudahkan lisan menyeru manusia berpoligami adalah musibah. Membenci poligami yang jelas nyata tuntunannya adalah kebathilan yang sangat besar. Tetapi memudah-mudahkannya merupakan ketergelinciran. Sesungguhnya, jika suatu perkara telah ditetapkan dalam syari'at, maka tidak ada hak bagi kita untuk setuju atau tak setuju. Pun, poligami. Seandainya pahala amal kita memenuhi langit dan bumi, maka membenci apa yang disyari'atkan Allah Ta'ala akan menghapus seluruh pahala itu. Tak ada hak untuk menolak ketentuan syari'at. Membenci syariat Allah membuat amal berguguran. Simak QS Muhammad: 9.

Renungilah: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." QS. Muhammad, 47: 9.

Sesungguhnya takalluf (memaksa-maksakan diri), tasyaddud (memberat-beratkan) maupun taqshir (melonggar-longgarkan) adalah keburukan. Maka, kita perlu berbekal dengan mempelajari agama ini dengan baik. Menggebunya semangat tanpa ilmu dapat menggelincirkan sehingga ghuluw. Sebaliknya, ketiadaan ilmu & keyakinan terhadap kemahabijaksanaan Allah dalam segala hal dapat jadikan seseorang menganggap buruk syari'at. Sebagian orang bersikap nyinyir terhadap poligami tanpa memilah mana yang syar'i mana yang tidak. Padahal ia menjadi panutan & rujukan. Bersebab pandangan buruk terhadap syari'at, banyak muslimah yang terhalang berumah-tangga, meski usia muda sudah hampir meninggalkannya. Sebaliknya, ada yang kelewat semangat sehingga sibuk mengompori. Lupa menakar, lupa menata bekal. Yang demikian ini justru bisa fatal. Alih-alih mengompori, lebih baik mendidik diri dan orang lain tentang ilmu dien ini dengan baik & matang. Inilah penakar & bekal yang baik. Sesungguhnya ini bukanlah soal gengsi-gengsian. Bukan soal "wah". Tapi soal tanggung-jawab & ketetapan syari'ah. Ini yang perlu kita ilmui. Demikianlah. Semoga catatan sederhana ini bermanfaat. Berkenanlah mengoreksi jika jumpai kebathilan di dalamnya. by @kupinang.

Sebagian ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, telah menetapkan bahawa menurut asalnya, Islam sebenarnya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandungi peringatan agar poligami ini tidak disalahgunakan.

Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahawa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhuatirkan bahawa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.

Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan poligami yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini berarti ia tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.

Tulisan kemaren tentang poligami ini sebenarnya dalam konteks sudut pandang untuk wanita saja, untuk pilihan wanitanya karna bahasannya emang dari diskusi sama wanita, kemaren tidak dilebarkan kepada sudut pandang pria, soalnya sepertinya atau kemungkinannya ada sesuatu faedah yang besar buat wanita itu sendiri, tapi biasanya yang diungkit-ungkit diluaran lebih kemasalah keprianya, bila dilebarkan ke sudut pandang pria ia punya syarat, seperti berdasarkan asas adil, harus dirinci lagi adil seperti apa. Terus niat hatinya sebenarnya apa, kemampuan diri, juga masalah takalluf (memaksa-maksakan diri), tasyaddud (memberat-beratkan) maupun taqshir (melonggar-longgarkan), terus penyampaian dan ridho rumah tangga awal (istri pertama), anak dan keluarga lainnya, apa telah siap semuanya, dsb. Walau unsur utamanya niat dan asas adil sudah cukup tapi kan tidak elok juga bila tidak menyempurnakan hal-hal lainnya pula terlebih dahulu, pertimbangannya seperti apa perlu dipikirkan masak-masak untuk keharmonisannya dan untuk nilai pendekatan ibadah tersebut. Ajakan kabar dan peringatan kemaren bersifat untuk wanita agar lebih memikirkannya lebih jauh terhadap syariatnya dan pertimbangan gendernya.

Bila dilihat secara individu (wanita), pilihan yang tepat adalah yang menurut individu itu tepat buat penguatan ibadah dan keyakinan dia. Apakah ia sanggup dengan ujian tersebut atau tidak. Apakah makin memberi dampak makin menjadikan baik nilai agamanya atau tidak. Apakah menolak dan meninggalkan yang menurut ia adalah mudharat baginya ternyata hasilnya malah menambah banyak mudharat lain-lainnya dengan efek yang lebih luas. Itu bila dilihat secara individu namun bila dilihat pula kelingkup lebih besar terhadap umat, kenyataan lapangan dan manfaat melakukan kolektif, melihat sisi sosialita yang lebih luas, lalu bagaimana sifat kolektif dan jangkauan luas ini? Bagaimana pengorbananmu atau kasih sayangmu kepada umat atau kepada sesama wanita atau sesama manusia lainnya? Apa batasan cintamu? Diri, keluarga, orang lain, karena Allah atau pada Allah SWT? Hal lainnya yang kedua pula, benarkah poligami buat sudut pandang wanita itu selalu bernilai buruk, padahal kadang-kadang yang buruk itu belum tentu buruk. “Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19), suratnya untuk an-Nisa lagi, a yo ada makna lain apa tuh? (oohhh… suamiku, janganlah memaksa diriku, kau tahukan menurut penelitian bahwa akal wanita itu lebih lemah dari pria, maka ajarin istrimu ini dahulu lebih dalam terhadap agamanya, bisa saja suatu saat istrimu ini siap dan ikhlas dan bila pun tidak, bukankah sabar ditahap ini juga baik untukmu dan bisa saja itu baik untukmu karena belum tentulah itu buruk, bisa jadi poligami itu buruk untukmu, baik atau buruk hasilnya kita belum tahu apakah kita sanggup, dan kau kan tahu, suamiku, istrimu ini bukanlah pemaham kesetaraan gender, istrimu ini mengerti bahwa sebelum bicara kesetaraan gender berbeda (pria dan wanita), maka harusnya bicara dulu kesetaraan gender sejenis, aku punya suami, semua wanita lain harusnya juga punya kesempatan yang sama, tapi ini ditolak karena sama saja antikesetaran gender (berbeda) karena memang adanya perbandingan berbeda antara jumlah pria dan wanita, padahal secara terselubung banyak yang mau setara secara gender (sejenis), poligami terselubung, jadi sama saja tidak ada kesetaraan gender (berbeda) dan juga terlebih lagi bila wanita yang mau banyak suami sama saja nambah jauh perbedaan ini, dan juga tidak bisa untuk sama-sama tidak punya suami biar setara, dijamin 100 tahun kemudian, manusia musnah dengan sendirinya, dan juga mau dibawah kemana nafsu ini, atau bayi tabung saja, berarti surga ntar berada dibawah dasar tabung bukan lagi dibawah telapak kaki ibu, dan istrimu tahu bahwa itu pula tidak dapat diserahkan hanya ke seleksi alam karena alam sudah menyeleksi jumlah perbandingan berbeda wanita dan pria atau supaya seleksi alam yang akan menyebabkan ada yang superior dan ada yang pecundang, waduh tetep nga ada setaranya dech karena seleksi alam juga mengajarkan berbedanya kodrat wanita dan pria. Istrimu ini tahu bahwa wanita tercipta mancung kedepan dibagian atas, sedangkan pria mancung kedepan dibagian bawah, bicara kesetaraan itukan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, berarti harus ambil jalan tengahnya biar setara, maka itu pun tidak bisa karena yang dapat mancung kedepan ditengah secara kodrat cuma wanita saja yang dapat melakukannya, pria kan mana bisa, maka istrimu ini tahu bahwa sah-sah saja ada poligami halal dan secara kodrat tidak dapat ada kesetaraan gender untuk gender berbeda, baca juga http://hm-herimulyadi.blogspot.com/2014/05/inilah-manajemen-hati-supaya-siap-di.html dan http://www.nyonyorino.com/poligami/ dan http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2014/05/30/30665/manajemen-hati-supaya-siap-dipoligami/#sthash.v9chl715.xJf3khsF.dpbs  ).

Tugas Utama Wanita
Ada perbedaan dalam penciptaan lelaki dan wanita.  Lelaki memiliki kesempurnaan dalam kekuatan fisik.  Wanita lebih lemah dari segi penciptaan bentuk tubuh dan tabiat alamiahnya. Karena wanita mengalami haid, mengandung, melahirkan dan menyusui.  Masing-masing memiliki tugas yang sesuai dengan fisik mereka. “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR Bukhari).

Perbedaan bentuk penciptaan ini difasilitasi dengan perbedaan beberapa hukum syariat, serta perbedaan posisi dan peran dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.  Lelaki dominan di sektor publik.  Wanita lebih utama di sektor domestik. Perbedaan peran dan tanggungjawab antara pria dan wanita tidak membuat supermasi pria terhadap wanita, tetapi untuk saling mengisi dan melengkapi.

Maju mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh wanita. Isteri hebat  yang mendampingi lelaki sukses, yang selalu memberi kehangatan dan menciptakan keharmonisan rumah tangga. Ibu yang menjadi madrasah pertama dan utama, yang akan membentuk akhlak dan pribadi generasi penerus.  Wanita muslimah yang menjalankan tugasnya akan melahirkan para pejuang, syuhada, mujahidin.

Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang Paling Bengkok
Nabi saw bersabda, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka sikapilah para wanita dengan baik” (HR Bukhari). 

“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi, jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

 "Saling menasehati untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk  yang bengkok” (HR At-Tirmidzi). 

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya” (HR Muslim).

Jika suami ingin meluruskan wanita dengan selurus-lurusnya tanpa kebengkokan, pasti akan terjadi perselisihan dan perpisahan.  Bila suami bersabar dengan keadaan istri yang bengkok (kelemahan akal dan semisalnya), pergaulan keduanya akan berlanjut.
 
Pesan hadits ini, lelaki bisa memahami sifat, karakter dan kecenderungan wanita.  Sehingga bisa bersikap lebih bijaksana, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan wanita.  Tidak keras dan kasar. Tetapi tidak membiarkan wanita, karena akan merugikan keduanya. Wanita harus dijaga dengan baik, tidak didzalimi, diberikan haknya, serta diarahkan kepada kebaikan.  Waspadailah ada 4 golongan lelaki yang akan ditarik masuk ke dalam neraka oleh wanita, karena tidak memberikan haknya, yaitu: ayahnya, suaminya, saudara lelakinya, anak lelakinya.
 
Tulang rusuk yang paling atas adalah yang paling bengkok.  Wanita itu ada kebengkokan dan kekurangan.  Rasul bersabda: “Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bisa menghilangkan akal laki-laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita)” (HR. Al Bukhari Muslim).  Kurang akal, karena persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang lelaki.  Kurang agama, karena wanita tidak boleh shalat ketika sedang haidh dan nifas.

Allah Swt berfirman: “Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para isteri) secara patut” (QS 4: 19).  Ibnu Katsir menafsirkan: “Halusi ucapan kalian terhadap para isteri dan perbaiki perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila isteri berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Swt berfirman: “Dan para isteri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS 2: 228).

Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (isteri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (isteri)ku.” Wanita harus selalu di jaga dan di lindungi, karena wanita perlu sekali perlindungan.

Wanita tidak dianggap rendah karena diciptakan dari tulang rusuk.  Karena tulang rusuklah yang melindungi dada, di mana di dalamnya ada jantung yang memompa kehidupan manusia.  Oleh karena itu, isteri memiliki dua tugas.

Pertama, mendorong suami agar kuat dadanya (lambang keberanian dan keperkasaan), sehingga potensinya bisa berkembang berkali lipat. Suami dijaga agar dadanya yang penuh dengan berbagai macam perasaan (benci, cinta, senang, jengkel), bisa tetap menjadi lapang, sehingga selalu bersikap optimis dan dapat menyelesaikan masalah.  Dada yang sempit membuat pesimis, putus asa, tidak semangat dan mudah sakit (QS Thaha: 25, 28). 

Kedua, menjaga hati suami. Hati tempat keimanan dan kebahagiaan. Isteri harus memberi kedamaian dan kebahagiaan suami, sehingga imannya semakin kuat.

Wanita, kembalilah kepada fitrahmu, yang akan membuat dirimu dan umat manusia mulia.
[Ummu Hafizh]

Rada ribet juga menjelaskan detailnya karna ini menyangkut bagian ilmu hati, maksudnya sih, harapannya dalam sabar itu, dalam keadaan itu bisa jadi banyak hikmah yang kau dapati, banyak hal ilmu terbuka dihatimu dan bisa jadi tingkatan derajatmu akan jauh lebih tinggi sangat dekat dengan Tuhanmu.

3090. Dari Muhammad bin Khalid As-Salami dari ayahnya, dari kakeknya —salah satu sahabat Rasulullah SAW— ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika Allah telah menghendaki seorang hamba tidak sampai kepada derajat dengan amalnya, maka Allah akan memberikan ujian pada fisik, harta atau pada keturunannya (anaknya). Kemudian Allah ciptakan kesabaran pada hamba tersebut sampai ia mencapai derajat yang telah Allah SWT tetapkan (Shahih) Ash-Shahihah 2599.

4263. Dari Miqdad bin Al Aswad, ia berkata, "Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang terhindar dari fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang dapat terhindar dari fitnah dan orang yang diuji (dengan suatu cobaan) kemudian bersabar, dan ia memuji (berkata dengan takjub, 'Alangkah baiknya cobaan ini')." Shahih: Al Misykah (5405), Ash-Shahihah (973).

Dalam dunia sufiesme ada pernyataan yang menyatakan bahwa wali itu lebih suka terkena musibah dan atau cobaan dan atau kesusahan berupa kesederhanaan, kefakiran, zuhud dan bukan pula berupa kenikmatan duniawi. Kalau yang ini detailnya bisa lihat pembahasan oleh yang mempelajarinya.

Kenikmatan duniawi bisa jadi hanya penggenapan pahala didunia hingga tidak menyisahkan pahala di akhirat

“Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu, akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui bahwa Allah swt sedang mengujimu. Sebab Dialah yang sedang mencoba kamu melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah mengarahkankamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik." 

Apabila manusia memahami bahwasanya suatu cobaan, ujian yang datang dari Allah swt, diterima dengan ridha hati, dan dipahami pula sebagai anugerah, maka ia akan menerimanya tidak dengan hati sedih, bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah swt memberi cobaan, ujian kepada Para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah swt membenci, akan tetapi Allah swt menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu. 

Demikian pula Allah swt memberi kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang menimpanya mendapatkan jalan keluar dengan pertolongan dan izin Allah semata. Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah 216: "Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan barangkali apa yang kamu suka itu belum tentu jelek bagi kamu." 

Abu Talib Al Makky menjelaskan tentang ayat ini, yang dimaksud membenci dalam ayat ini ialah membenci penyakit, kebodohan, kemiskinan yang menimpa seseorang. Belum tentu manusia yang tidak memiliki hal-hal tersebut, lalu menjadi baik dan beruntung bahkan sebaliknya, belum tentu orang yang memiliki harta benda yang banyak, atau tidak pernah ditimpa cobaan, ujian, kesusahan lalu jelek bagi mereka dan tidak termasuk orang beruntung atau merugi. Banyak sekali orang suka kepada harta, atau berlimpah-limpah harta benda yang dimilikinya demikian juga kesehatan dan kemasyuran, belum tentu baik bagi mereka di sisi Allah swt. Seperti yang semakna dengan ayat: “Allah melimpahkan kepada mereka kenikmatan lahir dan batin," Di maksud kenikmatan dalam ibadah yang dianugerahkan Allah di dunia dan di akhirat. 

Ali Daqqaq berkata: "Orang yang selalu mendapat taufiq dari Allah ialah mereka yang terpelihara ibadahnya, dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari Allah swt. Orang yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya maka imannya pun akan terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap ujian dari Allah swt.

Inilah yang patut dipahami setiap insan beriman. Bahwa cobaan kadang dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah dan tanda bahwa Allah semakin menyayangi dirinya. Dan semakin tinggi kualitas imannya, semakin berat pula ujiannya. Namun ujian terberat ini akan dibalas dengan pahala yang besar pula. Sehingga kewajiban kita adalah bersabar. Sabar ini merupakan tanda keimanan dan kesempurnaan tauhidnya.

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Juga dari hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).

Faedah dari dua hadits di atas:
1- Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan pahala yang besar.
2- Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada anaknya, “Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”
3- Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan mendapat pahala yang besar.
4- Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang pedih.
5- Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
6- Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.
7- Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa karenanya.”  (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
8- Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”

Dunia penjara buat muslim, surga buat orang kafir (dikutip dari hadis). Kita dapat saja selalu mendapat bahagia di dunia, ada orang kafir yang bisa saja selalu mendapat kesedihan di dunia, tapi bahagianya muslim itu masih dalam batasan penjara tidak sebanding dengan apa yang ada dan menantinya di surga yang jauh super membahagiakannya sedangkan orang kafir yang selalu mendapat kesedihan di dunia itu adalah bentuk masih surga buatnya soalnya bila ia mati dalam keadaan kafir, maka kesedihannya lebih-lebih super di neraka. Kita dapat saja selalu mendapat kesedihan di dunia, ada orang kafir yang bisa saja selalu mendapat kebahagian di dunia, tapi kesedihannya muslim itu masih dalam batasan penjara dunia yang tentu saja tidak sebanding dengan apa yang ada dan menantinya di surga yang jauh dari kesedihan dan super membahagiakannya sedangkan orang kafir yang selalu mendapat kebahagian di dunia itu adalah masih bentuk surga buatnya soalnya bila ia mati dalam keadaan kafir, maka bukan kebahagian yang masih ia dapatkan tapi kesedihan super di neraka.

Namun agak keliru juga kalau mengatakan di dunia ini, muslim akan selalu tidak dapat bahagia, padahal tidak ada kekuatiran dan kesedihan buatnya namun sedang-sedang saja penyikapannya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23).

“Senantiasa bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)

Shahabat Ibnu Mas’ud berkata: “Aku masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat demam.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, sesungguhnya aku merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara kalian.’ Aku berkata: ‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua kali lipat.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, memang seperti itu. Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sesuatu yang mengganggu, sakit atau selainnya kecuali Allah akan mengampuni dosanya seperti pohon yang merontokkan daunnya’. (HR. Muslim no. 2571, Kitabul Birri wash Shilah).

Monogami atau berumah tangga juga pada dasarnya mengandung ujian, mungkin saja bedanya poligami itu bisa menambah banyak ujian juga menambah amalan dan juga mungkin saja maslahat untuk orang lain, semua serba ujian, suami istri dengan ujiannya pula, suami istri plus madu juga dengan ujian bertambahnya juga, keliru kalau suami hanya mendapat nikmatnya doang, banyak cabang ranting yang tersusun menjadi berlipat-lipat ujian, bahkan tapi bisa pula membantu dalam penguatan agamanya juga, akan banyak hikmahnya tentunya buat si suami juga, buat istri pertama juga, dan istri yang lainnya. Suami istri bisa kerjasama dalam ibadah, bisa pula kerja terpisah dalam kehancuran, demikian pula yang poligami. 3000 cwe yang tersisih kalah juga bernilai ujian, kesabarannya dan jihad nafsunya juga bisa meningkatkan derajatnya, demikian pula yang 1000 cwe dalam cakupan ujian juga. 3000 cwe seandainya juga bertukar tempat dengan yang 1000 cwe juga bisa bersikap dan berniat sama antipoligami. Yang 3000 cwe ia bisa iri, dengki hingga balas dendam, bisa juga sabar dan mandiri, dsb. Yang 1000 cwe bisa menjadi janda dan menambah jumlah dari 3000 cwe tersisih, belum yang akan muncul dari generasi yang meningkat umur sedikit beda dibawah usianya akan dapat menambah juga atau mengurangi, Yang 1000 cwe juga bisa sombong dengan superiornya, bisa makin lupa diri, atau juga bisa menjadi muslimah baik, dsb. “kasihan ya! Dimulut gitu, dihatinya, emangnya GP”, “kasihan ya! Solusinya apa? Saya cuma bisa nyampaiin sabar ya, syukur nikmat buat saya”, “Saya mau poligami, ooh… suamiku.. saya taat, saya dengar dan patuh, a…bang!”, ujung-ujungnya pingsan (banyak hadis tentang taatnya istri ini (https://id-id.facebook.com/notes/club-curhat-muslim-dan-muslimah/antara-berbakti-kepada-orang-tua-dan-taat-kepada-suami/195988093777861 ) tapi Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khaliq (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad), pikirkanlah sejenak juga, “Saya mau poligami, oh… suamiku … lupakah kau janjimu sebelum terjadi akad nikah”, dsb. Setiap pilihan bisa juga meningkatkan derajat namun derajat yang mana?. Tapi bila dilihat real lapangan, gangguan setan dari jenis manusia dan jin akan nafsu dan manfaat buat sesama manusia/wanita? Pilihan mana yang tepat. Ribetkan, dari beberapa pecahan hal ini saja bila dipaparkan, banyak ilmu terlibat bahkan bisa pula bila mau pemahaman pecahannya dipecah lagi makin diperdalam dan diperlebar lebih jauh kesudut-sudut yang lebih dalam dan jauh lainnya. Pada dasarnya jurus-jurus mempuni nan kompleks akan keluar diarea ini, dasar jurus sama tapi telah berkembang menjadi jurus mempuni dengan masing-masing kelebihan, ada yang jurusnya menang terhadap kekuatan dan daya tekannya, ada yang hebat dengan tipu daya nan cerdik, ada pula yang hebat dengan kecepatan jurusnya, dsb namun ketika ia menjadi master, merangkum semuanya, jurusnya kembali menjadi sederhana dan umum tapi mengandung 1001 macam perubahan jurus yang sama hebatnya. Kompleksitas ilmu dalam satu genggaman kesederhanaan jurusnya. Ia akan kembali pada pokok-pokok keagamaannya. Apakah ia sanggup dengan ujian tersebut atau tidak, apakah makin memberi dampak makin menjadikan baik nilai agamanya atau tidak, apakah menolak dan menjauhi yang menurut ia adalah mudharat baginya ternyata hasilnya malah menambah banyak mudharat lain-lainnya dengan efek yang lebih luas, apakah ia seperti perumpamaan lebah atau lalat, apa batasan cinta dalam pandangannya, dsb. Batasan usaha, amal dan doa dari manusia.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar Ruum: 21.

Mau belajar jadi jiwa-jiwa yang tenang. Prototipe miniatur ketenangan awal itu ada di dalam rumah tangga, belajar mengasihi umat itu juga ada di rumah tangga.

Rumah tangga inti adalah Ayah, Ibu dan anak, bila dirunut lagi maka ada pula mertua, ortu, saudara, paman, bibi, sepupu, pembantu, madu, anak yatim, teman/sahabat keluarga, tetangga, serba sesusuan, dsb. Dalam rumah tangga ada “harapan” menuju yang terbaik (kalau dipecah lagi, harapan akan material, harapan akan generasi, dan harapan akan rohani), ada cinta, ada cemburu, kadang-kadang ada takut, ada keiklasan berbagi, keiklasan tolong-menolong dan kerjasama, keiklasan dalam kasih sayang, ada saling memaafkan, saling mengingatkan, saling mendidik, saling berbuat demi yang lainnya, ada proteksi dan pegangan nilai-nilai, ada pembelaan, penahanan diri terhadap sifat emosional buruk, ada penyakit dan ujian lainnya, ada saling pengertian, ada sabar dan ada syukur, ada amanah, ada canda, bahagia, sedih, ada jihad, ada kepemimpinan, ada musyawarah, ada peluh dan lelah, dsb. Nah pintu-pintu dan juga batasan-batasan prilaku, baik itu sifat dasar manusia, akhlak/moral baik maupun penyakit hati itu banyak dijabarkan dalam sudut pandang agama dan konteks terkecil penjabaran dan pengajaran praktek hikmah dan ilmunya ada di rumah tangga. Cinta, harap, cemburu, takut, dsb tadi itu dalam konteks lingkup rumah tangga itu kan asal munculnya datang dari hati (bersih/kotor) kemudian menjadi prilaku dan tindakan. Jadi nga perlu main ghaib-ghaib buat belajar ilmu.

Hanya didunia ini, kita masih diberi kesempatan untuk saling mengingatkan dan berkasih sayang, soalnya, ia kalau diakhirat dapat satu tempat, kalau tidak gmana? Mumpung ada kesempatan, setelah pertemuan tentu ada perpisahan, ia kalau diakhirat dapat satu tempat, kalau tidak gmana? …..Yang paling enak, si ahli jihad dapat memberi banyak syafaat kepada keluarga-keluarga yang tertinggalnya, cara yang paling mudah menggapai nikmat. Nah loh!

Orang yang syahid diberi hak untuk memberikan syafa'at kepada tujuh puluh penghuni rumahnya. Abu Daud berkata; yang benar adalah Rabah bin Al Walid. [HR. Abudaud No.2160].

Apabila Allah memberikan kenikmatan kepada seseorang hendaknya dia pergunakan pertama kali untuk dirinya dan keluarganya. (HR. Muslim)

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, Al Maa'idah: 48

Pen : Kenapa penulis menyatakan diawal tadi “seandainya saya wanita, saya mau dipoligami” karena mungkin saja apa yang penulis lihat dari salah satu hikmah lainnya terhadap masalah ini, mirip-mirip dengan penjabaran dibawah ini, kelihatannya mudah saja tapi pada praktek kenyataannya susah, atau semisal Anda bisa memperbandingkan atau menambah hikmah dari dengan memaafkan seseorang yang sebenarnya sangat-sangat sulit dimaafkan oleh dirimu atau perbandingan lainnya. Ya, mungkin saja, bagaimana tidak mungkin saja, wong penulis sampai seumur-umur gini belum nikah, jadi mana tahu rasa berumah tangga, satu saja belum ada, apalagi bisa melihat dan ikut merasakan rasa menjadi kedua, ketiga atau keempat. Bahasan ini cuma contoh dari pokok bahasan yang namun bisa menjadi sub pokok penjabaran pula dan juga buat melihat pembanding lebih jauh pokok bahasan tulisan ini.

Suara Hati Seorang Wanita Yang Di Poligami
baitul-hikmah.com, Terasa dunia akan runtuh ketika kau meminta izin kepadaku untuk menikah lagi. Membayangkan kau, suamiku tersayang, sedang membagi cinta, perhatian dan segala kesenangan duniawi lainnya dengan wanita lain, bukan hanya sekedar mendatangkan pusing dan mual tapi juga penyakit cemburu serta sakit hati yang mungkin tak akan berkesudahan bagiku. Jangan protes wahai suamiku, Bahkan istri-istri nabi yang muliapun, mereka tak bisa menghindar dari kecemburuan. Semua itu karena cinta yang teramat sangat untukmu.

Sejenak akupun buru- buru mengadakan koreksi kilat tentang apa yang kurang dari diriku, atau tentang apa yang selama ini menjadi kelemahanku selama ini. Seakan semua daya upaya akan aku kerahkan ketika menyadari bahwa kenyataan didepan akan sebentar lagi sampai kepadaku. Dan akhir dari usaha itu adalah cara yang aku fikir efektif untuk menghadang kenyataan takdir yang akan diberikan Allah untukku

Akhirnya hari itupun datang saat aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu. Ya Allah, wanita mana yang ingin cintanya terbagi. Wanita mana yang kuat melihat suaminya bermesraan dan bahagia bersama suamiku..suamiku yang sangat aku cintai. Ya Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada posisiku, sanggupkah engkau wahai suamiku?

Imanku mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku mengunci hatiku untuk tetap mengatakan tidak, tidak dan tidak untukmu. Pernikahan kita adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak tentang dia. Dan lalu bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam kebahagiaan kita? Apakah selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?

Sekali lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik dengan kecemburuan yang sangat melekat erat. Namun sekuat tenagaku aku mencoba tidak emosional. Sulit.. walaupun semua ini sangat sulit.

Namun… akhirnya kecintaan Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang amal bagiku untuk menggapai surga?, walau sekali lagi, Demi Allah sangat sulit merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang lain.

Namun… sekali lagi, Bahasa iman menggugah kesadaranku kembali. Sekejab kupalingkan egoku untuk menilai maduku. Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan hanya untuk aku dan suamiku, tapi terutama adalah baginya. Betapa resiko sosial akan datang kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan kepadanya. MasyaAllah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika menjadi pelakon kisah hidupnya. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah atas semua manusia. Diapun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya akan datang. Namun ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah aku harus menyalahkannya, yang berarti pula menyalahkan Allah sang maha pengatur?

Dari pada aku memperburuk keadaan ini dengan prasangka yang menghinakanku sendiri, lebih baik aku menguatkan hati untuk membantu menguatkan suamiku. Suamiku.. seseorang yang telah bertahun-tahun menjadikan aku satu-satunya ratu didalam hati dan rumahnya, memulyakanku dengan segenap cinta dan kasih sayang, dan orang yang paling mengerti dan mencintaiku. Pantaskah jika akhirnya aku mennyebutnya sebagai pengkhianat atas kasih sayangku? pantaskah aku menyebutnya orang yang tidak tahu terimakasih atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya? tidak, sama sekali tidak. Bahkan aku tidak akan rela gelar itu disebutkan kepada suamiku, bahkan oleh diri aku sendiri.

Sesuatu akan lebih berharga ketika hal itu telah atau akan meninggalkan kita. Semoga ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas kebersamaan kita. Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan olehku, karena aku tahu bebanmu akan terasa lebih berat kedepannya, dan akan sangat sulit bagimu untuk memilih. Maka aku tak akan membawa engkau pada posisi memilih. Seperti yang disabdakan rasul yang mulia bahwa wanita sholihah adalah perhiasan terindah bagi suaminya, dan subhanallah, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekaranglah saatku untuk membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi perhiasan terindah yang pernah kau miliki, dan aku benar-benar menyayangimu.

Aku buka pikiranku dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu akhirnya berbuah pikiran bahwa engkau bukanlah milik ku yang abadi. Aku khawatir ketika cinta itu melekat erat dihatiku, justru kesenangan hidup itu akan menjadikanku mendua terhadap cinta kepada zat yang maha mencinta. Ah ternyata keikhlasan itu tidak selamanya menyakitkan. Menyakitkan hanya bagi mereka yang merelakan diri mereka sakit dan menyia-nyiakan perolehan pahala yang seharusnya bisa menjadi miliknya. Dan sebagai pribadi yang ingin lebih pintar, aku tentu tak akan melakukan hal itu. Ternyata Keikhlasan itu nikmat jika dalam menjalaninya hati condong kepada cinta hanya kepada Allah.

Ya Allah semoga surga Mu akan menjadi seindahindahnya tempat kembaliku kelak, dan semoga kau jadikan aku sangat lebih bahagia bersanding dengan suamiku disana, dalam kehidupan yang abadi.

…, Subhanallah, iman menguatkanku, ikhlas melegakanku, dan Allah memang benar-benar menyejukkan hatiku, bahkan saat aku berada sendiri disini, dan kau berada disana wahai suamiku,…

Setelah kesejukan itu memenuhi relung hatiku, untuk selanjutnya aku memohon maaf kepadamu wahai suamiku, bahwa karena cintaku kepada Allah telah mengalahkan cintaku kepadamu. Aku yakin kau bukanlah pribadi yang akan menjadikan Alquran sebagai tameng bagi nafsumu sendiri. Kau dengan tekadmu yang ingin memuliakannya sebagai mana kau memuliakanku sebagai istrimu karena Allah, maka akupun akan merelakanmu pula karena Allah. Semoga kelegaan hatiku dan kemuliaan niatmu bukan hanya sekedar omong kosong, namun akan menjadi bukti nyata pernyataan cinta kita yang hanya karena Allah. Dan kini, aku mempersembahkan wanita itu untukmu. Benar-benar sebuah akhir yang sangat melegakan bagi sebuah kecintaan yang hanya karena Allah…
(Syahidah) - Dari MuslimahZone.com
*Cari istri kya gini-ni, tingkat ilmunya kemungkinannya dach high class banget. Apalagi juga enak kali ya, kali-kali aja karena makin banyak ratu-ratu dari bidadari-bidadari surga bersamamu menemani kya gini bisa rame-rame kerjasama ngajak kamu (suami) ke surga dunia juga surga akhirat tertinggi. Ada sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Yakni tentang keberkahan poligami. Sa’id bin Jubair ia berkata; Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku, Apakah kamu sudah menikah? aku menjawab, Tidak. Ia kemudian berkata, Menikahlah, karena orang yang terbaik dari ummat ini adalah seorang yang paling banyak Istrinya. (HR.Bukhari no. 4681). Abdullah Ibnu Abbas atau akrab disapa dengan Ibnu Abbas adalah seoraang yang Ghaniy (baca : kaya). Sahabat Rasulullah yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Dan menjadi tidak mungkin ia menyelewengkan karunia ilmu dan harta dari Allah subhanahu wata’ala hanya untuk nafsunya. Dan tidaklah pula “yang paling banyak Istrinya” ini diartikan jumlah tanpa batas. Allah ta’ala membatasinya dengan 4 saja (QS. An-Nisa’ : 3). Kalimat “فَإِنَّخَيْرَهَذِهِالْأُمَّةِأَكْثَرُهَانِسَاءً” adalah kalimat yang bersifat kiasan (bunga kata). Nazhat Afza dan Khurshid Ahmad dalam bukunya “The Position Of Woman In Islam” mengakui bahwa ada segelintir umat Islam yang menyalahgunakan kemubahan poligami. Ia mengakui bahwa diantara muslimin ada yang berpoligami hanya untuk kesenangan nafsu duniawinya saja. Keduanya menganalisa bahwa fenomena ini diakibatkan oleh kurangnya Ilmu Syari’at dan salahnya niat sang suami.

Disini penulis mau bilang bahwa bisa jadi pilihan yang kita anggap sepele (seperti masalah pengharaman poligami yang sah-sah saja ini atau membuat aturan hidup tabu dan anti adanya poligami), bisa jadi punya pertanggungjawaban besar diakhirat dan bisa jadi ternyata salah satu akibat duniawi pilihan itu berimbas luas kepada banyak hal yang buruk dibeberapa jenis bidang. Sebab, tidak mungkin dari ribuan bahkan puluhan ribu calon yang disodorkan partai Islam semuanya bejat dan rusak -tak satu pun, atau puluhan, atau ratusan  yang memikirkan umat-. Tidak mungkin! Tidak mungkin batu bata yang ditempa oleh pembinaan Islam, semuanya rapuh dan tidak layak pakai. Pasti ada batu bata kuat yang siap memikul beban berat umat ini.

Pertimbangan bolehnya memberikan suara dalam Pemilu karena menjalankan kaedah fikih: “Mengambil bahaya yang lebih ringan.”

Kaedah ini disimpulkan dari ayat,
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Khidr adalah untuk mengambil bahaya yang lebih ringan dari dua bahaya yang ada. Khidr sengaja menenggelamkan kapal milik orang miskin, ini adalah suatu mafsadat (bahaya). Namun bahaya ini masih lebih ringan dari hilangnya seluruh kapal yang nanti akan dirampas oleh raja yang zalim.

Begitu pula ayat yang menceritakan bahwa Khidr membunuh seorang anak karena khawatir orang tuanya tersesat dalam kekafiran, itu juga mendukung kaedah yang dimaksud. Dalam ayat disebutkan,

“Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.” (QS. Al Kahfi: 80). Membunuh anak muda itu adalah suatu mafsadat, sedangkan kesesatan dan kekafiran adalah mafsadat yang lebih besar.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani membuat kaedah,
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

Haruslah Anda fahami, seorang muslim dengan tauhid yang benar akan bisa ditempatkan pada posisi apa saja pekerjaan yang beraffliasi manfaat pada orang lain, semua ilmu duniawi ada dalam genggaman ilmu agama, merekalah orang yang tepat, pada waktu/situasi yang tepat, pada tempat yang tepat dengan tujuan yang tepat dunia akhirat. Semua ilmu berada pada tangan prilaku sedang prilaku telah diatur dalam batas-batasan pada nash. Pembebasan sebebas-bebasnya dari beberapa prilaku pada suatu titik puncak akan tetap menghasilkan tabrakan dari prilaku-prilaku tersebut, berbeda dengan islam yang mempunyai batasan jelas akan masing-masing batasannya prilaku.

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)

Seorang mukmin adalah manusia yang memiliki sifat-sifat unggul. Sifat-sifat itu membuatnya memiliki keistimewaan dibandingkan dengan manusia lain. Sehingga di mana pun dia berada, kemana pun dia pergi, apa yang dia lakukan, peran dan tugas apa pun yang dia emban akan selalu membawa manfaat dan maslahat bagi manusia lain. Maka jadilah dia orang yang seperti dijelaskan Rasulullah saw., “Manusia paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.”

Kehidupan ini agar menjadi indah, menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti itu. Menjadi apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi bahagia dan sejahtera.

Nah, sifat-sifat yang baik itu antara lain terdapat pada lebah. Rasulullah saw. dengan pernyataanya dalam hadits di atas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang dimiliki oleh lebah. Tentu saja, sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham dari Allah swt. seperti yang Dia firmankan, “Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)

Sekarang, bandingkanlah apa yang dilakukan lebah dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, seperti berikut ini:

Hinggap di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih
Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.

Begitulah pula sifat seorang mukmin. Allah swt. berfirman:
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah: 168)

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A’raf: 157)

Karenanya, jika ia mendapatkan amanah dia akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melakukan korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, penipuan, dan dusta. Sebab, segala kekayaan hasil perbuatan-perbuatan tadi adalah merupakan khabaits (kebusukan).

Mengeluarkan yang bersih
Siapa yang tidak kenal madu lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia. Tapi dari organ tubuh manakah keluarnya madu itu? Itulah salah satu keistimewaan lebah. Dia produktif dengan kebaikan, bahkan dari organ tubuh yang pada binatang lain hanya melahirkan sesuatu yang menjijikan. Belakangan, ditemukan pula produk lebah selain madu yang juga diyakini mempunyai khasiat tertentu untuk kesehatan: liurnya!

Seorang mukmin adalah orang yang produktif dengan kebajikan. “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj: 77)

Al-khair  adalah kebaikan atau kebajikan. Akan tetapi al-khair dalam ayat di atas bukan merujuk pada kebaikan dalam bentuk ibadah ritual. Sebab, perintah ke arah ibadah ritual sudah terwakili dengan kalimat “rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu” (irka’u, wasjudu, wa’budu rabbakum). Al-khair di dalam ayat itu justru bermakna kebaikan atau kebajikan yang buahnya dirasakan oleh manusia dan makhluk lainnya.

Segala yang keluar dari dirinya adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik; perilakunya tidak menyengsarakan orang lain melainkan justru membahagiakan; hartanya bermanfaat bagi banyak manusia; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk sebesar-besar kemanfaat manusia.

Tidak pernah merusak
Seperti yang disebutkan dalam hadits yang sedang kita bahas ini, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha menghentikan kezaliman itu. Jika kerusakan terjadi akibat korupsi, ia memberantasnya dengan menjauhi perilaku buruk itu dan mengajukan koruptor ke pengadilan.

Bekerja keras
Lebah adalah pekerja keras. Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat “menetas”), lebah pekerja membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah, hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah: 7)

Kerja keras dan semangat pantang kendur itu lebih dituntut lagi dalam upaya menegakkan keadilan. Karena, meskipun memang banyak yang cinta keadilan, namun kebanyakan manusia –kecuali yang mendapat rahmat Allah– tidak suka jika dirinya “dirugikan” dalam upaya penegakkan keadilan.

Bekerja secara jama’i dan tunduk pada satu pimpinan
Lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)

Tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.

Itulah beberapa karakter lebah yang patut ditiru oleh orang-orang beriman. Bukanlah sia-sia Allah menyebut-nyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Quran sebagai salah satu nama surah: An-Nahl. Allahu a’lam.. Dakwatuna.com

Memilih ataupun tidak memilih bisa bernilai baik atau malah sebaliknya berdosa. Ketika anda menetapkan pilihan berdasarkan nepotisme atau iming-iming uang atau bahkan karena tidak peduli dengan akhlak orang yang dipilih, pokoknya dilandasi semangat kelompok, 'right or wrong, my party', itu bisa dinilai suatu dosa. Pada sisi yang lain, memutuskan tidak memilih karena tidak peduli atau masa bodoh padahal melihat adanya potensi yang membahayakan umat kalau hal tersebut dilakukan juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak pada tempatnya.

Mungkin pemahaman yang lebih tepatnya adalah : ini merupakan kalkulasi dalam menilai manfaat atau mudhoratnya keputusan untuk menjadi golput atau ikut-serta dalam pemilu, dan karena berdasarkan pertimbangan seperti itu tentu saja penilaian akan bersifat subjektif tergantung sudut pandang kita dalam melihat permasalahannya. Bagi para ulama yang menyatakan golput adalah haram, mereka mungkin menetapkan bahwa sikap ini - dalam kondisi sekarang - dapat menimbulkan mudhorat dan bencana yang lebih besar bagi keselamatan umat, ketimbang ikut memilih sekalipun nanti bakalan kecewa karena ternyata si calon yang telah ditunjuk tersebut tidak amanah. 

Pada dasarnya tidak memilih atau golput juga merupakan suatu pilihan yang memiliki konsekuensi yang sama ketika kita memutuskan untuk memilih calon yang ada. Ikut mencoblos dalam pemilu mengandung resiko baik dan buruk, dikatakan baik kalau si calon tersebut bekerja sesuai amanah yang diberikan, dan disebut tidak baik kalau dia berkhianat. Sebaliknya tidak memilihpun mempunyai resiko yang buruk juga, gara-gara kita tidak memilih, maka yang terpilih justru orang-orang yang memiliki prinsip dan nilai bertentangan dengan apa yang kita anut. Tapi manusia berhak berikhtiar. Ikhtiar secara bahasa artinya memilih. secara istilah ikhtiar adalah usaha seorang hamba untuk memperoleh apa yang dikehendakinya, bila pun hasil ikhtiar nantinya dimasa depan menghasilkan sesuatu mudharat baru yang lebih besar atau tidak sesuai dengan harapan awalnya, yang terpenting niat awal dalam ikhtiar ini haruslah benar bertujuan mulia dengan sarana yang baik pula sesuai kaedah syariat dan hanya Allah SWT serta hati Anda yang tahu niat Anda tersebut.

Bagaimana mungkin kita mampu menyelesaikan suatu masalah jika hanya dengan berdiam diri? Masalah tersebut akan tetap menimpa diri tanpa ada suatu pemecahan dari sang penerima masalah. Bukankah manusia itu ketika memperoleh masalah dia ditugaskan untuk menghadapinya? Selesai tidak selesai masalah tersebut, kita kembalikan kepada Yang memberikan masalah, yakni Sang Maha Sempurna.

Berdiam diri bukan menjadi solusi yang benar untuk menghadapi berbagai masalah yang menimpa diri ini. Bergerak adalah salah satu langkah untuk menyelesaikan masalah yang menimpa diri ini. Setidaknya, dengan bergerak, kita telah melakukan usaha untuk menyelesaikan masalah yang memimpa.

“Jalanilah”

Nasihat itu mengajarkan kepada kita semua agar tetap bergerak dikala berbagai permasalahan telah meruntuhi jiwa-jiwa manusia. Bergerak untuk mencari solusi terbaik. Bergerak di jalan-Nya. Tetap bersabar dan berikhtiar dengan segala ketentuan-Nya.

Fitrah seorang manusia ketika masalah menghampirinya, maka dia akan merasakan beban yang tak terkira. Apalagi jika masalah itu begitu berat, maka dia pun sekejap akan mengeluh. Tapi, bukan seorang musim jika hanya pandai mengeluh tak mencari sebuah solusi yang terbaik untuk menyelesaikannya. Bergerak, apapun yang terjadi. Kita kembalikan kepada-Nya.

Bukankah Dia tidak akan menurunkan suatu masalah kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya? Maka dari itu, jalanilah hingga akhir batas kemampuan tersebut. Tapi, yakinlah. Dia akan tetap membersamai orang-orang yang selalu mengadu dan meminta kepada-Nya. Bahkan, Dia akan lebih menyukai orang-orang yang selalu mendekat kepada-Nya. Mendekat tidak hanya dikala dalam kesulitan tetapi mendekat dikala kemudahan. Walaupun tak bisa dipungkiri, manusia lebih banyak mendekat dikala dalam kesulitan.

Rahmat dan kasih sayang-Nya sangat luas tak mampu diukur dan digambarkan oleh apapun. Sehingga, Dia tetap memberikan pertolongan kepada siapapun tatkala Dia didekati. Persoalan hidup ini untuk dijalani. Bukan untuk diratapi, ataupun ditangisi dengan berdiam diri. Maka dari itu, “Jalanilah”

Ali bin Abi Thalib berpesan, “Kezhaliman akan terus ada. Bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.”

Pemerintahan yang menelurkan atau mencoba bersyariat islam
Semisal pemerintah menelurkan undang-undang antimiras, maka dari pusat sampai daerah dampak pengurangan miras akan terjadi bahkan orang-orang yang berbisnis miras bakalan alih profesi mengganti produk kelainnya yang bukan miras atau hengkang keluar dari negeri ini untuk berbisnis haram tersebut atau ketika pemerintah menelurkan undang-undang potong tangan pada koruptor maka dari pusat sampai daerah akan melakukan ketetapan itu, dsb.

Bila tidak mau, ya sudah gimana kalau diganti dengan hukum mati ditembak rame-rame atau digantung saja? orang-orang awam kebanyakan ditanya malah lebih parah permintaannya dari sekedar hanya potong tangan yaitu minta hukum mati atau hukum gantung (sebenarnya kita bisa memanfaatkan prilaku-prilaku/sifat-sifat dasar lahiria manusia untuk memanipulasi/bersiasat untuk tujuan tertentu, namun berbedanya islam mempunyai batasan-batasan jelas yang tidak membolehkan segala cara, ia harus dalam batasan syar’i, tampaknya orang non islam lebih pandai memanfaatkan hal ini namun juga dengan segala cara). Bila penulis ditanya, penulis akan lebih menyukai hukum potong tangan dan diadakan didepan publik karena ia lebih kuat menghasilkan rasa jeri dan jera kepada orang lain dan akan sangat membudayakan “budaya malu” dan juga masih akan memberi banyak ruang kesempatan bertobat dan dapat mengawali mendulang pahala didunia lebih banyak bagi orang tersebut ditambah kebaikan dari efek hikmah-hikmah imbas sebab-akibat dari sisa perjalanan hidupnya yang pasti ia dapat setelah hukumannya itu, bila ia jeli dan sadar, ia akan dapat meningkatkan nilai derajat dirinya sebagai hamba kepada Tuhannya, selain itu “kebijaksanaan dari hukum islam” akan menampakkan hasil lebih maksimal. Tidak, hukum pidana hari ini saja, Wah… pernah penulis berkelakar pada kawan, mendingan korupsi saja sampai batasan dana tertentu, ntar buat jaringan perkawanan dahulu kepada mafia hukum dan peradilan kalau bisa juga harus dapat pegang kartu trup mereka-mereka sebagai jaminan pula, terus bila ketangkap, bayar biar hukumnya ringan 3 tahunan dan bayar biar dana terkorupsi dinilai lebih jauh kurang sesuai kesepakatan dari yang sebenarnya nilainya dan terus bayar-bayar lagi untuk diajukan dan minta remisi terus-menerus biar hukuman bisa menjadi dibawah setahun pokoke setiap ada remisi karena hari nasional atau karna apapun, ya yang penting sesuai budget separuh hasil korupsi buat upeti tersebut, nah saat bebas, bisa dech separuh hasilnya dipakai modal usaha lain dan menghilang dari hingar bingar kekuasaan. Yang penting bukan karena kasus akibat fitnah, soalnya bisa lama banget nilai tahun hukumannya, nga sesuai mah kebanyakan koruptor lainnya ntar, yang ringan-ringan masa hukumannya. Atau jadi kambing hitam pengganti dari atasan kelas kakap karena pasti agak mendingan lama walau dijamin dana abadi dan tidak terlalu disorot media.

Bila demikian apakah demokrasi dinegeri ini tidak bisa menelurkan syariah dalam setiap lininya. Satu syariat yang keluar dengan cepatnya ia mengajak keluar syariat yang lain. Barokah dari langit dan bumi itu lebih cepat turunnya dari apa yang diperkirakan, perbaikan itu bukan dengan hitungan matematis manusia atau berapa lamanya seperti yang kau pikirkan. Dampaknya lebih besar dan mengikat menyeluruh kepada setiap masyarakat didalam negeri dibanding wacana atau ceramah (bukan memarginalkan dakwah, dakwah keharusan individu maupun kolektif, tapi lebih melihat efek yang lebih luasnya dari dakwah), maka agama dan kekuasaan politik tidak bisa dipisahkan. Diperlukan kemenangan dan dominannya partai berasas islam di pemerintahan mengalahkan partai berbasis non islami. Partai haq ini butuh dukungan persatuan umat islam. Bersyariahnya negeri dapat dengan cara menaklukkan demokrasi tersebut hingga mengadopsi syariah keseluruhan lininya atau sesuai kesanggupan usaha dan upaya sampai batasan kesanggupan tersebut.

Jika saja, sebuah lembaga berwujud sebuah LSM, maka jangkauannya hanya sebatas itu. Namun, jika misalnya kaum muslimin menguasai pemerintahan, hanya dengan satu kali tanda tangan saja, maka ribuan gedung sekolah baru bisa dibangun, milyaran beasiswa bisa digelontorkan, jutaan warga miskin bisa terentaskan. Dan, aneka kebijakan-kebijakan kebaikan lainnya bisa dieksekusi secara massif dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Orang-orang telah bergerak dengan dua amalan nyata, didalam sistem bergerak untuk penegakan syariat sementara masih juga tetap bergerak ikut pula diluar sistem tetap berdakwah dan membentuk pengajian-pengajian dikota dan didesa gunung dan lembah, membangun sarana dan prasarana majelis ilmu untuk pendidikan umat, berislam dengan pelayanan kesehatan juga tujuan berislam dengan pelayanan sosial lainnya, tujuan akhirnya pun sama untuk umat, islam, syariat, khalifahan islam dan akhirat dengan konsep menjadi rahmat untuk semua. Beberapa aliran jihadi pun telah terjun ke tanah jihad secara langsung sementara beberapa bagian yang tertahan pun tetap berdakwah dan masih membantu dalam mendulang suara, yang bila dilihat kelompok-kelompok yang mengikuti sunnah nabi semua mengarahkan pandangan dan dakwahnya kepada kemenangan islam, syariat dan khilafah. Secara dhahir terlihat pengotakan-pengotakan namun secara batin banyak yang bersatu dan mencoba menyatukan. Ataukah malah sedikit orang asing saja yang mendakwahkan kesatuan hati umat?

Perda Islam dan Ijtihad Politik
Oleh: Syaiful Anshor

“Perda bernuansa syariat Islam yang sukses dilakukan Patabai adalah sebagai bentuk ijtihad penegakan syariat Islam dalam konteks formal-struktural”

PENEGAKAN Syariat Islam di Indonesia seolah jadi isu yang tidak pernah mati. Sejak lama, perjuangan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam di Tanah Air tidak pernah surut. Baik usaha secara kultural maupun struktural-konstitusional. Sejak tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus, ekspektasi penerapan syariat Islam umat Islam tidak begitu signifikan. Meski begitu, umat Islam tidak putus asa dan masih berjuang dengan segala cara. Salah satunya yang dilakukan Nangro Aceh Darussalam yang telah dapat privillege khusus dari pemerintah berupa otonomi khusus (otsus) untuk menegakkan Syariat Islam.

Hal serupa juga dilakukan di bumi Sulawesi Selatan. Perjuangan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh dan ulama yang tergabung dalam Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang dikomandani langsung oleh putra pejuang legendaris Sulsel, Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar. Meski begitu, usaha untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia bagian timur ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perjuangan KPPSI agar Sulawesi Selatan dapat otsus penegakan syariat Islam sampai sekarang belum terwujud. Salah satu sebabnya, belum dapat rekomendasi dari gubernur untuk diajukan ke pemerintah pusat.

Sepanjang sejarah, penegakan syariat Islam di Tanah Air selalu diwarnai pro-kontra. Hal itu karena syariat Islam masih dipandang negatif dengan sederet stigma miring. Syariat Islam dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada hukum potong tangan dan rajam. Tak sedikit orang yang takut jika syariat Islam diberlakukan. Khususnya kaum sekular-pluralis. Mereka menentang habis-habisan dan secara terang-terangan penegakan syariat Islam. Tak hanya itu, aktivis syariat Islam juga dicitrakan buruk, seperti kelompok radikalis, ekstrimis, dan subversif. Padahal, syariat Islam tidak sesempit pandangan mereka.

Kendati perjuangan KPPSI agar Sulsel dapat otsus penegakan syariat masih jauh, bukan berarti tidak memiliki sumbangsih terhadap pembangunan negara. Setidaknya, penegakan syariat Islam berupa Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Islam yang digulirkan di Kabupaten Bulukumba jadi bukti bahwa syariat Islam telah memberikan sumbangsih signifikan terhadap pembangunan daerah. Hal itulah yang dirasakan Mantan Bupati Kabupaten yang terletak di ujung Selatan Provinsi Sulsel ini yang menjabat selama dua periode, 1995-2000 dan 2000-2005, Drs. H. Andi Patabai Pabokori.

