Demokrasi, Pemilu
dan Khilafah bisakah bersatu?
Jangan
sampai indonesia muncul sufyani seperti di Mesir? Tergantung sikap militer
beriman, sih!. Ada juga kemungkinan lainnya, bila sekuler masih memimpin,
kekacauan bisa pula terjadi yang mungkin saja karena jenuh dan hilangnya
kesabaran masyarakat pada keadaan negeri, semuanya ada kemungkinannya, yang
terpenting yang nyata dekat dulu dan lebih real dari hanya sebuah kemungkinan
yang masih direlung waktu kedepan dan pikiran walaupun tidak boleh juga
mengabaikan persiapan penanggulangan akan sikonnya bila terjadi. Usaha paling
dekat adalah menangkan partai islam, bila menangkan yang banyak diparlemen,
aleg ulama, dai, pemuka golongan/suku islami dan cendikiawan islam (berdasarkan
kreteria-kreteria memilih pemimpin dalam islam), bila merumuskan “sesuatu”
tentu nilai hukum-hukum islami lebih kedepan berdasarkan hukum-hukum dari Allah
SWT. Nah suara ini mirip syuro, karena biar mau dijegal pun, keputusan atas
pertimbangan islami ini tetap bisa menang dengan voting alias suara non islami
bisa dianggap tidak ada/tidak mampu mengambil keputusan, masalahnya kalau tidak
dominan nilai syuronya hampir tidak ada. ini di parlemen dan syuro model ini
yang harus ada diparlemen. Voting juga ada sebenarnya terjadi dimasa lalu, bila
tidak salah ketika khalifah Usman diangkat. Modelnya agak beda juga.
Dr.
Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk
salah satu calon khalifah, antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun
beliau tunda penentuannya selama 3 hari. Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman
bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya,
siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman
bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi
Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar,
kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak
setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79)
Tidak
ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu
sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak,
semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman,
maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas. Tidak
ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang
mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui
atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan
hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu
suara. Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika
musyawarah tidak bisa memberikan mufakat untuk menentukan pemimpin terpilih
dari calon-calon yang ada. Ini salah satu bagian demokrasi yang dianggap
bertentangan dengan islam karena suara tidak berasal dari umat islam yang kaffah
saja.
Secara
sepihak demikian, namun bila dilihat hakikinya adanya “akibat”, pada kenyataan
dinegeri ini telah berlaku “asbab” (asbab ini dari akibat yang lebih lalu, dan
akibat yang lebih lalu itu dari asbab yang lebih lalu pula, dsb), yaitu telah
ada kesepakatan hasil musyawarah (syuro pada makna universal) yang tertuang
dalam undang-undang pemilu dan tata cara memilih presiden dan wakil rakyat,
jadi secara ringkas hasil musyawarah yang telah lalu tersebut telah dibekukan
menjadi aturan lebih ringkas sesuai ketidakmufakatan musyawarah tersebut yaitu
cara-cara mencari kondidat, semisal harus lewat membentuk partai atau memakai
pemilihan langsung untuk presiden. Bisa saja orang-orang berkata itukan hasil
musyawarah yang kemudian dituang kedalam undang-undang dan itulah hasil
musyawarah yang diringkas aturannya untuk kedepannya. Seharusnya dikatakan yang
tidak islami darinya adalah syarat kreterianya yang terlalu lebar memasukkan
semua unsur termaksud unsur ideologi non islami, jika saja unsurnya adalah hanya
islam, orang-orang utama, beriman dan bertaqwa, shidiq, fhatonah, amanah, dsb.
Tentu kacamata syuro awal tersebut mendekati kebenaran. Namun kan keputusan
tersebut datang dari musyawarah universal yang telah lalu. Toh ini dianulir
oleh para pemuka agama islam yang memberikan solusi khusus bagi umat islam
dengan mengambil aturan nash cara memilih pemimpin maka kita ambil bagian yang
islami ini dalam pilihan dengan mengabaikan melebarkannya pada unsur-unsur lain
dan bila tidak ada maka kita memakai kaedah fiqh. Inilah, insyaAllah, siasat
yang diridhoiNya. Inilah unsur dimana kita meninggalkan semua unsur
golongan-golongan non islami tersebut. Kita mempersepsikan pembagian ini walau
terlihat kita ada didalam sistemnya.