Andi Patabai tergolong sukses memimpin Kabupaten Bulukumba. Dari sisi APBD naik signifikan. Begitu juga tingkat kriminalitas. Dari yang sebelumnya angka kriminalitas tinggi, setelah kepemimpinannya turun drastis. Seluruh Muslimah mengenakan pakaian Muslim. Masyarakat Muslim Bulukumba pun pandai membaca Al Quran. Kegiatan keagamaan selalu semarak. Non Muslim pun merasakan manfaatnya hingga tak sedikit yang justru mendukung perda. Gara-gara kesuksesan itu, dia pun dipercaya masyarakat untuk jadi Bupati selama dua periode. Katanya, bahkan, seandainya boleh mencalonkan untuk ketiga kali, masyarakat berharap dia maju kembali jadi Bupati.

Ketika pertama memimpin Bulukumba, Patabi cukup miris melihat kondisi masyarakatnya. Kriminalitas tinggi. Pemerkosaan, pembunuhan, dan pencurian kerap kali terjadi. Begitu juga miras banyak diperjual belikan. Karena itu, dia berfikir, cara untuk menanggulangi itu semua hanya satu: dengan syariat Islam. Patabai pun berfikir simpel. Syariat itu tidak mesti harus dengan rajam dan potong tangan. Tapi, hal-hal sederhana, seperti baca tulis Al-Quran, melarang penjualan miras, kewajiban mengenakan baju muslimah bisa mencegah praktik kriminalitas.

Dia yakin dengan itu masyarakat di Bulukumba bisa hidup aman, nyaman, dan tenang. Konsep format atau wadah penerapan syariat Islam yang dilakukan Patabai berupa Perda bernuansa Islam. Dia membuat empat Perda. Antara lain: Pertama, Perda Nomor: 03 tahun 2002 tentang larangan, pengawasan, penertiban, dan penjualan minuman beralkohol. Kedua, Perda Nomor: 02 Th. 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Sedekah. Ketiga, Perda Nomor: 05 Th. 2003, tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Keempat, Perda Nomor : 06 Th. 2003 tentang Pandai Baca Al Quran bagi siswa dan Calon Pengantin.

Perda-perda itu ternyata sangat efektif. Dalam tempo dua tahun, masyarakat telah merasakan efeknya. Kriminalitas turun drastis. Tidak ada lagi orang jualan miras. Tidak ada lagi pencurian. Bahkan, katanya, binatang peliharaan dan kendaraan jika dibiarkan di luar rumah pada malam hari akan aman. Khususnya untuk zakat. Pendapat zakat naik drastis. Patabai mewajibkan jajaran pejabat daerah untuk menyisihkan gajinya untuk zakat. Dana itu pun bisa terkumpul ratusan juta rupiah per bulan dan bisa digunakan untuk membantu masyarakat.

Apa yang terjadi di Bulukumba sebenarnya potret baik penegakan syariat Islam. Meski masih berupa empat perda. Hal itu menandakan jika syariat Islam ditegakkan akan memberikan manfaat, bukan mafsadah. Hal itu sekaligus menepis ketakutan sejumlah kelompok dan tanggapan miring tentang syariat Islam bahwa syariat Islam itu menyelamatkan, bukan saja umat Islam, tapi juga non-Muslim.

Ijtihad
Perda bernuansa syariat Islam yang sukses dilakukan Patabai adalah sebagai bentuk ijtihad penegakan syariat Islam dalam konteks formal-struktural. Syariat Islam itu tidak mesti identik dengan atau menunggu daulah Islamiyah atau khilafah Islam. Format wadah syariat Islam bersifat fleksibel, tidak absolut (qothi’). Hal itu membuka ruang ijtihad. Ijtihad itu justru satu sisi lebih efektif dalam membumikan Islam dalam konteks formal.

Diskursus wadah penerapan syariat Islam juga mengemuka dalam kongres KPPSI yang diadakan di Asrama Haji Sudiang, Makassar 7-9 Maret ini. Amir KPPSI, Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar mengatakan tidak ada dalil qothi baik dalam al Quran maupun hadits yang mengatakan daulah Islamiyah. Karena itu, wadah syariat Islam bersifat ijitihadi dan fleksibel. Fleksibelitas itu bisa diterjemahkan ke berbagai cara. Bisa melalui otonomi khusus, bisa melalui perda-perda syariat Islam, atau daerah Islam binaan. Tergantung probabilitas yang paling memungkinkan.

Karena itu, apa yang dilakukan mantan Bupati Bulukumba patut ditiru. Setidaknya, dengan digulirkannya perda-perda bernuansakan syariat Islam bisa membantu pembangunan daerah dengan menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi dan religiusitas masyarakat.

Peristiwa Hilful Fudhul
Hilful Fudhul adalah perjanjian yang paling terkenal di dalam sejarah semenanjung Tanah Arab sebelum Islam. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kita berarti "perjanjian yang disertai sumpah yang utama". Nama Hilful Fudhul, diambil dari beberapa nama orang yang mengadakan perjanjian sejenis pada masa sebelumnya. Ketiga-tiga nama orang tersebut masing-masing bernama Fadhal, iaitu :
  • ·         Fadhal bin Fudholah,
  • ·         Fadhal bin Wad'ah
  • ·         Fadhal bin al-Harist.

Berdasar pada keterangan kitab Siratul Halabiyah, ketiga-tiga orang tersebut telah mengadakan perjanjian yang bertujuan membela, menolong orang yang teraniaya. Kerana peristiwa perjanjian itu memang penting untuk diperingati dan bagi menghormati ketiga-tiga orang tersebut, maka para ketua Quraisy sebulat suara menamakan perjanjian itu dengan Hilful Fudhul.

Sejarah Hilful Fudhul
Diriwayatkan, apabila meninggalnya pemimpin utama kaum Quraisy iaitu Abdul Mutalib bin Hasyim, Bangsa Quraisy dipandang merosot oleh kabilah-kabilah lain sesudahnya peperangan fujjar. Kelemahan ini timbul akibat kesalahan mereka sendiri. Masyarakat arab ketika itu tidak ada kesatuan dan persatuan yang sepakat. Ikatan kaum Quraisy dan kaum-kaum yang lain mulai longgar. Ada di antara mereka yang cuba menguasai kedudukan-kedudukan penting yang sebelumnya. Kedudukan-kedudukan itu hanya dikuasai oleh kaum Quraisy yang berketurunan Abdul Manaf . Semenjak zaman pemerintahan Qusai bin Kilab hinggalah zaman Abdul Mutalib, Kota Mekkah tidak pernah dicerobohi oleh sesiapa. Kecuali pada zaman Abdul Mutalib iaitu pencerobohan oleh Abrahah dan tentera bergajahnya. Umum mengetahui Abrahah dan tenteranya sememangnya tidak terkalahkan oleh pasukan Quraisy dan kaum-kaum yang lain.

Ketidakstabilan ini diambil kesempatan oleh Kaum Hawazin untuk menyerang Kota Makkah. Faktor yang lain ialah di kota Makkah tiada Jabatan Polis dan Undang-undang yang menahan dan menghukum penjahat walaupun di kalangan pembesar yang mencabuli hak orang lain seperti orang yang sedang bermusafir dan sebagainya. Maksudnya jenayah memang berleluasa di Kota Makkah dan tiada pencegahan serta hukuman. Kerana itu, tidak hairanlah jika ada pihak-pihak yang sewenang-wenangnya menindas golongan bawahan, oleh kerana tidak ada keadilan dan hukuman bagi pelaku penindasan dan tidak ada pula lembaga yang menguruskan masalah itu.

Atas daya usaha Az Zubair bin Abdul Mutalib, pahlawan Bani Hasyim, beliau mengumpulkan bani-bani yang terkemuka dari kaum Quraisy di rumah Abdullah bin Jud'an untuk bermusyuarat.

Bani-bani yang terlibat adalah seperti berikut :
  • ·         Bani Hasyim
  • ·         Bani Abdul Manaf
  • ·         Bani Abdul Mutalib
  • ·         Bani Zuhrah
  • ·         Bani Taim

Keputusan Mesyuarat
Di Makkah dan kawasan sekitarnya selepas ini tiada lagi penganiayaan walaupun ke atas hamba sahaya, orang yang bermusafir, peniaga, penziarah, kanak-kanak, wanita, lelaki dan orang tua. Orang yang menzalimi akan dihukum manakala orang yang dizalimi akan mendapat pembelaan yang sewajarnya. Hukuman tidak mengira bangsa, pangkat, keturunan dan warna kulit walaupun di kalangan kaum Quraisy. Sekiranya mereka menganiaya, mereka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal .

Pada ketika ini, Nabi Muhammad saw baru berusia 20 tahun dan bagindalah peserta yang paling muda di majlis tersebut. Walaupun begitu, Nabi sudah terkenal dengan seorang pemuda yang sangat jujur lagi amanah, berfikiran cerdas dan tajam. Inilah faktor-faktor yang menyebabkan kaumnya memilihnya menjadi salah seorang ahli mesyuarat yang penting ini .

Mesyuarat ini dikenali sebagai Hilful Fudhul. Hilful Fudhul berasal dari persetiaan 3 orang dari Bani Jurhum. Mereka adalah seperti yang dinyatakan di atas tadi iaitu Fadhal bin Fudholah, Fadhal bin Wada'h dan Fadhal bin Al Harist. Mereka bertiga berjanji akan membela orang yang dianiaya dan menghukum orang yang menganiaya tidak mengira rupa, bangsa, warna kulit dan pangkat dan sebagainya. Di atas peristiwa inilah mesyuarat yang dianjurkan oleh Az Zubair ini dikenali sebagai Hilful Fudhul .

Hasil daripada mesyuarat di kalangan kaum Quraisy ini tidak sekadar teori dan retorik tetapi ia dilaksanakan dengan begitu baik sekali. Ia berjalan selama bertahun-tahun lamanya. Rasulullah s.a.w amat memandang tinggi perjanjian ini.

Sabda baginda, “Sesungguhnya Aku telah menyaksikan satu sumpah setia [perjanjian] yang dimeterai di rumah Abdullah bin Jad'an. Aku tidak akan suka bahawa aku menerima unta yang hebat sebagai ganti untuk menyalahi sumpah setia itu. Jika Islam mengajak dengan perjanjian yang serupa nescaya aku menerimanya.” -Sirah Ibnu Hisyam dan turut diriwayat di dalam Musnad Imam Ahmad 

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: “Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)

Sebab disepakatinnya perjanjian ini
Perjanjian yang menafikan semangat kefanatikan jahiliyah yang biasanya timbul dari perasaan ashobiyah kebangsaan atau sukuisme (perkabilahan). Disebutkan bahawa sebab disepakatinya perjanjian ini adalah lantaran dari seorang pedagang dari Yaman bernama Zubaid, dia ditipu oleh penduduk Makkah oleh kerana barang dagangan yang dibawa pedagang tersebut telah dibeli oleh Al-‘As Bin Wail Al-Sahmy namun harganya tidak diselesaikan oleh penduduk Mekkah. Ketika pedagang tersebut meminta tolong kepada sekutunya iaitu Abdul Al Dar, Makhzum, Jumah, `Adi, dan para penduduk Mekkah, tidak ada seorang pun yang mempedulikannya.

Wahai keturunan Fihr! Tolonglah orang yang perdagangannya dizhalimi
Di tengah kota Mekkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarga
Dalam kondisi berihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya
Wahai para pembesar di antara dua batu (hajar Ismail dan hajar Aswad)
Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya
Bukan untuk orang yang jahat dan suka berkhianat

Oleh kerana itu, dia menulis sebuah syair dan membacanya dengan keras di atas sebuah gunung. Kemudian Al Zubair Bin Abdul Muthalib bangun dan bertindak, "Apa kalian ini semua bisu?". Kemudian dengan hal itu mereka yang telah mengikat janji Hilful Fudhul segera bertindak menemui Al-‘As Bin Wail Al-Sahmy dan mengambil barang dagangan lelaki dari Yaman tersebut. Kemudian memulangkan kepadanya, setelah mereka menyepakati perjanjian Al Fudhul tersebut.

Rasulullah mengungkapkan kesaksiannya pada perjanjian Hilful Fudhul, saat beliau belum diangkat Allah menjadi Rasul :

"Ketika aku bersama para bapa saudaraku turut sebagai saksi dalam persekutuan di rumah Abdullah bin Jud'am, betapa senang hatiku menyaksikan hal itu. Seandainya setelah Islam datang, aku diajak mengadakan persekutuan seperti itu, pasti ku sambut dengan baik.” (Muhammad Al-Ghazaly, dalam Fiqhus Sirah).

Penerapan Kisah "Hilful Fudhul" Dalam Dunia Islam Kontemporari
Peristiwa seperti Hilful Fudhul pernah diterapkan oleh salah seorang ulama yang berpegang kepada manhaj yang haq, manhaj Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Iaitu Fadhilatus Syeikh Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah dan Lajnah Ad Daimah Saudi Arabia. Ketika beliau berfatwa membolehkan Pasukan Amerika berada di Pinggir Padang Pasir Perbatasan dengan Iraq dan Kuwait ketika terjadi pencerobohan oleh Saddam Husein (Tokoh Parti Baats Sosialis) Iraq ke Kuwait tahun 1992. Sebenarnya hal ini bukanlah hanya pendapat Syeikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah saja. Bahkan Imam Syafi'e rahimahullah pernah menyatakan hal tersebut. Imam Syafi'e Rahimahullah menegaskan bahawa yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya tahaluf (yang ertinya secara etimologi dari kata al-hilfu yakni ai al-`ahdu iaitu perjanjian, dan sumpah) dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat Mughni al-Muhtaj; 4/221).

Saat itu, para ulama Lajnah Ad Daimah yang diketuai beliau berfatwa membolehkan meminta bantuan daripada non muslim dalam hal menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh saudara yang seagama. Apalagi negara tetangga Saudi Arabia sewaktu itu tidak satu pun yang mendokong negeri Saudi Arabia. Bahkan mereka memberi bantuan moral kepada presiden Iraq yang nyata melakukan kezaliman saat itu dengan menceroboh Kuwait dan akan menyerang Saudi Arabia.

Ibrah Hilful Fudhul
  1. Keadilan adalah nilai sejagat yang harus dipertahankan. Penyertaan dan dokongan Nabi Muhammad saw terhadap peristiwa tersebut bertujuan untuk memperkukuh sendi-sendi keadilan. Nilai-nilai kebenaran mesti didukung sekalipun muncul dari kaum jahiliah.
  2. Hilful Fudhul adalah sesuatu yang utopia dalam kegelapan jahiliah. Hal tersebut sebagai indikasi bahawa tersebarnya virus-virus yang merosak tuntutan moral dan agama pada suatu masyarakat tidak berarti mensiakan nilai-nilai kebaikan yang lain. Sekalipun masyarakat Makkah majoritinya penyembah berhala (paganisme) dan dekadensi moral bermaharajalela seperti zina, riba dan kezaliman tetapi terdapat juga orang-orang yang berakhlak mulia yang mahu menegakkan keadilan dan menolak penganiayaan.
  3. Kezaliman dengan segala bentuk dan tipunya bertentangan dengan ajaran Islam. Keadilan hendaknya ditegakkan tanpa memandang warna kulit, agama, dan suku.
  4. Pengesahan hukum bolehnya melakukan perjanjian dan kesepakatan antara perbezaan agama dalam hal-hal yang membawa kepada kebaikan dengan mempertimbangkan pencapaian maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerosakan) dari segala aspek.
  5. Seorang muslim sepatutnya memiliki nilai positif untuk merealisasikan kebaikan lingkungan dan masyarakatnya, bukan sebagai penonton yang kagum atau terpana melihat hasil yang muncul dari proses tersebut.

Kesimpulannya
Sikap positif Rasulullah saw terhadap Hilful Fudhul menegaskan betapa Islam mendukung sebuah perjanjian yang sarat dengan nuansa perlindungan dan pembelaan hak asasi manusia, walaupun inisiatif dari perjanjian tersebut datang dari kalangan non muslim, dan bahkan sebelum masa kerasulan nabi Muhammad SAW lagi.

Hadis tersebut menunjukkan sikap Nabi SAW yang sangat prihatin terhadap sebarang pakatan atau tindakan untuk menentang kezaliman. Biarpun sumpah setia ini berlaku sebelum kebangkitan Nabi SAW sebagai Rasul akhir zaman, tetapi naluri seorang Nabi sangat terkesan dengan sebarang tindakan yang dilakukan untuk menentang kezaliman .

Rasulullah SAW telah menjelaskan mengenai keterlibatan baginda di dalam peristiwa Hilful Fudhul di zaman jahiliyyah, baginda menyatakan, jika peristiwa Hilful Fudhul (dimana mereka bahu-membahu untuk kemenangan) terjadi di masa kenabian maka Rasul memilih untuk ikut serta di dalamnya. Dalam kesempatan lain Rasul pernah meminta pertolongan Muth’am bin Ady seorang Nasrani untuk kemanfaatan dakwah. Gambaran tersebut menunjukkan sejauhmana semua peluang dan kesempatan digunakan untuk kemaslahatan dakwah. Wallahua’lam.. Rujukan :
tinta mahasiswa

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: “Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)

Yang perlu diingat bahwa perjanjian dan pengambilan kebijakan ini terjadi di jaman jahiliyah dimana Muhammad muda belum menjadi Rasul, maka hadis ini menekankan bahwa nabi Muhammad SAW sebagai mewakili islam, bila menjumpai lagi perjanjian serupa dijaman islam telah hadir, Beliau akan mendatanginya atau turut serta tentu saja yang bernilai atau menghasilkan kebijakan yang bersifat baik demi maslahat yang lebih besar dan umum. Lalu bagaimana bila peristiwa yang serupa keadaan/sistemnya terjadi pada umat islam dewasa ini?

Dijaman ini sistem serupa hal ini dapat dijabarkan pada parlemen dan koalisi. Jadi masih bisa dibenarkan dalam konteks kekinian serupa hal tersebut, umat islam hadir di parlemen dan koalisi yang bertujuan melahirkan kebijakan publik yang mengandung maslahat bersama dan umum. Dan tentu saja akan lebih baik lagi bila kebijakan tersebut berlandaskan syariat islam atau atas inisiatif umat islam. tujuan dan maknanya harus dilihat penyesuaian dari makna dan tujuan hikmah kejadian peristiwa Hilful Fudhul. Ketika tidak terwujud kemenangan dari persatuan umat islam sendiri ataupun kalah suara maka pilihan lanjutan kedua adalah berkoalisi dengan standart untuk menghasilkan kebijakan dengan landasan moral baik yang umum diterima yang tentunya nilainya juga harus adalah tidak bertentangan dengan hal-hal syari.

Praduga terbalik
Anggap dalam demokrasi ada dua kubu partai, partai haq dan partai batil, partai golput diabaikan suaranya.

Partai batil didukung oleh : partai sekuler, partai liberal, partai plural, partai aliran sesat, partai munafik, partai fasik, partai non agama islam dan partai atheis
Partai haq didukung oleh : partai islam a, partai islam b, partai islam c, alias hanya umat islam pro syariah dan sayang-sayang saja juga pecah banyak partai. Jadi sebagai prioritas pertama yang harusnya dilakukan adalah mewujudkan koalisi antara beberapa parpol islam ini.

Tapi umat islam pro syariah yang dimaksud adalah umat islam pro syariah yang mau berkotor lama atau sejenak di demokrasi itu sendiri, jadi suara umat islam pro syariah disini terbagi dua karena tergembosi oleh umat islam pro syariah antidemokrasi yang suara sebagian ini masuk pada partai golput yang berwatak pro syariah yang tidak berpengaruh apa-apa kebijakan negeri yang tentu saja kebijakan negeri ini berimbas pula buat seluruh masyarakat, termaksud partai golput berwatak pro syariah.

Jangan dipatok demokrasi adalah suara rakyat yang unsur selain islam semua ada, yang dipatok adalah bagaimana demokrasi disini adalah mendominankan suara umat islam (parpol islam) agar suara non islami tidak dapat membuat keputusan/dapat diabaikan keberadaannya/dimarginalkan pengaruhnya dalam mengambil keputusan dan dapat lenggang menelurkan undang-undang dan kebijakan bernilai syariah. Indonesia memiliki lebih 80% umat islam tentu demokrasi di Indonesia bisa dibangun dengan menganut hukum dan kebijakan syariah.

Demokrasi haram berikut turunan produknya termaksud pemilu maka semua yang masuk sistem demokrasi dan ikut pemilu berarti sesat, maka :

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. Qs. Al Qashash: 56

Karena sesat berarti sudah tidak dapat diberi petunjuk, berupa penyampaian kabar dan peringatan, apalagi untuk mengaplikasikannya pada diri mereka sementara tuntutan islamnya diri adalah pengaplikasian batin dan lahir pada diri sendiri juga bekerja dalam amalan bersama untuk kolektif manfaat. Akan sangat menyita waktu dan perhatian untuk berdakwah, bila memilih solusi damai, solusi damai terbaik telah dijelaskan diatas, bila pilihan lebih relevan adalah perang maka terbentur keadaan damai dinegeri tersebut, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi masalah ini. Bersabda nabi shallallahu alaihi wa sallam; barang siapa memerangi umatku membunuh orang baik dan orang fajirnya serta tidak berhati-hati dari orang mukminnya dan tidak menepati perjanjian kepada yang membuat perjanjian dengan mereka maka dia bukanlah dari golonganku dan aku bukan dari golongannya. (HSR. Muslim no 1848). Jadi pilihan relevan jihad adalah keluar ketanah jihad (konteks kekinian hari ini atau hal diatas). Bila penekanan pada dakwah luar sistem saja karena berarti tidak boleh masuk dalam sistem sedikit maupun menyeluruh, berarti pula konsekuensinya untuk masa kekinian adalah meninggalkan kekuasaan secara penuh dan pembiaran kekuasaan dikuasai penuh oleh pihak ideologi non islami saja, lalu apa yang akan terjadi kemudian?

Perlu diingatkan bahwa efek luas dari kemenangan adalah sifatnya “berbondong-bondong mendekat” secara luas mencakup batasan seluruh wilayah kekuasaannya, mengikat menyeluruh orang-orang awam sampai orang-orang terpelajar, bila yang menguasai penuh sistem adalah sekuler maka efek “berbondong-bondong mendekat” adalah hal-hal berbau sekuler maka daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb dikuasai oleh sekuler, apa yang terjadi seperti kata seorang ulama, “Umat Islam beribadah akan dibiarkan, umat Islam membangun kekuatan ekonomi akan diwaspadai, dan jika umat Islam membangun kekuatan politik maka akan dihancurkan, umat islam membangun opini akan dimarginalkan atau dahuluan dimanfaatkan lawan ideologinya namun cara dan tujuannya tidak berlandaskan tauhid yang benar, dsb”. Setan dari jenis jin dan manusia akan lebih banyak bergentayangan dan makin menjadi-jadi sekuler karena tidak ada atau kurangnya tekanan, paksaan, penyeimbang, kontroling, dsb ala islami tersebut maka otomatis dakwah akan makin kalah taring dan suara, dan pula makin menjadi terkebiri dan kerdil dalam lingkup tertentu dan juga akan semakin mengecilkan seiring makin kuatnya daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb dari kekuasaan sekuler tersebut. Agama makin dijauhkan dari area politik, pendidikan, ekonomi, keamanan, sosial, dsb. Pemimpin kafir atau anti Islam akan menghalangi manusia dari jalan Allah, akan makin membatasi ruang gerak pada dai untuk berdakwah, membatasi ruang syariah, membiarkan kebatilan menyebar dimana-mana, walau terlihat ada kemajuan (hal yang normal dari sebuah tuntutan dari kepemimpinan terhadap kemajuan peradaban dan teknologi) maka ia bisa pula akan sebanding dengan keburukkan yang menyertainya, karena tidaklah moral baik saja yang dituntut tapi adalah akhlak mulia (moral yang bertauhid) apalagi bila dilakukan secara halus terus-menerus dan tetap seakan-akan menjaga “kedamaian” yang dapat diartikan pula sebagai “keburukan berkedok kedamaian”, nah ini akan menjadikan upaya damai yang menipu padahal kalau sudah urusan “damai” (mungkin kalau disini ini, katakanlah dapat diwakili dalam perjanjian piagam jakarta) umat islam tidak berkutik secara perlawanan fisik, tidak dibolehkan memulai membuat kekacauan dikala damai maka memang benar kata nabi bahwa tiada pilihan kecuali harus taat walau terzhalimi agar tidak harus sampai “mati sambil menggigit batang pohon” karena tidak relevannya pilihan perlawanan fisik dalam keadaan “damai” tersebut (karena selain faktor “damai” ini, juga benar-benar ada sangat banyak sekali bawaan efek lain-lain dari “keburukan berkedok damai” itu yang memang membuat tidak dapat berkutik secara perlawanan fisik, contoh seperti: susahnya mengumpulkan kekuatan dan penyatuan sikap, terlena kenikmatan duniawi yang menggiring didalamnya, takut mati kerena indahnya hidup, kurangnya/termarginalnya penyebaran dan pemahaman ilmu, tersebarnya kebatilan dan tempat-tempat batil yang dapat melelapkan dan melupakan, berkurangnya kontrol terhadap penyebaran penyakit hati, makin jauhnya nilai agama dari lingkup keamanan, pendidikan, ekonomi, politik, dsb dan setelahnya karena juga akan terbentur pada sikon hukum itu sendiri, boleh-tidaknya melanggar “perjanjian damai” itu sendiri, juga masalah taat kepada pemimpin walau semisal terzhalimi, maka hanya bisa hal tersebut diatas “mentaati” agar dapat menyelamatkan islam dalam lingkup kecilnya atau pribadinya, maka masih mendingan kalau masih boleh terbuka tapi kalau sampai berakibat harus sembunyi-sembunyi berdakwah karna tekanan, paksaan, kontroling, dsb dari kekuasaan sekuler tersebut, gmana? Secara tidak langsung umat islam sendiri juga berarti turut andil “menggoakan” dirinya sendiri alias rela “digoakan”.

…… 'Wahai Rasulullah, lalu apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika Allah memiliki seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia menzhalimimu dan mengambil sesuatu yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan) selain kamu harus menaatinya. Jika tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit batang pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan parit-parit dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut, maka ia akan diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa terjatuh ke dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat semua pahala kebaikannya'." (Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud

Hudzaifah berkata, "Aku bertanya lagi kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, apakah setelah datangnya Islam akan ada keburukan lain?' Beliau menjawab, ''Keburukan berkedok kedamaian dan kelompok yang terselimuti kekufuran dan anggota kelompoknya pun terselimuti olehnya. "Hudzaifah berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan keburukan berkedok kedamaian?' Beliau menjawab, 'Ketika hati seluruh kaum sudah tidak dapat lagi kembali kepada kebaikan sedia kala.' Maka aku bertanya lagi, 'Apakah setelah Islam datang akan ada keburukan lain yang akan kembali datang?' Beliau menjawab, 'Fitnah orang buta dan tuli (akan kebenaran), dan fitnah itu memiliki pemanggil yang berada di atas pintu neraka. Jika kamu mati, wahai Hudzaifah, dalam kondisi menggigit batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka'. (Hasan: ibid.)

Untuk yang ini bila dikontekskan hal diatas maksud “mati dalam dalam kondisi menggigit batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka” merupakan dinding/pemisah jelas keislaman dirinya terhadap ideologi lainnya artinya keberpihakkan tetap ada meskipun dalam kondisi bagaimanapun dan ideologi apapun yang memimpin dan atau tetap dalam syariat islamnya, baik bekerja didalam sistem atau bekerja diluar sistem (Anda juga tidak perlu menutup-nutupi kenyataan yang sudah jadi rahasia umum bahwa selalu akan ada perang dingin di dunia ini).  Pada konteks kekuasaan sekuler tadi maka taatnya dalam hal kebaikannya, bukan hal keburukannya, cuma membatasi atau terbatasi karena faktor tadi menjadi ketidaktaatan pada keburukan pemimpin ini pada pegangan untuk diri masing-masing dan sebisa untuk lingkungan sekitarnya yang “mengecil” itu, agar tidak “mati sambil menggigit batang pohon”, tapi terkhusus korban/terfitnah langsung yang menerpa dirinya pada sistem itu, jika kamu mati dalam kondisi menggigit batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti keinginan mereka, contoh seperti: tawanan politik karena pesanan (jika benar terfitnah, bisa jadi ia adalah ujian untuk meningkatkan derajatmu, bila sebuah kebenaran, maka anggaplah azab Allah SWT untukmu karena kasih sayangNya, untuk menghapus dosa-dosamu agar dapat kembali kepadaNya), contoh lain korban pembunuhan petinggi IM di Mesir, dsb. Kedua hadis tersebut dalam konteks lembut dan keras (memberi pipi buat ditampar atau membalas balik) akan berbeda pada kondisi berbeda pula.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”  (QS. Ali Imran 102)

Dari shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim sebuah pasukan, dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan. (Di pertengahan jalan) komandan pasukan tersebut menyalakan api, kemudian memerintahkan pasukannya untuk masuk ke dalam api tersebut. Maka sebagian pasukan ingin masuk ke dalam api tersebut dalam rangka mentaati perintah sang komandan, namun sebagian yang lain mengatakan, mari kita melarikan diri. Kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda kepada pasukan yang ingin masuk ke dalam api tersebut, ‘Sekiranya mereka masuk ke dalam api tersebut, maka mereka akan terus-menerus dalam kobaran api tersebut hingga hari kiamat.’ Dan beliau bersabda kepada pasukan yang melarikan diri, ‘Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang ma’ruf’.” (HR. Al-Bukhari: 7257)

Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya, bahwa mentaati pemimpin dan pembesar kaum dalam rangka bermaksiat kepada Allah, akan menggiring mereka ke dalam neraka-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala, wal ‘iyadzu billah. Sehingga Rasulullah menegaskan bahwa ketaatan kepada makhluk hanya boleh dalam hal-hal yang ma’ruf.

Jadi pada situasi dan kondisi lainnya yang berbeda kelak, bila berhasil bersatu atau mulai adanya gejala bersatu antara diluar sistem dan didalam sistem melawan sistem itu maka sudah pasti akan ada fitnah orang buta dan tuli dari kebenaran (gejalanya sih sudah muncul), disini bingungnya penulis untuk apakah penulis harus menyampaikan cara-cara menyatukan 2 ijtihad berbeda (dalam sistem dan luar sistem) berikut gerakan secara gambaran kasar, dimana ada fungsi berbeda yang harus dikerjakan berbeda (tetap dalam koridor perjuangan masing-masing) dan ada fungsi yang harus dikerjakan bersama (contoh bersatu sejenak dalam bilik suara, menyatukan semua suara kepada partai berasas islam dan memenangkannya), berikut dalil-dalilnya bahwa persatuan ini dapat terjadi walau terlihat diluaran ada 2 ijtihad berbeda atau menyembunyikannya dan membiarkannya berjalan apa adanya karna faktor-faktor fitnah yang akan banyak terlihat untuk memecahkannya kembali walaupun sebagian besarnya sudah terjabarkan dari 2 link ini (disini pula Anda akan benar-benar melihat orang-orang yang akan keluar dari jamaah kaum muslimin). Sedangkan bagaimana permasalahan menyangkut bagian sikap respon permasalahan keluar dan bantuan keluar untuk umat islam dibelahan lainnya bahkan masalah jihad fisabilillah itu sendiri masih dapat berjalan juga dari persatuan 2 ijtihad dalam fungsi berbeda dan fungsi bersama ini tanpa merusak sambil jalannya kondisi untuk menaklukan demokrasi dan memurnikannya di dalam negeri sendiri juga tanpa memancing sikap progresif dari luar bahkan ia pun masih dapat sesuai dengan kaedah bangsa, Pancasila dan UUD 45 juga pegangan sikap politik luar negerinya, bila memang itu diinginkan selama belum perpindah jaman ke lima.

Salim A. Fillah mengatakan didalam Piyungan bahwa di dalam Pancasila, para bapak bangsa, telah menitipkan amanah Maqashid Asy Syari’ah (tujuan diturunkannya syari’at) yang paling pokok untuk menjadi dasar negara ini. Lima hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia. Keempat Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sambil lalu: Mungkin 2-3 tahun lalu, waktu itu penulis karena rada suka membaca lalu memanfaatkan kaedah-kaedah fiqh dan penjabaran pintu-pintu dalam dunia tasawuf beserta sifat lahiria manusia dan penyakit hatinya untuk terjun ke dunia dagang (manfaat ini bukan hanya untuk dagang, untuk pendidikan, untuk motivasi (pernah lihat sekali di tv, Teguh Mario dengan cara penjabaran berbeda ia menjabarkan konteks “sesuatu” yang sebenarnya itu juga adalah sudah ada tertuang dalam kaedah-kaedah fiqh), untuk makar, hal duniawi lainnya dan bahkan untuk perang sekali pun dapat dipakai, seperti kisah “Sam Kok” strategi perang Cukat Liang yang berjilid-jilid tebalnya yang kemudian dijadikan strategi dagang Tionghoa) tapi kehendak Allah SWT menutup semua teknis-teknisnya dan menyudutkan penulis kearah pilihan menabrak dan menggunakan segala cara atau tidak sama sekali, akhirnya penulis mundur dan tidak memakai segala cara, dan ternyata memang arahan tujuan penulis bukan duniawinya tapi manfaat pelajaran dan pengalamannya saja dari dunia lain tersebut. ini hanya sekedar ingin agar kalian tahu saja mungkin ada faedahnya buat kalian. O ya, nah waktu itu, penulis berada di Jakarta sengaja menjaring banyak investor, selama di Jakarta juga ada kesempatan untuk bertemu salah satu seseorang yang juga diklasifikasikan dan direkomondasikan “TOP”. Besoknya akan dikondisikan bertemu dan ke rumah Ayandaputra (nama samaran) seorang anak jenderal di masa lalu, tapi emang nga sempat ketemu, karena mendadak Ayandaputra keluar kota dengan jet-nya. Penulis awalnya sih nga terlalu mikirin dan percaya begitu saja hal-hal cerita dibalik layar dari seseorang “tionghoa berkaca mata (lupa namanya karena sudah malam dan memang nga fokus ke ceritanya itu)” yang menceritakan Ayandaputra, tapi beberapa waktu lalu namanya muncul di tv dan kemudian menghilang dengan cepatnya. Baru kemudian penulis menyadari bahwa cerita anak didiknya dan lingkup permainannya bisa jadi benar sesuai dengan beberapa nama-nama tokoh-tokoh yang dikatakan dekat padanya di media dan tv (penulis hanya tahu sampai disitu saja). Dari kisah ini, Penulis hanya berpikir tanpa strategi dan koordinir baik dari perang bayangan dibalik layar, umat islam akan susah bangkit dari keterpurukkannya.

Bagaimana efek luas akan “berbondong-bondong mendekat” dari kekuasaan yang berada ditangan sekuler ini maka maaf penulis tidak dapat menggambarkan secara detail dan luas mencakup hal ini karena susah, ribet, dan banyak menghamburkan kata untuk menyatukan seluruh puzzle script-scriptnya menjadi satu kesatuan bentuk aplikasi gamenya. Silahkan Anda memikirkannya lebih detail sendiri untuk melihat gambarannya dan juga melihat gambaran bagaimana konteks penjabaran seluruh syariah pada jaman modern bisa membuat dunia sebenarnya sebagai ala surgawi. Baru disitu Anda menentukan yang mana sebenarnya yang dinyatakan sebagai meninggalkan mudharat namun ternyata hasilnya malah menghasilkan mudharat yang jauh lebih besar dan lebih luas jangkauan efek akibatnya, menjadi diam atau golput apakah akan lebih baik efek luasnya?.

Lalu apa efek “berbondong-bondong mendekat” bila parpol islam yang memenangkan kekuasaan maka daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb akan menguatkan dan mengikuti syariah islam. Maka daya tekanan, paksaan, penyeimbang, kontroling, dsb ala islami ini otomatis membuat dakwah akan makin bertaring dan bersuara dan makin meluaskan lingkupnya seiring makin kuatnya daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb dari kekuasaan islam tersebut (lihat contoh model lain seperti faedah perjanjian Hudaibiyah dan penaklukan Mekkah). Tugas menjadi rahmat buat semua akan lebih mudah tercapai untuk dunia dan akhirat. Islam dan syariah akan makin meluas efeknya.

Bila keadaan seimbang, maka ia menjadi penyeimbang yang tangguh, saling tarik menarik dan saling mewarnai, yang pasti rasa aman beribadah dan menyebarkan dakwah masih bisa dimiliki juga masih bisa menyisipkan ruang-ruang syariah untuk hidup merdeka.

Efek “berbondong-bondong mendekat” bila parpol islam yang memenangkan kekuasaan maka daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb tersebut memuat kontrol sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, peradilan, informasi dan media, dsb lebih baik, tekanan untuk bermoral baik makin menjadi yang menjadikan bangsa bermartabat tinggi dan juga daya paksa mengikuti syariah (undang-undang yang berlaku) makin tegas dalam hukumnya, terutama budaya malu akan makin menjadi lebih tinggi bernilai dan perlu diingatkan lagi ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas. Begitupun kebalikkannya bila sekuler berkuasa, terpaksa menjadi kebiasaan lalu menjadi adat atau budaya berbau sekuler atau tercampurnya pemahaman dengan hal-hal sekuler. Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw “Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah). Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam sangat memahami saat terjadi fathu makkah bahwa banyak diantara mereka  yang berpura-pura masuk Islam, namun demikianlah hidayah masuk ke hati seorang sedikit demi sedikit.

Dari Anas  bahwa ada seorang yang meminta kepada Nabi shallallahu alihi wa sallam kambing sebanyak (lembah) antara dua bukit lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberinya kemudian orang tadi mendatangi kaumnya seraya berkata, "wahai kaumku masuk Islamlah, karena Demi Allah, Muhammad telah memberiku pemberian yang tidak takut kefakiran." Berkata Anas, "Sungguh saat itu banyak orang yang masuk Islam namun tidak menginginkan kecuali dunia, tetapi setelah berIslam sungguh Islam lebih mereka cintai daripada dunia dan seluruh isinya." ( HR. Muslim)

Berkata Al Imam Ibnu Taimiyah rahimahulloh: "Maka kebanyakan manusia jika masuk Islam setelah kekufuran atau dilahirkan di atas Islam dan menjalankan syariatnya, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka adalah muslimun yang memiliki iman secara mujmal/global. Akan tetapi masuknya hakikat keimanan kepada hati mereka adalah terjadi sedikit demi sedikit jika Allah memberikannya kepada mereka. Dan kebanyakan manusia tidak sampai kepada derajat yakin dan jihad. Jika mereka ini dibuat ragu, niscaya mereka ragu, jika diperintah jihad niscaya mereka tidak mau. Namun mereka ini bukanlah Kafir dan bukan pula munafiq. Hanya saja mereka tidak memiliki ilmu dan ma’rifah serta keyakinan hati yang membentengi dari keraguan, tidak pula mereka memiliki kekuatan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mereka utamakan di atas keluarga dan harta…" (Al-Iman 2/350)

Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersama umumnya kaum muslimin, menasehati mereka dan bersabar atas gangguan mereka.

Dari Muadz radhiyAllahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Wajib atas kalian untuk selalu bersama umumnya kaum muslimin, jamaah serta masjid-masjid mereka" (HR. Thabrany di Al-Mu'jam Al-Kabiir 20/164).

Anda bisa berpikir atau memikirkan efek sebab-sebab dan akibat-akibat luasnya terhadap 3 jenis perbedaan hasil “demokrasi” ini dan mengembangkannya lebih lanjut.

…… 'Wahai Rasulullah, lalu apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika Allah memiliki seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia menzhalimimu dan mengambil sesuatu yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan) selain kamu harus menaatinya. Jika tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit batang pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan parit-parit dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut, maka ia akan diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa terjatuh ke dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat semua pahala kebaikannya'." (Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud

Untungnya dan dapat dimanfaatkan di dalam sistem demokrasi yang “damai” ini, adanya kesempatan atau dapat bertukarnya pemimpin kekuasaan selama lima tahunan dengan cara-cara memanfaatkan status “damai” tadi juga, daripada “selalu mati sambil menggigit batang pohon” Maka lebih baik berusaha agar tidak “selalu mati sambil menggigit batang pohon” tersebut, yaitu dengan merespon dan ikut memproses pergantian pemimpin atau bahkan subtansi-subtansi sistem sekaligus. Daripada sifat pemimpinan tersebut ala diktaktor seumur hidup, maka hanya dapat dilakukan dengan tanda kutip “bukan memulai” tapi memanfaatkan bila ada kejadian terjadi kekacauan entah karena kudeta, revolusi atau reformasi, nah yang umum ini akan menjadikan kemungkinan paling besar adalah pilihan jihad fisik. Pertanyaannya, beranikah? Dan bagaimana kaedah-kaedah dan hukum-hukum syar’i sudah sesuai kondisikah terhadap situasinya dan benarkah atau tidak? Bagaimana persiapannya? Maka akan banyak hal lagi yang harus dibahas dan disimpulkan. Kita mesti belajar lagi ilmu syari tentang bahasan ketaatan kepada penguasa (baik dari kaum muslim, dari kaum munafik dari kaum syiah, maupun dari kaum kuffar), Kata kuncinya : Jika penguasa itu tidak menghambat dakwah kaum muslimin, maka kita taat kepadanya dalam hal kebaikannya, bukan hal keburukannya, namun jika penguasa itu menindas sampai penindasan seperti di suriah, bukankah ini yang dicita-citakan kaum muslimin, puncak keimanan tertinggi perlawanan jihad fisabillah, mati diatas agama atau hidup mulia, tentu saja pilihan yang dilihat dari faktor ketika awalnya damai atau tetap adanya kedamaian yang berkedok tersebut dan atau ketika adanya terjadi kekacauan berserta faktor lain-lainnya.

Pemberontakan Terhadap Penguasa Dan Batasan-Batasan Syar'inya
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara permasalahan yang sedang ramai dibicarakan ialah masalah hubungan antara rakyat dengan penguasa serta batasan-batasan syar'i, berkenaan dengan hubungan ini. Syaikh yang mulia, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan oleh para penguasa merupakan alasan dibolehkannya melakukan pemberontakan terhadap mereka. Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan meskipun menimbulkan mudharat atas kaum muslimin di negeri itu. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa negeri Islam sangat banyak, bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?

Jawaban.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanyalah bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba'du.

Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa : 59]

Ayat diatas menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri, yaitu umara' dan ulama. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa mentaati waliyul amri dalam perkara ma'ruf merupakan kewajiban.

Nash-nash hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma'ruf bukan dalam perkara maksiat. Mereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .

"Artinya : Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah"

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam .

"Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara') dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat".

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara ma'ruf dan kemungkaran: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? "Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu".

Ubadah bin Shamit Shallallahu 'alaihi wa sallam menuturkan : "Kami memba'iat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya" Beliau melanjutkan : "Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah [Al-Qur'an dan As-Sunnah]"

Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah). Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak, orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan kacau. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika pemberontakan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mereka tidak boleh melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaidah syar'i yang disepakati bersama menyebutkan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara yang dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun menolak kejahatan dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin akibat kemarahan penguasa itu, maka mereka boleh melakukannya.

Adapun jika pemberontakan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya orang-orang yang tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.

Dalam kondisi demikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam perkara ma'ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendo'akan kebaikan bagi mereka. Serta sungguh-sungguh menekan tingkat kejahatan dan menyebar nilai-nilai kebaikan. Itulah sikap yang benar yang wajib ditempuh. Karena cara seperti itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan cara seperti itu juga dapat menekan tingkat kejahatan dan meningkatkan kuantitas kebaikan. Dan dengan cara seperti itu jugalah keamanan dapat terpelihara, keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-29 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

Kesimpulannya: Demokrasi dapat ditaklukan dengan dua cara, cara damai atau cara peperangan. Cara ketiga, diam kemungkinan hampir-hampir tidak dapat sama sekali. Dalam keadaan damai atau adanya perjanjian damai walaupun itu “keburukkan berkedok kedamaian” atau ketika sekuler memimpin, maka kita taat walau terzhalimi, taat pada hal kebaikan bukan pada hal keburukkan atau maksiat, tidak boleh patuh dan taat jika diperintah berbuat maksiat, menjadikan syariah agama tetap sebagai pegangan diri masing-masing, Allah SWT adalah pelindung dalam lingkup “terbatasi” dan apa saja lingkup yang bisa dikerjakan dalam “pembatasan” tersebut agar “tidak mati sambil menggigit batang pohon”, kalaupun diperintah dengan pemaksaan akan maksiat, kita bisa menasehati dengan berbagai media atau dengan menasehati dengan cara lebih kolektif (demo damai), kalau masih ditekan pemaksaannya maka “lebih baik menolak sampai mati sambil menggigit batang pohon daripada menuruti perintah orang buta dan tuli tersebut” atau secara soft dengan contoh Kisah Ammar bin Yasir yang mengatakan kata-kata kufur karena jiwanya teracam. Saat hal ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada Ammar, “Bagaimana keadaan hatimu?” “Tenang dalam keimanan”, Jawab Ammar. Beliau kemudian berkata, “Jika mereka kembali melakukan hal itu, maka ulangilah perbuatanmu itu.” Kejadian ini menjadi sebab turunnya firman Allah (yang artinya),“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106). Tergantung keutamaan pilihan dan kekuatan imam kalian. Dalam hal ini, bila lebih dan sangat jauh yaitu bila sampai kepada melihat kekafiran yang nyata pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah) maka ia bisa membangun perlawanan fisik, walau wala dan bara akan sangat lebih jelas tapi masalahnya cara ini tidak akan dapat menyatukan banyak hati dan juga terbentur pada kemampuan kolektif dan perhitungan penimbulan mudharat-mudharatnya juga kondisi “seakan-akan damai” tadi, maka cara lembutnya bukan memulai tapi dengan memanfaatkan bila ada terjadinya kekacauan terlebih dahulu entah akan disebabkan oleh apa nantinya baru turut andil terjun langsung, maka bisa jadi ia akan mendapat sokongan berlipat dari kelompok yang lain-lainnya, tidak menyalahi perjanjian “damai” dan tidak menyalahi menimbulkan dahuluan mudharat akan dampak kerusakan peperangan dan namun ketika jaman ini, ternyata sistem “kedamaian” ini dapat beralih 5 tahunan sekali maka bukankah ada cara lebih mudah dan lebih kecil efek mudharatnya untuk menjatuhkan sistem dan kepemimpinannya dengan cara-cara damai pula. Lalu kenapa kau menghindar membantu saudaramu yang berjuang dalam sistem? Dari masalah taat walau terdzalimi saja dan status “damai”, anda akan terbentur berbagai sisi pendapat berbeda dari masing-masing kelompok islam, dari penentangan keras hingga yang lembut kepada Anda. Tapi begitu Anda diam saja tidak membantu, maka Anda juga terbentur dengan pembiaran “keburukan berkedok damai” ini yang dengan halusnya akan sangat menggerogoti sendi-sendi kekuatan umat dan bahkan lingkup dirimu pula. Cukupkah sampai disitu. Ternyata tidak, mungkin Anda tidak tahu atau mungkin melupakannya pula bahwa merebut kekuasaan itu sama dengan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) maka lihat pula masalah penyikapan ghanimah ini, yang harus diingat adalah pemanfaatan ghanimah ini, Anda akan mendapatkan wilayah dilengkapi dengan potensi-potensi dan aset-aset potensialnya yang ada, untuk apakah itu? bisa jadi untuk persiapan dimana kuda-kuda terbaik banyak datang pula darinya. Terserah Anda mau mempersiapkan diri menjadi “apa-apa” atau tidak menjadi “apa-apa”. Penulis cuma mengajak Anda membantu saudaramu menyokong mendapatkan suara, menyatukan diri dalam bilik suara, lalu bila mau keluar maka keluarlah kembali ke jalur Anda karena hal ini juga punya fungsi-fungsi pentingnya. Hal terpenting adalah bila benar hal ini lah yang dimaksud adalah “keburukan berkedok kedamaian” maka kita tahu, esok hari entah beberapa waktu lagi kita akan menuju babak yang lebih puncak, puncak akan peralihan jaman menuju kekhalifahan akhir jaman maka bagaimana sikap atau respon kita memanfaatkan perbedaan ijtihad ini menjadi satu kekuatan utuh dan mengutuhkan bersama dengan mencari sebab-sebab perubahan yang syari atau sebab-sebab peperangan yang syari. Ingatlah lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri dan juga lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang.

“Mungkin masih ada keraguan dengan pertanyaan: “Tapi faktanya Ikhwanul Muslimin di Mesir dibantai, Mursi digulingkan, FIS di Aljazair dibantai sampai jatuh korban puluhan ribu Muslim?” Jika situasi Mesir dan Aljazair dijadikan ukuran, itu konteksnya berbeda. Di sana yang terjadi adalah kezhaliman, kelicikan, kejahatan terbuka terhadap mekanisme kompetisi politik yang jujur dan damai. Sebagian orang menggunakan cara kekerasan untuk menghancurkan kemenangan yang diperoleh melalui kompetisi politik yang fair. Jadi dasar masalahnya bukan di kompetisinya itu sendiri. Tapi pada orang yang ngeyel dan tak mau kalah secara sportif, lalu memakai cara-cara kekerasan. Logikanya begini: Ada perlombaan lari diikuti 10 orang pelari. Dari perlombaan itu diperoleh seorang pemenang sebagai juara. Dia dapat piala. Tapi ada yang tak terima. Mereka menghajar sang juara sampai babak belur, lalu piala di tangannya diberikan kepada pelari lain yang kalah. Yang salah disini kan kezhalimannya, bukan kompetisi larinya”

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata, maka dia bukan golongan kami” (HR. Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)

Pen : Bila umat islam (parpol berasas islam) menguasai kekuasaan di negeri ini lalu keadaan seperti ini terjadi maka sama saja dengan menyatakan pembatalan piagam jakarta yang dimaknai serupa perjanjian hudaibiyah, pembatalan status damai karena itu seperti pernyataan memerangi karena agama dan pengusiran dari kekuasaan kepada yang memenanginya dengan hak dan adil (nilai yang berlaku universal) yang sesuai sistem yang ada, jadi akan ada kesempatan terbuka dari kekacauan ini yang bisa dimanfaatkan yaitu jihad fisik dan bukankah ini yang paling dicita-citakan mati sahid atau hidup mulia, kita tidak mencari atau memulai kekacauan, tapi bila ada harusnya kita pula tidak lari darinya. Silahkan membuka peluang meninggalkan demokrasi secara langsung dan mengarahkan ke daulah islamiyyah dengan jihad fisabilillah karena kata “damai” telah terhapus pada saat-saat seperti itu. Nah, kini ini adalah giliran aliran jihadi sebagai garda terdepan atau pun mereka-mereka yang berkecimpung diluar sistem karena lebih siap dengan ke-Umar-annya, namun jangan sampai malah ternyata berada jauh dibelakang diluar pembatas garda belakang. Komitmentkah? Siapkah? Kalau tidak ada yang memimpin, ya sudah balik “menggoakan” diri saja. Kita tidak menerima kudeta jenis ini karena sifatnya, namun bila tidak dapat melawan atau mau mengambil kesempatan melawan dan kemudian terjadi proses dari kekacauan ini membalikkan damai kembali, mau tidak mau hasil kepemimpinan ini harus ditaati, makanya sebelum itu, adanya peluang waktu terkecil itu dapat dimanfaatkan dengan keberanian. Mungkin Anda akan berkata, apa ini tidak akan menimbulkan mudharat lebih besar, maka ini kebalikkannya karena mengembalikan potensi “keburukkan berkedok kedamaian” akan lebih berbahaya pada saat itu, karena kekuatan umat akan benar-benar terjepit dan cara-cara “damai” akan sangat lambat bergulir kembali ke permukaan seperti halnya sekarang, sebelum kemenangan partai islam tadi, sebelum terlambat karena kekuatan umat akan sangat-sangat tumpul nantinya dan butuh proses lebih panjang lagi nantinya. Bila terjadi, pada saat itu diumumkan buat yang ingin berpihak kepada siapa-siapa, lalu diumumkan pula untuk meminta yang tidak terlibat (pengungsi) keluar dari kota-kota sementara ke tempat netral yang akan ditentukan kemudian yang aman dari serangan agar menjauhkan mereka menjadi korban yang tidak perlu karena pedang masih punya satu arah mata sedangkan bom dan peluru itu tidak mempunyai mata yang tetap. Kalau senjata mah dengan sendirinya datang bakal diberi sama militer beriman. Bila dengan hak, maka Allah SWT pun akan memberi pertolongan seperti satu contoh kisah dari serangan drone-drone kepada pasukan gajah (Qs. Al-fiil). Nah, setelah bersatu dalam bilik suara maka disini pula ada fungsi dari yang berada diluar sistem sebagai kesatria mengawal dan menjaga yang berada dan berjuang didalam sistem. Apakah kalian bisa melihat masing-masing fungsi ini, kalau bisa melihat lalu kenapa tidak dapat bersatu?

Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abi Riqad bahwa ia berkata, “Mudah-mudahan Allah melaknat orang yang bukan dari golongan kami. Demi Allah, hendaknya kamu sekalian memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau kamu sekalian akan saling membunuh, kemudian orang-orang jahat berkuasa atas orang-orang yang baik dan akan menghabisinya sehingga tidak ada lagi orang yang berani melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, lalu kamu sekalian berdo’a tapi tidak dikabulkan karena kedurhakaanmu.”

diriwayatkan Al Harits dari Ali ra, bahwa ia berkata, “Hendaknya kamu sekalian melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau kamu sekalian akan dikuasai orang-orang jahat dari kamu dan kemudian ketika orang-orang pilihanmu itu berdo’a, tidak dikabulkan.”

Coba lihatlah dengan cara lain perihal tafsir tambahan ayat-ayat ini, kembangkan ke sudut pandang lainnya untuk masa kekinian dan tidak menyalahi atau melangkahi makna aslinya.

152. Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa'at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu[237] dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai[238]. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka[239] untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema'afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.
[237]. Yakni: urusan pelaksanaan perintah Nabi Muhammad s.a.w. karena beliau telah memerintahkan agar regu pemanah tetap bertahan pada tempat yang telah ditunjukkan oleh beliau dalam keadaan bagaimanapun.
[238]. Yakni: kemenangan dan harta rampasan.
[239]. Maksudnya: kaum muslimin tidak berhasil mengalahkan mereka.

153. (Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan[240], supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[240]. Kesedihan kaum muslimin disebabkan mereka tidak mentaati perintah Rasul yang mengakibatkan kekalahan bagi mereka.

154. Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu[241], sedang segolongan lagi[242] telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah[243]. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?." Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.
[241]. Yaitu: orang-orang Islam yang kuat keyakinannya.

Sampai dengan ayat 189, Qs. Ali 'Imran : 152-189, maka kalau mereka dan kalian alias KITA bersatu, akan ada golongan yang keluar dari barisan kita, yang buta tuli akan kebenaran.

Ada juga penjabaran lainnya disini :

Yusuf Qaradhawi mengatakan :
Pertama, sesungguhnya melakukan kebajikan adalah salah satu kewajiban dan tugas yang harus diemban setiap muslim, karena setiap muslim diperintahkan untuk selalu melakukan kebajikan seperti halnya mereka diperintah untuk melaksanakan ibadah (mahdhah) dan jihad. Allah SWT berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, ruku’, sujud dan sembahlah Tuhan kalian, serta kerjakanlah kebajikan agar kalian menjadi orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Haj: 77)

Kedua, sesungguhnya para fuqaha telah bersepakat bahwa menghilangkan marabahaya dari setiap muslim seperti kelaparan, kekurangan pakaian serta menghilangkan penyakit yang menimpa mereka, merupakan sebuah kewajiban kolektif terhadap semua muslim. Jika seluruh umat Islam tidak ada yang melakukannya, maka mereka semua berdosa. Dalam salah satu hadits disebutkan,

Beri makanlah mereka yang kelaparan dan bebaskanlah mereka yang tengah kesulitan.” (HR. Bukhari)

Ketiga, sesungguhnya menyebarkan dakwah tidak efektif dilakukan hanya dengan perkataan atau hanya dengan banyak menulis berbagai buku atau makalah belaka. tetapi bersamanya harus dilakukan pula aktivitas-aktivitas kongkrit yang mampu meningkatkan kecintaan terhadap Islam dan para juru dakwahnya di tengah-tengah manusia. teori inilah yang banyak dipraktekkan oleh para misionaris. Satu orang dapat mengkristenkan satu orang lainnya, mereka mendirikan rumah sakit-rumah sakit, sekolah-sekolah, panti asuhan serta berbagai klub yang mampu memikat masyarakat untuk bergabung dengan agama mereka.

Keempat, sesungguhnya dakwah memiliki beberapa target jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang diantaranya mendirikan negara Islam. Sedang jangka pendek, misalnya turut andil memberikan kontribusi–kendati secara parsial–dalam memperbaiki masyarakat. Tentu saja tujuan-tujuan tersebut satu sama lain tidak bertentangan tapi melengkapi. Ibaratnya, seperti orang yang hendak menanam kurma dan zaitun. Kedua tanaman tersebut tidak akan pernah berbuah, kecuali setelah beberapa tahun. Akan tetapi seorang petani yang cerdas, adalah mereka yang mampu memanfaatkan lahan kosong yang terdapat di antara pohon kurma dan zaitun tadi. Dimana mereka manfaatkan untuk menanam tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dapat dipetik hasilnya dalam tempo yang sangat singkat, seperti sayur-mayur. Dengan cara demikian, mereka mampu mengoptimalkan tanah, kerja kerasnya tidak sia-sia serta waktunya bermanfaat. Dimana mereka tidak hanya duduk dan berpangku tangan menjadi seorang penganggur, hanya karena menunggu pohon kurma dan zaitun berbuah dalam waktu yang sangat lama.

Kelima, dalam setiap kelompok, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, kenapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan beban mereka. Sedang Allah Taála akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya.

Allah hanya menolong orang-orang yang telah menolongNya. Siapa yang menolong agamaNya maka barulah Allah akan menolongnya. Ini merupakan suatu hukum yang diundang-undangkan dalam bentuk syarat dan balasan, sebagaimana firmanNya,

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad: 7)

Pada bagian lain Allah juga mengundang-undangkan perihal tersebut dalam bentuk berita yang tetap, yang dikukuhkan dengan ‘laam al-qasam’ dan ‘nun taukid’ dalam firmanNya,

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (Q.S. Al-Hajj: 40)

Dari ayat-ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa orang-orang yang diberi pertolongan oleh Allah ta’ala hanyalah orang-orang yang telah membela agamaNya dan yang telah menegakkan kalimatNya. Pertolongan Allah ta’ala bisa diperoleh bila kita mengundang-undangkan (menetapkan) syariatNya di tengah-tengah makhluk-Nya. Jaminan perihal itu diungkapkan menyusul dalam uraian kualitas orang yang membela dan dibela Allah ta’ala, yakni dalam surat Al-Hajj ayat 41,

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41)

Al-Quranul karim juga mengutarakan bahwa pembelaan Allah itu hanya bisa diraih dengan keimanan dan dengan menyiapkan diri menjadi pasukan Allah. Siapa yang beriman kepada Allah dengan iman yang sebenarnya, berarti ia telah membela Allah ta’ala dan sudah masuk menjadi pasukanNya.

…dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)
…dan sesungguhnya tentara Kami Itulah yang pasti menang,” (Q.S. Ash-Shaffaat: 173)

Kalau ada sidang yang bersifat bukan rahasia negara sebaiknya sidang terbuka (*salah satu cara mewujudkan budaya malu), biar warga kaya kami ini melek melihat, jadi kita bisa melihat mana yang amanah dan mana yang tidak, mana yang mewakili dan mana yang tidak, umpama sidang undang-undang miras misalkan, kita bisa melihat kinerja langsung wakil-wakil yang menyatakan diri mewakili umat islam, juga dapat pula memanfaatkan dari sifat-sifat dasar manusia tentunya tidak memakai semua cara, harus dibatasi pada syariat, bisa saja mereka akan mendukungmu karena faktor kesehatan, kriminalitas, saingan bisnis, kepentingan lainnya atau karena amal yang ingin dilihat kalayak umum atau juga karena pengalaman pribadi dan keluarganya, dsb. Pada saat yang sama diluar membuat daya tekan (karena bagian menasehati penguasa kalau 1 atau 2 orang saja daya tekannya kurang untuk jaman sekarang maka bisa secara kolektif menyampaikan nasehat, daya tekan dan daya tawarnya tinggi seperti demo damai), bisa memanfaatkan dan membentuk opini publik, seperti masalah kesehatan, kriminalitas, kecelakaan, dsb. Memperbanyak dakwah di mimbar jumat dan majelis dakwah lainnya. Memperbanyak perbincangan dan pembuktian di media dan jejaring sosial karena ada akses tak terbatas disana berdasarkan fakta dan data, kalau photo-photo korban kan nga etis, jadi kisah-kisah saja bisa dilihatkan, seperti penulis pernah melihat seorang teman digorok lehernya dengan sesama teman minum, untung masih hidup tapi suaranya rusak, tawuran karena minum sering lihatnya, ada juga akibatnya kematian, pernah melihat teman hanya punya kulit pembungkus tulang hingga meninggal, teman yang meninggal lainnya (kata teman lainnya, hatinya bolong-bolong), dan beberapa teman lainnya, di tv kan banyak kejadian mati masal, trus pernah juga lihat teman cwe, karena minum, ternyata minumannya malah menjadi bibit bayi alias mengandung (kamu tertawa, ah… lucu ya…, berhenti tertawa diatas penderitaan orang lain, bikin keras hati tau, penulis saja telah mengurangi hal ini, tuh di tv berhambur hal-hal gini), dsb. bentuklah perulang-ulangan selalu untuk mengalahkan sugesti dan hipnotis media seberang. Seperti sholat yang dilakukan berulang-ulang. Kalau sekilas saja maka setan sangat pintar mengalihkan perhatian orang awam, sih. Tentunya strategi dengan landasan syariat yang benar. Qishash, membalas sama kaya diulang itu-itu juga jadinya. Kalau tidak ada tanda kutip “lawan tanding bersama”, pakai dengan maksud untuk pembelaan diri. (ketika tulisan ini direvisi kembali, membaca, rupanya CIA pun akhirnya mulai pula turut bermain didunia media sosial dan juga mulai mencari pengembangan software buat melacak untuk dunia sosial media :)). O ya, bijaklah melihat hadis akhir jaman untuk suatu persoalan, seperti: tahukan ini adalah jaman dimana yang amanah malah nga dipercaya dan yang khianat malahan dipercaya, maka cross check, fahami dahulu dengan melihat sebanyak sudut pandang yang ada bisa dilihat, lihat sisi-sisinya lainnya pula yang terlihat maupun yang tidak (terselubung), pengikut-pengikutnya, fitnah-fitnahnya, sebab-akibatnya, dsb. Jadi Anda bisa melihat yang mana terfitnah benaran (biasanya fitnah ini tidak kenal waktu, ada terus dan tidak hanya ada pada “saat tertentu” dan diulangnya itu-itu saja dan dari tulisannya terlihat sifat kebencian orang yang menulis (kebencian yang tidak syari, tidak pada tempatnya baik dilakukan secara halus maupun kasar)) dan yang mana memakai “fatamorgana” ini untuk sekedar pencitraan, seakan-akan terdzalimi ternyata hanya kamuflase atau settingan saja, seakan-akan bersahaja berisi ternyata tong kosong yang disetting berbunyi nyaring atau bagian tersembunyi b melakukan seakan-akan serangan fitnah ke “b” untuk mendongkrak nilai “b” juga berarti “b” menampilkan “action” seakan-akan “terlihat baik (settingan)” hanya sekedar mendongkrak nilai “b” atau bagian tersembunyi b melakukan seakan-akan kebalikkannya mengaku “sesuatu” yang dianggap jelek datang dari “a” ternyata fitnah untuk menjatuhkan “a” berarti juga menyembunyikan “kebaikan” dari “a” agar orang salah tafsir akan diri “a” jelek atau memakai kesemuanya sekaligus pula, juga memanfaatkan opini umat untuk menghadapi umat atau agar awam terbelok tafsir/faham karenanya, ada juga sebenarnya adalah sifat yang sebenarnya “menjengkelkan” yaitu adanya orang yang bersebrangan, orang ketiga atau orang lain dengan kepentingan sesaatnya, ideologinya atau duniawinya yang sengaja melempar bola liar atau bermanuver dengan seakan-akan fitnah kiri dan kanan atau kebalikkan pembenaran kiri dan kanan, semua jadi disamaratakan “jelek” atau disamaratakan “benar”, hingga mengaburkan mana yang benar atau pula membiaskan mana yang sangat jelek dan mana yang sedikit jeleknya dengan tujuannya adalah agar yang idealis (secara universal) menjadi kebingungan lalu akhirnya apatis keseluruhan atau jadi asal nyoblos dan hingga dapat menjauhkan mereka dari “sesuatu” agar “sesuatu” itu lepas dari konsep “aspirasi” yang dengannya mengakibatkan “sesuatu” itu akan selalu terbuka peluang untuk “memasukkan” kepentingan pihak-pihak itu, atau berakibat “awam” menganggap semua sama saja “ada baiknya”, anehnya juga bila sudah terjepit melihat “fenomena”, ada juga pihak-pihak ini, mengambil monuver dengan memanfaatkan keinginan umat, sungguh kata-kata berbuih mulia keluar dari mulut-mulut dan prilaku indahnya namun sayangnya tidaklah itu ia tempatkan pada tempatnya karena lagi-lagi tujuannya bukan ibadah kepada Allah SWT tapi demi kepentingan sesaatnya dari kaum-kaumnya terhadap keduniawian bagaikan sifat musang berbulu domba, manusia akan berpura pura dengan akhlak dan perbuatan mereka. Pelaku kebatilan dan memusuhi kebenaran namun dibungkus dengan mendukung kebajikan, di"cemari" dan di"kotori" hanya untuk "pencitraan" dan sebagai alat "jual" politik di depan ratusan juta pemirsa. Semoga Allah selalu melindungi kita semua dengan hidayahnya....aamiiin yaa rabbal alamiin.... 204. Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. 205. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan[130]. [130]. Ungkapan ini adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha menggoncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan pengacauan. (QS Al-Baqarah 204-205). Pernah baca sebuah hadis yang sampai saat ini belum ketemu lagi referensinya, dimana isinya tentang beberapa prilaku baik dari “kaum kafir atau mungkin kaum bani israel”. Prilaku baik yang tidak dilandasi tauhid yang benar, mungkin bila awam melihat kebaikan itu akan mudah mengecohkan awam itu.

Yang paling mudah adalah melihat pengikutnya, koalisinya, akar rumputnya atau teman-temannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Dan seorang pandai besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak sedap” (HR Bukhari dan Muslim)

Seseorang itu berada pada agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah yang dia jadikan teman karibnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama para shadiqin.” (QS. At-Taubah [9] : 119)

Dan sabarkanlah dirimu beserta orang-orang yang menyeru Rabbnya di waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kamu palingkan wajahmu dari mereka hanya karena kamu menghendaki perhiasan dunia, dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya sangat melewati batas.” (QS. Al-Kahf [18] : 28)

Pen : revolusi mental, wahh… hallooooo… darimana saja kemaren-kemaren! …dst. (penulis bukannya bermaksud ingin menghakimi setiap orang yang bisa jadi dan mungkin saja memang ada yang “baru” mau berubah menjadi lebih baik, tapi hal ini agar dicermati dahulu, penulis menyampaikan “nada seperti itu” agar yang mendengar tidak salah tafsir atau tersugesti dan penulis sengaja melempar atau mengajak memikirkannya atau mempertimbangkannya terlebih dahulu, maka hal yang dimaksud diatas itu, apakah itu malahan berisi perubahan mental masih berbentuk sekuler satu ke sekuler lainnya ataukah menuju perubahan yang lebih islami atau menuju maslahat yang lebih bersyariat, ntar malahan hanya dan alias sekedar pencitraan lagi atau bertujuan tertentu dan pula untuk perubahan mental itu harus dimulai dari diri sendiri si pembuat pernyataan dan juga lingkup lingkungan cakupan dirinya), juga sebagai contoh nyata, bilakah salah satu subtansinya seperti memasukkan nilai “budi pekerti” pada setiap bidang-bidang ilmu pendidikan maka sebagai muslim yang diperhatikan apakah yang terhakiki yang dimaksud itu adalah berkisah atau bernilai filosofi atheis, filosofi sekuler, mitologi, kisah israliyat, dsb atau kisah-kisah kehidupan seperti Romeo and Juliet, kisah hidup ilmuan dimana kisahnya sarat dengan hal tidak islami, dsb. Jadi unsur budi pekerti yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan dari perubahan cara pandang filosofi kehidupan ini dan dari nilai “kisah” yang dijadikan sebagai masukkan rujukan budi pekerti itu. Bagi seorang muslim bila keadaan salah satu jenis subtansinya bernilai hal ini sama saja menambah adanya fitnah ilmu. Secara universal memang masih ada sisipan nilai budi pekerti secara universalnya, masalahnya bila tidak diarahkan dan dijelaskan dalam bahasan kearah syariat dan islam, hal budi pekerti ini akan terkontaminasi menjadi budi pekerti universal saja, bukan menjadikan bernilai akhlak bertauhid. Bukan pula penulis melarang adanya “kisah-kisah” seperti itu karena memang tidak bisa dihentikan atau dilarang adanya didunia tapi ia juga harus punya penyeimbang terhadap pandangan agama. Orang yang cerdas akan faham maksud pernyataan ini, benar pula bahwa tidak boleh berburuk sangka atau bergunjing dan sampai harus mengadakan kebohongan hanya untuk sekedar pembelaan, masalahnya bila diam saja, bagaimana dengan penyampaian kabar dan peringatan dan harapan agar orang lain ikut terbangun dan sadar tercerahkan. Kita diam, lawan lalu berbicara semaunya, kita berusaha membela diri dengan cara syari, lawan memutarbalikkannya dengan berbagai cara. Kita menyampaikan fakta dianggap fitnah, padahal yang fitnah yang blowup pencitraan duluan. Dianggap atau diopinikan tidak beretika tapi berisi fakta dan dalil, dianggap atau diopinikan beretika ternyata dusta, bukankah kejam bila didiamkan saja hingga orang lain yang diharapkan tercerahkan malah ambigu hingga jadi apatis dan malah menjadi tidak memahami agamanya atau menjadikan kebenaran atau kejelakan menjadi bias dan tersamarkan, lalu bagaimana perimbangan dakwah akan peringatan dan kabar gembiranya?

Jadi bagaimana kabar dan peringatan sampai tanpa mengandalkan emosi semata dan tanpa mengadakan kebohongan atau pergunjingan tentunya kita juga memakai kaedah-kaedah syar’i pada agama. Kami faham percuma menyampaikan kabar dan peringatan pada orang yang buta dan tuli tapi bukankah diluar sana ada orang lain juga yang mendengar atau membacanya yang mungkin saja sedang beranjak menuju yang hak atau ia tidak mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya karena belum sampai padanya perihal tersebut atau ia terkaburkan oleh sugesti media/public figure. Kami membenci prilaku buruk dibaliknya, dan Anda kan orang yang cerdas yang akan faham dengan cara penyampaian data dan fakta dan dalil untuk memberikan kabar dan peringatan yang sesuai syariat dan untuk menempatkannya pada tempatnya yang pas/benar maka maafkanlah dan ingatkanlah yang tidak tahu atau berlebih-lebihan menyampaikan pembelaan dan manfaatkanlah sebagai anugrah dengan adanya hal pembelaan seperti tersebut (karena mungkin saja mereka terbawa emosi, tidak faham batasan syari-nya, pengalaman buruk atau sesuatu yang memang ia tahu kebenarannya namun cara penyampaiannya dengan cara buruk karena emosi, tidak pandai bicara atau menulis, ingin terlihat “wah”, dsb), “Sesungguhnya orang-orang yang membawa ifki adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan barangsiapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar”. [An Nur : 11]. Kita juga sebenarnya tidak tahu pembelaan beremosi tinggi atau demi kepentingannya apakah ini anugrah atau bencana, sebab ada yang belum tentu buruk dan ada yang memang buruk dan juga sebab kadangkala pembelaan dengan emosi berlebih ini atau demi kepentingannya juga dijadikan rujukan orang lain/lawan tanding atau membangun faham perlawanan balik versi kedua, ketiga, dst dari orang lain/lawan tanding bahwa begitulah keadaan keseluruhan kelompoknya (lawannya) yang tentu saja merupakan paragdigma diantara benar dan salah, karena bisa jadi ada penyusupan kelawan untuk membuat keruh dan bias penyampaian kebenaran, kurang faham cara penyampaian dakwahnya, awam, emosi, dsb. Diatas dijelaskan bahwa ada golongan kita membawa fitnah dan ada golongan lawan membawa fitnah dan ada juga pihak yang tidak kita ketahui lahirnya juga membawa serupanya. Sebab pula kita tidak tau apa yang tersembunyi atau apa modus sebenarnya sebelum kita benar-benar mempertimbangkannya dengan dasar ilmu dan iman. Namun dari semua itu, yang paling benar atau lebih utama adalah membela agama dan menegakkan kalimatNya, ketika kita telah melihat hal ini telah jelas, jadi sebagai bagian umat islam yang benar-benar harus dibela adalah kepentingan agama islam dan umatNya.

Bagaimanapun ada keberhasilan di hari-hari capres ini, akhirnya dimana-mana terutama di sosial media kita dapat melihat tersingkapnya berbagai macam topeng-topeng, tersingkapnya cara-cara pencitraan-pencitraan, tersingkapnya berbagai macam kepentingan-kepentingan, tersingkapnya permusuhan-permusuhan, tersingkapnya selimut-selimut, banyaknya tersingkap berbagai teknik nan cerdik dan penuh tipu daya terhadap strategi dan makar demi kepentingan. Banyak hikmah yang dapat kita petik dan banyak pengajaran yang mencerahkan yang dapat kita raih. Tentu sesuatu yang akan berguna untuk esok hari, dan hal ini juga akan mengubah jalan dimasa mendatang yang lebih “melek”, bagaimanapun kejadian, amunisi, perang model itu akan terus berlanjut dihari depan, dan media-media pun akhirnya akan ada penyeimbangnya. Mereka lupa satu hal dalam perang pemikiran bahwa umat islam punya pengajian-pengajian, mimbar-mimbar dan sekarang pun ada media-media sosial gratis yang mencakup lingkup luas yang dapat dipakai atau dimanfaatkan pula sebagai sarana dakwah, saling menasehati dan saling memberikan pencerahan. Setiap sarana tentu sesuai dengan tujuan, daripada media-media sosial ini hanya dipakai untuk tujuan yang tidak bermanfaat saja.

Bahayanya penyebar berita palsu (fitnah)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar berita yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang kadang isu kecil di perbesarkan dalam berita yang diedarkan atau sebaliknya. Kadang kadang berita itu berkait dengan kehormatan seseorang muslim. Bagaimanakah sikap kita terhadap berita yang belum tahu kebenarannya dan bersumber dari orang yang belum kita ketahui kejujurannya?
Dalam naskah berikut ini, penulis menjelaskan kepada kita, bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap berita-berita yang belum jelas kebenarannya itu.

Allah berfirman, maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat : 6].

Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman percaya kepada berita angin. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita itu benar, dan juga tidak semua berita yang disampaikan ada faktanya. Ingatlah, musuh-musuh kamu senantiasa mencari kesempatan untuk menjatuhkan kamu. Maka wajib atas kamu untuk selalu berwaspada, hingga kamu boleh kenal pasti orang yang hendak menyebarkan berita yang tidak benar.

Allah berfirman, maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”

Maksudnya, janganlah kamu menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sebelum kamu periksa, teliti dan mendapatkan bukti kebenarannya.

(Dalam ayat ini) Allah memberitahu, bahwa orang-orang fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia dusta, akan tetapi kadang kala ia juga benar. Karena, berita yang disampaikan tidak boleh diterima dan juga tidak ditolak begitu saja, kecuali setelah diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti, maka diterima dan jika tidak, maka ditolak.

Kemudian Allah menyebutkan illat (sebab) perintah untuk meneliti dan larangan untuk mempercayai berita-berita tersebut. Allah berfirman.

“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya”.

Kemudian nampak bagi kamu kesalahanmu dan kebersihan mereka.

“Yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” [Al Hujurat : 6]

Terutama jika berita tersebut boleh menyebabkan punggungmu kena rotan. Maksudnya isu yang kamu bicarakan boleh mengkibatkan kamu kena hukum had, seperti qadzaf (menuduh) dan yang sejenisnya.

Sesungguhnya semua kaum muslimin perlu menghayati ayat ini, untuk di baca dan renungi, lalu beradab dengan adab yang ada padanya. Betapa banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang disebarkan orang fasiq yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa yang terbunuh, harta yang terampas, kehormatan yang terkoyak, akibat berita yang tidak benar! Berita yang dibuat oleh para musuh Islam. Dengan berita itu, mereka hendak menghancurkan persatuan umat Islam, dengan menyemarakkan dan mengobarkan api permusuhan diantara umat Islam.

Betapa banyak dua saudara, berpisah disebabkan berita bohong! Betapa banyak suami-isteri berpisah karena berita yang tidak benar! Betapa banyak bangsa bangsa, dan kumpulan kumpulan, parti parti, jemaah jemaah dan negara negara saling memerangi, karena tertipu dengan berita bohong!

Allah Azza wa Jalla Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui, telah meletakkan satu kaedah bagi umat ini untuk memelihara mereka dari perpecahan, dan membentengi mereka dari pertikaian, juga untuk memelihara mereka dari api fitnah.

Tetapi sayang tidak ada satu pun masyarakat muslim yang bebas dari orang-orang munafiq yang memendam kedengkian. Mereka tidak senang melihat kaum muslimin berbaik-baik menjadi masyarakat yang bersatu dan bersaudara.

Wajib atas kaum muslimin untuk berhati-hati dan berwaspada dengan musuh-musuh mereka. Dan hendaklah kaum muslimin mengetahui, bahwa para musuh mereka tidak pernah tidur (tidak pernah berhenti) merancang tipu daya terhadap kaum muslimin. Maka wajiblah atas mereka untuk senantiasa waspada, sehingga boleh mengetahui sumber kebencian, dan bagaimana rasa saling permusuhan dikobarkan oleh para musuh.

Sesungguhnya keberadaan orang-orang munafiq di tengah kaum muslimin dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Akan tetapi yang lebih berbahaya, ialah keberadaan orang-orang mukmin berhati baik yang selalu menerima berita yang dibawakan orang-orang munafiq. Mereka membuka telinga lebar-lebar mendengarkan semua ucapan orang munafiq, lalu mereka berkata dan bertindak sesuai dengan berita itu. Mereka tidak peduli dengan bencana yang bakal menimpa kaum muslimin akibat percaya kepada orang munafiq.

Al Qur’an telah mencatatkan buat kita satu bencana yang pernah menimpa kaum muslimin, akibat dari sebagian kaum muslimin yang mengikuti orang-orang munafiq yang dengki, sehingga boleh mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang sebelum kita.

Bacalah Surat An Nur dan renungilah ayat-ayat penuh barakah yang Allah ucapkan tentang kebersihan Ummul Mukminin ‘Aisyah dari tuduhan kaum munafiq. Kemudian sebagian kaum muslimin yang jujur terikut ikut menuduh tanpa meneliti bukti-buktinya. Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa ifki adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan barangsiapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar”. [An Nur : 11].

Ifki maksudnya ialah berita bohong. Dan ini merupakan kebohongan yang paling jelek.

“Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu”. [An Nur : 11].

Tidak semua perkara-perkara itu boleh dinilai hanya melalui zahirnya saja. Karena terkadang kebaikan atau nikmat itu datang dalam satu bentuk yang kelihatannya menyusahkan. Diantara kebaikan (yang dijanjikan Allah buat keluarga Abu Bakar), ialah Allah menyebut mereka di malail a’la. Dan Allah menurunkan beberapa ayat yang boleh dibaca mengenai keadaan (keluarga Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu).

Dengan turunnya ayat ini, maka hilanglah mendung dan tersingkaplah kegelapan itu. Lenyap sudah gunung kepedihan yang berlegar dalam kalbu Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, suaminya, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahandanya. Sebagaimana juga hilangnya kepedihan si penuduh, iaitu seorang shahabat yang jujur Shafwan bin Mu’atthil.

Kemudian ayat selanjutnya mengajarkan kepada kaum mukminin, bagaimana menyikapi berita.

Allah berfirman: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu, orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ”Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” [An Nur : 12].

Wahai kaum muslimin, inilah langkah pertama yang harus engkau lakukan, jika ada berita buruk tentang saudaramu, yaitu berhusnuhan (berperasangka baik) kepada dirimu. Jika engkau sudah husnuzhan kepada dirimu, maka selanjutnya kamu wajib husnuzhan kepada saudaramu dan (menyakini) kebersihannya dari cela yang disampaikan. Dan engkau katakan, “Maha Suci Engkau (Allah), ini merupakan kedustaan yang besar”. [An Nur : 16].

Inilah yang dilakukan oleh sebagian shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika sampai berita kepada mereka tentang Ummul Mukminin.

Diceritakan dari Abu Ayyub, bahwa istrinya berkata,”Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan banyak orang tentang Aisyah?” Abu Ayyub menjawab,”Ya. Itu adalah berita bohong. Apakah engkau melakukan perbuatan itu (zina), hai Ummu Ayyub? Ummu Ayyub menjawab,”Tidak. Demi Allah, saya tidak melakukan perbuatan itu.” Abu Ayyub berkata,”Demi Allah, A’isyah itu lebih baik dibanding kamu.”

Kemudian Allah berfirman : “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu. Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”. [An Nur : 13].

Inilah langkah yang kedua, jika ada berita tentang saudaranya.

Langkah pertama, mencari dalil yang bersifat batin, maksudnya berhusnuzhan kepada saudaranya. Langkah kedua mencari bukti nyata.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”. [Al Hujurat : 6].

Maksudnya mintalah bukti kebenaran suatu berita dari si pembawa berita. Jika ia boleh mendatangkan buktinya, maka terimalah. Jika ia tidak boleh membuktikan, maka tolaklah berita itu di depannya; karena ia seorang pendusta. Dan cegahlah masyarakat agar tidak menyampaikan berita bohong yang tidak ada dasarnya sama sekali. Dengan demikian, berita itu akan mati dan terkubur di dalam dada pembawanya ketika kehilangan orang-orang yang mau mengambil dan menerimanya.

Seperti inilah Al Qur’an mendidik umatnya. Namun sayang sekali , banyak kaum muslimin yang tidak konsisten dengan pendidikan ini. Sehingga jika ada seorang munafik yang menyebarkan berita bohong, maka berita itu akan segera disebarkan di masyarakat samada melalui percakapan atau melalui media termasuk melalui internet tanpa periksa dan meniliti kebenarannya. Dalam hal ini Allah berfirman.

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut”.[An Nur : 15].

Pada dasarnya ucapan itu diterima dengan telinga, bukan dengan lisan. Akan tetapi Allah ungkapkan tentang cepatnya berita itu tersebar di tengah masyarakat. Seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut ke mulut tanpa melalui telinga, dilanjutkan ke hati yang memikirkan apa yang didengar, selanjutnya memutuskan boleh atau tidak berita itu disebarluaskan.

“Kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. [An Nur : 15].

Allah mendidik kaum mukminin dengan adab ini. Mengajarkan kepada mereka cara menghadapi berita serta cara membanterasnya, sehingga tidak tersebar di masyarakat. Setelah itu Allah mengingatkan kaum mukminin, agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Allah juga mengingatkan mereka, agar tidak menyertai bantu para pendusta penyebar berita bohong. Allah berfirman.

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. [An Nur : 17].

Kemudian Allah menjelaskan, membantu para pendusta bererti mengikuti langkah-langkah syaitan. Allah berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar”. [An Nur : 21].

Dalam ayat selanjutnya Allah menerangkan, lisan dan semua anggota badan lainnya akan memberikan kesaksian atas seorang hamba pada hari kiamat. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka, bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)”. [An Nur 23-25].

Wahai para penyebar berita palsu (fitnah)! Wahai para pendusta! Hai orang yang tidak senang melihat orang mukmin saling berbaik-baik sehingga dipisahkan! Hai orang yang tidak suka melihat kaum mukmin aman! Hai para pencari aib orang yang baik! Tahanlah lidahmu, karena sesungguhnya kamu akan diminta pertanggungjawaban kata-kata yang engkau ucapkan. Allah berfirman: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. [Qaf : 18].

Tahanlah lidahmu! Jauhilah perbuatan bohong dan janganlah menyebar fitnah! Janganlah menuduh kaum muslimin tanpa bukti, dan janganlah berburuk sangka kepada mereka! Seakan-akan aku dengan engkau, wahai saudaraku, berada pada hari kiamat; hari kerugian dan hari penyesalan. Sementara para seterumu merebutmu. Yang ini mengatakan “engkau telah menzalimiku”, yang lain mengatakan “engkau telah menfitnahku”, yang lain lagi mengatakan, “engkau telah mengaibkanku”. Sementara engkau tidak mampu menghadapi mereka. Engkau mengharap kepada Rabb-mu agar menyelamatkanmu dari mereka, namun tiba-tiba engkau mendengar.

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”. [Al Mukmin : 17].

Lalu engkaupun menjadi yakin dengan neraka. Engkau ingat firman Allah: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” [Ibrahim : 42].

Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya.

Oleh DR Abdul Azhim Al Badawi
[Diterjemahkan dari majalah Al Ashalah, edisi 34 tahun ke VI]

Ghibah yang Dibolehkan
Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.

Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”

Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut, Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)

Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:

  1. Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
  2. Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
  3. Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
  4. Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
  5. Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
  6. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)

Dan semua itu dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dengan dalil. Silahkan merujuk ke Riyadhushshalihin. Dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia mendapat backingan dari non muslim maka sudah barang tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan adalah yang benar ada pada dirinya atau yang ada pada kelompok-kelompoknya dan bukanlah memfitnah yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.

Dari Aisyah bahwa ada seorang yang meminta izin (bertamu) kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau berkata ; dia adalah seburuk-buruk orang, namun ketika telah duduk, Nabi shallallahu alaihi wasallam bermuka manis dan berlemah lembut kepadanya. Ketika orang itu telah pergi maka Aisyah berkata Wahai Rasulullah, ketika engkau pertama kali melihatnya engkau mengatakan demikian dan demikian, namun (saat duduk bersamanya), engkau bermuka manis dan berlemah lembut kepadanya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "wahai Aisyah kapankah engkau pernah mendapatiku sebagai seorang yang bejat akhlaknya. Sesungguhnya seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang dijauhi manusia karena takut dari gangguannya." (Muttafaq alaih)

Apakah nabi berbuat ghibah? Cerdaslah berpikir.

Pengaruh besar para pendukung atau pembisik terhadap kebijakan seorang presiden, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana dalam hadits shahih riwayat Bukhori :

Tiada ada seorang dinobatkan sebagai khalifah, kecuali baginya dua Bithonah (Pembisik, Penasehat dan Orang Dekat) Bithonah yang memerintahkan kebaikan dan memotivasinya untuk melakukan kebaikan, dan Bithonah memerintahkan keburukan dan memotivasinya untuk melakukannya, yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah. (HR Bukhori : 6611).

Dakwah itu tidak melulu harus ngaji, Membuka kebenaran juga dakwah. Memberi pencerahan juga dakwah, Membela orang yang kena fitnah itu wajar kok, yang bersifat memburuk-burukkan dan fitnah harus diclearkan, termaksud pencitraan yang bertujuan untuk kepentingan duniawi juga harus diclearkan. Membela agama dan kepentingan umat adalah lebih-lebih lagi.

Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Sampaikanlah walau satu ayat yang bila itu kau tahu makna/hakiki/tujuan kebenarannya.

Sebaik apapun kita, tentu ada kurangnya. Sesungguhnya Allah tak meminta kita menjadi insan serba sempurna tanpa cacat dan cela. Allah hanya meminta kita menyadari kesalahan, bertaubat dan selalu berusaha lebih baik daripada sebelumnya. Kita pun harus berani melihat kelemahan kita, penyakit-penyakit yang ada dibadan kita, baru bisa kita kuat, baru bisa kita bangkit. Kita diri sendiri pun pula tetaplah harus selalu instropeksi diri juga.

Dan barang siapa yang berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (Q.S.Thaha .123)

Musim kampanye, musim serba mendadak. Mendadak sholat, mendadak sorban, mendadak jilbab, mendadak ke pesantren, makin FPI kostumnya, padahal FPI dituduh terus. Ketika semua dipaksa untuk kepentingan kampanye, akhirnya banyak yang gak pada tempatnya. Agama dipolitisasi untuk kepentingan duniawi saja bukannya kepentingan duniawi dipolitisasi untuk keberlangsungan agama dan dakwanya.

Ngapain repot, tetap juga cari duit, makan, ….dsb juga diri sendiri saja yang lakuin kok. Nga ngaruh tuh politik-politikan. Enak dan tidaknya peraturan dibuat oleh kebijakan, banyak dan tidaknya alur pekerjaan difasilitasi atas nama kebijakan, naik dan turunnya harga dikontrol atas nama kebijakan, nyaman dan tidak nyamannya sarana dan prasarana publik dibangun dengan nama kebijakan, siapa yang bilang itu tidak mempengaruhi setiap individu yang ada dalam rana/lingkup kebijakan tersebut. Cerdaslah berpikir. Dasarnya adalah kepentingan-kepentingan bisa pribadi, kelompok, atau ideologi, maka buat yang cerdas berpikir, solusi terbaiknya memang cuma terkumpul di dalam syariat-syariat islam.

Membuat persepsi dan image butuh waktu dan konsistensi. Begitupun sebaliknya, merubah persepsi atau image juga membutuhkan waktu. Di sini dapat disimpulkan bahwa image merupakan sesuatu yang butuh proses dan waktu. Pertanyaan selanjutnya mengapa image begitu penting? Image jelas penting, karena dengan image inilah yang memudahkan konsumen melakukan tindakan yang merupakan gabungan antara alam bawah sadar (subconscious mind) dan alam sadar konsumen (conscious mind).

Dalam buku (How Customer Think by Gerald Zaltman) disebutkan bahwa pikiran, emosi dan pembelajaran konsumen 95% terjadi di alam bawah sadar dan hanya 5% yang berasal dari alam sadar. Nah fenomena merek dagang bernama 'sesuatu' terus menerus disematkan ke alam bawah sadar manusia dan mencoba dikendalikan atau disebut 'mind control'. Meskipun dengan berbohong, semua dilakukan demi mencapai tujuannya. Bahkan penelitian HerbertKrugman menyatakan bahaya #kartelmedia di televisi, orang tua harus mewaspadai apa yang disebut program #MindControl -Pengendalian Pikiran.

Dari penelitian HerbertKrugman dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi meskipun hanya 30 detik namun efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta (analitis / kesadaran) menjadi gelombang Alfa (tidak kritis / mudah diarahkan). Sebagai orang tua, sejenak anda bayangkan kalo anak anda nonton bioskop selama 90 menit atau konser musik selama 2 jam? Atau banyak remaja dan pria paruh baya menghabiskan berjam-jam di depan layar komputer untuk melihat situs porno! Bisa anda bayangkan bagaimana menurunnya sikap atau apatisnya mereka pada isu-isu keagungan akhlak Islam? Akhirnya stigma fitnah yang dibangun justru menguntungkan pihak lawan agar publik tidak usah berpikir neko-neko, cukup duduk manis nonton TV nya sambil mengucapkan prihatin.

Tak hanya televisi, kita perlu filter yang baik dan melakukan pendampingan pada tayangan video di youtube bahkan sampai ke aplikasi game atau apps lainya di bb, android dan ipad anak-anak kita. Daniel L. Schacter, Professor dan Ketua Psikologi dari Harvard University mengatakan bahwa “kita berpikir bahwa iklan yang sekilas yang kita lihat tidak mempengaruhi kita dalam melakukan penilaian terhadap suatu produk. Tapi penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung membeli produk yang diiklankan dan padahal itu merek  yang baru dilihat sebelumnya/baru saja ada iklannya – ini terjadi bahkan ketika mereka tidak mempunyai eksplisit memori setelah melihat iklan tersebut”.

Pengaruh Serangan Masif Media sebagai Mind Control
Penelitian Herbert Krugman menyatakan bahaya gelombang media yang secara masif memberitakan hal yang sama (kartelmedia) misalnya dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi meskipun hanya 30 detik namun efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta (analitis / kesadaran) menjadi gelombang Alfa (tidak kritis / mudah di arahkan). Pesona akan “sesuatu” yang dijual/diimagekan terus menerus diciptakan agar mengganggu alam bawah sadar kita agar mudah di arahkan. Akhirnya stigma yang dibangun justru menguntungkan pihak lawan agar publik tidak usah berpikir neko-neko, cukup duduk manis nonton TV dan tercuci pemikirannya karena 'serangan bawah sadar tersebut'.

Jadi jika berbicara image kita tidak bisa lepas dari kata memori. Dan secara teori memori bisa dibagi menjadi 2 yaitu explicit memory dan imlicit memory. Di mana explicit memory adalah proses mengingat yang kita lakukan secara sadar sedangkan implicit memory itu terjadi tanpa kita sadari. Dan dalam penelitian menunjukkan bahwa implicit memory ini lebih lama dibanding memori yang disimpan secara tradisional. Dan implicit memory inilah yang merupakan kekuatan tersembunyi dari suatu iklan.

Ayo kembali waras, Tolak kebohongan publik media bayaran. Banyak kalangan menilai ada ketidakwajaran pada popularitas dan bak 'jin ifrit' yang selalu saja tampil di media tanpa ada rasa lelah. Semua media siap sedia mengabadikannya meski sedang membersihkan sepatu. Inilah solusi instant tingkatkan popularitas. Banyak pemberitaan akan “sesuatu” sudah tidak relevan dengan aslinya. Hingga "Masa sepatu robek saja diberitain, hal remeh temeh yang tidak ada kaitannya," katanya. Dibutuhkan perimbangan perulang-ulangan berita melawan hipnotis media agar ada pencerahan berkelanjutan.

“Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis Islam Bersatu yang tahu peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua orang media sudah tahu, dia dipersiapkan oleh media. “kok tahu!”. “Ya iyalah, kita sudah tahu planning tim sukses di balik layarnya.”. “Setiap yang ditampilkan di TV itu ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit tahu cara olahannya di dapur, yang banyak memakai bahan pemanis, pewarna buatan yang berlebihan, makanya kita nggak makan.” Rasanya beda enak banget, eh jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan ya, tidak cepat basi, jangan-jangan pakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam, mungkin pakai pewarna tekstil. Kalau beli sayur jangan memilih yang terlalu bagus, mungkin pakai pestisida dan pupuk kimia berlebihan, pilih saja yang agak kena ulat. Terlalu murah, jangan-jangan curian, atau jangan-jangan imitasi. Terlalu menggiurkan, jangan-jangan terjebak investasi bodong.

Baru masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main, mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat, sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya yang diblowup besar-besaran?

Jangan remehkan keganjilan meski tak seberapa, bisa jadi ada sesuatu yang besar dibaliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya, ada yang tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya. Tak mesti curiga, tapi waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar bukan rekayasa. Daripada hebat, tapi akting.

Kita hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita bisa terkecoh, kita bisa saja salah dalam menganalisa, bisa keliru dalam mengambil keputusan. Tetapi kita punya hati, agar menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja, cermati proses di dapurnya. Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka. Meski bukan yang terbaik, tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Berpikir ulang akan risiko. Karena produk itu terlalu baik, membuat saya ragu memilih produk tersebut.”

Diambil dari situs dengan editan. Voa Islam dan Dakwatuna

Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (QS Muhammad: 30).

Imam Ibnu Katsir memaknakan لَحْنِ الْقَوْلِ  lahn al qaul adalah apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan atas maksud-maksud mereka, (dimana) pembicara difahami dari kelompok mana dia dengan makna-makna dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahn al qaul. (Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).

Imam al-Baghawi menjelaskan, (Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka)  artinya: sesungguhnya engkau (Muhammad) mengenal mereka dalam hal yang mereka kemukakan berupa peremehan dan penyepelean terhadap urusanmu dan urusan Muslimin, maka setelah ini tidaklah seorang munafik pun berbicara di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  kecuali beliau mengetahui (maksud sebenarnya) lantaran perkataannya, dan mengetahui cara mengambil bukti kejahatannya dengan (memperhatikan) esensi pembicaraannya. (Tafsir Al-Baghawi QS Muhammad: 30).

Secara mudahnya, walaupun tampaknya yang dikatakan (oleh siapapun yang di dalam hatinya ada yang disembunyikan mengenai Islam)  itu ke kanan, namun bagi yang mengerti –sesudah mengenal permainan kata atau silat lidahnya– maka akan mengerti bahwa sejatinya esensi dari perkataannya itu adalah ke kiri.

"Propaganda adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan (publik) untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda." (Garth S. Jowett and Victoria O'Donnell, Propaganda And Persuasion)

"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya (menganggapnya sebagai kebenaran)." (Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada zaman Hitler)

Kita dapat membalas serupa Qishash dengan menyebarkan data, fakta dan dalil berulang-ulang pula dimedia-media yang kita sanggup menggapainya, sebagaimana sholat yang berulang-ulang dapat menghapus perbuatan keji dan mungkar, harapannya sifat keji dan mungkar dari media-media silibis yang rata-rata mainstream utama dikuasai mereka akan ada penyeimbangnya, agar “melek” bersama dapat terwujud.

Perang Asimetris
Oleh Gia Juniar Nur Wahidah

Apa itu perang asimetris?
Itu yang pertama kali melintas dalam  pikiran saya ketika membaca judul file presentasi Prasetyo Sunaryo. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, jika ada perang asimetris maka ada pula perang simetris, lalu apa perbedaan di antara keduanya?

Karena didorong oleh rasa penasaran itulah maka saya mulai membaca slide-slide berikutnya. Walaupun banyak sekali istilah yang tak saya pahami di sana, namun di sini saya akan mencoba untuk membagikan apa yang saya dapatkan.

Perang dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu perang simetris dan perang asimetris. Perang simetris merupakan bentuk perang konvensional, perang seperti yang pada umumnya kita pahami. Perang simetris atau perang konvensional umumnya terjadi karena adanya pemaksaan kehendak yang tidak dapat diselesaikan dengan cara damai atau diplomatik. Aktor dari perang jenis ini adalah negara. Sementara itu perang asimetris merupakan perang yang penyebabnya berasal dari perebutan wilayah kaya sumber daya alam atau aset strategis lainnya. Aktor dari perang ini bisa negara atau pun non negara. Jika dulu kita mengetahui seringkali terjadi jenis perang simetris, seperti Perang antara Romawi Barat dan Timur, Perang Salib, perang di Vietnam, perang Jerman Barat-Jerman Timur, Perang Pasifik, Perang Korea, dan banyak perang lainnya, maka hari ini jenis perang ke dua inilah yang kerap kita jumpai.

Pada dasarnya perang asimetris adalah perang antara dua pihak dengan kekuatan yang tidak seimbang (David & Goliath) dengan pola yang tidak beraturan dan bersifat tidak konvensional. Masing-masing pihak berusaha untuk mengembangkan taktik dan strategi untuk mengeksploitasi kelemahan lawannya dalam mencapai kemenangan. Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara-cara berfikir yang tidak lazim, dan diluar aturan-aturan peperangan yang berlaku, dengan spectrum perang yang sangat luas, terbuka dan mencakup seluruh aspek-aspek kehidupan. Terminologi perang asimetris, digunakan untuk membedakan dengan perang konvensional, dimana musuh yang dihadapi jelas, aktornya negara, yang didukung oleh pasukan dengan aturan yang jelas dan peralatan militer yang dibolehkan oleh konvensi internasional. (DRN, Komtek Hankam, 2007)

Terjadinya perubahan bentuk perang dari simetris ke asimetris terjadi karena perang dengan menggunakan senjata (hard power), yang menggunakan ukuran penghancuran kekuatan militer lawan, sudah dianggap tidak efektif. Maka digunakanlah cara baru dalam berperang yaitu menggunakan soft power, antara lain : Cultural Warfare, Economic & Financial Warfare dan Information Warfare yang berfungsi membangun suatu persepsi tertentu yang diinginkan oleh lawan. Korporasi dan NGO dapat merupakan bentuk tentara baru dalam perang asimetris (Kiki Syahnakri, 2007).

Selama satu setengah abad terakhir ini, korporasi telah berusaha dan mendapatkan hak untuk mengeksploitasi SDA yang ada di dunia dan hampir diseluruh ranah usaha manusia. Dari sisi pandang korporasi, masih ada satu hambatan besar yang masih menghalangi korporasi untuk megendalikan semuanya yaitu yang dikenal “lingkungan/wilayah publik”. Pada dua dekade ini, korporasi berusaha dengan gigih menghilangkan apa saja yang dianggap rintangan olehnya. Melalui proses yang dikenal sebagai privatisasi, maka sebagian “wilayah publik” telah berpindah tangan menjadi wilayah korporat. Dengan berjalannya waktu, korporasi semakin mendikte keputusan yang seharusnya digariskan oleh pihak yang seharusnya mengawasi mereka di pemerintahan dan telah mulai mengendalikan bidang-bidang masyarakat yang sebelumnya melekat pada wilayah publik (res publica). Artinya pemegang kekuasan/kendali di masyarakat secara de facto tidak tunggal lagi, seperti pemerintah, tetapi sudah menjadi multi aktor (Joel Bakan, 2004). Inilah yang menyebabkan aktor pada perang asimetris bias dari negara ataupun non negara.

Jelaslah bahwa hari ini kita sedang menghadapi perang modern yang bertujuan untuk menghancurkan kekuatan suatu bangsa dengan merusak nilai-nilai budaya, merusak moral sehingga selanjutnya bangsa tersebut dalam kondisi “self-destruction”.

Perang modern di hari ini sudah jelas merupakan perang asimetris dan kekuatan di kedua belah pihak tak seimbang. Satu pihak kekuatannya menghaegemoni dan pihak lain tak berdaya. Indonesia hari ini—sadar atau pun tidak—sedang terkepung dalam perang ini. Di satu sisi Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan magnet berbagai pihak yang ingin menguasai pengeksploitasiannya. Di sisi lain Indonesia juga merupakan Negara muslim terbesar di dunia, yang jika sumber daya manusianya berkualitas, maka akan berpotensi besar memimpin dan menguasai dunia—suatu kondisi yang tak pernah diinginkan oleh musuh-musuh Islam.

Mari kita tengok perkembangan ekonomi, tercatat bahwa pada tahun 1967 nilai 1 US Dollar setara sekitar 90 Rupiah di Indonesia, dan nilai 1 US Dollar setara sekitar 20 Bath di Thailand. Di tahun 2007 tercatat nilai 1 US Dollar setara sekitar 9000 Rupiah di Indonesia, dan nilai 1 US Dollar setara sekitar 40 Bath di Thailand. Dengan turunnya nilai rupiah sebesar sekitar 10.000 % dalam kurun waktu 40 tahun, sementara di Thailand, nilai baht hanya turun sekitar 100%, maka bias diduga, bahwa di Indonesia telah terjadi proses pemiskinan sistematik. Apakah keadaan tersebut bukan berasal dari sebuah produk perang asimetri? (Bambang Ismawan, 2008). Sebuah fakta tak terelakkan yang menunjukkan bahwa memang Indonesia sedang dalam kemelut perang asimetris.

 Lalu bagaimana cara memengkan perang asimetris yang terwujud dalam modern ini?

“Sesungguhnya  Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d : 11)

Jika kita lihat kembali tabel di atas, ada tiga perang yang dikobarkan di perang modern ini, yaitu mind-war, knowledge-war, dan values-war. Maka untuk memenangkan perang modern, kita harus menang dalam ketiga perang tersebut.

Pengertian
Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.

Rujukan lain menyatakan, “Asymmetric warfare” can describe a conflict in which the resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact and attempt to exploit each other’s characteristic weaknesses. Such struggles often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the “weaker” combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity or quality. Such strategies may not necessarily be militarized.This is in contrast to symmetric warfare, where two powers have similar military power[citation needed] and resources and rely on tactics that are similar overall, differing only in details and execution.

Strategi
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.

Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara lain:
1. One side can have a technological advantage which outweighs the numerical advantage of the enemy; the decisive English Longbow at the Battle of Crécy is an example.
2. Technological inferiority usually is cancelled by more vulnerable infrastructure which can be targeted with devastating results. Destruction of multiple electric lines, roads or water supply systems in highly populated areas could have devastating effects on economy and morale, while the weaker side may not have these structures at all.
3. Training and tactics as well as technology can prove decisive and allow a smaller force to overcome a much larger one. For example, for several centuries the Greek hoplite’s (heavy infantry) use of phalanx made them far superior to their enemies. The Battle of Thermopylae, which also involved good use of terrain, is a well known example.
4. If the inferior power is in a position of self-defense; i.e., under attack or occupation, it may be possible to use unconventional tactics, such as hit-and-run and selective battles in which the superior power is weaker, as an effective means of harassment without violating the laws of war. Perhaps the classical historical examples of this doctrine may be found in the American Revolutionary War, movements in World War II, such as the French Resistance and Soviet and Yugoslav partisans. Against democratic aggressor nations, this strategy can be used to play on the electorate’s patience with the conflict (as in the Vietnam War, and others since) provoking protests, and consequent disputes among elected legislators.
5. If the inferior power is in an aggressive position, however, and/or turns to tactics prohibited by the laws of war (jus in bello), its success depends on the superior power’s refraining from like tactics. For example, the law of land warfare prohibits the use of a flag of truce or clearly marked medical vehicles as cover for an attack or ambush, but an asymmetric combatant using this prohibited tactic to its advantage depends on the superior power’s obedience to the corresponding law. Similarly, laws of warfare prohibit combatants from using civilian settlements, populations or facilities as military bases, but when an inferior power uses this tactic, it depends on the premise that the superior power will respect the law that the other is violating, and will not attack that civilian target, or if they do the propaganda advantage will outweigh the material loss. As seen in most conflicts of the 20th and 21st centuries, this is highly unlikely as the propaganda advantage has always outweighed adherence to international law, especially by dominating sides of any conflict.
6. As noted below, the Israel-Palestinian conflict is one recent example of asymmetric warfare. Mansdorf and Kedar outline how Islamist warfare uses asymmetric status to gain a tactical advantage against Israel. They refer to the “psychological” mechanisms used by forces such as Hezbollah and Hamas in being willing to exploit their own civilians as well as enemy civilians towards obtaining tactical gains, in part by using the media to influence the course of war.