Unsur-unsur
lain tersebut
Pluralisme
agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama (sesudah islam
datang) adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Liberalisme
agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan
akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai
dengan akal pikiran semata.
Sekulerisme
agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk
mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia
diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Dan
ideologi/kepercayaan lain diluar islam.
Ini
hadits yang membuktikan bahwa dalam Islam ada juga serupa “pemilu” yang
dilakukan pada saat Rosul memerintahkan para sahabat memilih majelis umat.
Dalam Sîrah Ibnu Katsîr juz 2 hal 198, cetakan Libanon; dan Sîrah Ibnu Hisyâm,
juz 2 hal 64 cetakan Libanon terdapat riwayat sebagai berikut: “Rasul saw telah
meminta dari kaum Anshar pada saat “bay’at aqabah II” setelah mereka membay’at
Rasul saw, agar mereka memilih para wakil diantara mereka yang Rasul merujuk
mereka untuk meminta pendapat.
Rasul
saw, bersabda: Pilihlah untukku, duabelas
wakil diantara kalian, agar mereka bisa bertanggung jawab (menjadi wakil) atas
kaumnya dalam urusan mereka. Ka’ab Bin Malik berkata: ”kemudian mereka mengeluarkan (memilih) dua belas orang wakil dari
mereka, sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aws”.
Memilih
wakil dalam sirah tersebut tidak dengan cara pemilu namun dengan cara syuro
mufakat. Arti Naqîb dalam hadits tersebut adalah para pembesar kaum, jadi para
tokoh agama/adat/tokoh masyarakat, bukannya wakil rakyat yang dipilih dengan
pemilu suara terbanyak, tapi masalahnya cara “perwalian” untuk mendapatkan
wakil-wakil tersebut pada kondisi, keadaan dan situasi sekarang adalah harus
lewat pemilu, sarananya partai dan pemilu.
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”
(QS. Al Imran: 28)
Ibnu
Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan
orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal masih
ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga
kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka
dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
Siasat
dalam pemilihan ini, siasat masuk dalam demokrasi ini adalah menjadikan pilihan
suara kita hanya untuk kreteria secara pemimpin islami. Unsur-unsur lain
diabaikan dan dijauhi karena kebebasan memilih toh hak kita yang ternyata masih dijamin pembolehannya.
Masalah mereka yang lain ya, terserah yang punya hati. Siasat ini lahir karena
ketakutan bahwa negara akan mengadopsi sistem non syariah yang tentu saja
imbasnya adanya aturan “non syariah” itu bagi siapapun yang berada dinegara
tersebut dan aturan itu bisa saja terjadi terus menerus selama tidak ada
sebagian umat islam mencoba meruntuhkannya atau merubah membalik keadaannya.
Kita
dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang
beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau
permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat
mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat terealisasikan. Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13.
Syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama
menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan
penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya
Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para
sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar
beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan
wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial,
dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam
tentu lebih patut untuk bermusyawarah”. As Siyasah asy-Syar'iyah hlm. 126.
Salah satu partai pun punya mekanisme syuro di partainya, dan
keputusan-keputusan partai selalu merujuk kesepakatan syuro termaksud bakal
calon presidennya, juga nantinya pertimbangan presiden pun (bila menang)
sebelum mengambil keputusan harus meminta masukan dan mendengar keputusan dari
syuro partainya pula terlebih dahulu atau syuro staf ahlinya. Nah syuro partai
atau syuro staf ahli ini diisi oleh cendikiawan islam sfesifik ilmu, dai dan
ulama. ini masukan ke batasan pemerintah. Dalam hal ini syuro ini juga terdiri
dari ulama, dai dan cendikiawan islam agar semua keputusan dapat bersumber dari
ajaran islam dan hukum yang diridhoi Tuhan, artiannya memarginalkan dan
mengecilkan keputusan yang datang dari sumber luar islam atau tidak islami.