Pada sisi lain terdapat tipologi strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack dan barbarism.
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense dan guerrilla warfare strategy.

Tingkat Keberhasilan
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain:

Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.

Bagaimana di Indonesia?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia. Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang. Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan. Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.

Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya. Alasan awalnya adalah NFZ, tapi itu sesungguhnya kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.

Sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia, TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS. Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk kewilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah indonesia. Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini, Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy” sehingga strategi konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia. Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.

Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas 28/3/2011)

Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa. Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.

Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengah dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi. Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme ideologi.

Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak. “Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya. Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah. Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

Apa yang Harus Kita Lakukan?
Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan. Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun. catatan oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (dosen akademi angkatan udara).

Ghazwul Fikri

Disadari atau tidak, kini kaum kuffar dan munafiqin secara gencar dan sistematis berupaya keras mengeliminasi Islam supaya tidak berkembang dan berupaya pula menghancurkan umat Islam dari dalam. Program eliminasi dan penghancuran ini terangkum dalam program Al-ghazwul-fikri (perang pemikiran) yang mereka rencanakan.

Dalam bukunya, Pengantar Memahami Al-ghazwul-fikri, Abu Ridha menyatakan, Al-ghazwul-fikri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari uslub qital (metode perang) yang bertujuan menjauhkan umat Islam dari agamanya. Ia adalah penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan penyerbuan mereka terhadap dunia Islam.

Paling tidak, ada empat hal yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. 

Pertama, Tasykik, yakni gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

Kedua, Tasywih yakni gerakan yang berupaya menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya, memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di kalangan umat Islam. Di sini, mereka melakukan penyesatan dan pencintraan negatif,  tentang agama dan umat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya.

Ketiga, Tadzwib, yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Disini, kaum kuffar dan munafiqin  melakukan pencampur-adukan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam, sehingga umat Islam yang awam kebingungan dengan pedoman hidupnya.

Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong Kaum Muslimin agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, nasionalisme dan lain sebagainya.

Keempat hal tersebut di atas, dirasakan atau tidak, kini telah banyak mempengaruhi ucap, sikap dan perilaku kaum Muslimin dalam meniti kehidupannya.

Tak sedikit, di antara saudara seiman kita yang terperdaya oleh program ini. Kini, di hadapan kita terbentang banyak tantangan. Muncul bermacam aliran pemikiran, paham dan gerakan dari kaum kafirin dan munafiqin yang berupaya keras meracuni jiwa tauhid kita. Bahkan lebih dari itu, kaum kafirin dan munafiqin saling bahu membahu melakukan aksi pemurtadan dengan berbagai cara, dari mulai yang paling halus dengan iming-iming dan kedok Kemanusiaan hingga memaksa banyak umat Islam dengan cara kasar, brutal disertai penganiayaan untuk meninggalkan Islam.

“Dan tiada henti-hentinya mereka memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu…,” [QS. Al-Baqarah: 217]

Seiring dengan itu, gerakan sekularisme berskala global pun sedang berupaya keras mengenyahkan syariat Islam dari kehidupan kaum Muslimin. Penguasa negara-negara kapitalis yang notabene kaum Salibis dan Zionis, rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam jurang sekularisme yang mereka tawarkan.

Allah berfirman: ”Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai,” [QS. At Taubah: 32]

Saat ini pula, kaum kuffar tak henti-hentinya memunculkan isu “terorisme”, sebagai isu utama (main issue)  atau isu sentral. Sasaran kampanye anti-“terorisme” itu sebenarnya sangat mudah dipahami oleh kita. Sasarannya tiada lain adalah kekuatan Islam.  Tegasnya, umat Islam yang berupaya menerapkan syariat Islam dan menyerukan jihad melawan kezaliman kaum kafir bersiap-siaplah mendapat label “teroris”.

Kampanye anti-“terorisme” hakikatnya merupakan bagian dari ghazwul fikri, yakni invasi, serangan, atau serbuan pemikiran dengan tujuan mengubah sikap dan pola pikir agar sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dalangnya (Zionis) dan antek-anteknya berupaya secara sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.

Semakin jelas kiranya, pada era global sekarang, medan perang utama Islam vis a vis kaum kafirin dan munafiqin adalah ghazwul fikri, selain medan perang konvensional seperti yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Suriah, Kashmir, dan lain-lain.

Senjata utama kemenangan dalam perang pemikiran ini adalah media massa, yang terbukti sangat efektif mempengaruhi pola pikir, pemahaman, dan perilaku masyarakat. Karena itu, pihak yang lemah dalam bidang penguasaan media massa akan menjadi pihak yang kalah perang.

Ringkasnya, siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai dunia, karena ”The new source of power is information in the hand of many” (sumber utama kekuasaan yang baru adalah informasi yang menyebar kepada banyak orang (opini publik). Opini yang terus-menerus melalui media massa bisa menentukan yang jahat (batil) menjadi benar (hak) dalam persepsi masyarakat atau sebaliknya.

Sarana paling efektif dari ghazwul fikri yang dibarengi dengan ghazwuts tsaqofi (perang peradaban/budaya) adalah media massa, termasuk di antaranya radio, televisi, internet, suratkabar, tabloid, majalah, buku, buletin, selebaran dan lain sebagainya.

Dalam dunia komunikasi ada istilah populer, “Siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa dunia”. Memang, telah menjadi pendapat umum bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa masa depan. Sumber kekuatan baru masyarakat ialah informasi yang dierikan/dijatuhkan ketangan banyak orang dan uang di tangan segelintir orang yang memainkan peran besarnya

Kaum Zionis Yahudi memang tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mereka dengan sangat lincah menguasai sarana media massa  dalam  ‘perang pemikiran dan perang kebudayaan’ yang serba canggih itu sekaligus merekrut menjadi pemiliknya. Dalam bukunya berjudul ‘Bahaya Zionisme terhadap Dunia Islam’, Dr Majid Kailani mengajak kita untuk mau membaca sekaligus mewaspadai strategi mereka dalam menghadapi abad Informasi yang tercantum dalam Protokolat Zionis XII yang isinya:

“Peran apakah yang dapat dimainkan oleh media massa akhir-akhir ini? Salah satu di antaranya adalah untuk membangkitkan opini rakyat yang keliru. Hal ini dapat membangkitkan emosi rakyat. Kadang juga bermanfaat guna mengobarkan konfrontasi antar partai politik,  tentunya  akan  banyak menguntungkan pihak kita. Apalagi saat mereka sedang bertikai, kesempatan baik bagi kita untuk mengadu domba. Namun dengan media massa, kita juga dapat memakainya sebagai ajang persahabatan semu yang kebanyakan orang tidak mengerti kesemuan itu. Kita akan mengendalikan peran media ini dengan sungguh-sungguh. Sastra dan pers adalah dua kekuatan yang amat berpengaruh. Oleh karena itu kita akan banyak menerbitkan buku-buku kita dengan oplah yang besar.”

Menurut Dr Majid Kailani, memang Zionis amat suka menyuguhkan berbagai pemberitaan yang menimbulkan umpan emosional di segala bidang. Atau juga banyak menimbulkan kebangkrutan moral pembacanya. Berbagai jenis media massa dalam strategi Zionis dibagi menjadi tiga bagian yang setiap bagiannya berperan sesuai dengan perannya, seperti tercantum dalam Protokolat Zionis XII yang isinya:

“Media pertama, kita jadikan sebagai media yang resmi, yakni media yang selalu siap membela kepentingan rakyat. Dengan strategi ini mata rakyat akan terkibuli. Media yang kedua, kita jadikan semi-resmi, yang berkewajiban menetralkan setiap oposisi yang hendak mengobarkan api permusuhan atau pemberontakan. Sedang media ketiga, bertugas sebagai media yang berpihak menjadi oposisi semu. Di dalam berita utamanya harus menampakkan sikap konfrontatif. Dengan memasang perangkap semacam itu, akan bermunculanlah orang-orang yang berwatak oposisi menjadi kolomnis yang gigih dan banyak menantang. Maka kerja kita tinggal mencatat mereka ke dalam ‘Daftar Hitam’ kita.”

Sebenarnya, Ghazwul Fikri bukanlah hal baru bagi kalangan gerakan Islam, namun mungkin karena kurangnya persiapan dan minimnya ‘peralatan perang’ masih jauh tertinggal dibanding dengan sarana ghazwul fikri yang dimiliki kaum kuffar dan munafiqin, utamanya televisi. Minimnya dana, kurang profesionalnya pengelola, dan lemahnya manajemen biasanya menjadi penyebab utama lemah dan hancurnya sebuah media massa Islam.

Kini tiba saatnya, kaum aghniya (orang-orang kaya) untuk lebih disadarkan dalam jihad al mal (jihad harta). Dan, dana Infak (zakat & shadaqoh) pun diberdayakan lebih optimal, khususnya untuk membekali para da’i dan mujahid terjun ke medan perang/ghazwul fikri.

Kaum Muslimin, khususnya kalangan mudanya juga harus terus membekali diri menghadapi ghazwul fikri ini dengan bermodal iman, ilmu, wawasan dan keterampilan jurnalistik untuk bertempur di medan media massa. Sekaligus memerangi kaum penyesat ajaran Islam melalui keterampilan menulis di media massa.

Betapapun gencarnya Zionis Yahudi dan Salibis setiap hari mengendalikan pikiran kita melalui gambar dan kata-kata, namun semua itu tidak menjadikan kita lupa untuk mengambil langkah bijak dengan check and recheck, tabayun dalam setiap menerima informasi.

Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” [QS. Al Hujuraat: 6]

Mengenal Mind Control – dengan editan
Mungkin sebagian besar dari kita sudah memahami apa itu mind control. Kebanyakan orang mengaitkan mind control dengan cuci otak untuk bisa mengendalikan otak seseorang lewat sebuah subliminal message. Secara umum ada dua jenis mind control. Yang pertama adalah Public mind control dan yang kedua adalah Eksclusive mind control.

Public mind control adalah jenis mind control yang mudah kita lihat saat ini. Media mainstream adalah contoh dari public mind control. Media mainstream adalah media yang sudah dikenali banyak orang seperti televisi (seperti METROTV, SCTV, TRANSTV, dll), media cetak (majalah, tabloid, koran, dsb), internet (lebih kearah web-web mainstream). Mari kita lihat faktanya sekarang, kita sangat membutuhkan informasi yang diberikan oleh yang saya sebutkan diatas kan saat ini? Nah, disini letak yang sangat bagus dan dimanfaatkan untuk menyebarkan mind control. Media mainsteram diatur hanya untuk memberikan informasi-informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat saja. Terutamanya semisal contoh untuk mem-public figure-kan seseorang demi kekuasaan maka dibuat pencitraan, dari dulu ini terulang-ulang, nah baru sekarang ada keseimbangan ketika kita ramai-ramai menjadi penyeimbang dimedia-media sosial. Karena itu, kita tidak akan mendapatkan informasi yang jujur dari media mainstream yang ada “kecondongan” atau diharuskan “condong”, karena sesuai kepentingan “dapur” untuk menyembunyikan kebenarannya, dan hanya menampilkan yang terbaik walau bisa saja bertentangan dengan aslinya udang dibalik batu atau sengaja diactorkan selalu baik, disetting diulang-ulang, dibumbui rupa-rupa, diberi jenis macam-macam wewangian dan kadang juga ditambah dengan diprakarsai untuk strategi mendzalimi diri sendiri, tujuannya juga untuk menambah efek blowup dari pencitraan. Bila Anda memahami cara kerja sugesti atau hipnotis maka seperti itulah teknik yang dipakai.

Kita ambil contoh yaitu ungkapan opini untuk sugesti “iklan dia adalah kita”, selalu “kita” lama-lama akan terjadi pembenaran, iya, dia adalah kita, jadi kita adalah dia. Dia selalu benar, nga ada salahnya, yang salah orang lain, pemda lain, faktor alam (takdir Tuhan juga disalahi), dsb…., ini akan hilang dari pertimbangan orang yang menghayati iklan tadi maka ujung-ujungnya dia adalah kita, dia benar, kita benar, kita ikut benar dan kita dukung benar, dia mewakili kita, kita jadi benar dan kita adalah dia. Ditambah efek sederhana, merakyat, pekerja, dsb maka ia mewakili cara-cara kita (awam) dalam berkegiatan sehari-hari, maka ia akan menjadi benar-benar adalah kita. Bila ada yang menyalahi dia maka sama saja menyalahi kita. Mainstream utama membully Anda, maka persepsi sugesti “kita” akan membully Anda juga jadinya.

Tv memberitakan tentang beberapa proyek yang heboh, seperti rumah susun, dijelaskan dimana, apa saja, kotanya, ujung-ujungnya tanpa disebut pun maka tertuju pada satu sosok “gebernurnya” tapi coba ada tv lain nayangkan “sampah bertumpuk” maka dijelaskan dimana, apa saja, kotanya, ujung-ujungnya tanpa disebut pun maka tertuju pada satu sosok “gebernurnya”. Bila hal-hal sebab-akibat dan butterfly effect-nya tidak kita fahami maka tv dengan mudahnya menghasut anda karena kebenarannya hanya difokuskan pada apa yang ingin ditampilkan saja (lahiriahnya), ini biasanya disebut sebagai pencitraan dengan pola mind control.

Ada juga teknik yang digunakan dalam public mind control adalah teknik Masalah-Reaksi-Solusi (MRS) Sebagai contoh adalah tragedi WTC, ini adalah masalah yang diciptakan “oknum atau kelompok” (masalah), setelah itu mereka menunggu respon masyarakat dunia (reaksi) dan akhirnya kepanjangan “oknum atau kelompok”  (dalam hal ini AS) memberikan solusi dengan war on "terorism". Nah, cukup simpel kan? Pihak yang menolak solusi ini akan dicap pro-terorisme, sebaliknya yang mendukung akan dicap pejuang HAM dan pro-kedamaian. Ujung-ujungnya pemberangusan islam.

Public Mind Control juga ada berhubungan dengan Predictive Programming. Program ini adalah bagian dari MRS tadi. Predictive programming berguna untuk menginduksi pikiran publik tentang peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Predictive Programming umumnya ditampilkan dalam bentuk entertainment karena otak manusia paling mudah menerima sesuatu bernuansa hiburan. Tokoh seperti Iron Man, Superman, Vampir, Harry Potter adalah bagian dari predictive programming.

Sekarang kita akan bahas eksclusive mind control, jenis ini sering disebut publik berbasis trauma. Sebelumnya saya akan memberi tahu arti subliminal message, yaitu bagian terdalam dari otak kita yang mengendalikan alam bawah sadar. Berawal dari sebuah penelitian di Jerman (pada era nazi) bahwa MPD/DID adalah kondisi yang digunakan untuk sarana eksclusive mind control. MPD (Multi Personality Disorder) atau DID (Dissociative Identity Disorder) adalah kondisi dimana seseorang punya kepribadian ganda MPD/DID secara alami bersifat genetik, tapi bisa juga diciptakan lewat penyiksaan traumatis terus menerus. Joseph Mengele adalah perwira SS saat zaman PD2 yang ditugaskan untuk mengepalai penelitian MPD/DID, Ia adalah seorang grand master freemason yang menguasasi sihir kabalah, musik, aborsi, dan penyiksaan. Pada tahun 1945, Mengele dan dedengkotnya ngungsi dari Polandia ke Amerika untuk melanjutkan proyek mind control. Pada tahun yang sama Mengele memimpin proyek mind control dalam skala luas yang diberi nama Program Monarch, 2 tahun kemudian dibentuk CIA sebagai tulang punggung. Program Monarch pada dasarnya dibuat untuk memunculkan satu ras super secara genetik.

Tujuan dari program monarch adalah untuk mencetak budak-budak berkepribadian ganda yang dapat diaktifkan dan dijalankan untuk menjalankan misi-misi. Lady Gaga adalah bagian dari program monarch yang tugasnya membantu mempengaruhi pemikiran remaja labil sekarang ini. CIA, MI-6, MI-5, Mossad, FBI, Gereja setan, Hollywood, dsb.

Faktor utama dalam program monarch adalah kemampuan dalam berdiosiasi (memisah). Subyek yang terkena diosiasi akan mudah diarahkan ke program monarch dan sukses menjadi MPD/DID. Lawan dari diosiasi adalah asosiasi (berkumpul) contohnya adalah shalat berjamaah. Para yogis (pengikut yoga), amnesia, autisme, haluinasi adalah jenis dan subyek yang memiliki bakat disosiasi. Setiap budak yang lulus dari program Monarch memiliki kepribadian ganda (MPD). Kepribadian ini akan disamarkan dengan kepribadian lain. Mereka disamarkan dengan berbagai profesi seperti artis, penyanyi, ustad, sutradara, dsb. Saat Programmer menginginkan para budak Monarch ini melakukan misi, maka ia cukup diberikan kode yang di kalangan mereka disebut Alter. Alter adalah alat yang digunakan untuk membangkitkan kepribadian lain yang tersembunyi di dalam alam bawah sadar. Budak Monarch dengan predikat tokoh agama nantinya akan digunakan untuk masuk ke institusi agama lalu merusak agama dari dalam. Guna menghasilkan manusia berkepribadian ganda secara efektif, program Monarch lebih tepat dilakukan sebelum seorang anak berumur 6 tahun.

Toleransi Islam (tasammuh ) vs Toleransi Barat (toleransi)
Toleransi dalam Islam merupakan pembahasan yang cukup penting untuk dikaji, karen banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.

Sebagai muslim, kita harus mengembalikan hakikat toleransi dalam kacamata Islam. Sebab, istilah toleransi ini - sebagaimana disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya tidak terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).

Sedangkan kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).

Dengan demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, penulis merujuk kepada makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.

Kalau kita mau melihat terbentuknya konsep toleransi antara Islam dan Barat, maka akan kita dapatkan bahwa motif terbentuknya konsep toleransi antar keduanya sangat berbeda. Konsep toleransi dalam Islam dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri baik berupa firman Allah (Al-Quran) ataupun sabda dan perilaku Rasulullah SAW (al-Hadits). Sedangkan Barat, dibentuk berdasarkan sejarah ataupun reaksi terhadap kondisi sosial dan politik.

Sebagai contoh, dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut dengan “zaman kegelapan” (the dark age). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 H dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Renaissance artinya rebirth (lahir kembali), karena masyarakat Barat merasa bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka seolah mengalami kematian.

Di “zaman kegelapan” inilah terjadi banyak penyelewengan dan penindasan kepada rakyatnya dengan mengatasnamakan agama. Penindasan yang terkenal paling jahat pada waktu itu adalah, apa yang dilakukan oleh institusi Gereja dengan nama Inquisisi. Inquisisi adalah hukuman terhadap kaum heretic (kaum yang di cap menyimpang dari doktrin resmi gereja). Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan institusi inquisisi dalam sejarah sebagai berikut, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam Gereja Katholik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”.

Adapun bentuk kejahatannya, Robert Held dalam bukunya Inquisition, memaparkan bahwa ada lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal yang digunakan oleh institusi gereja pada waktu itu, seperti pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1459-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.

Dalam ajaran Yahudi, juga telah terjadi penyelewengan yang berujung kepada penindasan atas nama agama. Dalam Old Statement (Kitab Perjanjian lama), dinyatakan bahwa sikap mereka terhadap kelompok lain tidak hanya sebatas kebencian, pelaknatan dan pengingkaran. Namun mereka juga diperintah untuk membumihanguskan bangsa-bangsa lain, karena – menurut mereka – bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan (the Chosen People). Pemusnahan semua kelompok lain, menurut mereka adalah merupakan perintah Tuhan.

Dari peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah, kemudian pemikiran mengenai pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John Locke figur yang cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya, yaitu dengan menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktrin inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat (negara-negara demokrasi Barat).

…Toleransi (samahah) dalam Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam yang bersifat mengajak, bukan memaksa…

Adapun dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Ketoleranan Islam mencakup berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.

Dalam masalah Ibadah, Islam juga bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara berwudhu dengan cara tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu berdiri, maka boleh dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang sedang sakit, maka boleh di qadha. Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang inilah yang menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi ibadah.

Adapun dalam muamalah, Islam menyuruh berbuat baik dalam bermasyarakat, baik itu kepada yang muslim atau non-muslim. Misalnya, ketika seorang muslim mempunyai tetangga non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan, maka harus dibantu. Ketika diberi hadiah, maka harus diterima. Begitu juga ketika ada tetangga non-muslim sedang sakit, harus dijenguk. Itulah adab seorang muslim yang harus dijaga dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama.

Permasalahannya adalah, ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka banyak orang salah paham. Mereka mengira bahwa toleransi dalam masalah keikutsertaan acara-acara non-muslim diperbolehkan dengan tujuan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Padahal toleransi seperti ini di dalam syariat terdapat dalil-dalil yang melarang, baik itu dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, maupun ijma ulama.

Ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka hal ini bisa dikategorikan dalam hal tolong menolong dalam dosa yang sudah jelas diharamkan. Allah SWT telah melarang perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat (yang artinya), Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Qs Al-Ma’idah 2). Dalam memahami ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan orang beriman untuk tolong menolong dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Allah juga melarang umat Islam saling tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang haram. Ritual non-Muslim adalah suatu amalan batil yang diharamkan oleh Allah SWT yang menjadikan pelakunya berdosa. Oleh karena itu, keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan.

Selain itu, keikutsertaan ritual non-muslim dengan alasan toleransi juga tidak bisa dibenarkan secara syar’i karena seseorang tersebut tergolong telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.

Adapun toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).

Banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat di atas dalam memahami sikap toleransi antar umat beragama yang benar dalam Islam. Dalam memahami ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” maksudnya, Dia tidak melarang kamu berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena masalah agama, seperti berbuat baik dalam masalah perempuan dan orang lemah.

Selain itu, Imam al-Syaukani (1250 H) dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka.

Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, Ia berkata: “Qatilah mendatangi putrinya Asma’ binti Abu Bakar. Namun Asma’ enggan menerima hadiah dan kedatangan perempuan (ibunya) itu ke rumahnya. Karena itu, Aisyah menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi SAW. Maka Allah menurunkan surat Al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya”.

Ini merupakan dalil bahwa berbuat baik kepada non-Muslim merupakan kewajiban, selama orang-orang non-Muslim itu tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari negeri mereka, serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari negeri mereka. Bahkan Rasulullah SAW mengancam terhadap umatnya yang berbuat zalim kepada non-Muslim yang sudah terikat perjanjian dengan umat Islam dengan ancaman tidak masuk surga. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak empat puluh tahun perjalanan (di dunia) (H.R Bukhari).

Oleh karena itu, Nabi SAW bermuamalah dengan orang Yahudi di Madinah dengan muamalah yang sangat baik. Dalam masalah perdagangan, Beliau SAW pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm. Rasulullah juga menetapkan perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan kaum Yahudi. Perjanjian itu antara lain berisi tentang perdamaian dengan kaum Yahudi, sumpah setia mereka, serta mengakui keberadaan agama (bukan kebenaran agama selain Islam) dan harta-harta mereka. Beliau SAW juga meminta jaminan kepada mereka untuk menepati perjanjian mereka. Namun demikian, sikap toleransi, harmonis, tolong menolong dan kerjasama antara umat Islam dengan non-Muslim di sini hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah.

Dari paparan di atas, sangat jelas sekali bagaimana ternyata pembentukan pola doktrin toleransi antara Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral dari warisan Islam. Berbeda halnya dengan Barat yang doktrin toleransinya dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power. Itulah sebabnya menyamakan doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi yang ada di Barat tidaklah tepat.

Namun anehnya, saat ini proses overlapping doktrin toleransi mulai muncul ke permukaan sehingga mengakibatkan kerancuan dalam memahami makna toleransi yang benar menurut Islam. Dari sinilah maka tidak tepat kalau ada umat Islam yang menggunakan kata toleransi untuk mendukung eksistensi aliran sesat apalagi untuk mendukung gerakan kristenisasi, karena toleransi semacam ini adalah toleransi ala Barat yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Kamu bisa nggak enak sama manusia padahal dia sama kayak kamu tapi nggak pernah merasa nggak enak sama Allah pencipta-mu? toleransi itu dicakup dalam pengertian dua belah pihak bukan hanya pengertian satu pihak, kita tahu cara agama dia, dia juga harus tahu cara agama kita dan kembali lagi tolerasi dalam Islam adalah membiarkan pemeluk agama lain melaksanakan apa yang mereka yakini, kita nggak ikut-ikutan.

Satu kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan mereka, termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman kita masuk toilet lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia masuk toilet, maka biarkan ia tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau temani temannya juga untuk lepaskan kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat natal. Yang kita lakukan adalah dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non muslim merayakannnya tanpa mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti toleransi dalam Islam yang sebenarnya.

Tapi semua kembali kepada masing-masing, bisa aja kamu cari dalil-dalil maksa yang bolehin. Ya.. hidup itu pilihan.

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)

“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)

“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)

Tambahan : Pemilu, pileg dan pilpres adalah waktu untuk pencarian, pemutusan dan perwakilan buat pengambil keputusan dan kebijakan sebuah negeri yang hasilnya dituntut untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang menjaga “Adh-Dharuriyyat al Khams” (lima perkata darurat), yaitu Agama, Akal, Jiwa, Keturunan dan Harta atau dalam bahasa dari Salim Fillah adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama), Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa), Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan/keturunan), Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) dan Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan). Maka janganlah heran dengan cara-cara membangun persatuan dan membentuk opini, mengkampanyekan, memenangkan, memilih, mewakilkan dan membentuk jajaran pemerintahan semua termaktup dan harus sesuai dalam cara-cara ajaran islam, sesuai dengan syariatNya. Ini cara toleransi islam dalam pemilu, pileg dan capres juga dalam cara-cara pengambil kebijakan/keputusan/undang-undang dalam parlemen dan pemerintahan. Ada batasan syari terhadap batasan prilaku dan pelaku, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku dalam porsi menempatkan pada tempatnya yang tepat (adil) pada sikonnya dan bukan pula bentuk Kalimatnya haq, tapi kebatilan yang jadi kehendak.

That's our tolerance, that's islamic tolerance.

Wallahu a’lamu bis-shawab.
*) Penulis adalah Alumnus Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima Jawa Tengah.
Oleh: Kharis Nugroho, Lc.

Para Kiai dan Ustadz juga para Habib telah turun kegelanggang politik, apa sih yang dikhawatirkan mereka dan yang mereka tahu dan kebanyakan masyarakat tidak tahu apabila pasangan yang satunya terpilih, apa yang mereka khawatirkan dari pasangan itu? Bagaimanakah penerimaan masyarakat umum/awam, maukah mendengarkan fatwa-fatwa para alim ulamanya?

Prakata yang diambil dari fb “Islam bersatu Muallaf berseru”
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang  (QS. Al Maidah : 92)

Keterangan
In The name of Allah the Most Beneficent the Most Merciful.
Assalamu’alaikum warrahmatulahi Wabarakattu.

Perkenalkan, Kami ini Muslim.
Islam adalah nama agama kami. Artinya adalah “selamat” atau “tunduk patuh.” Kami telah bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah semata. Anda tidak tahu ilah? Ilah adalah sesuatu yang diharapkan, ditakuti, dicintai, dan dipatuhi oleh manusia. Itulah pernyataan loyalitas yang kami ulang sedikitnya sembilan kali dalam sehari semalam.

Kami adalah manusia yang merdeka. Merdeka dari desakan hawa nafsu. Tidak mudah, tapi kami selalu berusaha untuk tetap loyal pada satu-satunya ilah kami.

Kami bukan termasuk orang-orang yang tunduk pada keinginannya pribadi. Kami juga tidak tunduk pada godaan kesenangan badani belaka. Kami merdeka karena tunduk pada Allah semata.

Bagi kami, tidak ada yang absolut kecuali Allah. Kami tidak mengutak-atik Kitab Suci kami, bahkan tidak berani sekedar untuk menambah satu kata atau huruf baru ke dalamnya. Kami tidak berani untuk berpikir bahwa kami lebih tahu urusan kami sendiri. Ada Yang Maha Tahu yang akan menyelesaikan segala urusan kami.

Kami berani di hadapan manusia dan takut di hadapan Allah, lantang di hadapan diktator dan menyerah tanpa syarat di hadapan Allah. Jangan bingung. Ini hanya masalah menempatkan diri pada kedudukannya yang benar.

Kami ini Muslim.
Anda tahu siapa kami? Kami adalah umat yang selalu menimbulkan rasa cemas kepada mereka yang diliputi dengki.

Kami menyuruh putri-putri kami berhijab, dan hal itu membuat semua orang khawatir. Padahal mereka tidak ragu melepas putri-putri mereka dengan pakaian minim hingga larut malam. Ah, mereka hanya takut, karena kaum perempuan Muslim hidupnya lebih menyenangkan. Mereka takut semua perempuan akan mengikuti jejak putri-putri kami.

Agama kami memang tidak pernah menyelisihi fitrah. Semuanya sesuai dengan karakter dasar manusia. Mereka menutup aurat bukan karena terpaksa, melainkan karena memang demikianlah yang baik bagi mereka.

Tanyakanlah pada putri-putrimu, bukankah hari-hari mereka dilalui dengan penuh kekhawatiran karena mata lelaki yang selalu sigap menangkap apa-apa yang sesuai dengan syahwatnya?

‘Tanyakanlah pada kaum perempuanmu, bukankah hidup mereka penuh dengan penyesalan karena selalu disusahkan oleh para pria hidung belang? Ah, tidak perlu dijawab. Kami sudah tahu jawaban jujurnya.

Jangan heran jika kami enggan menyentuh minuman beralkohol, karena Allah memang tidak menghendaki hamba-hamba-Nya melakukan perbuatan-perbuatan yang bodoh seperti lazimnya orang mabuk.

Semua hukum yang susah payah dirumuskan oleh negara-negara Barat untuk menghindari ekses negatif dari minuman keras hanya teori usang.

Cukup sebuah ayat dalam Al-Qur’an, maka kami pun menjauh darinya. Inilah bukti ketundukan kami.

Mengapa kalian bingung menyaksikan kami shalat lima waktu setiap harinya? Justru kamilah yang bingung melihat kalian begitu jarang meluangkan waktu untuk Tuhan.

Anda pikir shalat itu mempersulit hidup kami? Demi Allah, kami tidak membasuh kepala kami dengan wudhu dan tersungkur dalam sujud kecuali untuk mendapatkan manisnya iman.

Kami paham jika Anda tidak mengerti. Rasa manis hanya dipahami oleh mereka yang memiliki lidah. Iman hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia untuk tunduk.

Kalian yang tidak memahami lezatnya iman tidak akan mengerti tujuan hidup kami. Kami hidup hanya untuk mati. Semua manusia begitu, tapi sedikit yang mau mengakuinya. Kenyataannya semua manusia akan mati. Bedanya, kami memiliki tujuan yang pasti, dan kami yakin pada petunjuk arah yang terpampang di depan mata.

Kami tidak takut mati, karena mati itu keniscayaan. Tidak ada bedanya mati sekarang atau tahun depan. Yang menjadikannya beda hanyalah caranya.

Kami adalah kaum yang akan maju berdesak-desakan ketika pintu menuju syahid terbuka.

Anda tidak paham? Tentu saja, karena Anda tidak memiliki kerinduan kepada akhirat.

Siapa pun boleh menyangkal, tapi kebenaran adalah kebenaran. Kami hanya menyuarakan kebenaran, dan kebenaran itu lincah seperti air.

Jika terhalang batu, ia akan mengambil jalan lain. Jika dibendung, ia akan berkumpul hingga cukup banyak dan akhirnya melimpah dari dinding yang menghadang.

Jika Anda berusaha memenjarakan kebenaran yang terus mengalir dalam suatu wadah, maka niscaya kebenaran itu akan menekan ke segala arah, dan semua dinding pun akan runtuh.

Anda bisa menghina Rasul kami dengan berbagai gambar yang tak pantas, tapi semuanya hanya akan berakhir mengenaskan bagi para penghujat. Di negeri penghujat Rasulullah saw. itu, lima ribu eksemplar Al-Qur’an telah terjual dalam lima bulan saja.

Anda bisa menyebarkan kabar bohong apa pun tentang kami, namun hal itu hanya akan mendorong semua orang untuk mengenal kami lebih jauh.

Ini adalah kabar buruk bagi kalian, karena siapa pun yang mempelajari Islam dengan baik niscaya hatinya akan tersentuh. Teruskanlah makar ini, dan kami akan tetap menjadi pemenangnya!

Anda bisa mengajak semua orang untuk memerangi kami, namun kebenaran akan sampai juga pada telinga-telinga yang tetap terbuka.

Kalian bisa membumi-hanguskan negeri-negeri kami, namun Islam akan sampai juga di negeri kalian. Faktanya, ratusan manusia-manusia pintar dan berakal mengucapkan dua kalimat syahadat ditiap harinya, iya tiap harinya. Ribuan dalam setahun. Janganlah mengelak dari fakta dan realita yang ada.

Cepat atau lambat, negeri kalian akan menerima Islam dengan tangan terbuka, karena kebenaran akan selalu menyentuh hati manusia yang cenderung pada kelembutan.

Kami ini Muslim. Kamilah yang akan memenangkan pertarungan, jika memang Anda bersikeras untuk bertarung.

Tapi jangan khawatir, karena kami tidak merasa perlu memaksa Anda masuk ke dalam barisan kami. Cukuplah dengan menjadi teman yang baik, dan semuanya akan baik-baik saja. Allah SWT tidak melarang kami berteman dengan siapa pun yang tidak memerangi kami.

Kepada semuanya, kami sampaikan salam hangat persahabatan: bukalah pintu hati kalian untuk kebenaran, dan ia akan datang dengan berbagai cara yang belum pernah kalian bayangkan sebelumnya.

Kami adalah tangan-tangan yang saling berpegangan dan saling menjaga satu sama lainnya. Kami adalah dahaga yang saling mendahulukan.

Kami adalah tubuh-tubuh yang saling menyelamatkan. Kami adalah lidah-lidah yang saling menghibur dan hati yang saling mencemaskan.

Suatu saat nanti, kami akan menjadi dominan di dunia dan menjaga semua makhluk Allah. Jika agama non-muslim di dunia tetap ada dan menjadi minoritas, anda tak perlu khawatir. Kami akan selalu menjaga kaum yang minoritas, karena itu adalah ajaran kami.

Walau kami selalu difitnah dan dimusuhi oleh orang-orang pengacau di dunia ini, namun sejak dulu kami selalu mencintai ketentraman dan kedamaian baik itu di dunia maupun di akhirat.

“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.” (Qur’an Surah Ath-Thaariq 86 : 15-17)

Kami adalah Muslim. Kami akan menang.

*Setiap umatku akan masuk Surga kecuali yang tidak mau. Para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah siapakah yang tidak mau ?". Beliau bersabda : "Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk Surga dan barangsiapa yang tidak taat padaku maka dialah yang tidak mau (masuk Surga)". (HR. Bukhari)

*Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imron : 20)

*Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah : 67)

*Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. Al Maidah : 92)

*Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS. Al Maidah : 99)

*Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. (QS. Al An aam :90)

*Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu".(QS. Al A'raf : 68)

*Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (QS. Al A'raf : 87)

*Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan) nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. (QS. Huud : 57)

*Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.(QS. Ar Ra'du : 40)

*Jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An Nahl : 82)

*Jika mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah menyampaikan kepada kamu sekalian (ajaran) yang sama (antara kita) dan aku tidak mengetahui apakah yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat atau masih jauh?". (QS. Al Anbiya : 109)

*Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An Nuur ; 54)

*Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya. (QS. Al Furqon : 57)

*Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (QS. Al Ankabut :18)

*(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al Ahzab : 39)

*Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. Yaasin : 17)

*Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat). (QS. As Syura : 48)

*Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. At Taghabun : 12)

*Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (QS. Al Jinn : 23)
Wassalamu’alaikum warrahmatulahi Wabarakattu.


Setiap kebenaran bersumber dari Allah Ta'ala. Oleh sebab itu setiap dan seluruh kebenaran akan bersifat komplementer (saling isi dan melengkapi) dan sinergis (saling memperkuat). Ketika (sudah) benar mempersepsi sesuatu, maka kita mesti menghargai persepsi atau pendapat orang lain yang juga bernilai benar. Jangan sampai merasa paling benar dengan meremehkan (apalagi menyalahkan) pendapat lain yang sama benarnya. Mendapatkan kebenaran dari banyak sisi itu lebih baik dari satu sisi. Karena kebenaran sejati hanya bisa didapatkan ketika kita mengetahui sisi-sisi kebenaran lainnya.

Qs. An-Nahl, 16: 125: “Wahai Muhammad, ajaklah manusia kepada Islam, agama Tuhanmu, dengan hujah-hujah yang kuat, nasehat yang baik dan sanggahlah hujah lawanmu dengan hujah yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari agama-Nya, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang mengikuti hidayah Islam.“

"Anda tidak dapat membaca Al-Quran begitu saja, kecuali jika Anda bersungguh-sungguh memberi perhatian dengan penghayatan mendalam. Anda tinggal memilih; menyerahkan sepenuhnya seluruh jiwa dan raga kepada Al-Quran atau memeranginya dengan akal dan nalar Anda. Maka, Al-Quran akan menyerang Anda lebih kuat dari yang Anda bayangkan, mendebat, mengkritik dan membuat malu para penantangnya." (Prof. Dr. Jeffrey Lang)

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya." (Qs Al-Qiyamah 16-19).

Di dalam Islam pun, politik mendapat tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

Agak lengkapnya Al-Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia.” Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman.

Membeli Kemenangan" Oleh Akmal Sjafril
“Andaikan kalian sanggup berkomitmen untuk begini dan begitu, tentu akan saya dukung. Tapi sejauh ini, saya masih melihat banyak kekurangan dari diri kalian. Sesungguhnya kita tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan kain pel yang kotor!”

Kalimat semacam di atas, dalam berbagai varian bentuknya, sering sekali terdengar. Hemat saya, terutama ungkapan yang terakhir, memang dapat menemukan konteksnya dalam banyak kasus, namun tidak untuk semua kasus. Memang benar, kain pel yang akan digunakan untuk membersihkan lantai tidak boleh kotor. Tapi sebersih apakah ‘tidak kotor’ itu sebenarnya?

Khalid ibn Walid ra bisa dibilang ‘bukan siapa-siapa’ ketika situasi memaksanya untuk menjadi pemimpin pasukan Muslim di Perang Mu’tah. Rasulullah saw telah menyerahkan bendera pasukan kepada Zaid ibn Haritsah ra, dan berwasiat agar memberikannya kepada Ja’far ibn Abu Thalib ra jika Zaid ra gugur, kemudian berwasiat lagi agar memberikannya kepada ‘Abdullah ibn Rawahah ra jika Ja’far ra gugur. Allah SWT berkehendak ketiga panglima nan gagah ini menjadi syuhada. Saat itulah kaum Muslimin berembuk dan mengangkat Khalid ibn Walid ra – yang belum lama masuk Islam – untuk menjadi pemimpin mereka. Khalid ra, yang di Perang Uhud mengayunkan pedangnya untuk menghabisi kaum Muslimin, kini menjadi Syaifullaah (Pedang Allah) yang akhirnya mampu membawa pasukan Muslim meraih kemenangan.

Dalam pasukan yang dikirim ke Perang Mu’tah itu, tidak tertutup kemungkinan ada yang jauh lebih senior, jauh lebih bagus ibadahnya, dan jauh lebih baik akhlaq-nya daripada Khalid ra. Apalagi, sebelum memeluk Islam, Khalid ra bertahun-tahun mendapat pendidikan dari sang ayah, Walid bin al-Mughirah, yang sangat memusuhi Islam. Akan tetapi, Khalid ra adalah orang yang sangat pas untuk memimpin pasukan Muslim, baik di Perang Mu’tah ataupun di perang-perang sesudahnya.

Jika kita ingin mencari ‘kain pel’ yang putih bersih tanpa noda sama sekali, tentu kita akan berpaling kepada orang-orang yang sudah lama memeluk Islam, atau yang telah membersamai Rasulullah saw sejak dahulu, misalnya Abu Bakar ra. Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah seorang panglima, maka Khalid ra nyaris tak punya pesaing.

Tentu saja kita tidak hendak mengatakan bahwa ‘kain pel’ yang bersih itu tidak penting. Hanya saja, dalam banyak kasus, kita tidak perlu menunggu kedatangan kain pel yang bersih mengkilat sebersih kain pel di toko sebelum akhirnya benar-benar membersihkan lantai. Tidak semua kondisi ideal dapat tercapai. Bahkan seringnya, jika kita menunggu-nunggu kondisi ideal terjadi, maka kita tidak akan beranjak dari tempat kita berada sekarang. Orang-orang tua jaman dahulu sudah mengajarkan sebuah kebijakan: tak ada rotan, akar pun jadi.

Di tengah-tengah generasi Muslim akhir jaman ini, ke manakah akan kita cari seorang Abu Bakar ra atau seorang ‘Umar ibn al-Khaththab ra? Di manakah akan kita temukan sang pemimpin yang bersih tiada cela, yang kuat ibadahnya, terpuji akhlaq-nya dan cemerlang akalnya, hingga kita tak bisa menyebutkan barang satu saja keburukannya?

Betapa banyak orang yang merasa dirinya terlalu suci untuk bergabung dengan yang lain. Ia dapat menghitung secara terperinci sekian ratus kesalahan mereka. Shalatnya salah di sini dan di situ, caranya mendidik anak kurang begini dan begitu, kesehariannya masih kurang yang ini dan itu. Ia merasa tak punya harapan jika harus bergabung dengan orang-orang yang dianggapnya tak membuatnya lebih baik. Ia lupa bahwa – andaikan benar – tak ada orang yang bisa membawa kebaikan pada dirinya, maka ia sendirilah yang berkewajiban membawa kebaikan itu pada orang-orang di sekitarnya.

Betapa banyak orang yang bagus ibadahnya namun menyimpan semua kebaikan untuk dirinya sendiri. Ia membenci si pelaku dosa sebagaimana ia membenci dosa itu. Ia selalu sendiri, karena di sekelilingnya hanya ada para pembuat dosa, dan ia khawatir ia pun akan melakukan dosa yang sama jika bergaul bersama mereka. Ia hibur dirinya sendiri dengan kata-kata Rasulullah saw yang mengisyaratkan bahwa kelak orang-orang yang memegang teguh agama ini akan menjadi ‘asing’. Ia lupa sama sekali bahwa setiap kamus bahasa Indonesia selalu membedakan makna “orang asing” dengan “orang yang mengasingkan diri”.

Pada akhirnya, ia menghibur dirinya sendiri dengan menolak semua tuduhan bahwa ia telah memelihara penyakit ukhuwwah dalam dirinya sendiri. Muncullah kalimat seperti di atas tadi, yang menegaskan bahwa ia siap bergabung kapan saja dan berkomitmen penuh, asalkan yang hadir di hadapannya adalah kelompok yang serba sempurna dan tak pernah salah.

Janganlah heran sekiranya orang semacam ini pada akhirnya selalu berjalan sendiri. Kalaupun ia menemukan teman-teman yang segagasan dengannya, mereka hanya akan berkumpul (atau lebih tepatnya bergerombol) dan tidak jalan ke mana-mana. Mereka hanyalah sekumpulan orang malang yang diam sambil menunggu kendaraan yang tak kunjung lewat, sambil mengutuki jaman yang terus berganti.

Manusia, sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, bukan hanya tak ada yang sempurna, namun juga tak bisa menyempurnakan dirinya sendiri. Setiap anak dibesarkan bukan atas usaha dirinya sendiri, bukan pula hanya oleh kerja keras kedua orang tuanya, melainkan juga oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, duhai tuan-tuan, pahamilah bahwa masyarakat yang sakit parah selamanya takkan melahirkan pemimpin yang baik. Bolehlah berikan pengecualian kepada para Nabi, karena mereka dibimbing langsung oleh Allah. Tapi di luar itu, berlaku hukum yang sama.

Maka, duhai tuan-tuan yang suci, janganlah bermimpi akan berjumpa dengan pemimpin besar nan adil jika masyarakatnya masih jauh dari nilai-nilai kebaikan. Jika para guru dan orang tua masih ridha siswa-siswi menyontek asalkan lulus UN, maka janganlah menolak takdir jika kelak mereka makan uang haram hasil korupsi. Jika orang tua masih susah mematuhi rambu lalu lintas atau menerobos lampu merah, janganlah terlalu kecewa sekiranya sang anak cepat belajar dan melanggar segala aturan dengan mudah di usia remaja. Dan tentu saja, jika engkau, tuan-tuan yang suci ini, tidak pernah membimbing umat untuk menyucikan diri dan perbuatannya, maka jangan memasang impian terlalu tinggi agar kelak suatu hari negeri ini makmur sejahtera dan dilimpahi rahmat Allah SWT dari segala penjurunya.

Orang-orang beriman tidak mengenal putus asa selama mereka masih merasakan kebersamaan dengan Allah SWT. Kita tidak berputus asa dengan negeri ini, sebagaimana kita tidak berputus asa dengan perkumpulan atau organisasi apa pun yang kita bentuk untuk membangun negeri. Jika ada kekurangan, maka itulah kenyataan, sebagaimana kenyataan yang biasa kita hadapi di tengah-tengah generasi Muslim akhir jaman ini. Kita telah berdamai dengan kenyataan bahwa keadaan negeri ini masih jauh dari ideal, dan kita berusaha menyelamatkannya dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita berdamai pula dengan kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki komitmen sama dengan kita pun masih jauh dari ideal, namun kita menghargai tekadnya untuk terus memperbaiki diri dan mensyukuri kenyataan bahwa masih ada sekelompok orang yang mau menerima kita dengan segala kekurangan kita.

Berhentilah menunggu. Kemenangan yang sesungguhnya takkan hadir di depan mata dan tak bisa kaubeli begitu saja. Kemenangan itu ada di depan sana, menunggu orang-orang yang siap untuk jatuh-bangun dalam memperjuangkannya……………….

Pen : gampang saja kalau mau dapat kain pel yang sangat bersih, cari dan kemudian bawah orang utama ke Arab Saudi, lalu minta dokter-dokter bedah yang bertauhid untuk membedahnya, mengambil hatinya, minta imam Masjid Haram untuk mencucinya di sumur air zam-zam, kemudian pasang lagi, lebih bagus cuci 3x dengan disertai doa dan niatnya dan juga disertai doa dan niat kalian terus carikan dan berikan kepadanya stemple perak yang tidak ada keduanya dan dapat memerintah terus beri bendera hitam yang tanda kutip “berbentuk” seperti itu, bendera itu harus dibuat atau datang dari timur dahulu baru diberi kepadanya disana. Tapi nga dimaksud seperti ini juga, ini hanya “hiperbola” saja. Wahai saudara… Kita ini punya tugas ibadah buat pribadi dan rahmat buat semua dan mungkin juga tugas khusus kekinian adalah untuk menyiapkan “kuda-kuda” terbaik, berupa potensi-potensi dan aset-aset terbaik, pada gilirannya, mungkin saja kalian dan mereka alias KITA akan berhijrah dan berjuang ke Syam semuanya. Disini gunung awal yang harus kita pindahkan, tembusi, taklukkan atau robohkan adalah demokrasi dan menjatuhkan ekonomi ribawi itu, mudah-mudahan saja kita benar-benar dapat menjadi “apa-apa”. Maka bersatu itu adalah sesuatu yang indah.

Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata dawlah, sebenarnya merupakan kata asing.  Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam.

Wajar, jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkataan orang Arab asli di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-’Arab, juga membuktikan bahwa kata dawlah tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya mengatakan bahwa kata dawlah atau dûlah sama maknanya dengan al-’uqbah fî al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata dawlah dan dûlah memiliki makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami) merupakan arti dari kata dawlah (Ibn al-Mandzur, Lisân al-’Arab, jilid XI, hlm. 252).

Kepastian tentang kapan kata dawlah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata dawlah dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma’nâ al-khilâfah waal-imâmah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 170-210).

Meskipun kata dawlah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadis dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadis berikut:

Dulu, urusan Bani Israel diatur dan dipelihara oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, segera digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sepeninggalku tidak ada lagi nabi. Yang (akan) ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak. (HR Muslim dalam bab Imârah).

Walhasil, gambaran real yang dimaksud oleh kata dawlah (negara) telah disinggung oleh Islam dengan menggunakan kata lain, yaitu khilafah.

Ibn Khaldun juga menggunakan kata Dawlah Islâmiyyah (Negara Islam). Artinya, kata dawlah disifati dengan kata islamiyyah untuk menyebut al-khilâfah (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 180 dan 210-211). Ia memberikan sifat islamiyah (Islam) terhadap kata dawlah (negara) karena kata daulah (negara) memiliki arti umum, mencakup negara Islam dan bukan Islam. Akan tetapi, jika kata dawlah digandengkan dengan kata islamiyyah, maka artinya sama dengan al-khilâfah. Oleh karena itu, kata Daulah Islamiyah (Negara Islam) hanya memiliki satu makna, yaitu Khilafah. Di luar itu (selain Negara Islam), Ibn Khaldun sendiri cenderung menggunakan istilah al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) saja.

Sesungguhnya terdapat juga istilah lain yang banyak digunakan oleh para fukaha yang menggambarkan realitas yang sama dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah, yaitu Dâr al-Islâm. Kata Dâr al-Islâm juga merujuk pada nash-nash syariat dan memiliki makna syar’î (al-haqîqah as-syar’iyyah). Kata tersebut dijumpai, antara lain, dalam hadis berikut:

Ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka, dan cegahlah (tanganmu) untuk memerangi mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (dâr al-kufr) ke negeri kaum Muhajirin (dâr al-Muhajirîn). Beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukannya, mereka akan memperoleh hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. (HR Muslim).

Lawan kata dari dâr al-Islam adalah dâr al-kufr, dâr al-musyrik, atau dâr al-harb. Kata Dâr al-Islâm sendiri acapkali disamakan dengan kata Dâr al-Hijrah atau Dâr al-Muhâjirîn.

Dari sini, sebenarnya terdapat kesepadanan pengertian dan realitas yang sama pada kata Daulah Islamiyah, Khilafah, dan Dar al-Islam.

Selanjutnya, apa yang menjadi ciri sebuah negara yang tergolong sebagai Dar al-Islam, atau Daulah Islamiyah, atau Khilafah?

Imam Abu Hanifah menjelaskannya melalui pengertian yang terbalik, Beliau menjelaskan syarat-syarat sebuah dar al-kufr, yaitu: (1) Di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur; (2) Bertetangga (dikelilingi) dengan negeri kufur; (3) Kaum Muslim dan non-Muslim (dari kalangan ahlu dzimmah) tidak memperoleh jaminan keamanan dengan keamanan Islam (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, jilid I, hlm. 662).

Sementara itu, Syaikh ‘Abdul Wabhab Khallaf, dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, lebih gamblang mendefinisikannya sebagai berikut:

Dar al-Islam adalah dâr (daerah/negeri) yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, sementara sistem keamanan di dalamnya berada dalam sistem keamanan Islam, baik mereka itu Muslim ataupun ahlu dzimmah. (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, , jilid I, hlm. 666).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan lagi bahwa suatu tempat/negeri dapat digolongkan sebagai Dar al-Islam jika memenuhi dua syarat: (1)Diterapkannya sistem hukum Islam; (2)Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islâmiyah, jilid II, hlm. 260). Beliau menambahkan lagi bahwa jika salah satu syarat dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis, tempat/negeri tersebut tidak bisa digolongkan sebagai Dar al-Islam.

Daulah Islamiyah ditegakkan diatas tiga rukun :
  1. Daar (tempat / negeri)
  2. Ro’iyah (rakyat)
  3. Siyadah (kekuasaan)

Para fuqaha telah melakukan riset tentang rukun-rukun daulah ketika mereka meriset tentang hukum-hukum darul islam lalu didapat penjelasan dari pendefinisian mereka terhadap darul islam.

Definisi pertama adalah bahwa setiap negeri yang muncul didalamnya da’wah islam oleh para penduduknya tanpa adanya pengawalan, pengawasan maupun pembayaran serta telah diterapkan di negeri itu hukum kaum muslimin terhadap orang-orang ahli dzimmah apabila didalamnya terdapat orang-orang ahli dzimmah dan juga para pelaku bid’ah tidaklah menguasai orang-orang yang berpegang dengan sunnah.

Definisi kedua adalah setiap bumi yang ditinggali oleh kaum muslimin walaupun didalamnya masih terdapat orang-orang non muslim atau diterapkan didalamnya hukum-hukum islam maka negeri itu disebut dengan Negeri Islam termasuk juga daerah-daerah yang ada didalamnya yang berada dibawah hukum kaum muslimin.

Sedangkan ro’iyah (rakyat) adalah mereka yang berada di dalam batas-batas daulah dari kaum muslimin dan juga ahli dzimmah. Sedangkan siyadah (kekuasaan) adalah diterapkan didalamnya hukum islam.

Daulah Islamiyah ini mencakup berbagai aturan dan kekuasaan yang setiap kekuasaannya memiliki tugas khusus yang dibebankan daulah untuk merealisasikan tujuan umum, yaitu memelihara kemaslahatan kaum muslimin baik dalam urusan agama maupun dunia.

Macam kekuasaan didalam Daulah Islamiyah adalah :
  1. Hakim atau Imam A’zhom Imam adalah wakil dari umat didalam kekhilafahan Nubuwah dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
  2. Wali al ‘Ahd yaitu orang yang memegang jabatan imam setelah wafatnya. Berarti tidak ada Wali al Ahd didalam melaksanakan urusan-urusan daulah selama Imam masih hidup.
  3. Ahlu Halli wal ‘Aqdi yang memiliki tugas memilih Imam serta membaiatnya.
  4. al Muhtasib yaitu wakil Imam yang melakukan tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mengamati keadaan rakyat dan menyingkap perkara-perkara dan maslahat-maslahat mereka.
  5. al Qodho
  6. Baitul Mal.
  7. Para Menteri. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 7290 – 7294)

Banyak sekali definisi tentang Khilafah—atau disebut juga dengan Imamah—yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8).
  2. Imamah (Khilafah) ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 3).
  3. Khilafah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 & 190).
  4. Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).

Dengan demikian, Khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai: kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Definisi inilah yang lebih tepat. Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).

Terlepas bagaimana dan seperti apa pandangan agama per kelompok terhadap model negara, yang pasti khilafah adalah hal diatas negara yang jauh lebih pokok dan dalam jangkauan yang lebih sulit yang harusnya disesuaikan penempatan yang tepat pada bahasannya.

"Tiap-tiap tempat ada kata-katanya yang tepat, dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat. Setiap pekerjaan itu ada upahnya, dan setiap perkataan itu ada jawabannya" (Al Hadits)

Katakanlah negara demokrasi yang kemudian menjelma berhukum syariah yang belum sepenuhnya bisa mengikuti model Madinah, bila berhasil lolos dari komplik internal, maka ia mempunyai kekuatan kedaulatan wilayah yang lebih kuat yang memang sebelumnya telah berdaulat lama, masih terjaganya pertahanan dan keamanan yang memang sebelumnya telah kuat dan tidak berkurang karena peperangan sebelumnya namun tetap akan terbatas pada batasan al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) bukan khilafah, sama walaupun semisalnya kemudian dari negara demokrasi kemudian berhasil menjadi negara islam (dimaksud kerajaan islam) maka ia juga bukan khilafah. Untungnya adalah kekuatan dukungan, perlengkapan dan senjatanya bermanfaat full buat khilafah bila ada telah tegak, dan bisa saja kuda-kuda terbaik dan penunggang-penunggang terbaik juga banyak datang dari dia, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian" [Al-Anfal : 60]. Tidak disebutkan secara tersurat bisa jadi ia adalah dikondisikan sebagai tempat persiapan pula (dijauhkan dari gangguan fisik) dan bisa jadi juga bukan menjadi “apa-apa”, tinggal pilihan mau berusaha menjadi “apa-apa” atau tidak menjadi “apa-apa”. Apalagi nusantara untuk masa kini didukung faktor strategis kawasan yang tidak boleh rentan komplik fisik buat kepentingan regional teritorial politik luar negeri asing maka itu bisa menjadi “kesempatan” pula yang dapat dimanfaatkan. Dan asing harus berpikir dua kali terhadap hal ini dan juga berpikir 2x terhadap penyikapan akan makna “kesempatan” itu. Pen: kalau memang dilihat faktor strategis kawasan ini, seharusnya nusantara mampu tidak didikte asing, mampu mandiri sendiri menjadi negara kuat. Karena ancaman fisik 2 kali tidak rentan. Hebatnya secara underground dibombardir kepentingan, sayang pemimpin negeri tidak jeli mengambil celah penguatan kemandirian ini.

Sementara hal lain, negara islam (dimaksud kerajaan islam) yang dibangun dari jihad fisik, selain membutuhkan dan membangun bukti terhadap penjalanan syariah didalam wilayah kekuasaannya, menguatkan kedaulatannya untuk diterima luas negara-negara lain, juga harus lebih menguatkan pertahanan dan keamanan wilayahnya, dan tahapan ini lebih rentan karena umumnya dalam pembentukan opini dunia negara ini dikatagorikan negara teroris. Juga masalah perlengkapan keamanan wilayah kurang kuat karena pondasi baru membangun dari bekas-bekas peperangan dan juga rentan dari koalisi luar negara (kafir) yang lebih ingin meruntuhkannya. Dan hal ini juga tetap akan terbatas pada batasan al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) bukan khilafah.

Jadi lawan sepadan khilafah islam adalah new world order, jadi khilafah islam adalah hal pokok dari sekedar wacana negara/kerajaan atau sekedar haram dan tidaknya masuk sistem demokrasi pada sebuah negara, khilafah dalam cakupan bahasan diatas hal tersebut. Mengapa demikian?

Karena khilafah bukan hanya berbicara menyatukan sebuah batasan negara/kerajaan dalam satu komando pusat tapi juga untuk menyatukan semua negara/kerajaan didalam satu komando pusat tersebut terutama negara dimana umat islam banyak berada, menyatukan semua umat islam dimanapun berada di negara manapun untuk berbaiat pada satu komando.

Semisal Indonesia adalah sebuah negara demokrasi atau pun sebuah negara islam, maka negeri ini harus menyatu dalam satu komando pusat ini, hanya ada dua pilihan, tunduk dengan sendirinya atau akan diperangi, maka dikatakan tidak perlu kuatir apakah nusantara tetap sebuah demokrasi sekuler, demokrasi bersyariat atau negara islam (tetap berusaha dalam tujuan sesanggup-sanggupnya), pada masa penentuan nanti hanya ada dua jalan tersebut, pada masa tersebut pula akan terjadi hanya satu-satunya pilihan yang ada (bagi islam) adalah jihad fisik yang akan terjadi kolektif diseluruh belahan dunia. Bila negara dikuasi oleh umat islam (terlepas masih tidak murni sampai menjadi negara islam atau hanya sebatas usaha sampai demokrasi bersyariat) pada saatnya ia akan mudah tunduk dengan sendirinya, lain bila halnya negara ini dikuasai oleh selain orang beriman maka hal yang nyata pada saat itu, komplik besar dua kubu di nusantara tetap akan terjadi.

Makanya bila ada negara islam kemudian ingin menjadi khilafah, untuk mengembangkannya keluar daerah kekuasaannya dan untuk memperluasnya maka ia terbentur pada penerimaan negeri-negeri lain sekitarnya, terbentur pada nasionalisme sempit dinegeri-negeri lain tersebut, terbentur pada kepentingan penguasa negeri-negeri lain tersebut, terbentur pada kepentingan pemilik modal atau tuan-tuan tanah yang punya kepentingan dinegeri-negeri lain tersebut, terbentur dengan perbedaan-perbedaan ideologi lainnya pada negeri-negeri tersebut dan terbentur pada kepentingan politik luar negeri negara-negara besar terhadap konsep pemetaan teritorial kawasan itu. Bagaimana mau bicara urusan yang lebih besar sementara ada kesempatan untuk mengambil negeri agar dapat lebih bersyariat pun susah bersatu, maka akan lebih berat lagi menyatukan umat di negara-negara sekitarnya, terasa mimpi saja dan nyatanya hal tersebut tidak ada yang mampu mencapainya, kecuali Imam Mahdi, kecuali pula tidak mempercayai perihal Imam Mahdi. Maka wajar saja batasan pencapaian cuma bisa negara bersyariat, pencapaian dari state-nation (negara bangsa) saja.

Al-Imaam Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata : Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyyah Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin ‘Abdillah, dari Al-Jurairiy, dari Abun-Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dibaiat diantara keduanya” [Ash-Shahiih no. 1853].

Diriwayatkan juga oleh Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 7133 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/143; semuanya dari jalan Khaalid bin ‘Abdillah yang selanjutnya seperti hadits di atas.

Hadits di atas lemah, karena :
  1. Jurairiy, meskipun ia seorang yang tsiqah, namun mengalami ikhtilaath dalam hapalannya di akhir hidupnya.
  2. Khaalid tidak diketahui secara pasti apakah ia mendengar riwayat Jurairiy sebelum atau setelah masa ikhtilaath-nya.

Al-Atsram berkata kepada Ahmad bin Hanbal : “Aku berkata : Sesungguhnya mereka mengatakan penyimakan Khaalid (dari Al-Jurariy) setelah ikhtilaath-nya ?’. Ia menjawab : ‘Aku tidak tahu” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal oleh Al-Khallaal, hal. 166 no. 87].

Abu Sa’iid mempunyai syawaahid dari :
1.     Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 7/437, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 2743, Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya no. 1067, dan Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 767; semuanya dari jalan Abu Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling baru baiatnya di antara mereka”. Sanad riwayat ini lemah, karena Abu Hilaal. Periwayatan Abu Hilaal dari Qataadah dilemahkan Ahmad dan Ibnu Ma’iin.

Abu Hilaal dalam riwayat maushul ini diselesihi oleh Hammaam yang meriwayatkan dari Ibnul-Musayyib secara mursal.

Al-Atsram berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah : ‘Apakah engkau menghapal hadits dari Abu Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila dua orang khalifah dibaiat’ ?’. Ia berkata : ‘Hadits ini mursal dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, dari Hammaam, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hilaal adalah mudltharibul-hadiits (haditsnya goncang) dalam periwayatan dari Qataadah” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 166 no. 87].

‘Affaan mempunyai mutaba’ah dari Abul-Waliid Hisyaam bin ‘Abdillah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 7/436-437.

Al-Bazzaar berkata : “Abu Hilaal menyendiri dalam periwayatan marfuu’ ini, sedangkan selain dirinya meng-irsal-kannya” [Kasyful-Astaar no. 1594].

Kedudukan Hammaam lebih tinggi daripada Abu Hilaal, sehingga riwayat mursal inilah yang mahfuudh.

Selain Ahmad, Ad-Daraquthniy juga menguatkan riwayat mursal ini.

2.     Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 2773 & dalam Al-Ausath no. 3885 & dalam Al-Kabiir 1/314 no. 710, dan Tammaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 252; semuanya dari jalan Sa’iid bin Basyiir, dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi Iyaas, dari Sa’iid bin Jubair : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair pernah berkata kepada Mu’aawiyyah terkait perkataan yang terjadi antara keduanya dalam permasalahan baiat Yaziid : “Dan engkau wahai Mu’aawiyyah, telah mengkhabarkan kepadaku bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila di muka bumi ada dua khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir di antara keduanya”. Sanad riwayat ini lemah dikarenakan Sa’iid bin Basyiir. Ad-Daaraquthniy menyebutkannya dalam Al-‘Ilal 7/52-53 no. 1204.

3.     Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 3/1144 dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 2/42-43; semuanya dari jalan ‘Ammaar bin Haaruun : Telah menceritakan kepada kami Fadlaalah bin Diinaar Asy-Syahhaam : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “ …..(al-hadits)….”.
Sanad riwayat di atas sangat lemah karena Fadlaalah bin Diinaar, seorang yang munkarul-hadiits [Adl-Dlu’afaa’ lil-‘Uqailiy 3/1144 no. 1515 dan Lisaanul-Miizaan 6/331-332 no. 6032 & 6/333 no. 6034].

4.      ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Sebagaimana disebutkan Al-‘Uqailiy dalam Al-Kabiir 1/280 dari jalan Al-Hakam bin Dhuhair Al-Fazaariy.

Sanad riwayat ini sangat lemah karena faktor diri Al-Hakam.

Melihat beberapa jalan riwayat di atas, maka dapat dirangkum sebagai berikut:
  1. Jalan Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu lemah.
  2. Jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu lemah karena mursal.
  3. Jalan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa lemah.
  4. Jalan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu sangat lemah.
  5. Jalan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sangat lemah.

Ada hadits lain yang menguatkan maknanya, yaitu : Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin Naafi’ dan Muhammad bin Basysyaar – Ibnu Naafi’ berkata : Telah menceritakan kepada kami Ghundar, sedangkan Ibnu Basysyaar berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far – : telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ziyaad bin ‘Ilaaqah, ia berkata : Aku mendengar ‘Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan terjadi banyak fitnah dan kekacauan. Barangsiapa ingin memecah belah urusan umat ini sedang mereka dalam keadaan bersatu, maka bunuhlah ia dengan pedang siaipun orangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1852 (59)].

Dan telah menceritakan kepadaku ‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Abi Ya;fuur, dari ayahnya, dari ‘Arfajah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1852 (60)].

Kesimpulan : Shahiih lighairihi.

Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah 7/235-239 no. 3089.

Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al-Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Al-Jurairi Dari Abu Nadirah Dari Abu Sa’ad Al-Khudri Ra., Katanya Rasulullah Saw. Bersabda: ”Apabila di baiat (diangkat) orang Khalifa tandingan (sehingga terdapat Khalifah tandingan), maka bunuhlah yang terakhir.” (HR Muslim, No 1853)

خَلِيْفَتَيْنِ               : dua khalifah, maksudnya dua orang khalifah/pemimpin yang menjabat pemerintahan yang sama dalam satu waktu.

Hadis tersebut menerangkan tentang tidak syahnya apabila diangkat seorang imam di dua tempat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Al-Mawardi yang mengatakan bahwa, ”jika Imamah (kepemimpinan) diberikan kepada dua orang di dua tempat, maka Imamah (kepemimpinan) keduanya tidak sah, karena umat tidak dibenarkan mempunyai dua imam (khalifah) pada waktu yang sama”.

Adapun jika terdapat dualisme kepemimpinan Al Mawardi juga mengatakan bahwa kursi imamah (kepemimpinan) diberikan kepada siapa di antara kedua orang tersebut yang paling dahulu pengangkatannya, dan akadnya. Permasalahan ini sama seperti kasus dua wali dalam pernikahan seorang wanita. Jika ada dua wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang pria, pernikahan yang benar ialah pernikahan yang dahulu akadnya. Jika telah diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu diangkat sebagai imam (khalifah), maka kursi imamah (kepemimpinan menjadi miliknya, kemudian orang kedua harus menyerahkan segala urusan kepadanya, dan berbaiat kepadanya.

Sebagaimana telah di terangkan di atas bahwa adanya dualisme kepemimpinan merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Hal itu sangat rasional sekali karena jika ada dua pemimpin yang berkuasa dalam waktu yang sama maka antara kedua pemimpin tersebut akan saling berambisi untuk melancarkan kekuasaanya sehinga yang ada malah akan timbul persaingan yang malah akan merugikan masyarakatnya.

Oleh sebab itu, Islam melarang adanya dualisme kepemimpinan sangat kemashlahatan yang di kandungnya sangat besar sekali. Adapun jika terjadi dualisme kepemimpinan maka dalam menyelesaikan persoalan tersebut jangan langsung mengkontekskan hadits di atas dengan membunuh salah satu di antara pemimpin tersebut, melainkan dengan cara dilengserkan salah satunya.

“Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dibaiat diantara keduanya”

Dalam makna tambahan lain (bisa benar atau salah) bahwa juga ditujukan apabila ada dua daulah islamiyah secara tekstual bila diartikan kasarnya adalah dianggap perintah langsung memerangi, dalam kacamata lain yang lembut bahwa dimaknainya ini ditujukan agar untuk menekankan persatuan umat dan lebih utama mencari jalan bersatu sambil menahan diri (yang satu mengalah berbaiat kepada yang lainnya demi persatuan), namun disiratkan pula tidak dapat bersatu karena kerasnya pegangan masing-masing, jadi secara tekstualnya demikian.

Bila dilihat dilapangan kemungkinannya, tentu ada kompromi atau negosiasi, masing-masing bisa mengklaim paling dahuluan waktu berdiri, paling dahuluan ada kelompoknya, dsb bahkan bisa pula paling merasa benar sendiri, tidak bersesuaian mahzab, aliran, dsb. Yang ujung-ujungnya tidak dapat bersatu. Kemungkinan mengambil jalan tengah, berjalan masing-masing, kemungkinan paling parah adalah terjadi bentrokan bersenjata.

Rasulullah Saw bersabda, “Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putra khalifah. Tetapi, tak seorangpun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah Timur, lantas mereka memerangi kamu (orang Arab) dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. Maka jika kamu melihatnya, berbaiatlah kepadanya walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi.” [HR. Ibnu Majah: Kitabul Fitan Bab Khurujil Mahdi no. 4074). Mustadrak Al-Hakim 4: 463-464. Dan dia berkata, “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain.” (An-Nihayah fit Firan 1:29].

Bila pemaknaan diatas bisa dikatakan benar, maka kemungkinan lain 3 putra khalifah adalah adanya 3 daulah yang memperjuangkan khalifahan dengan masing-masing versi mereka yang tidak mampu bersatu itu, apakah di Syria seperti itu? bukan bermaksud menyalahkan salah satu kelompok yang ada disana, doakan semoga ada persatuan dan mengingat selalu prinsip-prinsip peperangan yang diajarkan Rasulullah.

Sampai-sampai untuk mempersatukan dalam khilafah ini, Allah SWT mengabarkan kepada rasulNya tentang satu sosok yang dapat menyatukan hati umat-umat islam. Bila tidak dikabarkan mungkin penerimaan dan penyatuan tidak dapat diharapkan terjadi, bila dikabarkan, otomatis mereka, umat berpegang kepada hadis nabi bisa yakin 100%.

Dalil bahwa satu-satunya Khalifah islam yang ditunggu itu adalah Al Mahdi -alaihis salam- dan bukan yang lain. Dan khalifah islam dari golongan Quraisy.

Bersabda Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wa salam- : “Sungguh bumi ini akan dipenuhi oleh kezhaliman dan kesemena-menaan. Dan apabila kezhaliman dan kesemena-menaan telah penuh, maka Allah akan mengutus seorang laki-laki yang berasal dari ummatku (dalam hadits lain keturunanku), namanya seperti namaku, dan nama bapaknya seperti nama bapak ku. Maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kemakmuran, sebagaimana telah dipenuhi sebelum itu oleh kezhaliman dan kesemena-menaan. Di waktu itu langit tidak akan menahan sedikitpun dari tetesan airnya, dan bumi tidak akan menahan sedikitpun dari tanam-tanamannya. Maka ia akan hidup bersama kamu selama 7 tahun atau 8 tahun, dan paling lama 9 tahun”. (HSR Thabrani, Al Bazzar, dan Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Imam As Suyuthi dalam Al Jami’ dan disetujui keshahihannya oleh al albani)

Disini dijelaskan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wa salam- bahwa sebelum turunnya al Mahdi -alaihis salam- bumi sedang penuh dengan kezhaliman dan kesemena-menaan, oleh karena itu tidak mungkin al Mahdi di turunkan setelah adanya khilafah rasyidah akan tetapi dapat dipastikan bahwa al Mahdi lah khalifah yang pertama kali setelah zaman kedzaliman ini. Zaman kedzaliman dan kesemena-menaan adalah zaman kita ini, sehingga setelah ini khilafah hanya akan berdiri oleh al mahdi yang bernama Muhammad bin Abdillah, bukan oleh negara/organisasi/harokah manapun dan tanda-tanda awalnya ada di Mekkah. Banyak yang berpendapat pembaiatan iman Mahdi akan terjadi spontan di Mekkah oleh beberapa penduduk atau ulama disana dan kemudian diikuti secara cepat oleh pasukan panji hitam, lalu kelompok-kelompok islam, organisasi-organisasi islam dan mungkin saja oleh negara-negara islam. Semoga organisasi-organisasi islam tidak menyatakan diri lagi “kami masih netral” pada masa tersebut -:).

Dimana harus menempatkan pada tempatnya "khilafah ala minhajin nubuwwah" dalam pembahasan "sesuatu"?

Umat islam didalam sistem yang terpilih menang atau kalah, banyak atau sedikit, bersatulah sebagai bentuk ibadah dan tujuan perjuanganmu dalam politik maka berjuanglah dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan memperjuangkan, menggolkan, merevisi atau mengajukan undang-undang yang prosyariat sebanyak kemampuan dan semampu-mampu kesempatan yang diberikan Allah SWT itu. Bila ada pelarangan jilbab, lawan dan coba golkan pembolehan jilbab atau lebih terang-terangan lagi dengan kewajiban jilbab, antimiras versus pembolehan miras, dsb. Biarkan masyarakat melek melihat, siapa dan apa. Jangan ditunda-tunda dan jangan setengah-setengah lagi. Ormas islam dapat membantu masukan draft RUU-nya. Jangan lihat kami, lihat niat dan ibadah Anda kepada Allah SWT sesuai tempatmu berusaha keras tersebut dapat dilakukan, karena amal dari usaha tersebut milik kalian. Dibalik fitnah yang besar punya pahala amal yang besar pula. Gol atau tidaknya urusan Allah SWT. finishnya Tawakkallah.

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha perkasa, Mahabijaksana.” (Al-Anfal [8] :63)

Katakanlah: Hai hamba-hamba Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).

60. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
61. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
62. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna."
63. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
64. Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
66. Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
67. dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
68. dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
69. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
70. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.
71. Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! Qs. An Nisaa'

Imam Syihabuddin As Suhrawardi, Suatu saat datang kepada beliau pertanyaan, ”Wahai Tuanku, jika aku meninggalkan amalan maka aku selamanya tidak memiliki amalan, namun jika aku beramal maka aku terjangkit ujub, maka mana yang lebih utama?” Imam As Suhrawardi pun menuliskan jawabannya, ”Beramalah dan beristighfarlah dari ujub.” (Thabaqat Al Auliya, hal. 263)

“Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah al-jamaah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah al-jamaah (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir ).

Bentuk Jihad Modern
-http://ilalank.yu.tl/bentuk-jihad-modern.xhtml

Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam. Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar.

1. Perang
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar berperang di jalan Allah. Apabila kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela Diri, dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-mu." (Qs. An-Nisa[4]: 75)

"Di izinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu." (Qs.al-Hajj [22] : 39)

Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran, peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah, ayat 193:

"Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah: 193)

Demikian ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan dan membuat kerusakan di muka bumi.

2. Haji Mabrur
Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya:

Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah SAW : Tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : Tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.

Pada riwayat al-Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
"Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya jihad adalah haji."

3. Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam hadist riwayat at-Tirmizi:

Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.

Kata A' dzam pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.

4. Berbakti kepada orang tua
Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)

Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.
Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian Nabi SAW bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: Terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.

2528. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, aku datang untuk berbaiat kepadamu guna hijrah (berperang), dan aku telah meninggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis." Rasulullah kemudian menjawab, "Kembalilah kamu kepada keduanya dan buatlah keduanya tersenyum sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis." (Shahih)

2529. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku berjihad?" Rasulullah bertanya, "Apakah engkau memiliki kedua orang tua?" Ia menjawab, "Ya (aku punya)," Rasulullah kemudian berkata, "Berjihadlah (berbakti) kepada keduanya." (Shahih: Muttafaq 'Alaih)

2530. Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata: Seorang laki-laki dari Yaman datang kepada Rasulullah (guna meminta izin untuk berjihad), Rasulullah berkata, "Apakah di Yaman engkau memiliki seseorang (keluarga)?" Laki-laki tersebut menjawab, "Aku masih memiliki orang tua." Rasulullah bertanya, "Apakah keduanya telah mengizinkanmu (untuk jihad)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak." Rasulullah kemudian bersabda, "Kembalilah dan minta izinlah kepada keduanya. Apabila keduanya mengizinkanmu maka berjihadlah, namun apabila tidak (mengizinkanmu) maka berbuat baiklah kepada keduanya." (Shahih)

Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orangtua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia termaksud membantu pekerjaan/nafkah orang tua. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra[17] ayat 23: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".

5. Menuntut Ilmu dan Mengembangkan Pendidikan
Bentuk Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :

Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah)

Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Membantu Fakir-Miskin
Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama, menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material.

Hadis yang diriwayatkan Bukhari berikut ini menjelaskan:
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah." (HR. Bukhari)

Memberikan bantuan financial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.

Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya.

Pemahaman jihad yang baik dan berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengorbankan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamaian. Jihad, juga dapat meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat mengggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah, banyaknya bencana dan musibah yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat diperlukan. by Difan

TIGA Pertanyaan Dasar Buat Penganut Anti Demokrasi

Bismillah …
Menjelang pemilu belakangan ini seruan anti demokrasi oleh para Andemis (penganut paham anti demokrasi) lebih ramai dari biasanya. Anggapan umum yang dipahami oleh Andemis adalah sebagai berikut:

#1: “Demokrasi itu haram, sistem kufur, tidak sesuai syariat Islam, tidak diajarkan Rasulullah, saatnya kembali pada hukum Allah.”
#2: “Tinggalkan demokrasi, sistem ini terbukti gagal mengelola negara. Gagal mengakomodasi hak dan kewajiban ummat. Kembali pada syariah, tegakkan khilafah.”
#3: “Partai politik itu adalah barang najis dan parlemen sebagai septic tank-nya. Jadi tidak mungkin kita bisa menegakkan syariat Islam dengan kumpulan najis-najis di parlemen.”

Sebagai muslim memang harus menempatkan hukum Allah diatas segalanya. Namun demikian mari kita lihat kondisinya saat ini. Negara kita yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan, suku bangsa, budaya dan adat istiadat, sejak awal berdirinya itu dibangun dengan sebuah sistem demokrasi yang menurut Andemis dianggap sebagai sistem kufur / bathil.

Untuk menanggapi tiga anggapan umum di atas, di bawah ini ada TIGA pertanyaan dasar untuk Andemis.

Pertanyaan PERTAMA :
Bagaimana caranya merubah sistem yang mereka anggap kufur ini menjadi tegaknya hukum Allah?

Sayangnya sampai saat ini belum ada jawaban konkret dan teknis dari Andemis. Umumnya Andemis tidak pernah secara terbuka menyampaikan detail teknis strategi bagaimana cara merebut kekuasaan yang ada di tangan demokrasi. Apakah dengan cara menggalang revolusi, pemberontakan, kudeta atau justru melalui demokrasi itu sendiri.

Andemis hanya memberikan petunjuk untuk melaksanakan ajaran Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan cara: membina umat. Dakwah tauhid adalah sarana untuk mencapai tujuan Andemis. Kita harus setuju bahwa tauhid adalah pondasi yang menjadi doktrin utama dakwah untuk tegaknya Islam. Ibarat sebuah rumah, pondasi adalah elemen terpenting karena berimplikasi luas terhadap kekuatan bangunan diatasnya.

Namun jangan lupa, bahwa untuk membangun sebuah rumah, kita harus membangun pondasi yang kokoh, juga harus membangun dinding dan atap dari berbagai komponen yang terbaik. Jadi, pondasi, dinding sampai atap adalah satu kesatuan. Kalau memahami esensi ini, maka akal kita seharusnya berfokus pada upaya membangun sebuah rumah, yang tidak hanya berpikir membangun pondasi. Pondasi yang kuat tanpa dinding dan atap menjadi tak ada artinya karena kita tetap kehujanan dan kepanasan. Lama-lama kokohnya pondasi itupun rusak hanyut terkikis air hujan dan rapuh karena kepanasan. Memperkokoh aqidah / tauhid sebagai pondasi harus dilakukan bersama-sama dengan upaya lain dalam konteks perubahan yang kita harapkan.

Satu hal yang Andemis lupakan dalam membangun sebuah sistem adalah merenovasi rumah yang telah terbentuk itu lebih sulit daripada membuat rumah baru. Satu-satunya cara adalah merobohkan rumah kemudian membentuk rumah baru dengan desain baru mulai dari pondasi dan seterusnya. Dalam konteks perubahan sistem, cara merubah sistem ini yang kita pertanyakan bagaimana cara merobohkan sistem lama. Sayangnya tidak ada jawaban yang pasti. Sedangkan mengganti sebagian dari isi konstitusi saja dilakukan secara berdarah-darah seperti yang terjadi di Mesir. Itu hanya sebagian. Maka bisa dibayangkan bagaimana berdarah-darahnya penggantian sistem jika dilakukan pada bangsa yang heterogen seperti Indonesia?
.
MENCEGAH KEMUNGKARAN DENGAN KEKUASAAN
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “La’natullah ‘alas siyasah (laknat Allah kepada politik)”. Nabi berkata demikian karena yang menjadi persoalan adalah manakala politik yang dilaknat Allah adalah politik yang telah menjadi realitas kita di hari-hari ini, seperti politik yang alpa berlandaskan moral, yang diisi figur-figur haus kekuasaan tanpa pernah bertanya ke dalam hati untuk apa ia berkuasa; politik yang hanya menitikberatkan perjuangan kepada usaha mengejar kursi kekuasaan; politik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat untuk menegakkan kebenaran.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan: “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. [HR Al Bukhari no.7149 dan Muslim no.1733]

Allah pun juga berjanji, ”Kampung akhirat Kami sediakan buat orang-orang yang tidak haus kekuasaan (sewenang-wenang), serta tidak berbuat kejahatan di muka bumi…” [QS 28:83].

Politik yang dilaknat Allah itu akhirnya menjadikan banyak kerusakan di negeri ini, di antaranya tingginya kasus korupsi; penguasaan ekonomi oleh asing melalui tangan-tangan pribumi; maraknya pornografi dan pornoaksi; tingginya tingkat pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak; peredaran miras yang tak terbendung, sehingga menjadi pemicu angka kriminalitas, kecelakaan di jalan raya, perkelahian / tawuran massal, KDRT, bahkan pembunuhan. Juga bebasnya penyebaran aliran sesat dan munculnya nabi-nabi palsu, atau peng-khultusan yang berlebihan terhadap orang yang dianggap ‘berilmu’; dan kerusakan lainnya.

Pertanyaan KEDUA :
Bagaimana solusi Andemis mengatasi kerusakan / kemungkaran tersebut SAAT INI dalam masyarakat demokrasi?

Pertanyaan pertama saja masih belum konkret jawabannya dari Andemis, dari dulu hanya teori, sementara roda zaman terus berputar, menggilas manusia-manusia lemah, makanya “saat ini” saya tulis kapital; nah… sekarang sudah dihadapkan dengan pertanyaan kedua.

Betul, Allah melaknat politik, BILA politik itu dijalankan dengan cara-cara kotor seperti di atas. Namun demikian Rasulullah telah menyampaikan petunjuk mengatasinya. Dari riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah menyampaikan bahwa:

“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya, sekiranya tidak mampu maka dengan lidahnya, sekiranya tidak mampu lagi maka dengan hatinya. Cara demikian (dengan hati) itu adalah selemah-lemahnya iman.”

“Dengan tangannya” kerap dimaknai sebagai “dengan kekuasaannya”. Dan kekuasaan, tentu saja bersangkut akrab dengan politik. Bahkan saking perlunya kekuasaan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi, Imam Al Ghazali pernah berkata:

”Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaanlah penjaganya. Sesuatu yang tidak berpondasi akan hancur, dan segala yang tidak memiliki penjaga pasti akan musnah.”

Dengan demikian bukan berarti Nabi menabukan politik dan menjadikannya hal yang harus dihindari. Bagi orang yang berhati lurus dan amanah, politik adalah kerja melawan kekuatan anti-kemanusiaan.
.
HINDARI SIKAP GHULUW TERHADAP PILIHAN
“Ah, semua parpol sama saja, isinya koruptor, yang gak koruptor karena belum ada kesempatan saja”
“Partai dengan sedikit korupsinya itu sama saja, kalau mereka ada kesempatan pasti juga menjarah yang lebih besar”
Demikianlah obrolan para skeptis di sebuah warung kopi.

Saya meyakini bahwa sikap ghuluw (berlebihan) adalah sikap yang membentengi kita menjadi seorang yang tak bisa berbuat apa-apa. Demokrasi adalah sebuah cara yang berada pada ruang ijtihad yang bisa diukur dari dampak baik-buruknya. Andemis tahu kaidah Ahwan asy-Syarrayn, memilih mudharat yang paling kecil / ringan diantara dua mudharat. Sayangnya dengan jutaan alasan yang mereka ciptakan menolak memakai prinsip ini atas dasar keharaman dan ketiadaan pilihan.

Menuntut kesempurnaan terhadap pilihan adalah sikap ghuluw yang membuat waswas untuk memilih padahal kita semua tahu tidak ada manusia yang sempurna, juga tidak ada sistem yang sempurna. Yang ada adalah manusia dan sistem yang terus memperbaiki diri. Jika terus bersikap mencari kekurangan dan kelemahan, mereka bisa dengan mudah mencarinya pada siapapun calon kita.

Lebih parah lagi Andemis melakukan kampanye pada umat Islam untuk meninggalkan demokrasi di saat negeri ini berada dalam keterpurukan. Ini sungguh sikap yang tidak bijak dan dangkal. Andemis tidak berpikir sejauh mana dampak demokrasi jika umat Islam meninggalkan satu-satunya cara ini. Siapa nanti yang berkuasa?

Padahal diluar sana serigala sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) bahkan pikiran negatif yang lebih berbahaya akan dengan senang hati mengambil kesempatan ini dan mereka meraih suara terbanyak. Mereka akan menguasai Indonesia. Umat Islam akan terpinggirkan kembali karena tidak mempunyai perwakilan di pemerintahan.

Andem: “Tinggalkan demokrasi, sudah terbukti sistem ini gagal mengelola negara. Gagal mengakomodasi hak dan kewajiban ummat.”

Prodem: “Lho, jika ditinggalkan, bagaimana ceritanya hak dan kewajiban ummat bisa ditegakkan? Sementara pengelolaan negara diserahkan sepenuhnya pada mereka?”

Demokrasi memang bukan dari Islam. Namun ada banyak prinsip demokrasi yang sejalan dengan Islam, kita buang bila ada yang tidak sejalan. Memperdebatkan demokrasi itu butuh waktu yang sangat panjang. Padahal “pertempuran pemilu” sudah sangat dekat di depan mata. Para parpol sekuler dan teman-temannya telah siap untuk menguasai Indonesia. Apakah kita memilih terus berdebat dan tidak ikut pemilu, lantas membiarkan Indonesia dikuasai terus oleh orang-orang yang tidak berpihak pada dakwah dan nilai-nilai Islam? Kapan nilai-nilai Islam bisa tegak jika pemerintahan masih dikuasai oleh kalangan sekuler dan teman-temannya?

Apakah orang-orang sekuler yang menguasai pemerintahan mau ikut serta berjuang menegakkan nilai-nilai Islam di Indonesia? MUSTAHIL!

Justru, mereka akan membuat banyak kebijakan yang merugikan umat Islam. Satu-per-satu aset dan sumber daya alam Indonesia lepas ke tangan asing atas nama kebijakan. Sistem pengelolaan pemerintahan yang lemah membuka peluang korupsi yang lahir atas nama kebijakan. Pulau-pulau memerdekakan diri atas nama kebijakan. Tumbuh suburnya kaum homoseksual dan disahkannya pernikahan sejenis juga lahir dari sebuah kebijakan. Diterbitkan UU ormas versi anti Islam, bank syariah dilarang, miras, prostitusi dan judi dilegalkan, jaminan produk halal versi bukan Islam yang semuanya itu atas nama kebijakan. Produk hukum substansinya jauh dari nilai-nilai Islam.

Kalau itu terjadi, umat Islam yang mundur dari demokrasi dan berada di luar parlemen bisa apa?
Bagaimana cara kita bisa bilang tidak sepakat pada kegilaan badut-badut politik di parlemen?
Dengan cara demo? Kudeta?
Yang jelas medan dakwah makin berat kalau kondisinya seperti itu.
Apakah mau tiap hari kita demo menolak UU legalisasi miras, judi, prostitusi, pornografi?
Apakah mau tiap hari kita berhadapan dengan aparat?
Karena dikondisikan mengganggu ketertiban umum dan dianggap merongrong kewibawaan pemerintah, apa mau Islam kemudian menjadi musuh negara?
Lha… kenapa akhirnya justru Islam yang harus diposisikan menjadi musuh negara?

Perdebatan soal boleh tidaknya umat Islam berdemokrasi, ya sudahlah, memang banyak ulama yang mengharamkannya, NAMUN yang memperbolehkannya juga banyak. Yang awalnya mengharamkannya pun akhirnya banyak yang memperbolehkannya. Jika Anda mengaku peduli pada tegaknya nilai-nilai Islam, saya kira hanya butuh LOGIKA SEDERHANA untuk memahami hal ini. Allah lebih tahu mana yang lebih mulia, berdiam diri dan meninggalkan arena; atau bertempur di arena parlemen untuk menegakkan nilai-nilai Islam di muka bumi ini. Pilihan sikap Anda akan dipertanggung-jawabkan kelak di depan Allah.

Sungguh mengerikan, apa yang akan kita jawab di hadapan Allah ketika ditanya, kenapa hukum-hukum yang bukan hukum Allah dibiarkan diproduksi di parlemen?

Mendiamkan hukum negeri ini diputuskan oleh orang-orang yang tidak berpihak pada Islam itu hal yang mengerikan. Di medan perang, rudal menjadi senjatanya. Di medan pertarungan parlemen, argumen, kata-kata, fakta-fakta dan data-data menjadi senjata. Oleh karena itu, umat Islam yang amanah dan lurus harus menguasai parlemen.
.
DEMOKRASI ADALAH WASILAH UNTUK MEMAKSIMALKAN KEBAIKAN
Kita yang permisif dengan keadaan ini tentu menerima sistem demokrasi karena memang sekarang tak ada jalan lain. Kita cuma bisa melakukan penguatan demokrasi melalui peran serta dalam demokrasi yang terlanjur jadi pilihan bangsa. Demokrasi adalah alternatif wasilah untuk memaksimalkan kebaikan dan meminimalkan keburukan dengan realitas yang kita hadapi sekarang.

Pertanyaan KETIGA :
Bagaimana cara memaksimalkan kebaikan melalui sikap anti demokrasi? atau Bagaimana bisa menjadi agen perubahan melalui sikap anti demokrasi?
Berikan saya jawaban yang sifatnya teknis dan applicable.

Saya yakin sampai saat ini bahwa sikap ke-anti demokrasi-an tidak mengubah apapun, tapi jika ikut terlibat masuk dalam sistem, tentu bisa membenahi, meski baru sebagian. Saya coba paparkan beberapa contoh nyata di bawah ini:

Contoh 1 :
Ingat sejarah bagaimana berdarah-darahnya perjuangan untuk menghasilkan UU Perkawinan. Pada tanggal 16 Agustus 1973 pemerintah RI mengajukan RUU Perkawinan. Sebulan sebelum diajukannya RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam yang menilai bahwa RUU tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan RUU tersebut membuka peluang untuk mengkristenkan Indonesia. Di lembaga legislatif, Fraksi PP (PPP) adalah fraksi yang paling keras menentang RUU. Perjuangan berhasil, kemudian lahirlah UU Perkawinan seperti sekarang ini. Bayangkan kalau umat Islam saat itu berada di luar parlemen.

Kita bisa saja bilang bahwa kalau Andemis menikah, maka itu sama dengan menikmati produk septic tank. Sadar gak itu? Bukankah semua produk demokrasi itu dianggap najis oleh para Andemis.

Contoh 2 :
“Munculnya RUU ormas, yang isinya mau memberangus ormas Islam”. 100% Andemis tidak bisa menggagalkannya. Namun justru PKS lah yang duduk di parlemen yang bisa menggagalkannya. PKS bertarung di parlemen agar hukum Islam tetap tegak, dan ormas-ormas Islam bisa berdakwah dengan tenang saat asas tunggal (Pancasila) dibatalkan. Sejumlah poin telah ditolak PKS dalam RUU Ormas misalnya soal keharusan menggunakan azas Pancasila bagi seluruh ormas di Indonesia. Baca The Globe Journal.

Aneh rasanya bila ada ormas Islam yang kemudian bersikap seolah-olah menghabisi / menggembosi perjuangan saudaranya di parlemen, padahal eksistensinya di bumi Indonesia diperjuangkan saudaranya di parlemen karena cintanya.

Contoh 3 :
“Kasus pembangunan RS Siloam dan Lippo Superblock di Sumatera Barat”. Andemis tidak bisa menggagalkannya. Suara PKS yang minoritas di DPRD Sumbar awalnya gagal, namun akhirnya berhasil menggagalkannya. Baca Sindo News.

Jadi kalau ada Andemis nyinyir terhadap seorang tokoh publik, misalnya gubernur Ahmad Heryawan (Aher), menurut saya tidak relevan dengan 0 persen kontribusi Andemis. Aher sudah membangun ribuan ruang kelas, membuat jalan-jalan di Jabar mulus, dan seterusnya, sesuatu yang pasti Andemis tidak lakukan. Ke-andem-an tidak bisa mengubah tata kota, tapi merebut posisi kepala daerah melalui jalur demokrasi bisa mengubah tata kota.

Melihat posisi kita masing-masing berdasarkan beberapa contoh di atas, maka berlaku hukum:

Hukum Pertama: “Apa yang belum bisa kami mengubahnya, dipastikan Andemis juga tidak bisa mengubahnya”.
Hukum Kedua: “Apa yang kami bisa lakukan, biasanya Andemis tidak lakukan”.

Sikap anti demokrasi terbukti tidak mampu merubah apapun. Lha wong nonton dan berkomentar saja, apa yang mau diubah. Bila mampu berlaga di lapangan kenapa harus memilih menjadi penonton?

Saya bingung dengan logika Andemis ketika memprotes sesuatu yang mereka sendiri juga tidak berdaya mengubahnya.

Apa yang bisa dilakukan dengan sikap andem dan golput? Nothing. They just barking. Selalu mengutuk kegelapan. Mereka berharap munculnya orang dan keadaan ideal dengan instan.

Tidak satupun butir syariah yang berhasil ditegakkan siapapun yang mengaku Andemis dalam UU negara ini. Saya katakan 0 persen bagian Islam yang sudah berhasil dimasukkan Andemis dalam aturan negeri ini. Sedangkan Pak Yusril Ihza Mahendra dengan kewenangannya dulu sebagai menteri, telah menggulirkan 100 lebih aturan yang diambil dari hukum Islam. Juga wakil-wakil kita dari fraksi PKS dan partai berbasis Islam lainnya (PBB dan PPP) berhasil menggawangi lahirnya berbagai produk hukum yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Apa Andemis tidak tahu atau pura-pura diam saja? Mendiamkan dan memimpikan kemenangan Islam adalah utopis.

Benar, Undang-Undang di negeri ini dibuat manusia. Tapi jika lebih banyak manusia shalih dan taat yang menyusunnya, bukankah akan seiring sejalan dengan syariat?

Benar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah hukum terbaik. Lalu apakah Al-Qur’an dan Sunnah punya kaki tangan untuk menjelmakannya dalam kehidupan? Bukankah hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah itu harus diperjuangkan?
.
MENJEGAL LANGKAH PERJUANGAN MENUJU PARLEMEN
Andem: “Ya, kita berjuang bersama saja. Apa gak kapok? Ummat Islam sejak pemilu pertama di Indonesia sampai saat ini selalu gagal menegakkan hak dan kewajiban ummat melalui parlemen.”

Prodem: “Sungguh aneh … Saudara ingin kami membuktikan keberhasilan perjuangan kami di parlemen. Sementara saudara justru menjegal langkah kami dan turut andil memperkecil suara kami di parlemen.”

Andem: “Kami bukan menjegal, kami hanya ingin membuka mata. Menegakkan syariat itu tak bisa dilaksanakan jika sistemnya kufur. Sudah terbukti adanya umat muslim di parlemen sejak dulu, tapi syariat tetap tidak tegak sepenuhnya.”

Prodem: “Coba Anda baca sejarah. Pernahkah perwakilan dari partai berbasis Islam mendominasi parlemen? Jika tidak pernah, dan memang belum pernah, bagaimana Anda memvonis bahwa perjuangan di parlemen itu pasti gagal? Sementara tidak pernah satu kali pun perwakilan partai yang berbasis Islam menjadi mayoritas dalam parlemen negeri ini.

Bagaimana Anda, para aktivis dakwah, akan menerapkan syariat untuk kemaslahatan umat, sementara Anda malah menjegal orang-orang yang berjuang atasnya?
Bagaimana Anda menerapkan syariat dan melegalkan syariat dalam undang-undang, sementara Anda meninggalkan medan pertempuran sesungguhnya?

Kami menggunakan demokrasi, untuk menebar sebanyak-banyaknya kebaikan dan menciptakan sebanyak-banyaknya kemaslahatan bagi umat.

Kami menggunakan demokrasi, agar yang benar menurut syariat dilegalkan pelaksanaannya dalam undang-undang negeri ini. Pun sebaliknya. Kami menggunakan demokrasi, agar apa yang dipandang buruk oleh syariat, dipandang buruk secara legal dalam undang-undang. Produk-produk undang-undang yang sejalan dengan syariat telah banyak dihasilkan. Jangan dikira tidak ada pertempuran disana.

Saya kadang-kadang gagal paham, kenapa umat Islam yang Andemis itu biasanya sangat kritis terhadap umat Islam yang melibatkan diri pada demokrasi. Tapi ketika yang menguasai pemerintahan adalah dari kalangan sekuler, mereka seperti kehilangan sikap kritis. Aneh, bukan?!

Jika mengajak umat Islam aktif memberikan kontribusi kepada negeri dengan cermat menggunakan hak suara dan memilih cerdas di Pemilu, itu dituduh sebagai jualan agama. Lantas fungsi agama untuk apa? Apakah hanya cukup yasinan dan shalawatan atau celana cingkrang dan janggut panjang atau mengibarkan bendera Laa Ilaaha Illallah saja?

Jika mengajak umat Islam untuk sadar dan bangkit melawan penindasan kaum minoritas melalui budaya-ekonomi-sosial-politik- dianggap provokator dan teror atas nama agama. Lalu fungsi ajaran agama sebagai amar makruf nahi munkar dibuang kemana?

Sebagai umat Islam di Indonesia, kita terus menerus dinina-bobokan dengan jurus-jurus mabuk Andemis. Saat mabuk itulah kita tidak peduli ada banyak masjid dirobohkan, nyawa muslim dibunuhi, parlemen-presiden-birokrasi dikuasai para penjahat, semua segmen bisnis dikuasai minoritas. Kita bangga hanya menjadi pegawai rendahan di tempat – tempat yang seharusnya kita lah yang mengelola dan memakmurkannya. Lantas relakah agama Islam yang tersisa dari diri kita hanya berupa kain sarung, baju koko, peci, yang kemudian tanpa sadar semuanya bukan made in Muslim tapi made in Non Muslim. Bahkan relakah kita jika Al-Qur’an kitab suci yang kita baca tiap hari adalah Al-Qur’an yang dicetak bukan oleh perusahaan Muslim? Mengapa kalau seorang Kiai-Ustadz-Ulama melarang Golput disebut jualan agama?

Padahal di luar sana, umat non muslim justru dihimbau oleh pemuka agama mereka untuk tidak golput! Baca Seruan Ketua PGI. Sementara orang-orang sekuler pun ramai-ramai mendukung parpol sekuler.

Bahkan, sekarang ini ada muncul dorongan pada umat Islam sendiri untuk membenci parpol berbasis Islam, membuat opini agar mereka memutuskan untuk golput. Coba baca tulisan berikut: “Mengerikan, Pemilu 2014 Jadi Ajang Pembantaian Umat Islam”

Bisa Anda bayangkan wajah umat Islam di Indonesia pasca Pemilu 2014. Wajah-wajah memelas dan terpinggirkan. Mau seperti itu?!

Masih mau terus memecah belah sesama umat Islam sendiri, sementara “mereka” justru sedang membangun kekuatan untuk bersatu dan meminggirkan peran umat Islam?

Jika Anda peduli dengan tegaknya nilai-nilai Islam di bumi pertiwi ini, mari gunakan hak pilih Anda dengan baik pada pemilu 2014 nanti.

Mari tanamkan selalu rasa optimis dalam medan demokrasi ini. Jangan berburuk sangka. Masih ada orang-orang baik yang mau berjuang untuk kebaikan. Maka tugas kita adalah: menjadi orang baik, berkumpul dengan orang-orang shalih, menyiapkan pemimpin shalih dan amanah dalam dakwah. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus kita rebut dan menangkan untuk menebar kebaikan dan menciptakan kemaslahatan yang lebih besar. Dan merebut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidak bisa dilakukan dengan sikap anti demokrasi dan golput.
Mari kita Say No to Golput!

Salam hangat tetap semangat,
06.04.2014

Selain itu persiapkan generasi muda (anak-anak) Anda, karena kita tidak tahu apa yang akan berlangsung di depan hari kemudian, kan bisa saja dan siapa tahu merekalah generasi yang berhadapan langsung dengan Dajjal dan huruhara dunia, kalaupun tidak, maka jadikan generasi muda adalah pijakan kokoh bagi kehidupan dan kebangkitan islam. juga makin maksimalkanlah dakwah kepada militer dan peradilan, kuatkan pondasi iman dan takwa mereka, sebab dipundak merekalah kokohnya hukum dan peradilan yang amanah atau ada wajib militer beberapa masa buat lulusan pesantren, kan bagus tuh bisa menularkan amanah dan bisa menjadi penopang yang bagus terhadap kedaulatan hukum yang beramanah, tapi sih dakwah mah udah keharusan disegala bidang yang bisa dan semampu-mampu kekuatan dan kesempatan yang diberi Allah padamu, dsb.

Bila ada kerjaan yang butuh dua tangan namun ternyata tangan yang satu lumpuh maka kerja tangan yang lainnya tidak akan maksimal dan mungkin saja tidak bisa kelar, masih mendingan seperti itu namun bagaimana bila tangan yang lumpuh menyebabkan tangan yang lain ikut lumpuh pula.

2535. Dari Ibnu Zughb Al Iyadi, ia berkata: Abdullah bin Hawwalah Al Azdi datang kepadaku dan berkata, "Rasulullah SAW mengutus kami untuk mencari ghanimah dengan usaha kami sendiri, kemudian kami kembali dan tidak mendapatkan ghanimah sama sekali. Rasulullah mengetahui jerih payah pada wajah kami, maka beliau berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda, "Ya Allah! jangan bebankan mereka kepadaku sehingga aku menjadi lemah, jangan bebankan mereka terhadap diri mereka sehingga mereka menjadi lemah, serta jangan bebankan mereka kepada orang lain sehingga mereka mementingkan diri mereka sendiri." Setelah itu Rasulullah meletakkan tangan beliau di kepalaku kemudian bersabda, "Wahai Ibnu Hawalah! Jika kamu melihat kepemimpinan telah berada di tanah suci, maka gempa, cobaan, serta permasalahan besar telah dekat. Hari Kiamat pada waktu itu lebih dekat dengan manusia daripada kedekatan tanganku ini dengan kepalamu. " (Shahih)

Ulama, Politik dan Nahi Munkar
Oleh: Kholili Hasib

Ulama, bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga (hafidz) dan menempatkan sesuatu pada tempatnya (‘adil). Karena itu, aktifitasnya bisa terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, politik, budaya dan bidang-bidang fardhu kifayah lainnya.

Amanah, salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak. Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin mudah menyebar.

Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Masyarakat akan rusak, jika meninggalkan nahi munkar, rusak peradabannya, menjadi peradaban badlawah (primitif), tidak beretika dan beradab. Lebih ironis lagi jika diucapkan oleh seorang yang disebut ulama. Maka kata imam al-Ghazali kerusakan masyarakat dikarenakan rusaknya ulama.

Imam Ibnu Hajar meriwayatkan sebuah hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim). Biasanya, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya.

Kewajiban nahi munkar dibebankan kepada ulama yang menyertai politik atau di luar politik. Allah berfirman:  “Hendaklah di antar kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan Merekalah termasuk orang-orang yang beruntung.”  (QS. Ali Imran: 104). Ulama yang berpolitik tantangan dan tanggung jawab yang dipikulnya lebih besar. Ia harus menjadi ‘alat’ agama. Bukan menjadi ‘alat’ penguasa.

Maksud amanah adalah ulama itu merupakan seorang ‘pekerja’ Nabi, bukan ‘pekerja’ penguasa. Ulama berperan sebagai alat menyebar kepentingan Islam dan kaum Muslimin, memberi keadilan, dan menjaga kesejahteraan ruhani.

Sedangkan ulama non-politik harus menjadi rujukan dan diminta pandangannya tentang kepentingan agama dan bangsa. Menunjukkan kewibawaan ilmunya. Bukan tunduk kepada penguasa.

Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Ketika, penguasa menghambat kepentingan kaum Muslimin, ulama haram untuk berdiam diri. Wacana terbaru misalnya, isu tentang penghambatan/penghapusan peraturan syariah Islam oleh kaum minoritas. Ketika minoritas otoriter, dikhawatirkan memecah kesatuan NKRI.

Justru sangat wajar jika mayoritas memiliki kendali kuasa mempraktikkan syariah. Harusnya, yang minoritas menghormati, yakni menghormati atas hak-hak mayoritas memegang kendali. Sedangkan mayoritas melindungi kebebasan berkeyakinannya kaum minoritas. Inilah keadilan, bukan kesema-menaan.

Otoriteriarisme kaum sekuler-liberal tidaklah cukup dinasihati, tapi harus dihambat gerak lajunya. Karena ideologi sekular-liberal merupakan bentuk kemungkaran akidah yang wajib dicegah.

Persoalan besar yang kini dihadapi kaum Muslimin adalah, objektifitas ulama ketika berada dalam kendaran politik. Ulama dalam pusaran politik praktis, jika tidak berhati-hati akan mempolitikkan ilmu dan agama.

Pandangan agamanya akan dipengaruhi oleh ideologi politiknya. Isu anti penerapan syariah tidak begitu serius ditanggapi oleh ulama di barisan pencegah syariah. Justru senantiasa mencari kesalahan musuh politiknya, bukan memberantas musuh agamanya.