Diharapkan juga kepada pemimpin daerah memiliki hal syuro serupa tersebut.
Gambaran keputusan presiden, gubernur dan bupati harus mempertanyakan “apakah
ini datang langsung dari Allah (hukum-hukum yang jelas di nash) atau ini
sesuatu yang ada ijtihadnya”, bila dari hukum-hukum Allah, yang telah mutlak
didalam nash, mereka mengambil hukum-hukum tersebut mutlak tanpa penolakan
(masalahnya itu berarti presiden, gebernur dan bupati haruslah terpilih dari
orang-orang bertauhid) dan bila pun mau dijegal diparlemen juga bakalan tetap
menang karna suara terbanyak milik umat islam pro syariah ini. Bila dalam rana
ijtihad, keputusan syuro jadi salah satu pertimbangan presiden, gubernur dan
bupati menentukan kebijakannya, bila tidak salah pelajaran ini ada diperang
khandaq antara dialog nabi Muhammad SAW dan sahabat Salman Al-Farisi.
Karena
adanya pembagian dengan batasan 2 model kekuasaan dipusat (parlemen dan
presiden) dan adanya pembagian kekuasaan di pusat dan daerah, 2 model syuro ini
harus ada dan melengkapi 2 batasan pembagian kekuasaan ini. Dua model syuro ini
yang akan saling melengkapi dan menjadikannya lebih dekat kepada syariat islam
atau memang hanya mendekati nilai
hakikat tujuan dan maksud syuro dalam islam. Sama bila kita berkata bank
dan asuransi syariah belum sepenuhnya terbebas dari sistem riba, tapi lumayan
solusi ini setidaknya telah menghilangkan beberapa bagiannya dari pada tidak
sama sekali dan kedepan akan selalu tetap mencoba membebaskannya keseluruhan
dari unsur riba, mencoba hingga berhasil membebaskannya, tidak hanya sekedar kata-kata
“mencoba” tapi tidak lebih berupaya berusaha secara maksimal. Begitupun kita
harusnya sadar mengaplikasikannya secara pribadi dan kolektif untuk menabung,
asuransi atau menggadaikan dengan cara dan sistem syariah ini dan sebisanya menjauhi
bank, asuransi, pegadaian konvensional ribawi lainnya itu.
Jadi
hasil keputusan atau kebijakan pada musyawarah yang diinginkan adalah
musyawarah umat islam pro syariah yang mengalahkan musyawarah dari non islami
atau tidak pula terjadi percampuran antara islami dan non islami dalam
mengambil keputusan atau kebijakan. Serupa pilihannya mau mendominankan bank
konvensional atau bank syariah dan mau nabung kemanakah arah umat islam.
Caranya???.
Masalahnya
tuntutan hal ini adalah ulama, dai dan cendikiawan islam pro syariah harus
mempunyai suara terbanyak di parlemen mengalahkan total dari suara yang
mengusung keputusan non islami/non syariat (karena pastinya keputusan yang
lahir dari musyawarah ini akan selalu dicoba dijegal yang ujung-ujungnya voting
sih, jadi kalau ada keputusan kaya gini nih jangan pernah tidak hadir ya,
tanggungjawab besar loh sama Allah SWT) dan harus mengusung presiden yang
beriman dan bertaqwa mempunyai tauhid yang benar kepada Allah SWT. Ini tidak
bisa akan ada bila sebagian umat tidak mau membentuk jamaah yang mengikuti
aturan yang “telah ada sebelumnya” berlaku dinegeri ini, Pemilu. Dan untuk
memenangkannya dibutuhkan persatuan umat islam itu sendiri dengan sebuah sarana
yaitu partai berasas islam dan juga harus mempertahankan terus perulangan
kemenangannya dalam pemilu. Sarananya akan menjadi bernilai wajib sesuai
tujuannya tersebut. Maka demokrasi tanpa mengganti label pokok kalimatnya
“demokrasi”, telah tertekan mengadopsi pada sistem yang islami dalam
subtansi-subtansinya hanya tinggal pembuktiannya pada hasil undang-undang dan
pembuktiannya dilapangan. Ini kenyataan real yang harus dihadapi, tidak perlu
menyalahkan masa lalu (menyalahkan takdir) tapi tidak melupakan hikmahnya, yang
terpenting untuk menghadapi masa depan hingga menggenapkan semuanya dalam
keseluruhan sistem murni islam yang tentu butuh waktu lagi nantinya kedepan.