Para ulama, harusnya mengingat lekat perkatan Ibnu Hajar, bahwa siapa saja yang diam ketika kemungkaran meluas, maka laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya akan melaknat dia (Imam Ibnu Hajar, al-Shawaiq al-Muhriqah,10).

Belum lama ini, ulama dari Bandung, KH. Athian Ali, mengingatkan, jika ada ulama yang mendukung penolakan hukum Islam, maka kemungkinan mata hatinya sudah gelap dan hubbuddunya (cinta dunia).

Pemimpin agama yang hubbuddunya merupakan pemimpin yang fasik. Menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi – kedudukan (jaah), harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan – demi kepentingan sesaat.

Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan, mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena menginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.

Patutlah para ulama kini melaksanakan nasihat Syaikh Hasyim Asyari dalam salah satu kitabnya:  “Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (al-Tibyan, hal. 33).

Beliau mendorong keras kepada para ulama untuk bersama-sama membela akidah Islam. Tidak fanatik buta serta menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan akidah Islam.*

Penulis adalah peneliti InPAS
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar

Menyatukan Dua Ijtihad Berbeda dalam Satu Visi dan Misi
Masalah intern umat memang harus saling membenahi, tapi kalo urusan negara, kita mesti bersatu, ayo kita belakangkan dulu perbedaan antar kita yang nantinya bisa memecah bela kita, padahal kita BISA SATU dalam TALI AGAMA ALLAH.....!

Sahabatku...jika kita melihatnya sebagai perebutan kursi, jabatan atau kedudukan, tentulah kita sangat kecewa maka mari kita lihat kedalam lagi, partai adalah media dalam perjuangan. Islam harus menjadi rahmat bagi semesta alam, bagi manusia dan alam sekitarnya, termasuk dengan partai politik. Islam harus ada dimana-mana, harus bersuara untuk kepentingan umat dan da'wah, jika apa yang kita sangka jelek, belum tentu menjadi jelek, setelah mereka bertemu, berikrar...lalu berpencarlah...tebarkan kedamaian dan kebaikan...suarakan suara umat...berdo'alah semoga apa yang mereka lakukan bukan karna kursi, jabatan atau kedudukan tapi karena da'wah, karena kepentingan umat.

Terdapat dalil tentang keabsahan berbeda pendapat dalam bagian furu’iyyah, Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:  “Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: ”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: ”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.

Ibnu Hajar Al-’Asqalani radhiyallahu anhu (dalam Al-Fath) setelah menerangkan sebagian isi hadits ini mengatakan: “Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memperdulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir “Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ashar pada hari perang Khandak setelah matahari terbenam kemudian setelah itu beliau shalat maghrib.” (HR. Bukhari & Muslim)

… Yang lain memahaminya sebagai bermakna kiasan “untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah”.

Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut. ”Ibnul Qayyim radhiyallahu anhu mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131): “Ahli fiqih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.

Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya…..

Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sedangkan yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga menerima pahala.” Wallahu a’lam.

Coba perhatikan nasehat yang bagus dari Ibnu Taimiyah berikut ini, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)

Kembali Ibnu Taimiyah melanjutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya, “Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.” Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat ‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar.

Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)

Juga coba renungkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya, “Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Idem, 10: 17).

“Kami ingat kata Ibnu Taimiyah: Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dari yang buruk. Akan tetapi, orang yang cerdas adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan.”

Sebagai penguat dari pendapatnya, pemimpin redaksi web muslim.or.id ini menukil sya’ir yang pernah dilantunkan Ibnu Taimiyah: “Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.”

Memang, kondisinya sekarang sudah darurat dan bahaya, dan ancaman sangat nyata dari kafir musyrikin.

Dalam kajian Maqashid Syariah kita mengenal istilah “Adh-Dharuriyyat al Khams” (lima perkata darurat), yaitu Agama, Akal, Jiwa, Keturunan dan Harta. Kelima perkara ini senantiasa dijaga oleh Syariat, karena ia bersifat primer, sangat penting dan darurat untuk keberlangsungan hidup manusia di dunia dan kesuksesan mereka di akhirat. Sehingga, manakala kelima perkara ini, atau salah satunya dalam kondisi terancam, situasi itu dapat dinyatakan sebagai “situasi darurat”. Dan dalam kaidah fikih dikatakan, “Adh-Dharuratu tubiihu al Mahdzuraat” (Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang).

Dalam konteks politik di negeri ini, secara faktual, pemimpin dipilih melalui mekanisme politik yang mengacu kepada sistem demokrasi. Kita pun mengetahui bahwa demokrasi bukan dari Islam, bertentangan dengan syariat, dan bahkan, asas-asasnya mengandung kekufuran. Namun, berpartisipasi dalam sistem ini tidak menjadi haram secara mutlak. Dalam situasi darurat, perbuatan itu dapat dilegalkan.

Memiliki pemimpin kafir atau sosok yang anti Islam tentu sebuah madhorot yang mengancam eksistensi  “lima perkara darurat diatas”. Betapa banyak negeri Islam yang berubah menjadi negeri kafir karena sebab penguasa atau pemimpin yang kafir, seperti Spanyol, Iran dan lain-lain. Betapa banyak juga kaum muslimin yang kehilangan nyawa dan harta mereka gara-gara dipimpin oleh orang kafir, seperti yang terjadi di Suria, Burma dan lain-lain.

Dari sisi agama sangat jelas. Pemimpin kafir atau anti Islam akan menghalangi manusia dari jalan Allah, membatasi ruang gerak pada dai untuk berdakwah, membiarkan kebatilan menyebar dimana-mana, bahkan bisa jadi sampai taraf membantai ahli Islam.

Maka, memilih untuk berpartisipasi dalam produk demokrasi seperti pemilu atau pilpres, bukan sikap seorang yang bermental tempe, ABG atau kabayan, bukan pula sikap takut kepada selain Allah. Sangat keji tuduhan-tuduhan seperti itu padahal memilih sikap untuk berpartisipasi pun didukung oleh fatwa banyak para ulama, baik secara personal atau kolektif. Memilih berpartisipasi justru menunjukkan sikap waspada, berorientasi mulia dan beritikad menunaikan wasiat Syariat untuk mengupayakan Ishlah (perbaikan) dan taghyiir al munkar (merubah kemungkaran) sesuai dengan kemampuan.

Dan satu hal yang harus difahami, bahwa perbaikan membutuhkan proses dan merubah kemungkaran tidak berarti melenyapkan kemungkaran secara sempurna, namun juga bermakna mengurangi kemungkaran dan potensi bahaya yang mengancam. Sikap memilih untuk berpartisipasi juga dalam rangka mengamalkan firman Allah, “Fattaqullaha mash tatho’tum” (Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan).

Berbicara tentang demokrasi, setidaknya dapat kita tilik dari dua sisi. Yang pertama, adalah berbicara tentang demokrasi dari sisi konsep dan asas demokrasi, serta apa yang menjadi pandangan dan keyakinan kita terhadapnya. Dan ini jelas, sebagaimana yang telah diutarakan di atas.

Yang kedua, berbicara tentang demokrasi dari sisi sikap dan respon kita terhadap sistem tersebut, yang secara faktual, tidak ada sistem politik yang lain di negeri ini. Sikap atau respon terhadap sesuatu, tentu tidak hanya ditentukan oleh variable tunggal; yaitu keyakinan. Sikap atau respon, selain ditentukan oleh keyakinan, juga dipengaruhi oleh variable-variable yang lain, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupi saat kita harus mengambil sikap dan menentukan respon.

Maka terkadang, hal yang kita yakini buruk, bisa jadi kita lakukan. Dan sebaliknya, hal yang kita pandang baik, bisa jadi kita tinggalkan. Kapan kita memilih yang buruk? dan kapan kita ternyata meninggalkan yang baik? Nah, inilah kemudian yang menjadi dasar kemunculan konsep Syariat, “Jalbul Mashalih wa Taktsiiruhaa wa Dar`ul Mafasid wa Taqliiluhaa” (Mendatangkan maslahat dan memperbanyaknya, serta mencegah bahaya dan menguranginya). Ya, pertimbangan-pertimbangan maslahat dan mafsadah inilah jawabannya.

Kita bisa saja melakukan sesuatu yang buruk, untuk meraih kemaslahatan yang besar, atau untuk mencegah keburukan yang lebih parah. Sebagaimana kita juga terkadang meninggalkan yang baik, untuk meraih kebaikan yang lebih besar, atau untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Sehingga dalam Syariat juga terdapat kaidah, “Tarkul waajib limaa huwa aujab” (Meninggalkan yang wajib untuk meraih yang lebih wajib), “Irtikaabu akhaffu adh-dhararain” (memilih kemadaratan teringan), atau “Irtikaabu al mafsadatish shughraa li daf’il mafsadatil kubraa” (memilih kemadaratan yang kecil untuk mencegah kemadaratan yang besar).

Begitu pun halnya dalam sikap dan respon kita terhadap demokrasi, walaupun kita menganggap demokrasi adalah keburukan, namun tidak selalu berarti sikap yang kita pilih adalah meninggalkannya secara mutlak. Jika ia sejalan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah syariat diatas, ia bisa menjadi legal. Jika tidak, maka ia haram sebagaimana asalnya.

Nilai dan kaidah yang saya sampaikan diatas bukan berdasar pada akal-akalan semata. Terdapat banyak dalil dari Al Qur`an dan Sunnah yang mengafirmasi legalitas kaidah diatas. Diantaranya:

Pertama: Kisah Ammar bin Yasir yang mengatakan kata-kata kufur karena jiwanya teracam. Saat hal ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada Ammar, “Bagaimana keadaan hatimu?” “Tenang dalam keimanan”, Jawab Ammar. Beliau kemudian berkata, “Jika mereka kembali melakukan hal itu, maka ulangilah perbuatanmu itu.” Kejadian ini menjadi sebab turunnya firman Allah (yang artinya),

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (An Nahl: 106)

Kedua: Firman Allah tentang mencela sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik (yang artinya), “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al An’aam: 108)

Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman mencela sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik, walaupun padanya ada kemaslahatan, namun hal itu akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar darinya, yaitu balasan orang-orang musyrik dengan mencela sesembahan orang-orang beriman, yaitu Allah, tidak ada sesembahan yang hak disembah selain Dia.”

Ketiga: Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang meminta jabatan kepada Raja Mesir. Allah berfirman menghikayatkan tentang Yusuf,

“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (Yusuf: 55)

Menjadi bagian dari pemerintahan seorang raja kafir tentu saja mengandung keburukan, namun ketika ada kemaslahatan yang diharapkan dengan melakukannya, Nabi Yusuf pun melakukan hal itu, yaitu agar ia bisa mewujudkan keadilan dalam mengelola hasil-hasil bumi selama tujuh tahun masa paceklik.

“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)

Raja mesir pada kisah nabi Yusuf as, kita dapat memaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)

Dari Abu Dzarr RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Dzarr, engkau itu orang yang lemah, kepemimpinan itu amanat Allah yang kelak di hari Kiamat membawa kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan pantas dan menunaikan dengan baik. (HR. Muslim)

Ancaman neraka bagi yang memilih pemimpin karena : Pertemanan, Suka dan Tidak Suka, dan Dunia. Rasulullah Saw bersabda : Siapa yang mengurusi urusan Kaum Muslimin, kemudian mengangkat Pemimpin atas mereka karena Kekeluargaan atau Pertemanan, Kepentingan atasnya, maka laknat Allah, tidak diterima darinya taubat dan tebusan sampai memasukkannya ke neraka. (HR Ahmad : 21).
*Mendahulukan kepentingan agama.

Keempat: Rasulullah menyarankan para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah, karena di Mekah intimidasi kaum musyrikin Quraisy semakin menjadi-jadi. Negeri Habasyah adalah negeri kafir, tentu sesuatu yang madorot menetap di negeri kafir, namun manakala menetap di sana lebih baik daripada tinggal di kota Mekah, hal itu menjadi pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima: Perjanjian Hudaibiyyah. Pada saat Rasulullah bersama kaum muslimin hendak menuju Mekah untuk melaksanakan Umrah, mereka dihadang oleh orang-orang Quraisy. Pada saat ini lah kemudian terjadi perjanjian antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrik. Saat akan dituliskan poin-poin perjanjian, delegasi orang Quraisy sempat menolak lafadz Ar-rahman dan Ar-rahiim, dua nama Allah. Begitu juga menolak lafadz “rasulullah” setelah nama Muhammad. Belum lagi poin-poin perjanjian itu secara lahir merendahkan kaum muslimin. Sehingga Umar sempat berkata, “Limaa nardhaa bid daniyyah?” mengapa kita rela dengan kerendahan?”

Mengapa semua itu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal nampak secara lahir semua itu adalah keburukan? Lagi-lagi pertimbangannya adalah maslahat dan madhorot. Beliau ingin perjanjian itu terwujud, agar beliau dan kaum muslimin memiliki keluasaan untuk berdakwah tanpa ada gangguan dari orang-orang musyrik.

Keenam: ketika telah jelas bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hakikat sebagian orang-orang munafik dan keharusannya untuk dibunuh secara hukum syariat, beliau tidak melakukannya dan beralasan, “Agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.” (HR Bukhari)

Beliau tidak membunuhnya dalam rangka mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan ahli Islam, juga dalam rangka mencegah datangnya keburukan yang lebih besar yang dapat timbul dari keburukan yang ditimbulkan dari tidak membunuhnya.

Hal itu karena jika orang-orang berbicara dengan pembicaraan seperti itu (Muhammad telah membunuh sahabatnya) dan berita tersebut menyebar, sementara sebabnya tidak mereka ketahui, maka yang demikian akan menjadi perkara yang dapat menjauhkan orang-orang musyrik dari masuk kepada agama ini. Karena pendengaran mereka telah dijejali dengan pembicaraan seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa selamat dari pembunuhan dengan masuk Islam itu tidak benar. Maka mereka lari dari agama ini dan menjauh sejauh-jauhnya. Sumber: http://sabilulilmi.wordpress.com

Suasana yang begitu hangat menjelang Pemilu mempengaruhi semangat orang untuk membicarakan tentang memilih siapa?, apa pertimbangannya?, apa positifnya fulan?, dan apa negatifnya?. Keadaan inilah yang kemudian membuat “publik figur” yang ada didalam sebuah komunitas, baik lingkup kecil maupun lingkup besar menjadi sangat didengar kata-katanya, diperhatikan sikapnya dan ditunggu kesimpulannya.

Cinta, benci, harapan, putus asa, kedekatan, simpati, antipati, empati dan ambisi merupakan sikap-sikap jiwa yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang dalam memilih dan menolak untuk menggunakan hak pilihnya.

Ada kenyataannya memilih dan tidak memilih bagi orang yang memilki hak suara sama-sama berpengaruh, karena suara itu tetap dihitung sebagai suara kosong dan hitungannya bisa mempengaruhi timbangan dalam proses pemilu itu.

Bisa jadi suara golput itu lebih kuat pengaruhnya daripada suara yang dimiliki oleh sebuah partai gurem, keduanya sama-sama tidak berhak masuk ke Gedung Dewan, namun akumulasi suara golput justru lebih berpengaruh dalam menyebabkan kalahnya partai yang satu visi dan misi dengan suara para pemilih golput itu.

Jika kita analisa, kita dapati bahwa jumlah Muslimin di negeri ini tidak kurang dari dua ratus juta orang, orang dewasa mereka lebih dari setengahnya, jumlah pemilih dalam pemilu kemarin 186.569.233 dan suara yang sah 124.972.491. Artinya suara golput persisnya adalah  61.596.742. Perlu diperhatikan bahwa dari angka itu tidak kurang dari lima puluh jutanya adalah suara Muslimin yang golput, betapa besarnya jumlah ini!... Dan betapa senangnya orang-orang yang benci kepada Islam dan Muslimin melihat rendahnya kesadaran Muslimin untuk menggunakan suara mereka yang begitu besar!.

Sementara kita melihat dan menyaksikan bahwa umumnya para pemilih adalah orang “awam” yang mudah dipengaruhi oleh orang lain, terutama oleh “publik figur”. Alangkah salahnya seorang “publik figur Muslim” yang tidak mau menggunakan kekuatan pengaruhnya dalam mengarahkan orang-orang yang menghormatinya, mendengar pendapatnya dan mengikuti pilihannya untuk mengambil sikap dan memilih calon yang paling besar manfaatnya dan yang paling ringan akibat buruknya.

Perhatian dan usaha kita dalam hal ini bukan karena kita membenarkan dan menerima “Demokrasi” atau menyetujuinya, tapi semata-mata karena keberadaan kita ditengah sebuah masyarakat dengan situasi dan kondisi mereka yang sulit untuk dihindari, sementara kita tertuntut untuk membela kepentingan Islam dan Muslimin yang pada saat ini terus menerus berhadapan dengan ujian dan fitnah yang sangat berat bagi setiap manusia secara umum, terutama bagi seorang muslim yang ilmunya minim dan aqidahnya lemah.

Ujian dan fitnah itu sangatlah beraneka-ragam, dari mulai rongrongan aliran sesat yang berbahaya terhadap aqidah muslimin, kemudian berbagai macam maksiat yang menggoncang akhlaq mereka, berikutnya berbagai model dan gaya hidup kebarat-baratan yang melupakan akhirat dan menggelincirkan mereka kepada ambisi dunia serta ujian dan fitnah yang ditimbulkan oleh “globalisasi” dengan segala perangkatnya yang sangat berbahaya terhadap moral dan mental “remaja dan pemuda muslim” yang akan menjadi pemegang estafeta kepemimpinan di masa yang akan datang. 

Sementara keadaan “Remaja dan Pemuda Muslim” di zaman ini sangatlah mengenaskan, komunitas yang mereka hidup didalamnya tidak mendukung mereka untuk menjadi manusia muslim yang sholih, fasilitas hidup mereka justru semakin mengarahkan mereka menjauh dari ajaran Islam yang benar dan yang lebih memperparah persoalan ini adalah renggangnya hubungan antara generasi muda dengan generasi tua, karena telah terjadi perbedaan yang nyata diantara dua generasi ini dalam hal kebiasaan, selera, model pergaulan dan cara dalam menilai kebaikan, kebenaran dan manfaat akibat pengaruh “konsep kebebasan tanpa batas” yang telah mereka serap dari budaya barat.

Kepentingan kita pada saat ini adalah: “Bagaimana caranya agar kita bisa melindungi Muslimin dari keburukan-keburukan yang terus mengancam sendi-sendi ajaran Islam, sehingga mereka bisa selamat di dunia dan akhirat”.

Tugas ini sudah tentu adalah “Kewajiban Pemerintah”, karena mereka adalah para pemimpin yang memikul “Amanah Alloh” terhadap rakyatnya.

Persoalannya sekarang adalah: bagaimana kita bisa mendapatkan Pemerintah yang sholih yang menyadari amanah itu? atau paling tidak ditahapan awal ini adalah: bagaimana kita bisa mendapatkan Pemerintah yang bersimpati dan berempati kepada keadaan dan kepentingan Muslimin?, sehingga mereka mau membuka jalan bagi Muslimin untuk menyiapkan diri dengan menyediakan situasi dan kondisi yang kondusif, undang-undang dan peraturan yang mendukung, serta perlindungan yang kokoh.  

Pemilihan Presiden dan Wakilnya adalah kesempatan yang telah terbuka bagi kita untuk dimanfaatkan, sehingga kita bisa mendapatkan Pemerintah yang mau berpihak kepada keadaan dan kepentingan Muslimin.

Semestinya kita bisa kalau kita mau untuk mengarahkan suara kaum Muslimin kepada Pemimpin yang lebih layak dan lebih memungkinkan untuk meloloskan visi dan misi kita yang mulia ini. (bms)- Penulis: Yusuf Utsman Baisa, Lc

Terkhusus untuk ijtihad politik antara berjalan diluar sistem dan didalam sistem, kedua-duanya tidak ada masalah yang perlu diributkan, namun haruslah ada saat-saat fungsi-fungsi ini saling bekerja bersama dan saling bekerja berbeda per kelompok sesuai jalur dan kemampuannya, beberapa bagiannya sudah dijelaskan diatas, masalahnya apakah ada yang mau menerima caranya dengan elegan? Siapa yang mengikuti atau menyesuaikan diri kepada siapa?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:  “Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: ”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: ”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.

Telah penulis tulis bahwa kadang-kadang ada sesuatu yang terlihat bertentangan dengan syariat ternyata hakikinya tidak bertentangan dengan syariat seperti analogi kisah nabi Musa as dan Khidir, contoh lain:
  • Umar bin Khattab radliyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya (Umar radliyallaahu ‘anhu) berkata: “Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?“
  • Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.“
  • Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Bukankah kita di atas sebuah kebenaran sedangkan musuh kita pada sebuah kebatilan?“
  • Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.“
  • Umar radliyallaahu ‘anhu bertanya lagi : “Kalau begitu, mengapa kita merendahkan agama kita?“
  • Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah dan saya tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah yang akan menolongku.“
  • Umar radliyallaahu ‘anhu bertanya lagi : “Bukankah engkau berkata bahwa kita akan datang ke Baitullah dan melakukan thowaf di sekelilingnya?“
  • Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, tapi apakah saya mengabarkan kepadamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?“
  • Maka Umar radliyallaahu ‘anhu menjawab: “Tidak.”
  • Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang dan melakukan thowaf di sekelilingnya.“

Maka Umar radliyallaahu ‘anhu pun datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu lalu

  • (Umar radliyallaahu ‘anhu) bertanya: ”Wahai Abu Bakar, bukankah beliau itu benar-benar Rasulullah?“
  • Beliau (Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu) menjawab: “Ya.”
  • Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Bukankah kita berada pada kebenaran sedangkan musuh kita pada sebuah kebatilan?“
  • Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu menjawab: “Ya, memang.“
  • Umar radliyallaahu ‘anhu bertanya lagi : “Kalau begitu, mengapa kita merendahkan agama kita?“
  • Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu menjawab: “Sesungguhnya beliau adalah utusan Allah dan saya tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah yang akan menolongnya.“
  • Umar radliyallaahu ‘anhu bertanya lagi : “Bukankah beliau berkata bahwa kita akan datang ke Baitullah dan melakukan thowaf di sekelilingnya?“
  • Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu menjawab: “Ya, tapi apakah beliau mengabarkan kepadamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?“
  • Maka Umar radliyallaahu ‘anhu menjawab: “Tidak.“
  • Lalu Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang dan melakukan thowaf di sekelilingnya.“

Betapa mulianya kedudukan Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu, yang selalu membenarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapang maupun sempit.

Umar bin Al-Khattab pernah berkata, “Rendahkanlah oleh kalian pendapat akal dalam agama karena aku pernah mendapatkan kehinaan itu pada peristiwa Abu Jandal karena menolaknya (yakni sabda Rasulullah).” Kala itu, Umar berkata : “Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan? Tetapi, mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?” Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Tahanlah logikamu, karena aku adalah utusan Allah dan Dia tidak akan menelantarkan diriku.” …. dan seterusnya.

Banyak olok-olokan agama diluar sana, seperti bagaimana bisa Jibril yang berbentuk lebih besar dari bumi dapat berubah menjadi manusia, maka berdasarkan cocoklogi bila saja dapat dibuktikan dan ini sebenarnya tantangan buat para saintis dimana nash akan membuktikan kebenarannya lewat upaya manusia itu sendiri, maka rasanya orang-orang akan tahu hal tersebut dapat terjadi pasti dan bakal malu sendiri dengan olok-olokan tersebut. Tanpa hanya mengambil makna dalil yang satu dan membuang makna-makna dalil lainnya bila ternyata hal itu ada korelasi kebenarannya secara nyata. Secara tabir kita mengimani apa adanya kabar dan peringatan, bila dikatakan ukuran Jibril melebihi bumi, demikian adanya, bila Jibril bisa berubah berwujud manusia, demikian adanya, malahan sebenarnya ada makna dan nilai saintis pula bila dicermati, sebagaimana kita tahu cahaya bisa menyinari seluruh ruang yang tidak terlindungi oleh benda yang menggelapkan demikian pula oksigen bisa memenuhi seluruh ruang, api dinyatakan adalah bentuk lain oksigen, iblis berarti secara unsur adalah serupa oksigen hingga dapat keluar masuk tubuh dan berjalan didalam darah manusia. Cahaya adalah unsur malaikat terbentuk. Dalam hukum kekekalan energi dimana energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya tapi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan (bahasa manusianya demikian, penciptaan dan pemusnahan bisa bila dinisbahkan ke Pencipta, Allah), melihat Jibril dapat berubah wujud menjadi manusia, dan ternyata adalah bukan hologram atau halusinasi tapi ia adalah bentuk padat yang nyata, maka mana kita faham kalau ternyata cahaya dapat menjadi wujud serupa padat atau energi yang berukuran besar dapat diringkas menjadi bentuk wujud padat lain yang kecil, sebuah kemungkinan batasan ilmu untuk manusia tentang sumber energi yang tidak akan habis, sebagaimana telah disinggung pada ayat Qs. an Nur: 35, ada pecahan partikel cahaya dan pecahan partikel itu adalah berwujud padat, yang kita tahu saat ini energi hanya berubah bentuk, cahaya salah satu bentuk perubahan itu namun dapatkah kita mengumpulkan energi atau cahaya itu sendiri yang punya kekuatan besar dalam sebuah wujud padat lain yang kecil, mungkin saja cocoklogi ini dapat menjadi tantangan untuk saintis.

Nah untuk dibawah ini adalah bisa jadi lebih-lebih jauh sangat cocoklogi-nya juga, namun jangan terlalu dilihat cocokloginya yang mungkin bisa salah namun lihatlah upaya untuk menyatukan visi dan misi dalam persatuannya.

2962. Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang digunakan untuk berucap." (Shahih: Ibnu Majah nomor 108)

3678. Qutaibah menceritakan kepada kami, Laits menceritakan kepada kami dari Uqail, dari Zuhri, dari Hamzah bin Abdullah bin Umar, dari Ibnu Umar —radhiyallahu anhuma—, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Aku bermimpi seolah aku diberikan gelas yang berisi susu, kemudian aku meminumnya, dan aku memberikan sisaku kepada Umar bin Khaththab. " Para sahabat bertanya, "Maka apa yang engkau tafsirkan, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ilmu." Shahih: Muttafaq alaih. Lihat sunan Tirmidzi (2284).

3682. Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami, Kharijah bin Abdullah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran atas lidah dan hati Umar." Ibnu Umar berkata, "Tidaklah terjadi suatu perkara pada orang-orang —sama sekali—, kemudian para sahabat mempunyai pendapat dalam perkara tersebut, sementara Umar pun mempunyai pendapat dalam perkara tersebut —atau sementara Ibnu Khaththab pun mempunyai pendapat dalam masalah tersebut (di sini Kharijah sebagai perawi ragu-ragu)— kecuali Al Qur'an akan menghukumi perkara tersebut layaknya pendapat yang dikatakan oleh Umar." Shahih: Ibnu Majah (108).

Dalam bab ini ada riwayat lain dari Fadhl bin Abbas, Abu Dzarr, dan Abu Hurairah. Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib dari jalur ini." Kharijah bin Abdullah Al Anshari adalah Ibnu Sulaiman bin Zaid bin Tsabit. Ia adalah orang yang tsiqah.

Biasanya penulis bila ingin merujuk tentang syariat ibadah kepada pemurnian agama, maka penulis akan lebih banyak melihat literatur-literatur yang memegang keras agamanya dan lebih menyukai memegang pendapat yang sama dengannya yaitu yang berkarekteristik Umar atau biasanya disebut islam garis keras. Habisnya setan, mau jenis jin atau manusia kek sangat takut dengan eksistensi Umar sih. Kita tahu Abu bakar sangat istimewa dengan shiddiq-nya dan Umar istimewa dengan adanya ilham yang ada padanya, biasanya kita melihat periwayatannya pada beberapa dari keistimewaan dan kemuliaan individunya saja tapi jarang sekali kita memperhatikan dialog-dialognya yang bisa saja juga mengandung maksud lain, sebagaimana penulis seakan-akan melihat hal ini. Dalam hal ini, Umar sepertinya selalu diminta tunduk kepada Abu Bakar dan juga pada dialog-dialog lain, setelah Rasulullah wafat, Umar sendiri seakan-akan walau berselisih pendapat akhirnya akan selalu patuh pada Abu Bakar. Jadi pada kasus-kasus istimewa pada situasi dan kondisi tertentu, disini penulis melihat adanya siapa yang harus ikut atau menyesuaikan kepada pendapat siapa tentunya dalam ruang lingkup tertentu sesuai batasannya seperti masalah menyatukan sikap dalam politik ini. Mungkin ini juga kenapa ada pelajaran ala tasawuf atau ilmu hati muncul.

Diriwayatkan dari Anas secara marfu, dia berkata, “Umatku yang paling penuh cinta kasih kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam memegang agama Allah adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, yang paling mengetahui masalah halal dan haram adalah Mu’adz, dan yang paling taat adalah Zaid. Setiap umat memiliki kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah.”

Bila memperbandingkan antara karakteristik Umar dan Abu Bakar berdasarkan cocoklogi pada keadaan sekarang dapat disimpulkan karakteristik yang mewakili Umar, oleh barat diklasifikasikan ada pada islam garis keras dan pada karekteristik Abu Bakar, yang oleh barat diklasifikasikan ada pada islam moderat, tapi bukan berarti dua karestristik ini ada pada tingkat yang sama dengan Umar dan Abu Bakar atau ada ilham dan shiddiq-nya yang setingkatnya.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ikutilah jalan orang-orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Maajah, hadits ini shahih)

3662. Al Hasan bin Ash-Shabbah Al Bazzar menceritakan kepada kami, Sufyan bin Uyaynah menceritakan kepada kami dari Za'idah, dari Abdul Malik bin Umair, dari Rib'i —yaitu Ibnu Hirasy—, dari Hudzaifah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Ikutilah (oleh kalian) dua orang (khalifah) sepeninggalku: Abu Bakar dan Umar. " Shahih'. Ibnu Majah (97).

Dalam bab ini ada riwayat lain dari Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan." Hadits ini (juga) diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Malik bin Umair, dari budak Rib'i, dari Rib'i, dari Khudzaifah, dari Nabi SAW. Ahmad bin Mani' dan yang lainnya menceritakan kepada kami, mereka berkata, "Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, dari Abdul Malik bin Umair, seperti hadits di atas." Sufyan bin Uyainah melakukan tadlis dalam hadits ini. Sebab terkadang ia menyebutkan dari Abdul Malik bin Umair, dan terkadang ia tidak menyebutkan dari Za'idah. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Malik bin Umair, dari Hilal —budak Rib'i— dari Hudzaifah, dari Nabi. Hadits ini bahkan diriwayatkan dari jalur selain ini: dari Rib'i, dari Hudzaifah, dari Nabi SAW. Salim bin Al An'umi —orang Kufah— meriwayatkan hadits ini dari Rib'i bin Hirasy, dari Hudzaifah.

3665. Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqari mengabarkan kepada kami. dari Az-Zuhri, dari Ali bin Al Husain, dari Ali bin Abu Thalib. ia berkata: Aku pernah bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba Abu Bakar dan Umar muncul. Rasulullah kemudian bersabda, "Kedua orang ini adalah pemimpin paruh baya (berusia antara 50-50 tahun) para penghuni surga, baik (generasi) yang pertama maupun (generasi) yang terkemudian, kecuali para nabi dan rasul. Wahai Ali, janganlah engkau memberitahukan kepada keduanya. " Shahih: Ibnu Majah (95).

Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits gharib dari jalur ini." Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqari di-dhaif-kan dalam hadits ini. Ali bin Al Husain juga tidak mendengar dari Ali bin Abu Thalib. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur yang lain, dari Ali. Dalam hadits ini ada riwayat lain dari Anas dan Ibnu Abbas.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Manusia itu dalam urusan ini menjadi pengikut kaum Quraisy. Muslim mereka mengikuti muslim Quraisy, demikian pula kafir mereka mengikuti orang yang kafir dari kaum Quraisy. (Shahih Muslim No.3389)

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Urusan senantiasa berada pada kaum Quraisy, selama manusia terbagi dua (kafir dan muslim). (Shahih Muslim No.3392)

Belajar analogi dari pengalaman Rasulullah dan para sahabatnya.

4660. Dari Abdullah bin Zam'ah, ia berkata, "Ketika Rasulullah SAW sakit keras, saat itu aku bersama beberapa orang sahabat di sisi beliau. Kemudian Bilal datang menjemput Rasulullah SAW untuk melaksanakan shalat. Saat itu, Rasulullah SAW bersabda, "Perintahkanlah seseorang untuk mengimami shalat bagi yang lain. " Maka keluarlah Abdullah bin Zam'ah dan saat itu, ia melihat Umar berada diantara para sahabat yang lain dan Abu Bakar tidak tampak diantara mereka. Saat itu, Aku (Abdulah bin Zam'ah) berkata, "Wahai Umar, pimpinlah yang lain melaksanakan shalat." Kemudian ia maju dan bertakbir. Ketika Rasululah SAW mendengarnya -Umar termasuk orang yang suaranya keras- beliau berkata, "Dimanakah Abu Bakar?" Allah dan kaum muslimin tidak menyukai hal yang demikian, Allah SWT dan kaum muslimin tidak menyukai hal yang demikian. " Kemudian diutuslah seseorang untuk menemui Abu Bakar. Ketika ia datang, ternyata Umar telah selesai melaksanakan shalat. Kemudian, ia shalat lagi dan mengimamai kaum muslimin." Hasan Shahih: Zhilal Al-Jannah (1062 -1159).

Sahabat nabi yang mana yang suaranya paling bagus saat itu? mungkin Anda berkata bukan pula Abu Bakar tapi sahabat yang lainnya. Jadi bisa saja ada makna lainnya.

4661. Dari Abdullah bin Zam'ah... dengan riwayat yang sama. Namun disebutkan di dalamnya, "Ketika Rasulullah SAW mendengar suara Umar RA, Ibnu Zam'ah berkata, "Rasulullah SAW keluar hingga pintu kamarnya dan berkata, ''Jangan, jangan, jangan... hendaknya yang mengimami shalat adalah Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar RA). " —beliau mengucapkannya dengan nada marah— Shahih: Azh-Zhilal, (1159).

Dalam Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’”

Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata: Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?”

Disini dikatakan Umar sendiri yang mengatakan kekhalifahan itu titik beratnya hal atau permasalahan duniawi, dan memang mempermudah hal agama dan ibadah. Maka lebih-lebih lagi masalah sistem dalam negara bangsa ini. Apakah kalian akan masih juga keras pada hal satu ini. Peganglah kerasnya dihati, lembutkanlah diluar. Jadikan dunia ada ditanganmu dan jadikan akhirat ada dihatimu. Janganlah terlalu keras dalam hal satu ini karena diujung sana, ada tidaknya akan tetap menanti dan akan ada kekhalifahan islam akhir jaman sesuai takdir.

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”

Apa pendapat Abu Bakar bertentangan dengan syariat seperti yang dimaksud Umar? Mungkinkah kadangkala apa yang dilihat tidak sesuai syariat, maka karena pada suatu sebab tertentu dapat bernilai syariat?

Terlihat Umar patuh kepada pendapat Abu Bakar, mungkin karena Abu Bakar adalah khalifah yang tentu harus ditaati mungkin pula bisa saja karena Umar mengetahui maksud nabi agar ia mau patuh pada pendapatnya Abu Bakar.

Dalam sistem ini, kalau dilihat sejujurnya, ada dua kutub pandangan yang sulit ditemukan.

Pertama, yang menerima demokrasi dan melihat demokrasi sebagai suatu kenyataan riil yang ada dan layak dipakai dan bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan saat ini (tetap sesuai batasan syari yang dibolehkan). Kedua, memandang sebaliknya. Yaitu apa yang seharusnya ada.

Satu berangkat dari realitas yang ada, yang kedua, apa yang dianggap harus ada. Mayoritas ummat Islam, berangkat dari menerima apa yang ada. Yang ada adalah fakta bahwa demokrasi dijadikan sistem bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, mengatur negara, membuat Undang-undang dsb.

Bagi pihak penolak demokrasi karena berangkatnya dari apa yang seharusnya ada. Demokrasi sudah pasti tidak akan pernah dapat memuaskan semua keinginannya. Maka pasti dia tolak. Mereka berkeinginan ideal, masyarakat harus sepenuhnya taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, menjalankan semua perintah Allah, tidak ada hak masyarakat untuk membuat hukum dan Undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, tidak ada hak masyarakat untuk melakukan pemungutan suara untuk hal-hal yang sudah disyariatkan, masyarakat tinggal menjalankan saja. Orang beriman tidak mau suaranya disamakan dengan orang fasik, musyrik, kafir dsb.

Sayangnya, kita lupa satu hal. Kita hidup di alam riil dan ada fakta, sekitar 15% penduduk Indonesia bukan beragama Islam. Dan yang 85% itupun tidak semua setuju hidup diatur syariat. Itulah faktanya.

Ada Muslim tetapi liberal dan  sekular,  ada yang Muslim namun semangatnya untuk menggembosi aspirasi umat Islam, ada Muslim tapi masa bodoh terhadap agamanya, ada  Muslim tapi berfikirnya sederhana, yang penting ekonomi sejahtera, urusan lain tidak peduli, bahkan ada pula yang mengaku Muslim, namun sejatinya dia pengasong aliran sesat. Itulah semua fakta hidup yang harus kita hadapi saat ini. Kalau orang yang merasa beriman berbeda bobotnya dengan orang  tidak beriman, sedangkan dalam Pemilu, suara semua orang nilainya sama, terus dengan itu kita ngambek  (mogok, red) tidak mau ikut Pemilu karena pelaku maksiat juga ikut Pemilu, lantas bagaimana caranya untuk membagi masyarakat antara yang beriman dan yang tidak beriman?

Khulafa’ur Rasyidin dan Kompromi
Semua umat Islam pasti menginginkan kembali pada cita-cita ideal, yaitu terwujudnya masyarakat ideal seperti pada masa Nabi dan Khulafa’urrasyidin, di mana masyarakat Islam hidup dalam naungan syariat Allah.

Jangan dilupakan, sistem pengangkatan ke 4 Khalifah yang dimulai dari terpilih Abubakar Ash-Shiddiq ra sebagai Khalifah, dilanjutkan oleh Umar bin Khathab ra, terus dilanjutkan oleh Khalifah Utsman bin Affan ra dan diakhiri oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Semua metode pengangkatannya –pun berbeda-beda. Jadi kalau sistem demokrasi dan Pemilu dianggap sistem bid’ah dan harus ditolak, bagaimana cara kita menerapkan yang Sunnah?

Khalifah Abubakar dipilih secara aklamasi di Saqifah Bani Saiddah (suatu tempat pertemuan masyarakat di Madinah saat itu) ketika waktu sepeninggal Rasul, kaum Anshar selaku penduduk asli Madinah sebelumnya berniat hendak memilih pemimpinnya sendiri, namun berhasil dicegah dan diganti dengan pemimpin yang paling cocok yaitu Khalifah Abubakar ra. Begitu pula sebelum Khalifah Abubakar ra meninggal, beliau sudah berwasiat agar sepeninggal beliau nanti haruslah Umar bin Khathab ra yang menggantikan. Begitu pula ketika Khalifah Umar menjelang meninggal, beliau telah membentuk tim formatur yang dipilih dari shahabat-shahabat utama untuk memilih khalifah pengganti beliau, maka jadilah Utsman bin Affan ra sebagai khalifah selanjutnya. Setelah Khalifah Utsman meninggal, tinggal satu orang yang paling layak diangkat sebagai khalifah, karena tinggal beliau manusia yang paling baik dan layak untuk menjadi khalifah,  maka tampillah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra sebagai khalifah keempat atau terakhir masa Khulafa’ur Rasyidin, selanjutnya adalah masa-masa kerajaan.

Itupun harus dipahami  semua khalifah pun mendapatkan masalah yang tidak kecil, ada yang diganggu dengan munculnya nabi-nabi palsu, ada yang diganggu dengan pembangkangan dari sebagian rakyat dan pejabatnya, dsb. Semua pemimpin memiliki problem yang berbeda di setiap zamannya. Yang dahulu merupakan problem besar, bisa saja di masa sekarang sudah bukan problem lagi. Begitu pula sebaliknya, yang masa lampau itu bukan merupakan masalah, bisa saja sekarang menjadi masalah serius yang harus diprioritaskan.

Jadi jika Pemilu dan system demokrasi langsung dianggap sesat, maka seharusnya ada contoh dan penjelasan model pemilihan pemimpin Islam yang dianggap sunnah, itulah yang ditunggu dan dibutuhkan umat.

Apakah system aklamasi? Wasiat? Sistem formatur atau langsung penunjukkan? Semuanya pun berbeda.  Tapi sejarah Islam memberikan pengalaman ada empat cara yang berbeda.

Setelah kita bahas masalah “caranya”, sekarang kita akan bahas masalah “out-putnya”. Apakah sistem demokrasi dapat memuaskan keinginan umat Islam?

Namanya juga demokrasi, sudah pasti tidak akan memuaskan semua orang. Ada keberhasilan-keberhasilan, namun ada pula ketidakberhasilan-ketidakberhasilan, ada yang didapat, namun ada pula yang terlepas, tergantung bargaining masing-masing pihak. Bukankah di zaman Nabi ketika mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Musyirikan Makkah, harus rela membuang klausul “dari Muhammad Rasullulah….” Cukup diganti dengan istilah “dari Muhammad bin Abdillah…” karena ingin kompromi dengan pihak lawan. Dan masih banyak hal lagi yang harus diberikan konsesi terhadap pihak lawan, padahal mayoritas Shahabat Nabi tidak rela dengan hal itu dan menginginkan konfrontasi senjata. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wassalam tetap mengutamakan kompromi dan musyawarah, dibanding melakukan peperangan.

Bukankah di zaman Khalifah Umar bin Khathab juga memilih orang-orang yang berkompeten sebagai tim formatur untuk memilih pemimpin selanjutnya?

Alasannya membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak sebaik Nabi Muhammad untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah? Tidak membiarkan atau menunjuk penggantinya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat sedang Abu Bakar menunjuk langsung penggantinya ? Muhammad Abd. Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka,2007),hal.88. Umar berkata sebagai berikut :

Hadis riwayat Umar ra.: Dari Abdullah bin Umar ia berkata: Umar ditanya: Apakah kamu tidak mengangkat khalifah penggantimu? Ia menjawab: Bila aku mengangkat, maka orang yang lebih baik dariku, yaitu Abu Bakar, juga telah mengangkat pengganti khalifah. Dan bila aku membiarkan kamu sekalian (untuk memilih), maka orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah saw., juga telah membiarkan kamu sekalian. Abdullah bin Umar berkata: Sehingga aku pun mengetahui ketika ia menyebut Rasulullah saw. bahwa dia tidak akan mengangkat khalifah pengganti. (Shahih Muslim No.3399)

Yang mungkin menjadi masalah di sini, di masyarakat modern sekarang yang masyarakatnya heterogen dan plural otomatis wakil rakyat akan semacam itu. Ada Muslim, ada Non-Muslim, ada sekular, dll. Semua membawa dan mewakili konstituennya. Kalau di masyarakat yang Islam dan serba homogen, mungkin urusannya lebih sederhana dan nyaman. Namun di masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia saat ini, sudah pasti membutuhkan kompromi-kompromi politik, negosiasi, koalisi, dsb.

Kalau masalahnya mengapa masih banyak ummat Islam yang tidak mendukung kepentingan umat Islam? Itulah tugas kita semua, terlebih lagi tugas para dai untuk berdakwah dan berjihad untuk menjelaskan ke mereka bagaimana  jaran Islam jika mampu diterapkan akan mengayomi semua warga negara baik itu Muslim maupun non-Muslim itu sendiri.

Ada kaidah fikih yang cukup terkenal, “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua.” Tentu dalam demokrasi kita baru mendapat sekian persen dari perjuangan, janganlah berputus asa, karena sejatinya energi kita yang kita berikan baru sekian persen pula.

Sunnatullah selalu berlaku, siapa yang banyak menanam dia akan banyak menuai. Kalau kita ingin mendapat lebih banyak hasil, haruslah berjuang lebih banyak lagi.

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita (kesakitan) pula, sebagaimana kamu kamu menderitanya, sedang kamu  mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa 104).”

Bila tidak mau saling tolong-menolong, ya sudah gimana kalau dikatakan saling memanfaatkan saja. Yang diluar sistem ikut membantu mendulang suara pula, ikut andil dibilik suara kemudian balik ke posisinya lagi, sedang yang didalam sistem lewat kekuasaannya tentu akan terotomatis membantu dalam kebebasan dakwah dari yang diluar sistem dengan adanya kebebasan syariah, bisa sangat berkembang dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan persiapan diri dan dapat saling menjaga dan mengawal, haruslah difahami dari fungsi masing-masing posisi ini namun jangan lempem. Bila dapat bersatu seperti ini dan kemudian memenangkan sistem, otomatis semua yang didalam “negara bangsa” sebagai yang terlindungi dan dilindungi, maka bila ada yang membuat rusuh tanpa S.O.P yang benar, otomatis harusnya kan ia keluar dari jamaah, disitu pula akan terlihat lebih jelas siapa-siapa yang dapat dianggap keluar dari jamaah, namun hati-hati pula akan fitnah pihak ketiga yang “mengaku islam” sengaja rusuh, karena otomatis pastinya yang akan disalahkan dan dikambing hitamkan yang diluar sistem, strategi yang ingin memecah lagi kesatuan dan persatuan ini maka bijaklah melihatnya dahulu.

3671. Qutaibah menceritakan kepada kami, Ibnu Abu Fudaik menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin Al Muthallib, dari ayah Abdul Aziz yaitu Al Muththalib, dari kakeknya yaitu Abdullah bin Hanthab, bahwa Rasulullah SAW melihat Abu Bakar dan Umar, kemudian beliau bersabda, "Kedua orang ini adalah seperti pendengaran dan penglihatan." Shahih: Ash-Shahihah (814).
Dalam bab ini ada riwayat lain dari Abdullah bin Amr. Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah mursal. " Abdullah bin Hanthab tidak pernah bertemu dengan Nabi SAW.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar (dapat dimaknai pula dengan kata lain “para shadiqin”).” (QS. At-Taubah [9] : 119)

Uniknya Amir Imarah Islam Afghanistan bernama Mullah Muhammad Umar dan Daulah Islamiyyah di Suriah/Irak adalah Abu Bakar al-Baghdadi. Boleh berbaiat, boleh menunda, tolong-menolong dan bekerjasama menegakkan agama dan kalimat Allah SWT adalah yang terpenting. Dukung selama sesuai syariat, tinggalkan bila melihat ada perbuatan maksiat, seperti pidato khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, pernah mengatakan, “Saya telah dipilih untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah”. Baiat toh pada akhirnya akan kembali kepada Imam Mahdi yang tidak ada pro-kontra dan tawar-menawar. Karena masing-masing masih tersibukkan dinegeri sendiri-sendiri, maka saat ini, masih juga relevan menuntaskan dimasing-masing tempat, di nusantara pun kita juga punya kesibukkan.

Urusan lain-lain dan dapatnya sikap bantuan keluar kepada muslim lainnya dan masalah jihad fiisabilillah itu sendiri dapat pula terjadi, penulis rasa akan terbuka dengan sendiri caranya nanti, akan terlihat jelas fungsi-fungsi yang selama ini tertutupi kemampuan maksimalnya. Penulis hanya dapat menyimpulkan dan menjabarkan gambaran kasarnya sampai disini karena telah banyak mata dalam blog ini.

Kita melihat sistem demokrasi yang asalnya bukan dari islam, antara memutuskan untuk masuk ke sistem atau tidak sama sekali, maka kita melihat keseluruhan sisi-sisinya yang tampak dan yang tidak tampak dipermukaan dan kemudian memutuskan dengan melihat maslahat dan mudharatnya juga melihat bagiannya yang apakah masih ada bagiannya yang sesuai dengan jalan syariat agar dapat “diarahkan” kearah tersebut, yang juga berarti mengurangi adanya persimpangan arah berlawanannya, telah ada persepsi bahwa mencegah mudharat itu lebih utama dari melihat maslahatnya, masalahnya apakah yang kita lihat ada padanya itu adalah kemungkaran dalam perspektif apa, apakah kemungkarannya itu dalam perspektif harus ditinggalkan/dijauhi/keluar dari keadaan dan situasinya atau sistemnya ataukah ternyata dalam kemungkarannya itu tidak menyebabkan kita harus meninggalkannya, karena mengingkari kemungkarannya dan menjauhinya atau keluar darinya ternyata bisa menghasilkan “sebab-sebab baru” akan kemungkaran  yang jauh lebih besar lagi terkemudian (dimasa depan), yaitu jadi dapat diserupakan pula sebagai kaidah, “Tarkul waajib limaa huwa aujab” (Meninggalkan yang wajib untuk meraih yang lebih wajib) atau “Irtikaabu akhaffu adh-dhararain” (memilih kemadaratan teringan), atau “Irtikaabu al mafsadatish shughraa li daf’il mafsadatil kubraa” (memilih kemadaratan yang kecil untuk mencegah kemadaratan yang besar).

Contohnya seperti perkataan Alhasan Albashry yang pernah ditanya, "wahai Aba said, telah keluar seorang khawarij di Kharibah", maka beliau berkata, "Kasihan (orang khawarij ini), ia melihat kemungkaran lalu mengingkarinya tapi ternyata terjadi hal yang lebih munkar lagi. (Asy-Syari'ah li Al-Aajurry 1/25)

Bila keadaan seperti itu maka posisinya dapat dikatakan berstatus pilihan dari adanya 2 kemadaratan, dan pada sisi lain pula seperti pada politik “keburukan berkedok kedamaian” ini, kadang juga pada subtansinya ada yang sampai pada sifat atau keadaan berstatus darurat maka prinsip “Adh-Dharuratu tubiihu al Mahdzuraat” (Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang) dapat diambil sebagai pertanggungjawaban yang mengandung wasiat syariat untuk mengupayakan “Ishlah (perbaikan)” dan “taghyiir al munkar (merubah kemungkaran)” sesuai dengan kemampuan diri dan kolektif (jamaah), maka posisi terkemudian adalah harus ada juga yang masuk kedalam sistemnya dengan kaedah“Hukum suatu sarana itu tergantung hukum tujuannya” yang bertujuan adalah mengupayakan “juga” dari dalam pekerjaan atau sistem tersebut agar konsep Syariat, “Jalbul Mashalih wa Taktsiiruhaa wa Dar`ul Mafasid wa Taqliiluhaa” (Mendatangkan maslahat dan memperbanyaknya, serta mencegah bahaya dan menguranginya) dapat terjadi dan berjalan secara lebih maksimal sesuai tanda kutip “kemampuan” dan “kesempatan” yang diberikan Allah SWT dan sesuai keinginan islam menjadi rahmat bagi semua. Dalam kaitan sesistem demokrasi yang “terjadi” disini, ada dua hal lagi sub-bagiannya yang harus dilihat pula yaitu memilih pemimpin dan memilih “perwalian” untuk menjadi wakil di parlemen. Maka kreterianya adalah terkhusus mengikuti atau mengambil kreteria dalam memilih pemimpin dan kreteria mengambil/memberi perwalian agar menjadi wakil (dalam hal ini) di parlemen dalam sudut pandang syariah (agama) dan bila tidak ada yang memenuhi kesempurnaan kreterianya atau dari hal ini ada terjadi beberapa pilihan pemimpin dan beberapa cara atau sarana perwalian maka juga tetap melihat lagi prinsip “Irtikaabu akhaffu adh-dhararain” (memilih kemadaratan teringan), atau “Irtikaabu al mafsadatish shughraa li daf’il mafsadatil kubraa” (memilih kemadaratan yang kecil untuk mencegah kemadaratan yang besar) yaitu partai mana yang mudharatnya terkecil dan calon pemimpin mana yang mudharatnya terkecil juga didalamnya termaksud berkoalisi seperti apa dan bagaimana yang menghasilkan mudharat terkecil. Terkhusus bila kondisinya hanya ada beberapa calon pemimpin yang sebenarnya prinsipnya juga tidak serta merta membela keseluruhan islam (karena dirinya, karena ideologinya atau karena partainya, dsb) maka pada prinsip ini masuk kaedah “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua” atau dalam artian mendekati penguasa atau yang diperkirakan akan menjadi penguasa atau yang berpotensi menjadi penguasa namun haruslah dipastikan juga yang “akan” punya dan mau berkomitment membantu perkembangan islam dan penegakan syariah dalam artinya diharapkan kekuasaan ini dapat terkawal dan juga dapat masih memberi peluang masuknya pemegang amanah untuk mengadakan perbaikan (sudut pandang dan cara-cara syari) dan merubah kemungkaran sistemnya, yang bukan hanya mengadakan “sekenanya” atau “tebang pilih” saja dari perubahan instrumen dan tidak juga yang rupanya pun hanya merubah mental dari bentuk sekuler satu ke bentuk sekuler lain tapi tidak mengupayakan atau tetap punya ruang dalam perubahan berkonsep atau berkoridor syariat dan perubahan yang jauh lebih islami lagi. Kaedah “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua” termaksud kaedah yang sangat mempuni dalam menolak makin membesarnya kerusakan terus-menerus yang terjadi, juga dapat sebagai penyeimbang keadaan. Maka sebagai warga/umat harusnya kita pula mendukung pilihan yang paling banyak dari parpol-parpol islam dan ormas-ormas islam berada terhadap capres agar capres tersebut menang atau memaksimalkan potensi kemenangannya karena islam (atau diwakili koalisi parpol islam) harus ada dipemerintahan sebagai bagian kaedah diatas tadi, bukankah kalau capresnya kalah maka koalisi parpol islam yang ada di capres ini ikut kalah dan tidak dapat “lebih besar” melakukan kaedah “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua”. Sedangkan pada subtansi-subtansi sistemnya maka ia pun masih memakai kaedah-kaedah fiqh pula untuk kebijakannya bila dalam rana ijtihad, seperti kata Ibnu Taimiyah: “Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.” Maka ia masih melihat kaedah “memilih kemadaratan teringan”, bila ada lebih dari satu solusi terhadap sebuah permasalahan ia pun mempunyai urutan-urutan prioritas (fiqh prioritas) atau urutan-urutan akan penyempurnaan atau pengapusan bentuk subtansinya (seperti contoh peristiwa tahapan-tahapan pelarangan miras dan riba didalam islam), ia pun pula diserupakan dengan hukum islam dan fiqh dakwahnya, kapan subtansi bernilai wajib dilakukan, lebih baik ada daripada tidak ada, lebih baik tidak ada daripada ada (atau masuk pula mengenai dalam hal ini dapat dibiarkan saja keadaannya, tidak didukung atau dibesarkan juga tidak dihilangkan sama sekali masih sah-sah saja sampai ia jatuh sendiri), atau tidak boleh ada dilakukan atau dibuat kebijakannya. Kaedah “Hukum suatu sarana itu tergantung hukum tujuannya”. Dengan kaidah ini kita ketahui bahwa :Sarana dari perbuatan wajib maka hukumnya adalah wajib. Sarana dari perbuatan sunnah adalah sunnah. Sarana terwujudnya suatu keharaman adalah haram. Sarana dari perbuatan makruh adalah makruh. Olehnya kita harus tetap komitmen mengambil penilaian dari nilai-nilai nash dan anjuran kaedah-kaedah fiqh lainnya, dsb.

Secara individu muslim, mau dalam keadaan apapun itu, damai atau kacau, sengsara atau bahagia, cobaan atau nikmat, dsb. Ia akan tetap tenang dengan nikmat islamnya, tenang dengan nikmat keimanan dan ketaqwaannya sebab dibalik itu semua ada sabar dan syukur menyertainya dan keridhoan kepada kehendakNya, namun yang menjadi pokok masalahnya terkemudian adalah masalah “umati, umati, umati, bagaimana dengan umat? Makin tinggi kecintaannya pada umat, makin kuat daya/tekad jihadnya dan sensitifitasnya pada krisis, sesuai perspektif jihad yang utama dibutuhkan pada situasi dan kondisinya, maka ia tidak akan diam bila melihat adanya manfaat didepannya, akan berusaha untuk lebih dan sangat lebih bermanfaat dan memberi manfaat makin banyak buat orang lain agar dapat bersama atau mengajak meraih ridho Allah SWT (makanya harus selalu berjamaah). sebenarnya sederhananya yang ia inginkan adalah bagaimana dengan pemberian kabar dan peringatan dapat mengajak atau mendekatkan hidayah Allah SWT kepada orang lain tersebut atau berupaya untuk memberi manfaat kepada orang lain secara lebih luas agar orang lain dapat pula mencicipi surga dan ia tidak mau diam atau “secara tidak sadar” dapat dimanfaatkan atau menjadi alat bagi iblis dan tentaranya yang berniat jahat kepada anak adam agar mereka binasa di atas kekufuran sehingga kekal bersama iblis dalam neraka dan ia pula tidak mau hanya menikmati surganya sendiri saja, maka makin banyak saudara-saudara seimannya kembali kepada Allah SWT dan juga makin banyak orang lain yang terbantu olehnya, makin bahagia pula dirinya, bahagia bukan karena duniawinya. Ini adalah hanya bentuk usaha amalannya saja meskipun ia tahu bahwa hanya Allah SWT yang dapat memberi petunjuk kepada orang lain tersebut, bagaimanapun diakhir masalah itu akan tetap tunduk kepada kehendakNya namun paling tidak, ini cara ia telah memberikan kabar dan peringatannya, agar ia punya alasan pertanggungjawaban kepada Allah SWT dan iapun telah berusaha mencoba beramal secara diri dan berjamaah sesuai dengan fungsi ibadah dan agama dan fungsi menjadi khalifah buminya. Mungkin ada yang bertanya, buat apa harus berkerja kalau semisal sebenarnya diam juga tidak merugikannya secara individu, itu soalnya karena ia ingin makin memperbanyak amalannya, mendulang banyak pahala, makin menguatkan dan makin mendekatkan diri “karena Allah SWT dan bersama Allah SWT”, agar meningkatkan derajatnya, menyampaikan dakwahnya, menjadikannya pertanggungjawaban, menolong orang lain dan perbaikan kehidupan orang lain, mencoba memperbanyak ahli surga, menjauhkan mudharatnya, mendatangkan maslahat besarnya, tidak dipisahkannya agama dari segala sendi-sendi kehidupan, dsb. Sangat banyak alasannya. Sisanya dan bagaimana penerimaan orang lain/masyarakatnya maka dikembalikan urusannya kepada Allah SWT. Gerak adalah Allah SWT yang ciptakan, kesempatan, situasi dan kondisi Allah SWT pula yang tentukan yang tersesuailah keadaan pada batasan usaha yang merupakan gerak langkahnya manusia itu membentuk pilihan, berubahnya suatu kaum tergantung dari seberapa mampu kaum itu berusaha. Kadar ujian, cobaan dan keadaan pun akan disesuaikan seberapa mampu kaum itu menghadapinya. Dan juga perlu diingatkan bahwa ada juga banyak kondisi diakhir jaman atau bila kaum tidak dapat kembali kepada kebaikan sediakala terhadap “sesuatu” pada perkara umum dimana perkara-perkara umum adalah “lebih baik” harus ditinggalkan (meninggalkan bentuk usaha mendekati atau berlari/berjalan ke lingkar fitnahnya disana atau harus menyelisihinya/menjauhinya, namun bukan dimaknai diam untuk menyampaikan dakwah, kabar dan peringatannya) karena umumnya perkara-perkara yang dimaksud itu bentuknya adalah mendekati fitnah dan atau mendekati bidah, maka “jagalah dirimu, keluargamu, lidahmu, tinggalkan yang mungkar serta berhati hatilah dengan urusanmu sendiri lalu tinggalkan/jauhi perkara-perkara umum tersebut dan lakukanlah apa yang kau tahu (kebenarannya) (dikutip dari hadis)”, contohnya bisa Anda lihat disekeliling Anda. Fahami, membulatkan tekad, kemudian bertawakkal.

4345. Dari Al 'Urs bin 'Amirah Al Kindi, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Jika kemaksiatan telah dikerjakan di muka bumi, maka bagi orang yang menyaksikannya dan ia benar-benar membencinya (dari dalam hatinya), maka ia seperti orang yang tidak melihatnya (tidak berdosa). Dan orang yang tidak menyaksikannya, akan tetapi ia merestui perbuatan tersebut, maka ia (dihukumi) seperti orang yang menyaksikannya." Hasan: Al Misykah (5141)

“Jika seorang muslim bergaul dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka, adalah lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan orang lain dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Sunan Tirmidzi No. 2431 dan dishahihkan Albani).

120. Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,
121. dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
122. Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
123. Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.
124. Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.
125. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit[666], maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. [666]. Maksudnya penyakin bathiniyah seperti kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan sebagainya.
126. Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?
127. Dan apabila diturunkan satu surat, sebagian mereka memandang kepada yang lain (sambil berkata): "Adakah seorang dari (orang-orang muslimin) yang melihat kamu?" Sesudah itu merekapun pergi. Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." Qs. At Taubah

2505. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: firman Allah, "Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih. " (Qs. At-Taubah [9]: 39) dan "Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah —sampai akhir ayat— ...apa yang mereka kerjakan." (Qs. At-Taubah [9]: 120-121) telah dinasakh oleh ayat berikutnya, yaitu, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)" (Qs. At-Taubah [9]: 122) (Hasan)

*contoh ini pula: konteks perang jangan hanya dibaca dengan makna “perang fisik” saja, bisa juga buat jenis perang lainnya, perang pemikiran, perang nafsu, perang strategi dan dakwah atau sebagainya, sesuai tempatnya apa yang dimaknai. Banyak ayat-ayat dalam nash itu mempunyai beberapa atau banyak makna atau kemungkinan-kemungkinan maka bila memang masing-masing tersebut, ia punya korelasi nyata pada kebenaran atau kekinian maka semua itu dapat menjadikan pengajaran, kita mengimani semuanya datang dari Allah SWT dan kita mencoba dan berupaya mengambil semua hikmahnya dari setiap makna-makna atau kemungkinan-kemungkinan yang ada tersebut. Bisa jadi kita dapat satu makna atau satu kemungkinan maka orang lain bisa jadi juga punya/dapat satu makna atau satu kemungkinan lainnya pula, ada yang kita tahu orang lain tidak tahu, ada orang lain tahu kita yang tidak tahu, ada kita tahu dan orang lain juga tahu dan ada pula kita sama-sama tidak tahu, ada orang yang banyak tahu dan ada orang yang sedikit tahu.

Lebih Melihat kenyataan lapangan
Alkisah dinegeri cocoklogi, lebih dahulu, dahulu dan sekarang ada beberapa model “backing” memberi dana besar kepada (beberapa macam calon bupati, calon gubernur atau calon presiden) buat memenangkan “pemilihan” daerah, pusat, jaring aparatur dan instansi-instansi penting dan strategis lainnya (menyisipkan kaki tangannya pula), kata si beberapa model “backing” bila kalah, tidak masalah dana itu habis namun bila menang maka berbagai jenis tender dalam berbagai bidang akan diberikan dan dimenangkan semua ke anak-anak cooperationnya, anak-anak cooperation ini, masing-masing berbeda nama “company” dan seakan-akan  dan memang berbeda-beda pemilik pula padahal ia masih dalam lingkup “dari” si “backing” jadi sekan-akan tidak beraffliat langsung kepada si “backing”, dan pula susah akan terlacak kepada si “backing”. Si “backing” mengatakan kalau kalah, dana tidak apa-apa habis, apakah si “backing” rela dana tersebut lenyap begitu saja tanpa perhitungan?, bukankah uang adalah segalanya dan tujuannya pun “membacking” kan bermaksud uang kembalinya atau ditambah keterjaminan “dinasti atau kepentingannya atau keberpihakan kebijakan dan perlindungan dari si “calon” kepada kebebasan superpowernya atau mungkin juga ditambah monuver-monuver dari “blok” buat “bloknya”. Maka padahal lewat upaya-upaya lainnya pula si “backing” telah bermanuver keberbagai media dan tokoh dengan berbagai teknik dan cara pula buat pencitraan atau pun menghipnotis publik tentunya agar si “calon” langgeng menang. Pertanyaannya adalah bagaimana sih konsep atau makna hakiki “mencerdaskan” kehidupan masyarakat dari si “calon”, apakah orang-orang dibelakang si “calon” yang berlindung siap bila masyarakat umum cerdas semua? Trus hakiki perubahan mental seperti apa? Juga apakah perubahan mental dari jenis sekuler yang satu kebentuk sekuler yang lain ataukan perubahan mental agar lebih islami?. Mengkampanyekan revolusi mental kepada para rakyat, padahal ia sendiri seakan tidak paham apa yang dapat merusak mental, sebut saja, misalnya: situs porno, jadi bagaimana hakikinya akan saringan dan kontrol terhadap teknologi dan adanya degradasi mental. Dan bagaimana makna akan dongengan masalah hakiki “pemberantasan korupsi”, yang patut Anda pikirkan adalah apakah pemberantasan korupsi ini adalah masih akan tebang pilih, pesanan, tidak pandang bulu, kambing hitam, teri, kakap, bigmonster ataukah yang penting ada yang dilihat dihukum sebab korupsi dan bagaimanakah makna hakiki “infrastruktur” yang dihasilkan tender-tender yang telah diarahkan kepemilikan atau pemenangnya? Saran lihatlah infrastruktur disekelilingmu. Telah lama dan sangat lama sekali selalu terjadi dan masih inginkan ini terjadi dihari esok? Lalu bagaimana kalau hal ini juga mencakup hal kompleksitas lainnya, seperti: memonopoli untuk kepentingan biang lokal, multi cooperation, negeri asing dan juga mencakup batin atau ideologi/kepercayaan lainnya maka janganlah heran bila aparatur banyak yang mandul dan banyaknya kebocoran-kebocoran dan juga nusantara akan senantiasa akan dilemahkan agar tidak akan kuat. Ketegasan dibutuhkan bangsa ini. Ini bukan wacana/opini penulis saja, ini hanya salah satu dari beberapa hal “kisah” perjalanan penulis beberapa kali ke jakarta, bila mau “menelusuri dan mengikuti” mungkin sejak dahulu penulis sudah ada didalam lingkaran ini. Beberapa orang pun faham akan hal ini jauh dan lebih jauh, tanyalah mereka.

Senada hal ini disampaikan oleh seseorang : “Ada korporatokrasi internasional di negara-negara berkembang salah satunya Indonesia. Jika anda masih tertawa mendengar kata bocor yang selalu didengung-dengungkan salah satu capres, maka sungguh, anda akan menyesal, karna anda berarti sedang menertawakan keadaan negara anda sendiri yang sedang menangis, anda berarti belum mengerti tentang keadaan pedih negara kita saat ini. Apa itu Korporatokrasi asing? Korporatokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang di kontrol oleh korporasi besar, bank internasional dan pemerintahan. (Noam Chomsky, Media Control, Second Edition: The Spectacular Achievements of Propaganda, 2002), Korporatokrasi adalah pengendalian suatu negara adidaya di suatu negara berkembang, salah satunya dengan memberikan bantuan pinjaman uang dan menguasai kekayaan alamnya. Korporatokrasi besar tersebut akan dengan leluasa mengarahkan kebijakan suatu negara demi mendapatkan keuntungan maksimal. (Bisa di-google dengan memasukkan kata sandi “Corporatocracy in Indonesia”, ngenes banget kondisi kita saat ini).

Kalau jaman VOC dan jaman penjajahan Belanda dulu ada Amangkurat I dan Amangkurat II yang berkhianat kepada negara dengan menjadi antek Belanda, untuk memperkaya dirinya sendiri, sekarang pun tidak ada bedanya. Ada elite-elite politik yang memang berkhianat dan menjadi antek aseng. Ditambah lagi ini terjadi karna pemimpin saat ini yang kurang tegas dengan kekuatan negara asing. Harus ada pemimpin yang berani untuk melawan korporatokrasi dunia yang berusaha mengacak-ngacak kesatuan negara kita. Anda harus memilih pemimpin yang dia 100% bisa dibuktikan kesetiaannya kepada negara, tidak ada korporatrokrasi asing yang mem-back up dia saat ini.”

Indonesia di tahun 2014- 2019 adalah pemerintahan minyak. Indonesia saat ini memiliki 263 blok migas. - jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan eksploitasi-eksplorasi baru. Banyak kontrak migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015 - 2021 dan ini akan jadi tanggung jawab pemerintah 2014 - 2019. - kontrak migas yang akan habis masanya ditahun 2015-2019 sebanyak 28 blok. Nilai kontrak dari 28 blok migas berkisar Rp. 6000 triliun hingga Rp. 10.000 triliun. angka Rp. 6000 t - 10.000 t itu lebih besar dari PDB (produk domestik bruto) Indonesia dalam setahun. dan pastinya kontrak 28 blok migas senilai Rp. 6000- 10.000 triliun itu menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014-2019. Ini sekedar salah satu dari mungkin mengapa negara asing lainnya ikut campur dalam pilpres kita. Bagaimana hakiki potensi renegosiasi ini?

Pajak progresif kendaraan, satu sisi ia adalah bertujuan salah satunya sebagai solusi kemacetan, tapi pernahkah berpikir apa pengaruhnya (sebab akibat) dengan dapat meningkatkan dan melebarkan kesenjangan sosial. Memang susah untuk menekankan kebijakan dengan membatasi prilaku tanpa merusak perputaran keuangan. Jepang membatasi pada waktu pemakaian tapi ia juga tidaklah cukup bila tidak membatasinya dalam prilaku sementara pula dalam kondisinya kenyamanan dan keamanan “pilihan lain” tidaklah baik kondisinya.

“Pajak progresif yang akan diterapkan di wilayah Ibukota dan sekitarnya mulai 1 Januari 2011, menurut ATPM mobil premium, tidak akan membuat pembelinya goyah atau terpengaruh. Kesimpulan tersebut diutarakan oleh Ramesh Divyanathan, Presiden Direktur Presiden Direktur PT BMW Indonesia menjawab KOMPAS.com saat berjumpa di Jakarta, kemarin. Sebelum GAIKINDO dan ATPM dengan penjualan terbesar di Indonesia, sempat mengatakan, pajak progresif akan mempengaruhi penjualan. Alasan Ramesh menyimpulkan hal tersebut karena pasar mobil premium di Indonesia, khususnya Jakarta - sangat kecil, di bawah 0,1 persen. Ditambahkan pula, konsumen di kelas ini tidak terlalu memikirkan uang dalam memutuskan pembelian mobil. Faktor lain yang cukup berpengaruh adalah kebanggaan, kenyamanan dan kepuasan individu. "Setelah dihitung, kenaikan harga  hanya di bawah 5 persen. Saya rasa konsumen di segmen ini tak akan memikirkan itu," tegas Ramesh.”

Mobil mewah, satu KK hanya satu mobil dan berlaku selama 7 tahun saja agar tejadi perputaran, maka pada nangis yang terimbas :)

Bilakah ada teknologi kompor tenaga surya, kenapa mempertahankan konversi gas yang notabene masih tunduk pada sumber daya yang terbatas dan masih tunduk pada terjadinya inflasi dari yang mudah membuat dan mencetak uang, membeli barang real dengan seonggah kertas bergambar yang bernilai rendah. Ataukah karena mempertahankan monopoli terhadap “sesuatu”, sekedar agar dilihat ada solusi atau tidak berdaya membuat ruang gerak pada cipta. Carilah solusi yang lebih mudah dan murah buat rakyat, dimana rakyat dapat “saving” lebih jauh dan tidak terlalu terbebani pada “solusi” yang nilainya naik dan lagi-lagi naik terus.

Dsb… dsb… dsb. Maka haruslah banyak pertimbangan fiqh yang mewarnai pengambilan kebijakan serupa ini.

Sebagian menganggap perbaikan itu haruslah dimulai dari atas (para pemimpin) dan sebagian lagi menganggap perbaikan itu dimulai dari bawah (individu, keluarga atau masyarakat), penulis berharap kedua-duanya dapat terjadi beriringan dan melengkapi sekaligus.

Gerakkan Potensimu, Temukan Hidupmu
Coba bayangkan, di depan mu ada secangkir teh pahit.Kemudian kamu menambahkan gula ke dalamnya. Akan tetapi kamu tidak mengaduk gulanya itu. Apakah mungkin rasa teh itu berubah menjadi manis dengan sendirinya? Tentu saja tidak.....

Sekarang pandanglah teh itu dalam-dalam, kemudian coba minum.... Apakah berubah rasanya? Apakah rasa teh itu menjadi manis?

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan”. (QS Al-Baqarah 204) - WS

Tentu saja tidak....

Bahkan tehnya mulai dingin dan terus mendingin... Sedangkan kamu belum juga merasakan nikmatnya.

Usaha terakhir, letakkan tanganmu di atas kepalamu, kemudian berkeliling lah di sekitar cangkir teh sambil berdo'a supaya Allah merubah teh itu menjadi manis. Saya yakin anda semua sepakat mengatakan bahwa semua usaha seperti itu adalah kegilaan. Atau ketololan... Teh itu tidak akan pernah menjadi manis. Demikian lah hidup ini....dia ibarat secangkir teh pahit.

Kesempatan Dan kemampuan yang diberikan Allah kepadamu, serta segala potensi yang ada di dalam dirimu itulah gulanya, di mana bila ia tidak kamu gerakkan kamu tidak akan pernah menikmati rasa manisnya. Sekalipun kamu berdo'a sampai tanganmu pegal, hidupmu tidak akan berubah menjadi lebih baik. Hidup akan lebih baik hanya dengan usaha sunguh-sungguh disertai do'a. Gerakkanlah tanganmu untuk mengaduk gulanya, kamu akan menikmati teh yang manis. =DR. Abdul Ghafar Hilal=

Kecerdasan Kolektif
Oleh: Muhaimin Iqbal

"Akan datang generasi yang lebih paham dan lebih dekat dalam pengamalan petunjuk-petunjukNya dan sunnah-sunnah nabiNya dan kembali memakmurkan bumi"

LIMA tahun lalu kami mengajari kambing-kambing kami jenis peranakan etawa (PE) untuk belajar minum dari instrumen yang canggih. Mereka harus menekan dengan lidahnya batang besi kecil di tengah pipa supaya air keluar. Tentu sulit sekali awalnya, tetapi ketika salah satu dari mereka bisa – maka yang lainpun segera bisa. Kini lima tahun kemudian, generasi demi generasi kambing berganti – tetapi semua bisa minum dari instrumen tersebut tanpa harus kami ajari lagi. Siapa yang mengajari mereka ? Itulah yang disebut kecerdasan kolektif.

Kecerdasan kolektif adalah buah dari kolaborasi , upaya kolektif maupun perlombaan individu dalam sekelompok makhluk hidup dalam merespon situasi yang dihadapinya. Kecerdasan kolektif ini ada tentu saja di manusia, tetapi juga ada di hampir seluruh jenis binatang bahkan sampai bakteri sekalipun.
Bila kita pahami bagaimana kecerdasan kolektif ini bekerja, banyak hal bisa kita lakukan untuk memperbaiki kwalitas kehidupan kita ini.

Untuk contoh kambing PE kami tersebut di atas misalnya, beberapa hari mengajari mereka minum dari stainless nipple tersebut di atas – membuahkan generasi kambing selanjutnya yang paham dimana mereka bisa memperoleh minumnya.

Karena mereka minum dari tempat yang dibuat secara tertutup dan otomatis, maka kesehatannya bisa dijaga dan bahkan bila dikehendaki obat atau vitamin untuk mereka bisa disampaikan lewat air minum ini.

Lebih dari itu mereka juga menjadi guru bagi sesamanya. Ketika ada kambing PE baru yang kami beli dari daerah dan dibawa ke kandang kami, sudah bukan kami lagi yang harus mengajari mereka. Tinggal digabungkan dengan kambing-kambing yang sudah paham dimana tempat mereka minum, maka kambing baru inipun segera tahu dimana tempat minumnya dan bagaimana cara meminumnya. Kambing lebih mudah belajar dari sesama kambing langsung ketimbang belajar dari manusia!

Dari waktu ke waktu tentu ada kambing yang harus dijual atau disembelih, tetapi karena kecerdasan kolektif ini milik bersama – maka dia tetap ada bersama dengan kambing-kambing yang tinggal untuk terus diwariskan ke kambing-kambing yang lahir baru maupun kambing-kambing yang didatangkan dari luar.

Domba jauh lebih cerdas dari kambing, bahkan dalam suatu riset dikatakan bahwa kecerdasan domba hanya kalah dari simpanse, gajah dan lumba-lumba. Kita sudah sering melihat bagaimana simpanse, gajah maupun lumba-lumba beraksi dengan kecerdasannya. Tetapi rata-rata kita belum pernah menyaksikan bagaimana domba beraksi dengan kecerdasannya. Mengapa ? Ya karena belum kita latih saja.

Yang kita maksudkan kecerdasan untuk domba tentu bukan berarti akan bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit, tetapi sekedar mengingat tugas-tugas atau tanda-tanda spesifik. Konon domba adalah binatang yang paling baik ingatannya, dia bisa mengingat wajah penggembalanya, mengingat jalur perjalanan pulang ke kandangnya, ingat siapa yang memimpin perjalanannya dan insyaAllah dia juga akan ingat mana-mana batas yang boleh dimakan dan tidak, batas wilayah yang boleh dilalui dan tidak. Dua hal terakhir ini yang sedang kami coba untuk mengajarkannya dalam program yang kami sebut penggembalaan presisi.

Barangkali timbul pertanyaan di Anda, lho domba-domba ini kan akan dijual atau disembelih dalam beberapa bulan kedepan, paling lama dua tahun? Lantas apa gunanya mereka sekarang belajar sesuatu yang rumit bagi mereka sendiri ? Di situlah rahasia dari kecerdasan kolektif itu, bagi individu domba tertentu bisa jadi dia tidak terlalu penting – tetapi secara kolektif menjadi sangat penting.

Dalam usianya yang pendek, domba-domba tersebut tetap bisa menjadi penyambung pesan bagi domba-domba yang lain – bahwa yang dalam batas ini tidak boleh dimakan, bahwa diluar tanda ini tidak boleh dilalui dlsb. Pesan-pesan yang mudah diingat oleh generasi domba-domba berikutnya maupun domba-domba baru yang dimasukkan ke kelompok yang sudah ‘terdidik’ ini.

Betapapun pendek usia mereka, secara kolektif mereka membawa pesan untuk generasi selanjutnya untuk menjadi lebih cerdas, lebih mudah digembalakan – bahkan ditempat sulit sekalipun seperti di jalur hijau ditengah jalan tol, di pinggir rel kereta api dst.

Dari sini pelajaran itupun kembali ke kita bangsa manusia. Usia kita yang lebih panjang dari hewan-hewan tersebut, kecerdasan kitapun jauh lebih tinggi dari mereka. Tetapi sudahkan keberadaan kita ini membawa pesan-pesan untuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang ? Atau sebaliknya kita merusak mereka dengan pesan-pesan yang memang tidak mendidik?

Apa yang kira-kira kita ajarkan pada anak cucu kita kedepan? Korupsi yang turun temurun dan makin mewabah? Fitnah-memfitnah, caci-mencaci dalam politik ala demokrasi? Pengelolaan alam yang sembrono yang menimbulkan musibah disana sini? Kekerasan demi kekerasan yang menjadi tontonan sehari-hari di televisi?

Bila seperti ini yang berlanjut, maka keberadaan kita tidak membawa pesan kecerdasan kolektif bagi anak cucu kita. Malah sebaliknya keberadaan kita hanya membawa pesan kejahatan dan kerusakan kolektif bagi mereka.

Maka sebelum semuanya menjadi terlambat, kini waktunya bagi kita untuk memulai menyampaikan pesan berantai yang akan membentuk kecerdasan dan kebaikan kolektif ini. Bukan hanya pesan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan – agar menjadi mudah untuk ditiru dan disempurnakan.

Di antara pesan-pesan tersebut adalah bahwa – apapun yang dialami umat ini saat ini, kita tidak perlu merasa lemah dan bersedih karena umat ini adalah umat tertinggi bila kita benar-benar beriman (QS 3 : 139). Yang kita butuhkan untuk (kembali) menjadi umat tertinggi ini adalah kita harus menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan nasihatNya (QS 3:138) untuk segala urusan kita (QS 16:89). Bumi masih akan makmur sekali lagi ditangan kaum Muslimin sebagaimana kabar nubuwah yang disampaikan oleh junjungan kita nabi akhir jaman Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya tetapi dia idak mendapatkan seorangpun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai.” (HR: Muslim).

Kepemimpinan di dunia-pun masih akan akan sekali lagi bergilir ke tangan kaum muslimin sebagaimana hadits : “Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang memaksa (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).

Maka bisa jadi kita sekarang hidup dalam situasi yang kita tidak sukai – karena memang kita sedang dalam kekuasaan ‘raja-raja’ yang memaksa atau mulkan jabariyah. Entah berapa lama dan berapa generasipun ini harus kita lalui – sejauh pesan-pesan kecerdasan dan kebaikan kolektif yang kita teruskan ke anak dan cucu kita, maka insyaAllah pada waktunya nanti akan datang kembali kejayaan umat ini.

Kejayaan umat yang mirip dengan eranya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali  – yang semoga Allah ridlo kepada mereka semua – kejayaan umat yang dalam hadits tersebut di atas disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwah. Untuk perjalanan sampai kesana, generasi sesudah kita harus lebih baik dari kita dan untuk saat ini peran itu adanya pada diri kita. Bila pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan, insyaAllah akan menghasilkan kebaikan dan begitu pula sebaliknya.

Maka saat inilah waktunya kita mulai memainkan peran untuk membangun generasi yang secara kolektif lebih baik. Generasi yang lebih paham dan lebih dekat dalam pengamalan petunjuk-petunjukNya dan sunnah-sunnah nabiNya. Generasi yang akan kembali memakmurkan bumi menjadi semakmur-makmurnya, dan sekaligus juga generasi yang akan bener-bener menjadi khalifah di muka bumi ini. InsyaAllah.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar

Karena itulah, kalimat seruan ini yang ingin selalu kusampaikan, lewat berjuta kata yang tercucur dari Sang Khalik. Walaupun, selalu kalian berkata, “Ah, omong doang!” Namun, begitu lebih baik, ruangan cercaan dan makian itu yang harus selalu ada dalam perjalanan ini. Agar seruan ini bukan hanya untuk para dai saja. Namun, seruan ini juga untuk semua saudara seiman. Karena memang, sebuah seruan harus diucapkan dan disampaikan, bukan hanya dinikmati pribadi.

Memang seperti itu. Bukan karena seruan ini sehingga hanya berdiam diri tanpa bergerak. Sejatinya, dalam hati yang paling dalam, justru takut ketika gerak kami kau lihat. Ketakutan akan sebuah keikhlasan yang akan semakin terkikis. Atau, bahkan orientasi gerak yang hanya karena manusia saja. Sungguh, keinginan besar dalam hati ini, agar semua gerak hanya Sang Pencipta yang tahu. Agar kesombongan dalam hati ini mudah teratasi. Agar balasan atas apa yang kami perbuat hanya dari Sang Maha Pembalas.

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam (mengerjakan) hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim).

Ada beberapa pelajaran penting dalam hal ini. Pertama, mukmin yang kuat lebih disukai daripada mukmin yang lemah. Tetapi keduanya memiliki kebaikan, sehingga mukmin yang lemah pun tak dapat diremehkan. Kedua, salah satu kunci kebaikan dan kekuatan itu adalah kesungguhan yang benar-benar kuat dalam hal-hal yang bermanfaat. Ia bersemangat melakukan manakala mengetahui bahwa itu merupakan kebaikan yang membawa manfaat bagi agama, betapa pun ia tak begitu menyukai. Ketiga, tak akan kuat dan tak akan sanggup kita menghadapi keadaan jika kita merasa lemah (????????); yakni merasa tak sial, tak ada harapan, atau sia-sia.

Bikin keluar air mata juga melihat beberapa bulan ini, adanya dan mulainya muncul bibit persatuan ini. Terimakasih.

“Perumpamaan kaum mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mohon maaf bila tulisan dalam link ini menyangkut beberapa pokok hal yang berbelit-belit karena salah satu tujuan dari beberapa tujuan tersurat dan tersiratnya adalah memberikan penjabaran agar seseorang tidak mentuhankan “faham” agamanya atau ideologinya, bukan mentuhankan Allah SWT, dimana ia sebenarnya dapat melihat kebenaran lainnya terhadap “faham” dan ia mengabaikannya. seperti serupa atheis, banyak yang mengira bahwa atheis itu tidak mempunyai Tuhan, padahal rata-rata mereka mentuhankan pikirannya/otaknya/akalnya atau ilmu pengetahuannya saja, mentuhankan diri sendiri yang selalu benar, contoh model lain yang mungkin saja serupa adalah ahmadiyah, qadariyah, khawarij, JIL, Syiah, dsb. Juga memberikan pelajaran kepada mereka yang menjadikan uang, jabatan dan dunia sebagai Tuhan anak, apa pun yang ada didunia ini adalah ciptaanNya, jadi bentuk apapun yang hadir didunia ini bila ia dijadikan Tuhan sama saja dengan menyekutukanNya dengan sesuatu. Kita bisa saja berkata atau menampakkan bahwa Tuhan saya adalah Allah SWT, tapi Allah SWT yang maha mengetahui apa yang kau kandung didalam hatimu, termaksud apa yang “sebenarnya” terkandung pada diri penulis ini dan terakhir menyangkut masalah nyata didepan mata tentang pileg dan pilpres.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Anas ibn malik bersabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam (kepada seorang khawarij); Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, bukankah jiwamu berkata kepadamu saat kau mendatangi kami bahwa tidak ada seorang pun di sini yang lebih afdhol darimu? Ia menjawab;  iya. Lalu ia pun masuk masjid dan shalat. (HR. Ahmad, Abu Ya’la).

Sunan Abu Daud 4255: Abu Hurairah berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua orang laki-laki dari bani Isra'il yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat dalam beribadah. Orang yang giat dalam beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, "Berhentilah." Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah." Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!" Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga." Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?" Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam neraka." Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.”

Inti dari hadis diatas adalah, janganlah anda merasa lebih tahu terhadap luasnya ampunan Allah swt, lalu mengatakan terhadap seseorang walaupun buruk perangainya, bahwa Allah pasti tidak akan mengampuninya. Sungguh ampunan Allah seluas langit dan bumi, diberikan kepada siapapun yang dikehendakinya. Tapi bukan pula mengartikan menyampaikan pencerahan tidak perlu dilakukan atau pun menyampaikan kabar dan peringatan (dakwah) atau memaparkan penyimpangan yang bertentangan dengan syariat tidak perlu dilakukan karena point diatas adalah terhadap kasus-kasus pada keadaan tertentu yang hanya Allah SWT yang tahu. Mungkin salah satu contoh secara dhahir porsinya adalah “pemaksaan yang dzalim” dan “penempatan yang haq tidak pada tempatnya” yaitu larangan melampaui batas antara respon atau sikap sesama ahlusunnah dengan ahlusunnah agar tidak cerai berai dan saling mengkafirkan, batasi dengan ilmu, ada dikatakan contoh ini seperti orang menghina ibu bapak orang lain kemudian orang lain itu pun menghina ibu bapaknya.

Tirmidzi meriwayatkan hadits (yang menurut penilaiannya hadits itu hasan) dari Anas bin Malik ra ia berkata: "aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya pula”.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisa’: 48).

Dari Hurairah r.a meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda: Setiap hari Isnin dan hari Khamis, amal-amal manusia akan dipersembahkan dihadapan Allah SWT dan Allah SWT akan mengampuni mereka pada hari itu bagi orang yang tidak mensyirikkan sesuatu dengan Allah, kecuali seorang yang memusuhi akan saudaranya (orang ini akan kecewa dari pengampunan Allah). (Malaikat) akan mengatakan kepadanya: Tinggalkanlah kedua orang ini sehingga kedua-duanya bermaaf-maafan, tinggalkanlah kedua orang ini sehingga kedua-duanya saling bermaaf-maafan. (HR Muslim)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran:105)

Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran Al Jauni dari Jundab bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bacalah alquran, selama menjadikan hati kalian bersatu padu, namun jika kalian berselisih, tinggalkanlah." Abu Abdullah berkata, Yazid bin harun berkata dari Harun Al Al'war telah menceritakan kepada kami Abu Imran dari Jundab dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Bukhari).

Umat Islam Dilarang Bercerai-Berai
Dunia politik umat Islam di Indonesia tercerai-berai dalam beberapa partai politik, baik parpol berasaskan Islam maupun parpol berbasis massa umat Islam. Padahal dari proses hitung cepat pada pemilihan legislatif yang baru lalu, total perolehan parpol Islam tidak kurang dari 32%, sebuah angka yang dapat ditukar secara langsung dengan tiket pencalonan presiden yang mensyaratkan perolehan minimal 20% anggota legislatif pusat atau perolehan 25% pemilihan tingkat nasional bagi parpol yang akan mencalonkan presidennya sendiri tanpa koalisi.

Larangan Bercerai-berai
Sudah berulangkali umat Islam diseru untuk bersatu, baik pada level lokal, nasional, regional maupun internasional. Sesungguhnya seruan yang lebih tepat adalah “larangan untuk bercerai-berai”, bukan untuk bersatu, sebagaimana Allah Swt menyeru dalam Alquran:

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran:105)

Disamping kita diseru oleh Allah Swt untuk tidak bercerai-berai ataupun berselisih, kita juga diseru-Nya untuk bersama-sama berpegang erat pada tali (agama) Allah:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)

Persatuan pada hakikatnya merupakan “hasil”, bukan “tujuan”, dari kesungguhan umat berpegang teguh pada agama Allah yaitu Alquran dan sunah Nabi Saw. Dengan berjamaah berpegang teguh pada Alquran dan As-sunah maka otomatis umat akan bersatu, kebalikannya dengan mengikuti jalan-jalan selain yang telah diajarkan Alquran dan As-Sunah maka otomatis umat akan bercerai berai:

dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. An-Naml: 153)

Allah azza wa jalla yang dapat mempersatukan umat Islam, bukan kemauan semata umat itu sendiri:

dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)

Nabi SAW mengajarkan agar umat Islam menjaga diri dari perselisihan satu sama lain dalam segala hal, bahkan termasuk dalam hal mendalami Al-Quran:

Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran Al Jauni dari Jundab bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bacalah alquran, selama menjadikan hati kalian bersatu padu, namun jika kalian berselisih, tinggalkanlah." Abu Abdullah berkata, Yazid bin harun berkata dari Harun Al Al'war telah menceritakan kepada kami Abu Imran dari Jundab dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Bukhari).

Kondisi yang ada dewasa ini betapa umat Islam mudah sekali berselisih, bercerai-berai, saling menghujat, saling pecat-memecat dalam berorganisasi, perang saudara dan sebagainya, untuk kepentingan yang sebagian besar urusan duniawi belaka. Sedangkan berselisih dalam mendalami Alquran saja dilarang oleh Nabi SAW apatah lagi berselisih dalam urusan lainnya.

Umat Bersatu tidak akan Terkalahkan
Sering kita dengar dalam pengajian atau berbagai pernyataan bahwa jika umat bersatu maka tidak akan terkalahkan. Sebetulnya kata-kata itu bukan semata kata-kata sloganistis, melainkan kata-kata yang mengandung kebenaran berdasarkan hadits Nabi SAW yang cukup panjang tapi saya ambil bagian yang langsung terkait saja:

Aku (Allah SWT) tidak akan menjadikan umatmu dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala mereka, meskipun mereka diserang dari berbagai penjuru, kecuali jika sesama umatmu saling menghancurkan dan saling menawan (HR. Muslim).

Untuk itu umat Islam perlu melakukan instrospeksi dengan siapa akan bersatu atau berkoalisi sebagaimana telah diperingatkan Nabi Saw:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Saw bersabda, "Agama seseorang itu cenderung mengikuti agama temannya, oleh karena itu setiap orang dari kalian hendaknya melihat (memperhatikan) siapa yang ia pergauli." {Musnad abu Dawud (4833), Hasan. At-Tirmidzi (2497)}

Nabi Saw juga telah memperingatkan:
Dari Abu Hurairah ra (hadits ini sampai kepada Rasulullah Saw secara marfu'). Beliau bersabda, "Ruh-ruh itu laksana tentara yang bersenjata, mereka yang saling mengenal (cocok) akan bersatu, dan yang bertentangan akan bercerai berai (berselisih)." {Sunan Abu Dawud (4834), Shahih: Al Misykah (5003) edisi kedua, Adh-Dha'ifah (5527): Muslim, Bukhari dengan komentar dari hadits Aisyah RA.}

Ada sebuah ungkapan yang terkenal dewasa ini yaitu “the law of attraction”, yang artinya kurang lebih seseorang akan tertarik satu sama lain jika ada kesamaan pikiran. Ungkapan ini menyerupai dengan hadits terakhir di atas.

Lantas bagaimanakah agar kita bisa menjadi ruh-ruh yang saling cocok satu sama lain? Tidak ada jalan lain kecuali kita mengikuti perintah Allah Swt sebagaimana telah disebut di atas: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..."

Wallaahua’lam bisshawab.

Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama se-Dunia mengatakan: Jika kita benar-benar memahami perbedaan variatif, maka kita bisa memasukan keragaman kelompok dan gerakan Islam yang berjuang membela Islam dan mengatasi semua problematikanya sebagai bagian dari perbedaan variasi (ikhtilaaf at-tanawwu), bukan perbedaan kontradiktif (ikhtilaaf at-thudhad). Seperti untuk membebaskan bumi Islam, seperti membangkitkan umatnya, dan meninggikan kalimatnya.

Dengan kata lain, kita harus menjadikan keragaman kelompok dan gerakan Islam yang semuanya berjuang demi Islam tersebut, sebagai keragaman dalam variasi dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif yang mengakibatkan konflik. Ini berarti ada salah satu kelompok yang bekerja dalam bidang akidah, yang berusaha mempertahankannya dan menghapus keraguan-raguan yang dilontarkan ke arahnya, serta membersihkan diri khurafat dan hal-hal yang mengakibatkan kemusyrikan.

Ada juga kelompok yang bekerja dalam bidang ibadah, yang berusaha mendekatkan umat kepada rukun-rukun Islam amaliyah praktis dan ibadah-ibadah yang pokok. Juga berusaha memberi pemahaman yang benar kepada umat tentang semua hal yang berkaitan dengan rukun-rukun dan ibadah-ibadah tersebut, khususnya dalam masalah salat. Karena salat adalah pilar agama Islam dan kewajiban sehari-hari umatnya, dan dijadikan oleh Allah pembeda antara orang mukmin serta orang kafir. Juga merupakan momen bertemunya seorang muslim dengan Tuhannya.

Kelompok lainya lagi bekerja dalam bidang pemikiran dan kebudayaan. Dengan bidang ini mereka berjuang untuk menghadapi al-qhazwul fikriy (perang pemikiran), serta imperialisme kebudayaan yang ditujukan kepada umat. Mereka juga berjuang untuk membebaskan otak orang-orang muslim, terutama para tokoh dan para pemikiran dari pengaruh budaya barat. Kelompok ini berjuang melalui jalur tulisan, mengadakan seminar, mendirikan pusat-pusat penelitian dan kebudayaan, serta menerbitkan koran, jurnal-jurnal keilmuan dan pemikiran, untuk menghadapi serangan dari luar. Karena serangan yang berdasarkan dengan bukti dan argumen, hendaknya dihadapi dengan jawaban yang juga berdasarkan bukti serta argumen. Begitu pula dengan serang  yang bersifat pemikiran, harus dihadapi dengan pemikiran.

Lalu kelompok lainya lagi bekerja dalam bidang pendidikan. Kelompok ini bekerja dengan mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas Islam sebagai tempat belajar para generasi muslim, yang terkadang tidak mampu memdapatkan pendidikan formal di sekolah atau universitas pemerintah. Sehingga dengan usaha ini, para generasi muslim mampu menerima kebudayaan dan pengetahuan yang bersih dari debu dan kotoran-kotoran yang merusak, yang terkadang dibawa oleh kebudayaan asing atau juga yang diwariskan oleh kebudayaan Islam pada massa-massa kemunduran.

Kelompok lainya juga berjuang dalam bidang baru, yaitu dalam bidang ekonomi. Kelompok ini berjuang dengan mendirikan bank-bank Islam dan perusahan-perusahan Islam, yang beroperasi berdasarkan hukum syara’ dan kaidah-kaidahnya, di samping menjauhi transaksi yang diharamkan, terutama riba. Karena Rasulullah Saw mengharamkan semua unsur yang terlibat di dalam riba ini, orang yang memakanya, pemberianya, pencatatnya, dan para saksinya. Kemudian kelompok ini memberikan kesempatan bagi investasi yang halal dan mempunyai peran dalam meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat berdasarkan aturan syara’.

Lalu kelompok lainnya berjuang dalam bidang yang sangat krusial dan mendesak, yaitu bidang publikasi --baik yang dibaca visual maupun audio visual. Mereka bekerja dengan menerbitkan majalah atau jurnal musiman, bulanan ataupun juga mingguan, di samping koran harian, kelompok ini juga berjuang dengan membuat stasiaun radio Islam, mendirikan stasiun televisi yang menjangkau seluruh penjuru dunia untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan problematika umatnya. Juga mendirikan kantor-kantor berita, baik visual maupun audio visual, serta membuat situs Islami untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dijaringan internet, atau dengan melakukan usaha-usaha yang lain.

Kelompok Islam lainya memasuki bidang politik dan menawarkan program-program untuk perbaikan dan peningkatan kualitas penduduk. Hal ini dilakukan dengan menggunakan cara damai yang legal yaitu mengikuti pemilihan umun dan melaksanakan cara-cara demokratis. sehingga, tidak membiarkan panggung politik hanya dipenuhi oleh orang-orang sekuler, baik dari aliran Liberal maupun Marxis. Namun, kita bersaing dengan mereka dengan menjadi anggota perlemen. Dalam bidang politik, kelompok ini bersama-sama di dalam pemerintahan, bisa juga menjadi oposisi.

Kelompok lainya lagi berjuang dalam medan jihad fisabilillah, kususnya jika wilayah mereka dikuasai oleh musuh. Maka, kelompok ini berjuang dalam rangka membebaskan bumi mereka; menghadapi musuh dan memobilisasi penduduk dalam mengusir musuh, mempersiapkan para pemuda, baik secara fisik, psikologis maupun peralatan perang untuk berjuang fi sabilillah.

Adalah memungkinkan bagi satu kelompok Islam untuk bekerja dalam dua bidang atau lebih, atau bahkan bekerja dalam seluruh bidang. Ini jika memang mereka mempunyai kemampuan dan sarana, baik berupa materi maupun sumber daya manusia.

Dan yang penting di sini diharapkan medan perjuanganya dalam semua bidang tersebut, mampu mencakup seluruh lapisan umat. Sehingga muslim yang paling lemah pun juga ikut andil di dalamnya jika memang ada.

Namun yang penting lagi, hendaknya setiap kelompok memperhatikan beberapa hal berikut,

Pertama, semua berkeyakinan bahwa bekerja dalam berbagai bidang tersebut di atas adalah tuntunan.Barang siapa yang memasuki salah satu bidang, kemudian melaksanakan tugasnya dengan baik, maka ia telah menunaikan fardhu kifayah dan menggugurkan dosa dari seluruh umat.

Kedua, seluruh kelompok harus saling memahami dan melakukan koordinasi. Hal ini dapat terwujud dengan saling membantu dan saling melengkapi, bukanya saling menjatuhkan. Karena tidak dapat dibayangkan jika ada satu kelompok yang membangun kelompoknya diatas puing-puing saudaranya sendiri.

Ketiga, tidak membiarkan musuh-musuh Islam dan umatnya memecah belah. Juga tidak membiarkan mereka memanfaatkan perbedaan-perbedaan kecil yang ada di dalam tubuh umat Islam, sebagai alat untuk menimbulkan perselisihan. Karena sesungguhnya umat Islam bagaikan satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut menanggungnya.

Keempat, bersama-sama dalam satu barisan, dalam mengatasi masalah-masalah yang sangat krusial dan mendesak. Ibarat sebuah bangunan yang kokoh yang saling menguatkan. Karena, ketika menghadapi peperangan maka barisan umat harus diarapatkan dan membuang perbedaan-perbedaan kecil yang ada. Allah  berfirman,

“Sesungguhnya allah menyukai orang yang berperang dijalanya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)

Red: shodiq ramadhan, dinukil dari Kitab karya Dr Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa nata’âmal ma’a al-Turats. http://www.suara-islam.com/read/index/9118/Menyikapi-Keragaman-Kelompok-dan-Gerakan-Islam-pada-Abad-ini

Berkata Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh; Bid’ah identik dengan furqoh/perpecahan sebagaimana Sunnah identik dengan jamaah/persatuan. Sehingga disebut ahli sunnah wal jamaah sebagaimana disebut pula Ahli bidah walfurqoh. (Al Istiqomah 1/42)

Marilah kita bersama – sama menyimak dan mengambil faedah dari hadits berikut, tentang ucapan Nabi ketika mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman : (Mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan buat lari, dan bersatulah atau kompaklah kalian dalam dakwah dan jangan berselisih atau berpecah). Hadits diatas adalah nasehat Nabi kepada para Da’i secara umum, yang ternyata kita saksikan dalam penerapan amat jauh, Nabi memerintah untuk mempermudah malah kita mempersulit, Nabi melarang jangan membuat lari malah kita membuat lari, Nabi memerintah kita harus kompak dan bersatu malah kita berselisih dan bertikai dan berpecah, ini fakta. Setelah ditelusuri ternyata mereka memiliki segudang syubhat yang mereka sebut dengan alasan dan hujjah untuk membenarkan sikapnya sehingga buta melihat kenyataan dari hasil pergerakan dakwah mereka.

Alkisah : Umar segera berbicara di hadapan para rombongan dan mengumumkan bahwa ia akan kembali. Abu Ubaidah bin al Jarrah berkata, “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah?” Umar berkata, “Wahai Abu Ubaidah, andai bukan engkau yang berkata demikian. Iya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bagaimana menurutmu, jika engkau memiliki seekor unta yang akan engkau gembalakan di suatu lembah yang memiliki dua bukit, yang satu subur dan yang satu kering. Bukankah jika engkau menggembalakannya di bukit yang subur, engkau melakukannya dengan takdir Allah, dan begitu pun jika engkau menggembalakannya di bukit yang kering, engkau melakukannya juga dengan takdir Allah?

Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf datang setelah sebelumnya ia pergi untuk suatu keperluan, lalu berkata, “Aku memiliki suatu ilmu berkaitan dengannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mendengar tentangnya (wabah penyakit) ada di suatu negeri, maka janganlah engkau mendatanginya, namun jika ia terjadi di suatu negeri dan kalian ada di sana, janganlah engkau lagi darinya.” Umar lalu memuji Allah dan pergi. (HR Bukhari)

Ini adalah salah satu contoh ijtihad kolektif. Umar mengumpulkan orang-orang dan mengajak mereka bermusyawarah, tidak berpendapat secara individu. Lihatlah dalam kisah ini Umar sampai mengumpulkan orang-orang sebanyak tiga kali sampai pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Abdurrahman bin Auf datang dan menginformasikan bahwa hukum yang dipegang oleh pendapat Umar, ia lah yang sesuai dengan ilmu yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ad Darimi meriwayatkan dari al Musayyib bin Rafi’, ia berkata, “Dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika terjadi pada mereka suatu kasus yang mereka tidak dapatkan hadis dari Rasulullah, mereka berkumpul, maka kebenaran ada pada pendapat mereka.” (Sunan Ad Darimi)

Hasan berkata, “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah melainkan Allah akan memberi petunjuk kepada mereka kepada urusan yang paling utama.” Dalam lafadz lain, “Melainkan Allah akan memberi untuk mereka petunjuk atau yang bermanfaat.”

Berkumpul dan bermusyawarah akan membuka pintu dialog dan diskusi, masing-masing peserta akan mendapatkan ilmu, fikih, pengetahuan, metode istinbath pada orang lain yang tidak ada pada dirinya. Dengannya, beragam pemahaman akan semakin dekat dan celah untuk berselisih semakin kecil.

Alm. Buya Hamka pernah berkata, "Bencana yang terjadi bukannya tanpa sebab, sebenarnya ada satu bencana yang terjadi di negeri ini yang belum pernah diselesaikan dan mungkin (bisa jadi) merupakan pemicu bencana alam yang terjadi di bumi pertiwi ini, yaitu bencana moral"

Agama Allah lebih berhak dibela ketimbang sosok yang ditokohkan, jika kami melihat kemungkaran daripada makar-makar mereka, apakah kami hanya diam saja?

Pesan kami kepada saudara saudaraku tercinta muslimin dan camkanlah, Selama kita masih suka berbuat maksiat, masih suka berbuat zhalim baik kepada diri sendiri maupun orang lain, Allah Ta'ala tidak akan memberikan kepada kita pemimpin yang baik,maka seiring perjalanan waktu ini teruslah merubah diri menjadi lebih baik, karena Allah Ta'ala telah berfirman:

"Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan." (Al-An'aam: 129)

Fakhruddin Ar-Razi berkata:

"Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zhalim maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman yang mereka lakukan." [Tafsir At Tahrir wat Tanwir, karya Ibnu Asyur (8/74)]

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zhalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.

Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala." (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar Ra’du: 11)

Ali bin Abi Thalib berpesan, “Kezhaliman akan terus ada. Bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.”

Hal Ini menunjukkan bahwa kekuasan akan menopang tegaknya agama. Berkata Ustman bin Affan: “Sesungguhnya Allah bisa mencegah dengan kekuasaan apa yang tidak bisa dicegah dengan al-Qur’an “

Kalau agama tegak, maka stabilitas keamanan akan terwujud. Sebagaimana firman-Nya : “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.  Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Qs. Quraisy: 1-5)

Ayat di atas menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan dua hal yang pokok di dalam hidup ini, yaitu mereka membutuhkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar, dan yang kedua mereka membutuhkan rasa aman sehingga hidup mereka tidak ketakutan. Ini bisa terwujud jika Negara dipimpin oleh orang yang menegakkan tauhid dan memerintahkan rakyatnya untuk menyembah Allah.

hadits shohih bukhori no hadits 6132 Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah ra, dia berkata: Nabi Saw pernah bersabda kepada saya, “Hai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan atas permintaanmu, maka kamu akan memikul beban yang berat, tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa kau minta, maka kamu akan diberi pertolongan. Apabila kamu mengucapkan sumpah akan melaksanakan sesuatu, kemudian kamu mengetahui suatu yang lain yang lebih baik, maka bayarkan kaffarah untuk menebus pembatalan sumpahmu.
Pen: ada juga dalam konteks lain, meminta jabatan dibolehkan seperti kisah nabi Yusuf as.

Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata, 'Saya duduk di sisi Nabi shalallahu alaihi wasallam, maka seorang lelaki berkata, "Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata. Mereka mengatakan, "Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai." Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menghadapkan wajahnya dan besabda, "Mereka berdusta!!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan sentiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebahagian manusia dan memberi rezeki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiamat, dan sampai datangnya janji Allah. Kebaikan sentiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat. Dan Allah telah mewahyukan kepadaku bahawa aku akan diwafatkan. Aku tidak akan kekal di dunia ini, dan kamu akan saling menyusulku, sebahagian kamu memerangi sebahagian yang lain. Dan kampung halaman kaum beriman adalah Syam."

Mengutip pernyataan Syaikh Osama bin Laden, untuk ‘membangun kekuatan Islam di tengah perselisihan ummat’ adalah hanya dengan satu cara, yakni berlaku adillah kepada kawan dan lawan, sesuai dengan QS. Al-Maidah ayat 8. Dan harus meletakkan atau menempatkan pada tempatnya yang benar.

“Lihatlah kebenaran dari hakikatnya, bukan dari siapa yang mengusungnya. Bersabarlah, karena tidak ada manusia yang ma’shum kecuali Rasulullah shalallahu’alaihi wassallam. Tidak semua yang bersalah itu berdosa, karena boleh jadi seseorang bertindak karena tidak berilmu. Jangan ikuti yang salah. Jangan bermusuhan karena berbeda pendapat. Kesalahan ada tingkatannya, maka tidak menutup kemungkinan dapat ditaubati pelakunya. Jika ada saudara Muslim yang dzolim, maka maafkanlah, semoga ia dapat bertaubat, dan jika tak ditakdirkan bersatu, maka berpisahlah dengan alasan dan cara yang syar’i.”

Doa: Ya Allah, engkau adalah Rabb ku tidak ada yang berhak disembah selain engkau, engkau yang telah menciptakanku dan aku adalah hambamu, dan aku berada di atas perjanjian-Mu semampuku, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku perbuat, aku mengakui nikmatmu atas ku dan aku mengakui dosa-dosaku maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain-Mu…

***Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang mengucapkannya pada siang hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum sore, maka ia termasuk penghuni surga. Dan siapa saja yang mengucapkannya pada malam hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk penghuni surga (HR Bukhari: 5659)


(gemaislam) - Pada saat Alloh SWT. Menggambarkan kegembiraan kaum Muslimin - di awal surat Arrum - disebabkan kemenangan Kerajaan Romawy melawan Kerajaan Persia, karena pertimbangan bahwa Romawy Ahlulkitab sedangkan Persia Majusy musyrikin, dengan dukungan ini apakah berarti kaum muslimin pada saat itu sedang membenarkan ajaran Ahlulkitab yang menjadi agama kerajaan itu?

Pada saat Rosululloh SAW. memilih Habasyah menjadi tempat berhijrahnya para Sahabat RA. dengan pertimbangan Rajanya adalah Najasyi sebagai seorang raja yang adil, apakah  berarti beliau sedang membenarkan ajaran Nashrony yang dipeluk oleh Najasyi?

Dari kedua kejadian penting ini kita mendapatkan pelajaran bahwa : tidak ada kelaziman atas orang yang memilih sesuatu atau mendukungnya maka berarti dia sedang memilih atau mendukung seluruh hal yang terkait dengan sesuatu yang dipilih atau didukungnya, sehingga dia harus ikut menanggung dosa yang melekat pada apa yang dipilih atau didukungnya.

Sedangkan dalam “Paradigma Takfiry” kelaziman ini berlaku, akibatnya orang yang ikut memilih dalam “Pemilu” dengan alasan apapun, berarti dia sedang mendukung demokrasi, maka dia menanggung dosa yang melekat pada para pembuat demokrasi tersebut.

Sebagai Muslimin yang taat kepada Pemerintah yang telah berkuasa, disaat kita diperintahkan oleh mereka untuk memilih dalam acara yang disebut “Pemilu” yang telah menjadi produk mereka, bukan produknya orang kafir. Apakah disaat seorang muslim di negeri ini ikut memilih maka dia telah melaksanakan produknya orang kafir, karena demokrasi adalah produknya orang kafir? berarti dia telah menjadi pendukung demokrasi? Akibatnya dia tidak selamat dari azab Alloh? Bukankah ini “Paradigma Takfiry”?

Pada saat Muslimin di negeri ini memilih para wakil rakyat untuk duduk didalam Parlemen dalam rangka memperjuangkan kebenaran Islam dan kesejahteraan Muslimin, apakah mereka jadi orang kafir karena mengikuti Demokrasi dan mendukungnya, sehingga akibatnya mereka semua tidak selamat dari azab Alloh? Bukankah ini “Paradigma Takfiry”?

Pada saat seseorang menjadi anggota Parlemen, dia ikut duduk membahas undang-undang dan aturan-aturan yang akan berlaku di negeri ini, maka dengan gigih dia bersama saudara-saudaranya sesama muslimin lainnya memperjuangkan agar setiap pasalnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak merugikan umat Islam, bahkan dia berjuang siang-malam agar lahir manfaat yang besar untuk Islam dan Muslimin. Apakah dengan usahanya itu dia tetap disebut sebagai “Pendukung Demokrasi”? dan dia tidak selamat dari azab Alloh?

Kalau diantara “Salafiyin” ada yang menjawab “Ya” dengan alasan tidak mungkin Islam diperjuangkan di parlemen dan Islam tidak mungkin menang dengan demokrasi selama-lamanya, maka inilah yang dimaksud “Paradigma Takfiry”.

Seringkali kita melupakan “Proses” yang panjang untuk sampainya suatu event berupa “memilih” didalam acara “Pemilu”, hal itu digambarkan dengan ringkas sebagai berikut :

1. Dimulai dengan lahirnya “Sistem Demokrasi” yang dibuat oleh orang barat yang notabene mereka adalah orang-orang kafir.
2. “Sistem Demokrasi” ini dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, diajarkan secara ilmiah dalam materi kuliah, diopinikan tanpa henti, diberitakan secara besar-besaran dan dipaksakan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dan bahkan kalau ada pemerintah yang menolaknya maka mereka dilawan dan dijatuhkan oleh gerakan rakyat yang disebut dengan “Demonstrasi”, “Reformasi” dan “Revolusi”.
3. "Sistem Demokrasi” berikutnya DIADOPSI oleh berbagai Negara Islam di dunia, termasuk Indonesia, maka sebagai akibatnya  banyak dari kalangan Muslimin yang masuk kedalam lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
4. Muslimin yang telah terpilih sebagai anggota Parlemen pun masuk kedalam lembaga Legislatif, maka mereka bekerja menyiapkan undang-undang dan aturan-aturan yang akan berlaku di negeri ini, dan diantara hasil kerja mereka adalah “Pemilu” dengan berbagai macam acaranya.
5. Berikutnya event untuk memilih berikutnya telah siap tersaji dihadapan setiap muslim yang menjadi penduduk negeri ini, tanpa harus ikut campur dalam mengelola sistem demokrasi diatasnya.

Muncul sekarang pertanyaan : Apakah seorang muslim yang ikut memilih karena dia taat kepada negaranya, bukan dalam rangka berbuat maksiat, namun semata-mata karena ingin memilih Wakil Rakyat dan Presiden yang muslim dan dianggap akan mampu melindungi Islam dan Muslimin,  maka secara otomatis dia telah menjadi Pendukung “Demokrasi”? dan sebagai akibatnya dia tidak selamat dari azab Alloh? Bukankah ini adalah “Paradigma Takfiry”?

Padahal disaat “Demokrasi” diusung oleh Muslimin yang memiliki sifat-sifat : amanah, aqidahnya benar dan manhajnya sesuai sunnah, maka akan menghasilkan undang-undang dan aturan-aturan yang menghalalkan apa yang Alloh halalkan dan mengharamkan apa yang Alloh haramkan. Apakah masih tetap mereka disebut “Orang Kafir”? karena mendukung demokrasi dan mereka tidak akan selamat dari azab Alloh? Bukankah ini adalah “Paradigma Takfiry”?

Pada saat ini bahaya Agama Syiah, Aliran sesat dan Liberalis telah membentuk kekuatan yang dahsyat di berbagai penjuru negeri ini, mereka mendapat dukungan moril dan materiil dari negara-negara kaya, prajurit-prajurit mereka telah menyelusup masuk kedalam tubuh partai, ormas, lembaga pemerintah, keamanan dan pertahanan serta mereka menguasai media-media yang sangat berpengaruh di negeri ini.

Mereka telah menjadi racun yang sangat berbahaya, sementara sangat sedikit jumlah orang yang mengerti akan bahaya mereka dan sudah berapa besar ukuran mereka pada saat ini, akibatnya orang pada level ustadz sekalipun masih menganggap remeh dan tidak mau tahu, bahkan masih mampu mengatakan WAIT AND SEE !

Apakah racun perlu dicoba untuk diketahui seberapa besar bahayanya? Bahkan kita perlu coba untuk kita bandingkan dengan “Pemilu” yang kita ikuti untuk memilih Pemimpin yang kita harapkan akan mampu melindungi Islam dan Muslimin, bukan membiarkan Pemimpin yang akan membela musuh-musuh Islam dan Muslimin.

Apakah kita perlu menunggu lahirnya ulama di negeri ini?, karena anggapan “Ulama yang mengerti permasalahan di suatu negeri adalah Ulama negeri itu sendiri”, sementara persepsi kita tentang siapakah yang layak disebut “Ulama” akan berbeda-beda, sehingga akan jadi polemik baru berikutnya. Maka korban-korban racun itu semakin banyak dan kita semakin kewalahan, karena menunggu sesuatu yang tidak jelas limit dan definisinya.

Syaikh Muqbil bin Hadi rohimahulloh disebut-sebut sebagai Ulama yang memfatwakan HARAMNYA PEMILU, karena beliau tinggal di negeri demokrasi. Mengapa tidak disebut pula Ulama Salafy lainnya yang juga tinggal di Yaman, memfatwakan bolehnya ikut Pemilu dan masih hidup sampai saat ini sehingga diyakini lebih mengerti tentang perkembangan terbaru di negerinya.

Bukankah “Demokrasi” dan “Pemilu” telah merebak ke seluruh penjuru dunia, telah termuat dalam bahasan-bahasan ilmiah, ditebarkan oleh berbagai media yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga Ulama di negeri yang belum menerapkan “Demokrasi” sekalipun sudah cukup mengerti dan menguasainya dengan baik, sehingga fatwa mereka bisa dipegangi dan tidak harus Ulama yang kita gandrungi saja.

Polemik ini bisa berakhir jika kita bisa menghormati pendapat orang lain yang berbeda sandaran fatwanya dengan kita, dan mau memaklumi bahwa yang kita hadapi memang fitnah yang selalu menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tergantung darimana dan bagaimana cara kita melihatnya. Mari kita mulai bangkitkan kedewasaan kita bersama. Kita hidup dalam kebersamaan dan persaudaraan. Kita bisa melihat dengan lapang dada saudara-saudara kita yang pergi ke ruang “Pemilu” untuk memilih Presiden yang diharapkannya bisa melindungi Islam dan Muslimin.  
Oleh : Al-Ustadz Yusuf Utsman Baisa, Lc

Sebuah kata-kata indah yang syarat berisi nasehat dan nilai-nilai islam… pengajaran buat para pemimpin.

Anis Matta mengatakan bahwa lima langkah social and state building yang dilakukan Rasulullah SAW adalah: membangun mesjid sebagai pusat aktivitas sosial dan pemerintahan, mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, membangun pasar, membentuk angkatan perang dan membuat perjanjian dengan komunitas lain (Piagam Madinah). Setiap satu percobaan selalu membutuhkan ujian dan ujian bagi kohesi itu adalah perang. Dan itulah yang terjadi, perang terbesar pertama yang dialami komunitas baru itu adalah perang Badar. Dan perang Badar itu terjadi pada pertengahan Ramadhan pertama di tahun kedua hijrah. Lebih dari dua pekan setelah komunitas baru itu melakukan puasa pertama mereka, mereka masuk ke dalam sebuah perang besar. Perang besar yang mengubah arah sejarah mereka dan kelak sejarah jazirah Arab, sejarah kawasan dan kemudian sejarah manusia secara keseluruhan. Puasa dan perang, itulah kisah Ramadan pertama dimasa Rasulullah SAW. Dan apa maknanya?? Semua pencapaian besar dalam sejarah manusia selalu datang dari fondasi spiritual yang kokoh. Fondasi spiritual itu membuat kita bisa eksis dengan sumber daya terbatas, fokus pada cita-cita dan bebas dari gangguan-gangguan kecil yang sering mengalihkan.

Menjadi Ksatria Sunyi itu berat. Kala diragukan; kala dipertanyakan; kala ditinggalkan, bahkan juga dilawan; oleh saudara sendiri. Mari membayangkan Sayyidina 'Ali; pada hari genting itu, kala beliau melihat Al Hasan & Al Husain pulang dari rumah Khalifah 'Utsman. Ketika mendengar bahwa Dzun Nurain sendiri menyuruh para sahabat muda yang menjagainya pulang; beliau kian gelisah. Firasatnya benar. Sayyidina 'Utsman yang berpuasa; hari itu telah memilih untuk membenarkan mimpinya; berbuka bersama Nabi & 2 pendahulunya di surga. Kekacauan & pengepungan telah berjalan berpuluh hari; maka terbunuhnya Sang Khalifah Dermawan secara zhalim kian memuramkan suasana. Dalam masa pelik itu, gelombang manusia mencari para sahabat utama untuk diba'iat. Runyamnya keadaan membuat mereka semua mengelak.

Dalam keadaan terdesak, akhirnya Sayyidina 'Ali menerima bai'at tuk menjadi Khalifah keempat. Beliau tahu, tugasnya akan amat berat. Bayangkan beratnya menjadi 'Ali; kala para insan utama memilih menunda janji-setia padanya dengan alasan kaum muslimin belum sepakat. Merekalah Sa'd, Ibn Umar, Muhammad ibn Maslamah, Hasan ibn Tsabit; padahal nama-nama agung ini amat diharap 'Ali berdiri menopangnya. "Bagaimana kalian mensyaratkan mufakat, padahal muslimin berpencar & kacau?" Tapi mereka melihat fitnah; memilih menumpulkan pedang. Bayangkan beratnya jadi 'Ali; saat cintanya pada 'Utsman diragukan; hanya karena keadaan belum memungkinkan mengqishash pembunuhnya. Bayangkan beratnya jadi 'Ali; ketika Ibunda Kaum Mukminin bersama Thalhah & Az Zubair menanggalkan bai'atnya & berhimpun di Bashrah. Mereka menyebut fakta; bahwa sebagian besar orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Utsman, justru kini menjadi pendukung utama 'Ali. Itu soalannya; jika para sahabat utama meninggalkan Sayyidina 'Ali, siapa yang kan menyokong beliau tuk bertindak atas para durjana?

Di sisi lain; betapa kian rumit bagi 'Ali karena para sahabat utama mensyaratkan baru kan bergabung jika para durjana telah diadili. Betapa berat bagi Sayyidina 'Ali; dua pilihannya tak mungkin diambil. Dan Sayyidina Mu'awiyah telah pula menggerakkan penduduk Syam. Inilah mereka yang Sayyidina 'Ali riwayatkan dari Sang Nabi keutamaannya; Ahlu Syam; kini ada di hadapan beliau tuk memeranginya. Betapa berat jadi Sayyidina 'Ali; ketika disebut tak berhukum dengan hukum Allah karena menerima perdamaian yang getir pula baginya. Betapa berat jadi Sayyidina 'Ali; ketika dari pengikutnya menyempal para qurra', kumpul di Harura', & mengafirkan pelaku dosa besar.

Kaum Khawarij ini; shalat & puasa mereka telah disifatkan Rasulullah akan membuat para sahabatpun merasa kecil atas 'amal sendiri. Ketika mereka sampai tega membunuh beberapa sahabat & tabi'in utama hanya karena mereka mendukung Tahkim Perdamaian; 'Ali bertindak. Ketika 'Ali terpaksa memerangi mereka di Nahrawan; dari lisan mereka terus terlantun ayat Quran & seruan "Inil hukmu illa lillaah!" Maka 'Ali dengan yakin atas petunjuk Rasul namun juga pilu melihat itu berkata, "Kalimatnya haq, tapi kebatilan yang jadi kehendak!" Dan kita nanti tahu; bocah pertama yang masuk Islam ini kelak juga kan terbunuh dalam shalat Shubuh karena dendam hari Nahrawan ini. Sayyidina 'Ali, RadhiyaLlahu 'Anhu adalah Ksatria Sunyi; memikul panji kebenaran di tengah bingungnya ummat & bimbang para sahabat.

Kelak Sa'd ibn Abi Waqqash bertutur; betapa musykil zaman; hatinya bersama 'Ali, tapi tak kuasa jika harus menghadapi sesama Muslim. Kelak Ibn 'Umar bicara; betapa sesal sebab tak berada di sisi Sayyidina 'Ali kala Sang Khalifah sungguh amat memerlukan sokongannya. Kelak Sayyidina Mu'awiyah kan menangis di depan Dhirar ibn Dhamrah; amat kagum akan keshalihan pribadi 'Ali & keteguhan memimpinnya. Dan sejarah mengenang bagaimana beliau (Ali) menguburkan 2 tercinta yang sempat menentangnya; Thalhah & Az Zubair berdampingan di 1 lahat. Sambil menimang putra Thalhah, 'Ali berbisik; "Nak, aku berharap aku & ayahmu termasuk yang difirmankan Allah dalam QS Al Hijr: 47!". "Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam dari dada mereka, sedang mereka bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan."

Semoga Allah susur & susulkan kita di jalan mereka yang diridhaiNya; terus berbekal tuk istiqamah jadi Ksatria, walau Sunyi meraja. Jangan pula kita nanti sesali hati gamang, lisan diam, & tangan yang berpangku; jika ada saudara kita jadi Ksatria Sunyi berjibaku. Pejuang syari'at adalah Ksatria Sunyi; ketika ramai manusia lebih percaya pada kemaslahatan yang datang dari akalnya. Dukung mereka. Pengemban dakwah yang berpayah di gunung & lembah adalah Ksatria Sunyi; ketika ramai insan mengelukan penampil di TV. Dukung mereka. Para Relawan yang menerjuni musibah di dalam & luar negeri adalah Ksatria Sunyi, ketika banyak kita suka tertawa sembari menyinyiri. Para penegak hukum yang bertaruh nyawa di depan penjahat maupun atasan sendiri yang tak sevisi adalah Ksatria Sunyi. Dukung mereka. Para pengusaha jujur, jauhi riba, tak sudi pada money game, & mendidik wirausaha ummat mandiri adalah Ksatria Sunyi. Dukung mereka.

Dan dengan mengucap basmalah; 9 April ini kita juga kan mendukung para Ksatria Sunyi di belantara politik negeri. Moga Allah ridhai. Mereka ada di dunia yang riuh rendah & ramai gempita; tapi ruh yang suci, hati yang jujur, & cinta pada negeri kan kesepian di sana. Mereka ada di gedung megah, ruang mewah, rapat gagah; tapi hati yang mendzikir Allah & akal yang memikirkan ummat kan galau di sana. Mereka menerima gaji besar, menikmati kemudahan berbagai; tapi jiwa juang bersahaja takkan sempat menikmatinya; ada resah menyiksa. Mereka ada di dunia penuh goda, berat cobanya, besar tanggungjawabnya. Membayangkan kelak Allah bertanya kan melenyapkan nyenyaknya.

Kita memang tak tahu isi hati. Tapi mari pilih mereka yang keshalihan zhahirnya dapat dikenali; setidaknya ada Rukun Islam dipatuhi. Jika sukar mengenali satu persatu tiap diri; dapat pula memilih Partai yang mendidik & menyeleksi calon Ksatria Sunyi dengan teliti. Pada ini Shalih(in+at) tentu berhak memilih sendiri. Mohon perkenan, Salim juga pernah tuturkan Kanda Sejati; http://www.pkspiyungan.org/2014/04/dari-salim-fillah-tentang-para-kanda.html. Sesudah itu; mari kita insyafi bahwa mereka yang kita pilih sama sekali bukan Sayyidina 'Ali. Masih tugas kita; menjaga & mengawasi. Memilih orang-orang baik untuk mewakili kita baru 1 langkah membaikkan negeri; terus jaga para Ksatria Sunyi itu agar tegak berdiri. Cermati, ingatkan, awasi, tegur, jewer, & laporkan jika mereka khianat atas amanah ini. Jangan pilih lagi sebelum nyata taubat diri. Tamat bincang ini; dari hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, pencita yang terbelengu kefakirannya. By Salim Fillah.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi sungguh orang yang jauh lebih mulia daripada kita semua, Abu Bakr Ash Shiddiq, pernah mengatakan, “Saya telah dipilih untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah.”

Maka yang kami harapkan pertama kali dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah kesadaran bahwa Anda bukan pahlawan tunggal dalam masa depan negeri ini. Barangkali memang pendukung Anda ada yang menganggap Andalah orang terbaik. Tetapi sebagian yang lain hanya menganggap Anda adalah sosok yang sedang tepat untuk saat ini. Sebagian yang lainnya lagi menganggap Anda adalah “yang lebih ringan di antara dua madharat”.

Tentu saja, mereka yang tidak memiliih Anda menganggap Anda bukan yang terbaik, tidak tepat, dan juga berbahaya.

Dan jika Anda, Pak Prabowo, nantinya terpilih menjadi Presiden, maka mereka semua akan menjadi rakyat yang dibebankan kepada pundak Anda tanggungjawabnya di hadapan Allah. Maka kami berbahagia ketika Anda berulang kali berkata di berbagai kesempatan, “Jangan mau dipecah belah. Jangan mau saling membenci. Kalau orang lain menghina kita, kita serahkan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Maha Besar.”

Dan Anda juga harus menyadari bahwa barangsiapa merasa jumawa dengan kekuasaan, maka beban kepemimpinan itu akan Allah pikulkan sepelik-peliknya di dunia, dan tanggungjawabnya akan Dia jadikan penyesalan serta siksa di akhirat. Adapun pemimpin yang takut kepada Allah, maka Dia jadikan manusia taat kepadanya, dan Dia menolong pemimpin itu dalam mengemban amanahnya.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi sungguh orang yang jauh lebih perkasa daripada kita semua, ‘Umar ibn Al Khaththab, pernah mengatakan, “Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya akan menjadi orang yang terbaik di antara kalian dalam memimpin kalian, orang yang terkuat bagi kalian dalam melayani keperluan-keperluan kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya sudi menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan.”

Maka yang kami harapkan berikutnya dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah cita-cita yang menyala untuk menjadi pelayan bagi rakyat Indonesia.  Sebuah tekad besar, yang memang selama ini sudah kami lihat dari kata-kata Anda. Dan sungguh, kami berharap, ia diikuti kegentaran dalam hati, seperti ‘Umar, tentang beratnya tanggungjawab kelak ketika seperempat milyar manusia Indonesia ini berdiri di hadapan pengadilan Allah untuk menjadi penggugat dan Anda adalah terdakwa tunggal bila tidak amanah, sedangkan entah ada atau tidak yang sudi jadi pembela.

Pak Prabowo, jangankan yang tak mendukung Anda, di antara pemilih Andapun ada yang masih meragukan Anda karena catatan masa lalu. Saya hendak membesarkan hati Anda, bahwa ‘Umar pun pernah diragukan oleh para tokoh sahabat ketika dinominasikan oleh Abu Bakar sebab dia dianggap keras, kasar, dan menakutkan. Tapi Anda bukan ‘Umar. Usaha Anda untuk meyakinkan kami bahwa kelak ketika terpilih akan berlaku penuh kasih kepada yang Anda pimpin harus lebih keras daripada ‘Umar.

Pak Prabowo, kami memilih Anda karena kami tahu, seseorang tak selalu bisa dinilai dari rekam jejaknya. ‘Umar yang dahulu ingin membunuh Nabi, kini berbaring mesra di sampingnya. Khalid yang dahulu panglima kebatilan, belakangan dijuluki ‘Pedang Allah’. Tapi Anda bukan ‘Umar. Tapi Anda bukan Khalid. Usaha Anda untuk berubah terus menjadi insan yang lebih baik daripada masa lalu Anda akan terus kami tuntut dan nantikan. Ya, maaf dan dukungan justru dari orang-orang yang diisukan pernah Anda ‘culik’ menjadi modal awal kepercayaan kami kepada Anda.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi orang yang jauh lebih dermawan daripada kita semua, ‘Utsman ibn ‘Affan, pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi; yaitu agar aku mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin sebelumku dalam hal-hal yang telah kalian sepakati sebagai kebaikan, membuat kebiasaan baru yang lebih baik lagi layak bagi ahli kebajikan, dan mencegah diriku bertindak atas kalian, kecuali dalam hal-hal yang kalian sendiri menyebabkannya.”

Ummat Islam amat besar pengorbanannya dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Pun demikian, sejarah juga menyaksikan mereka banyak mengalah dalam soal-soal asasi kenegaraan Indonesia. Cita-cita untuk mengamalkan agama dalam hidup berbangsa rasanya masih jauh dari terwujud.

Tetapi para bapak bangsa, telah menitipkan amanah Maqashid Asy Syari’ah (tujuan diturunkannya syari’at) yang paling pokok untuk menjadi dasar negara ini. Lima hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia. Keempat Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami berharap Anda akan melaksanakan setidak-tidaknya kelima hal tersebut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kelangsungan, menjaga akal, dan menjaga kekayaan; dengan segala perwujudannya dalam kemaslahatan bagi rakyat Indonesia. Kami memilih Anda ketika di seberang sana, ada wacana semisal menghapus kolom agama di KTP, melarang perda syari’ah, mengesahkan perkawinan sejenis, mencabut tata izin pendirian rumah ibadah, pengalaman masa lalu penjualan asset-aset bangsa, lisan-lisan yang belepotan pelecehan kepada agama Allah, hingga purna-prajurit yang tangannya berlumuran darah ummat.

Pak Prabowo, seperti ‘Utsman, jadilah pemimpin pelaksana ungkapan yang amat dikenal di kalangan Nahdlatul ‘Ulama, “Al Muhafazhatu ‘Alal Qadimish Shalih, wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah.. Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi orang yang lebih zuhud daripada kita semua, ‘Ali ibn Abi Thalib, pernah mengatakan, “Barangsiapa mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaknya dia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya sendiri dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lisannya. Orang yang menjadi pendidik bagi dirinya sendiri lebih patut dihormati ketimbang yang mengajari orang lain.”

Pak Prabowo, hal yang paling hilang dari bangsa ini selama beberapa dasawarsa yang kita lalui adalah keteladanan para pemimpin. Kami semua rindu pada perilaku-perilaku luhur terpuji yang mengiringi tingginya kedudukan. Kami tahu setiap manusia punya keterbatasan, pun juga Anda Pak. Tapi percayalah, satu tindakan adil seorang pemimpin bisa memberi rasa aman pada berjuta hati, satu ucapan jujur seorang pemimpin bisa memberi ketenangan pada berjuta jiwa, satu gaya hidup sederhana seorang pemimpin bisa menggerakkan berjuta manusia.

Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami tahu, kendali sebuah bangsa takkan dapat dihela oleh satu sosok saja. Maka kami menyeksamai sesiapa yang ada bersama Anda. Lihatlah betapa banyak ‘Ulama yang tegak mendukung dan tunduk mendoakan Anda. Balaslah dengan penghormatan pada ilmu dan nasehat mereka. Lihatlah betapa banyak kaum cendikia yang berdiri memilih Anda, tanpa bayaran teguh membela. Lihatlah kaum muda, bahkan para mahasiswa.

Didiklah diri Anda, belajarlah dari mereka; hingga Anda kelak menjelma apa yang disampaikan Nabi, “Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Yang kalian doakan dan dia mendoakan kalian.”

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi orang yang lebih adil daripada kita semua, ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, pernah mengatakan, “Saudara-saudara, barangsiapa menyertai kami maka silahkan menyertai kami dengan lima syarat, jika tidak maka silahkan meninggalkan kami; yakni, menyampaikan kepada kami keperluan orang-orang yang tidak dapat menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan dengan upayanya, menunjuki kami dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat menuju kepadanya, dan jangan menggunjingkan rakyat di hadapan kami, serta jangan membuat-buat hal yang tidak berguna.”

Sungguh karena pidato pertamanya ini para penyair pemuja dan pejabat penjilat menghilang dari sisi ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, lalu tinggallah bersamanya para ‘ulama, cendikia, dan para zuhud. Bersama merekalah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz mewujudkan pemerintahan yang keadilannya dirasakan di segala penjuru, sampai serigalapun enggal memangsa domba. Pak Prabowo, sekali lagi, kami memilih Anda bukan semata karena diri pribadi Anda. Maka pilihlah untuk membantu urusan Anda nanti, orang-orang yang akan meringankan hisab Anda di akhirat.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi kalaupun Anda tidak terpilih, kami yakin, pengabdian tak memerlukan jabatan. Tetaplah bekerja untuk Indonesia dengan segala yang Anda bisa, sejauh yang Anda mampu.

Sungguh Anda terpilih ataupun tidak, kami sama was-wasnya. Bahkan mungkin, rasa-rasanya, lebih was-was jika Anda terpilih. Kami tidak tahu hal yang gaib. Kami tidak tahu yang disembunyikan oleh hati. Kami tidak tahu masa depan. Kami hanya memilih Anda berdasarkan pandangan lahiriyah yang sering tertipu, disertai istikharah kami yang sepertinya kurang bermutu.

Mungkin jika Anda terpilih nanti, urusan kami tak selesai sampai di situ. Bahkan kami juga akan makin sibuk. Sibuk mendoakan Anda. Sibuk mengingatkan Anda tentang janji Anda. Sibuk memberi masukan demi kemaslahatan. Sibuk meluruskan Anda jika bengkok. Sibuk menuntut Anda jika berkelit.

Inilah kami. Kami memilih Anda Pak Prabowo, tapi..
Tapi sebagai penutup tulisan ini, mari mengenang ketika Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz meminta nasehat kepada Imam Hasan Al Bashri terkait amanah yang baru diembannya. Maka Sang Imam menulis sebuah surat ringkas. Pesan yang disampaikannya, ingin juga kami sampaikan pada Anda, Pak Prabowo. Bunyi nasehat itu adalah, “Amma bakdu. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”

Doa kami, hamba Allah yang tertawan dosanya, warga negara Republik Indonesia, by Salim A. Fillah..

Pesan dari syaikh Ahmad Yassin (rahimahullah): Wahai anak-anakku, telah tiba saatnya kalian kembali kepada Allah SWT dengan meninggalkan pelbagai keseronokan dan kealpaan kehidupan dan menyingkirkannya jauh daripada kehidupan kalian. Telah tiba saatnya kalian bangun dan melakukan solat subuh secara berjemaah. Sudah sampai saatnya untuk kalian menghiasi diri dengan akhlak yang mu1ia, mengamalkan kandungan al-Quran serta mencontohi kehidupan Nabi Muhammad saw.

Aku menyeru kalian wahai anak-anakku untuk solat tepat pada waktunya. Lebih dari itu, aku mengajak kalian wahai anak-anakku, untuk mendekat diri kepada sunnah Nabi kalian yang agung.

Wahai para pemuda, aku ingin kalian menyedari dan menghayati makna tanggung jawab. Kalian harus tegar menghadapi kesulitan hidup dengan meninggalkan keluh kesah. Aku menyeru kalian untuk menghadap Allah SWT dan memohon keampunan dari-Nya agar Dia memberi rezeki yang berkat kepada kalian. Aku menyeru kalian supaya menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda. Aku ingin kalian tidak tertidur oleh alunan-alunan muzik yang melalaikan, melupakan kata-kata yang menyebutkan cinta kepada manusia dan dunia serta menggantikannya dengan kata amal, kerja dan zikir kepada Allah. Wahai anak-anakku, aku amat berharap kalian tidak sibuk dengan muzik dan tidak terjerumus ke dalam arus syahwat.

Wahai puteriku, aku ingin kalian berjanji kepada Allah akan mengenakan hijab secara jujur dan betul. Aku meminta kalian berjanji kepada Allah bahawa kalian akan mengambil peduli tentang agama dan Nabi kalian yang mulia. Jadikanlah ibunda kalian, Khadijah dan Aisyah, sebagai teladan. Jadikan mereka sebagai pelita hidup kalian. Haram hukumnya bagi kalian untuk melakukan sesuatu yang boleh menarik perhatian pemuda supaya mendekati kalian.

Kepada semua, aku ingin kalian bersiap sedia untuk menghadapi segala sesuatu yang akan datang. Bersiaplah dengan agama dan ilmu pengetahuan. Bersiaplah untuk belajar dan mencari hikmah. Belajarlah bagaimana hidup dalam kegelapan yang pekat. Latihlah diri kalian agar dapat hidup tanpa elektrik dan peralatan elektronik (apakah sebuah ilham atau karena keadaan di Palestina???). Latihlah diri kalian untuk sementara waktu merasakan kehidupan yang sukar.

Biasakan diri kalian agar dapat melindungi diri dan membuat perancangan untuk masa depan. Berpeganglah kepada agama kalian. carilah sebab-sebabnya dan tawakal kepada ALLAH.

Sesungguhnya aku, seorang tua yang lemah, tidak mampu memegang pena dan menyandang senjata dengan tanganku yang sudah mati (lumpuh). Aku bukan seorang penceramah yang lantang yang mampu menggemparkan semua tempat dengan suaraku (yang perlahan ini) Aku tidak mampu untuk kemana-mana tempat untuk memenuhi hajatku kecuali jika mereka menggerakkan (kursi roda)-ku. Aku, yang sudah beruban putih dan berada di penghujung usia. Aku, yang diserang pelbagai penyakit dan ditimpa bermacam-macam penderitaan. Adakah segala macam penyakit dan kecacatan yang tertimpa ke atasku turut menimpa bangsa Arab hingga menjadikan mereka begitu lemah. Adakah kalian semua begitu, wahai Arab, kalian diam membisu dan lemah, ataukah kalian semua telah mati binasa. Adakah hati kalian tidak bergelora melihat kekejaman terhadap kami sehingga tiada satu kaumpun bangkit menyatakan kemarahan karena Allah. Tiada satu kaumpun (di kalangan kalian) yang bangkit menentang musuh-musuh Allah yang telah mengobarkan perang antarbangsa ke atas kami dan menukarkan kami daripada golongan mulia yang dianiaya dan dizhalimi kepada pembunuh dan pembantai yang ganas. (Tidak adakah yang mau bangkit menentang musuh-musuh) yang telah berjanji setia untuk menghancurkan dan menghukum kami. Tidak malukah ummat ini terhadap dirinya yang dihina sedangkan padanya ada kemuliaan. Tidak malukah negara-negara ummat ini membiarkan penjajah Zionis dan sekutu antarabangsanya tanpa memandang kami dengan pandangan yang mampu mengesat air mata kami dan meringankan beban kami. Adakah kekuatan-kekuatan ummat ini, pasukan tentaranya, partai-partainya, badan-badannya, dan tokoh-tokohnya tidak mau marah karena Allah dengan kemarahan sebenarnya lalu mereka keluar beramai-ramai sambil menyerukan, “Ya Allah, perkuatkanlah saudara-saudara kami yang sedang dipatah-patahkan, kasihanilah saudara-saudara kami yang lemah ditindas dan bantulah hamba-hambamu yang beriman!” Adakah kalian tidak memiliki kekuatan berdoa untuk kami? Seketika nanti kalian akan mendengar mengenai peperangan besar ke atas kami dan ketika itu kami akan terus berdiri dengan tertulis di dahi kami bahwa kami akan mati berdiri dan berdepan dengan musuh, bukan mati membelakang (dalam keadaan melarikan lari) dan akan mati bersama-sama kami, anak-anak kami, wanita-wanita, orang-orang tua, dan pemuda-pemuda Kami jadikan di kalangan mereka sebagai kayu bakar buat ummat yang diam dalam kebodohan! Janganlah kalian menanti hingga kami menyerah atau mengangkat bendera putih kerana kami telah belajar bahwa kami tetap akan mati walaupun kami berbuat demikian (menyerah). Biarkan kami mati dalam kemuliaan sebagai mujahid. Jika kalian mau, marilah bersama-sama kami sedaya mungkin. Tugas membela kami terpikul di bahu kalian. Kalian juga sepatutnya menyaksikan kematian kami dan menghulurkan simpati. Sesungguhnya Allah akan menghukum siapa saja yang lalai menunaikan kewajiban yang diamanahkan dan kami berharap kepada kalian supaya jangan menjadi musuh yang menambah penderitaan kami. Demi Allah, jangan menjadi musuh kepada kami wahai pemimpin-pemimpin ummat ini, wahai bangsa ummat ini.

Bangkitlah singa tauhid pasukan panji islam semangat juang seorang hamba Allah, ayuh bangkit wahai pemuda dan pemudi islam membuka mata diseluruh dunia, takbiir: Allahhuakbar-Allahuakbar-Allahuakbar. Hai hati yang berjiwa besar, hati yang bercita-cita mulia, hati yang kuat tekadnya, hati yang tinggi semangatnya, hati yang kental imannya. Siapkanlah dirimu untuk menjadi mujahid fisabilillah kerana kamulah yang akan dipilih untuk menjadi mujahid fisabilillah dan penghuni syurga firdaus. in shaa Allah, sabda rasulullah: “syurga di bawah bayangan pedang” (bukhrai dan muslim). Allah tuhanku, rasul ikutanku, quran panduanku, jihad jalanku, syahid cita-citaku “dunia ini tidak diberikan bagi orang yang berpangku tangan dan tidur. dunia hanya diberikan kepada para mujahidin yang bersabar. bangunlah, kembalilah meraih kemuliaan, kembali kepada kebaikan agama kalian, kembali kepada kitabullah, dan sunnah rasul-nya. karena itulah sumber kekuatan.” -syaikh Ahmad Yassin (rahimahullah).

Lihat dan cintailah Syam agar iman Anda bertambah, Bangunlah pemuda kahfi dari tidur panjangmu. Lakukan apa yang kau bisa lakukan karena didepan selalu ada kesempatan yang diberikan Allah SWT. Bangkitlah pemuda kahfi dari tidur panjangmu.

Satu hari teman berkata: apakah kita tidak berdosa, ya… sementara kita disini masih hidup adem ayem saja (ketika ia melihat keadaan dan berita-berita Syam). Penulis spontan nyeletuk, wah… tampak keimananmu, merasa satu tubuh dengan saudara seagama, seakan-akan satu bagian tubuh sakit, ia dapat merasakan sakitnya pula. Banyak cara membantu saudaramu yang disana sesuai kesanggupanmu dan kesempatan yang diberi Allah SWT dan janganlah lupa pula disini pun banyak saudaramu yang membutuhkan bantuanmu pula sesuai kesanggupanmu dan kesempatan yang diberi Allah SWT pula. Masing-masing punya ujian dan tantangan berbeda namun pada saatnya nanti semua akan …… indah disisiNya, insyaAllah.

QS al Baqarah : 120 Allah berfirman, ”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Surat dari Palestina
Untuk saudaraku di Indonesia, Saya tidak tahu, mengapa saya harus menulis dan mengirim surat ini untuk kalian di Indonesia, kenapa? Mungkin satu-satunya jawaban yang saya miliki adalah karena negeri kalian berpenduduk muslim terbanyak di bumi ini. 

Wahai saudaraku, Pernah saya berkhayal dalam hati, kenapa kami yang ada di GAZA ini, tidak dilahirkan di negeri kalian saja. Wah, pasti sangat indah dan mengagumkan yah. Negeri kalian aman, kaya dan subur, setidaknya itu yang saya ketahui tentang negeri kalian. Pasti para ibu-ibu disana amat mudah menyusui bayi-bayinya, susu formula bayi pasti dengan mudah kalian dapatkan, para wanita hamil kalian mungkin dengan mudah bersalin di rumah sakit yang mereka inginkan. Ini yang membuatku iri kepadamu saudaraku. Tidak seperti di negeri kami ini, saudaraku, anak-anak bayi kami lahir ditenda-tenda pengungsian. Bahkan tidak jarang tentara Israel menahan mobil ambulance yang akan mengantarkan istri kami melahirkan ke rumah sakit sehingga istri-istri kami terpaksa melahirkan diatas mobil, yah diatas mobil saudaraku! 

Susu formula bayi adalah barang yang langka di GAZA sejak kami di blokade 2 tahun lalu namun isteri kami tetap menyusui bayi-bayinya dan menyapihnya hingga dua tahun lamanya. Walau, terkadang untuk memperlancar ASI mereka, isteri kami rela minum air rendaman gandum.

Namun, mengapa di negeri kalian, katanya tidak sedikit kasus pembuangan bayi, terkadang ditemukan mati di parit-parit dan yang membuat saya terkejut dan merinding, ternyata negeri kalian adalah negeri yang tertinggi kasus Abortusnya untuk wilayah ASIA.

Ada apa dengan kalian?? apa karena di negeri kalian tidak ada konflik bersenjata seperti kami disini? bagi kami di sini, memang hampir setiap hari di GAZA sejak penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati namun, bukanlah diselokan-selokan atau got-got apalagi ditempat sampah? saudaraku! !!, Mereka mati syahid, saudaraku!

Kami temukan mereka tak bernyawa lagi dipangkuan ibunya, di bawah puing-puing bangunan rumah kami yang hancur, bagi kami nilai seorang bayi adalah aset perjuangan. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami.

Wahai saudaraku di Indonesia, Negeri kalian subur dan makmur, tanaman apa saja yang kalian tanam akan tumbuh dan berbuah tapi kenapa di negeri kalian masih ada bayi yang kurang gizi, menderita busung lapar, Apa karena kalian sulit mencari rezki disana? Perlu kalian ketahui, saudaraku, tidak ada satupun bayi di Gaza yang menderita kekurangan gizi apalagi sampai mati kelaparan. Perlu kalian ketahui, bulan ini ada sekitar 300 pasang pengantin baru. ya, mereka menikah di sela-sela serangan agresi Israel, mereka mengucapkan akad nikah diantara bunyi letupan bom dan peluru.

Saudaraku di Gaza tidak ada SDIT seperti di tempat kalian, yang menyebar seperti jamur sekarang. Mereka belajar di antara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur, yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun pohon kurma, yah di tempat itulah mereka belajar, Saudaraku. Bunyi suara setoran hafalan Al Quran mereka bergemuruh diantara bunyi senapan. Memang banyak masyarakat dunia yang menangisi kami di sini, termasuk kalian di Indonesia. Namun, bukan tangisan kalian yang kami butuhkan saudaraku, biarlah butiran air matamu adalah catatan bukti nanti di akhirat, terima kasih, Doa dan dana kalian telah kami rasakan manfaatnya. Salam untuk semua pejuang-pejuang islam di Indonesia.

Sungguh penulis ini lebih sangat irinya dengan kalian, saudaraku di Palestina, iri dengan banyaknya dan keiklasan ibu-ibu para syuhada, iri dengan keberkahan yang mudah ditanahmu, saudaraku. Iri dengan janji-janji Allah SWT kepada para syahidmu. Sementara kami disini seringkali kebingungan, yang mana kawan dan yang mana lawan. Sementara kami disini sering terjebak dengan kelalaian nikmat alam kami. Sementara ruang kedurhakaan lebih besar dihadapan dan menghadang jalan kami. Jihad kalian dapat memberi syafaat kepada banyak keluarga terdekat kalian, sedangkan jenis jihad kami, walau ragam macamnya banyak, ia tidak sebanding dengan jihad fisik kalian.

"Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (At-Taubah: 51)

Kata Allah SWT, musibah itu datang karena sebab diri sendiri dari manusianya, baik pribadi maupun kolektif, halnya banyak. Yaaa, bisa karena diam saja, bisa karena kurang usaha, kurang daya dan upaya, bisa karena yang lebih banyak buta dan tulinya akan kebenaran, banyaknya perkara batil dan dosa dalam lingkupnya yang dibiarkan saja, dsb. Namun satu hal lagi, dalam hal lainnya bahwa musibah itu juga bisa jadi ada nilai kebaikan pula, tentunya untuk orang-orang tertentu yang diinginkan kebaikannya oleh Allah SWT. Maka tidak ada kekhawatiran untuknya dan tidak pula ia bersedih hati karena ia telah berusaha semampu kesanggupannya dan bertawakkal setelahnya, sementara mereka mengharap dari Allah SWT apa yang tidak diharapkan oleh orang diseberang mereka.

Hari pilpres ini, hampir-hampir saja kita melihat hampir-hampir terbaginya kubu keimanan dan kubu kemunafikan, mungkin diwaktu esok hari, akan lebih jelas dan jauh lebih jelas lagi. Maju kena, mundur kena, berbagai cara mereka pun ciptakan, sungguh hampir-hampir membuat marah dan menjengkelkan hati-hati gelap mereka pada kekompakan dan persatuan umat. Bila setahun lalu keluar isu ditunggangi Salafi Wahabi dan Galeri Kebangkitan Para Bandit atau Bajingan dari Wimar mungkin bisa memporakporandakan persatuan umat ini.

Para sahabat Nabi, membuat marah orang kafir dan munafik, Allah Ta'ala berfirman dalam ayat terakhir surat Al Fath: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).

syahidnya pada kalimat:
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
"karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir"

Lihatlah bagaimana Allah memisalkan para sahabat Nabi terhadap Rasulullah adalah bagaikan tunas yang menguatkan dan mendukung tanaman sehingga tegak di atas pokoknya, yang tunas itu menyenangkan hati penanamnya dan membuat marah dan jengkel orang-orang kafir. Imam Malik rahimahullah mengambil istinbath hukum dari ayat ini bahwa orang-orang Rafidhah yang benci dan jengkel kepada para sahabat Nabi mereka itu kafir.

Dua utama persepsi dakwah (Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam) adalah cara damai dan cara kacau (peperangan), ketika sebab-sebab perubahan yang syari ada terpampang pada jalan damai, maka kerjakanlah. Pemilu, pileg dan capres adalah hanya satu macam langkah dari strategi catur untuk mewujudkan sebab-sebab perubahan syari ini, umpama menang, Alhamdulillah, itulah yang diharapkan, mewujudkan masyarakat madani. Maka kerjakanlah toh ini didukung dengan fatwa-fatwa dan dalil-dalil yang benar. Umpama menang lalu diberangus, bukankah ada sebab-sebab peperangan secara syari terpenuhi, maka sudah seharusnya kerjakanlah pula. Berbalik halnya, ketika kalah, dan sukuler berkuasa, lalu ada muncul sebab-sebab peperangan secara syari (seperti adanya pemberontakan rakyat karena jenuh pada kondisi negeri), maka kerjakanlah, itu langkah strategi catur lainnya pada situasinya yang tepat, tapi bila tidak ada terlihat sebab-sebab syarinya (karena selalu masih dalam kondisi damai walaupun itu keburukan berkedok kedamaian) maka kita masih bisa melirik sebab-sebab lainnya yang beragam cara secara syariat pada perubahan yang diinginkan, lingkup kecilnya ataupun lingkup besarnya. Sesuai dengan kesempatan, kemampuan dan kondisi keadaan yang terpampang, kedua-dua jalan ini dapat dipakai, bisa bergantian datang, bisa pula secara serentak maka tidak ada waktu senggang yang tidak dapat digunakan untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Terlihat jelas adanya sifat fleksibel jihad itu, lalu mengapa kalian berpendapat dan berpikir satu langkah strategi catur saja, seakan-akan lewat demokrasi tidak dapat melakukan perubahan secara syari sementara sebab-sebab peperangan syari tidak ada terpampang jalannya disini, ditanah ini. Perubahan model apa yang kalian harapkan???? Ataukah ini langkah dari lain dimulut lain dihati saja, hanya agar ikut menggembosi umat???? Semoga bukan. Bukankah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya juga melakukan dua langkah strategi dakwah utama ini bergantian atau serentak sesuai situasi dan kondisinya, cara damai dan cara perang. Lalu mengapa kau kotakkan dengan satu model strategi dan usaha saja. Lalu pun kau diam dan tidak berusaha membendung mudharat pada keadaan lainnya. Cerdaslah berpikir secara lebih detail hal ini.

Sisi lainnya bila sekuler membaca ini dan ikut memahaminya, ia pun akan terhati-hati menjaga kedamaian ini, dan ia pun akan lebih memikirkan dan berupaya kemajuan bangsa, sesuatu yang mau nga mau harus mereka lakukan karena desakan dari maju kena, mundur pun kena :-). Sungguh pun kalian akan selalu kecewa karena tidak ada ruginya apapun yang terjadi buat seorang muslim.

Semoga faham inti tulisan ini dan beberapa hal tersurat dan tersiratnya, tersirat dapat jadi tersurat, tersurat dapat jadi tersirat dan tersirat memiliki hal tersirat lagi didalamnya.

Setiap kebenaran bersumber dari Allah SWT, nash tidak akan salah, yang dapat salah adalah pemahaman orangnya. Bila ada kesalahan dan ketidakfahaman maka itu datangnya dari penulis sendiri, itu pun adalah musibah sebab upaya diri penulis sendiri. Allah SWT kemudian rasulNya berlepas diri dari hal tersebut.

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Qs, An Nisaa' : 88

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian" [Al-Anfal : 60]

Janganlah berkata “anjing kamu!”, atau “babi, lu!”, atau “kaya kera aja dia!”, atau “sama monyetnya tuh cwe!”, bila berniat atau bermakna ungkapan emosi atau keakuan sebab bisa jadi kutukannya beralih ke Anda sendiri, dan jangan pula atau hati-hatilah berniat dari berkata: “ahh…panasnya hari ini!” sebab boleh jadi niat Anda tidak menerima akan takdirNya hari ini. Dan boleh jadi pula kehendakNya, esok akan lebih “panas” dari hari ini atau lebih “dingin” sejenak dari hari ini.

Kumpulan tulisan ini didedikasikan kepada para Pejuang Sunyi, sungguh cara perang kalian teramat berbeda dengan perang-perang yang ada. Bila ada 1001 cara yang syari, sesuai kemampuan, sesuai kesempatan dan sesuai situasi kondisinya, Pejuang Sunyi bisa memanfaatkan sebanyak cara-cara perjuangan syari tersebut, tidak kenal waktu, tidak kenal medan, dan tidak kenal kondisi, semua dapat dimanfaatkannya dan tidak berhenti hanya tertuju/fokus pada satu titik usaha saja, usahanya seakan-akan tidak terputus-putus dengan berbagai ragam apa yang dapat dirinya upayakan.

Catatan dari penulis : penulis merasa tidak mempunyai ilmu, terasa pula bahwa ilmu itu sangat luas adanya, oleh karena itu dapat dikatakan penulis adalah sama seperti orang awam kebanyakan dan masih banyak kekurangan-kekurangan pada diri penulis maka pelajari atau kritiklah dan ambillah yang bermanfaat dan buanglah yang tidak bermanfaat dari tulisan dan kumpulan tulisan dari tulisan ini. Bisa saja ada dalil-dalil yang terlewat yang penulis belum melihat atau terbuka dan juga bisa saja ada persepsi salah terhadap dalil-dalilnya. Dan tidak berhakkan penulis sebagai orang awam/orang islam turut prihatin pada kondisi umat. Kita hanya sama-sama manusia biasa yang mengharapkan karunia dan rahmatNya. Wallahu a’lam.

Bila ingin membaca lebih lanjut ebook ini, Klik tulisan ini untuk kembali ke-link-link di daftar isi

Anda sedang membaca artikel tentang Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? dan anda bisa menemukan artikel Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? ini dengan url http://manfaatputih.blogspot.com/2014/06/demokrasi-pemilu-dan-khilafah-bisakah.html, anda boleh menyebarluaskannya atau mengcopypaste-nya jika artikel Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? sebagai sumbernya.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentarmu disini!

Download Ebook LINK

.......................................................

MAU BACA LEBIH LANJUT
KLIK DAFTAR ISI DISINI

atau

Mau Download EBOOK ini

klik LINK ini :


Anda bisa download ebook ini di sini :

Pembahasan Tuntas Peradaban Manusia dari awal hingga akhir full Final.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

Surat Al Kahfi diantara Nubuat Nasrani versus Nubuat Islam.pdf

LINK 1 - ZIDDU

LINK 2 - 4SHARED

.......................................................

DAFTAR ISI

Daftar Isi :






















































Pembahasan Beberapa Hal Penting:

























































7. Periode Zaman Kiamat/Zaman Peradaban Manusia Akhir Yang Tidak Mengenal Islam









Di dalam penulisan ini ada beberapa penjabaran baru yang belum pernah terlihat di dalam tulisan peneliti lainnya, Semoga hal ini bermanfaat untuk menambah kemanfaatan buku ini.


Bantinglah Otak Untuk Mencari Ilmu Sebanyak-Banyaknya Guna Mencari Rahasia Besar Yang Terkandung Di Dalam Benda Besar Yang Bernama Dunia Ini, Tetapi Pasanglah Pelita Dalam Hati Sanubari, Yaitu Pelita Kehidupan Jiwa. (Al- Ghazali)




Hak Cipta oleh M. Yusuf . Diberdayakan oleh Blogger.