Tentunya kita harus memahami tahapan yang kemungkinan memang tidak langsung
dapat terjadi mutlak dan solusi-solusi strategisnya kedepan jangka pendek dan
tujuan jangka panjangnya dengan perencanaan yang matang. Strategi ini telah
ditunjukkan oleh Wali Songo yang awalnya mencampurkan budaya setempat (sebagian
orang menganggap bi’dah) dengan nilai islami, namun sayangnya kebablasan sampai
sekarang, orang-orang setelah Wali Songo yang belum berujung kembali
memurnikannya dari percampurannya dan meninggalkan budaya setempat itu,
mengganti murni hanya menampilkan adab murni islam (yang dimaksud bukan budaya
Arab Saudi). Coba bila Wali Songo bersikap keras dengan langsung pemurnian adab
islam maka apa yang terjadi? “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159). Maka batasan
pemakaian demokrasi adalah batasan jangan sampai kebablasan selamanya tanpa
tujuan akhir memurnikannya keseluruhan, namun juga harus dilihat dari ketika
semua element masyarakat sipil militer tidak lagi tabu pada konsep pengaturan negara
dalam islam dan mereka berbondong-bondong sendiri dengan kemauan dan kesadaran
sendiri ingin memurnikannya, tentu mereka akan mendekat disekelilingmu. Hal
yang nyata tahapan awalnya adanya pembuktian lapangan keberhasilan
solusi-solusi syariat terhadap kehidupan mereka terlebih dahulu baru dapat
membuka ruang berbicara aplikasi lebih dalam dan jauh lebih dalam. Bila telah
membulatkan tekad untuk memurnikan nantinya hal demokrasi ini, maka kapan
finishnya serahkan kepada Allah SWT dengan tawakkal sebab kita tidak tahu
kehendakNya kearah mana dihari esok dan lusa, kapan batasan pemanfaatannya
sampai batasan akhirnya, apakah langsung tersambung hingga masa Imam Mahdi ataukah
tidak dan yang hanya hingga dapat sampai menjadi penyeimbang dari sistem yang
ada atau menjadi demokrasi bersyariat ataupun menjadi daulah islamiyyah yang
bernama NKRI namun yang diingatkan adalah usaha dulu, baru tawwakal di
finishnya, Bila gagal dan kemudian masih ada kesempatan usaha, maka usahakan
lagi lalu tawakkal lagi di finishnya, seterusnya sampai ketetapan itu berubah
atau teralihkan, bukanlah tawakkal namanya tanpa adanya usaha terlebih dahulu. Inilah
salah satu solusi damai dalam negeri yang awalnya damai.
Hal
strategi ini dikatakan ada pula terungkap dalam percakapan antara wali songo
dalam buku “HET BOOK VAN BONANG”. Buku ini ada di perpustakaan Heiden Belanda,
yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman Walisongo. Kalau tidak dibawa
Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap.
Buku
ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran
Islam. Dalam naskah kuno itu diantaranya menceritakan tentang Sunan Ampel
memperingatkan Sunan Kalijogo. ”Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena
termasuk bida’h”.
Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam
telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya “…” itu”.
Sunan
Ampel: “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian
hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran
yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?
Sunan
kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang
menyempurnakannya (hal 41, 64) .
[Sumber : Abdul Qadir Jailani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik
Islam di Indonesia], hal . 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu.
Pen:
Anda bisa membaca langsung bukunya atau searching dengan paman google masalah
apa yang dibahas Wali Songo tersebut. Perlu dibedakan antara hal-hal yang
menjadi alat/sarana saja, hal-hal adat/tradisi/modernis yang hukumnya dapat diserupakan
hukum pada hiburan, dan dengan hal-hal tradisi yang katanya terasa tak lengkap
bila tidak ada hingga menjadikan upacara atau adat yang mengikuti atau menambah
sebagai pelengkap bentuk ibadah yang murni hingga menjadikannya bentuk ibadah
juga. Contoh bersifat sarana atau alat: Speaker/toa dan microphone untuk adzan
berfungsi agar suara adzan dapat lebih berjangkauan luas terdengar suaranya dan
kolektif sifat manfaatnya. Dalam photo-photo pemuda-pemuda Palestina melempar
batu ke tank-tank Israel dengan memakai celana levis, saat sholat bila
memungkinkan akan lebih baik memakai busana yang dianggap sebagai busana-busana
muslim. Sarana dapat disesuaikan kemanfaatannya dan berapa lama pembatasan waktu
pemakaian pemanfaatannya berdasarkan beberapa pertimbangan yang bernilai
syar’i. Selain itu praktik yang dilakukan saat zaman walisongo. Ketika itu,
para sunan turun ke panggung politik untuk menata Kerajaan Demak. "Yang
menyitir para sunan, praktiknya dilakukan oleh para raden seperti Raden Patah
dan Maulana Malik Ibrahim”, ulama dan ormas islam sekarang maukah melakukannya?
Dan masyarakat umum/awam maukah mendengar apakata ulama-ulama dan ormas-ormas
islam tersebut?
Antara Adat Dan
Ibadah
Syaikh
Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ini
adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang
dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari
dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab :
“Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam
bid’ah!”
Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa
lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti
As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran
mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya
dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya
tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut
berkisar pada dua hadits.
Pertama : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang
baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu
tertolak”.
Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.
Kedua : Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan
serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang
berbagai urusan duniamu”
Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan
judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam
Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Tentang
Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang
sangat cermat.
Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan
syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya,
serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan
Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1] di dalamnya. Sedangkan kita dan
mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada
mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui
daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang
lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan
keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal
tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan
urusan perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam
kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan
yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan
santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang
manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter
hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan
adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rasul-Nya), firmanNya.
“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka
segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk”
[Al-Araf : 157] [2].
Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat
dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya
selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama
[3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia
dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah
keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk
maslahat.” [4]
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah
[5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan
sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia
dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah
dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali
apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah
tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah
adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.
Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya
yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq
saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada
kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan
hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.
Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam
Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada
bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat
jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika
adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia
menjadi bid’ah”.
Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan
bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib
dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat
meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam
bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali” [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal.
22) berkata, “Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam
urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada
masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang
kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang
adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu
bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan,
bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah
tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada
ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para
sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?”
[Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak
boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?” [Yunus : 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) berkata, “Adapun
adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang
mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan,
meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang
tidak mengandung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum
terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan
ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa
sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan
masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi
Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan
Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari,
Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1].
Maksudnya ulama dan umara
[2].
Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3].
Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4].
Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5].
Al-Iqtidha II/582
[6].
Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari
ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8].
Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal.
151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap
setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh,
maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan
antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya
sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan
sebelumnya.
[9].
Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian penting dan
panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.
Kategori:
Bid'ah Dan Bahayanya
Jika
bisa dirinci jauh kedalam lagi ciri-ciri adat, tradisi dan teknologi mungkin
seperti ini :
- Adat, tradisi atau teknologi
yang menjadi sarana, semua sepakat bukan bidah, maksud sama “sarana/alat”
tapi berbeda nama dalam kalangan nahdiyin, “bidah hasanah”. Seperti:
mobil, komputer, internet, pemecahan ilmu-ilmu agama menjadi beberapa sub-ilmu,
ilmu pengetahuan dunia, dsb. Kalau tujuannya berbuat haram, sarana bisa
jadi haram. Kalau tujuannya syari, sarana bisa jadi wajib, sunnah, dsb.
- Adat, tradisi atau teknologi
yang berbentuk hiburan, seperti: perlombaan tradisional dan moderen,
musical tradisional dan modern, hukumnya sesuai hukum pada hiburan.
*(kebanyakan orang-orang utama (yang ingin berderajat tinggi) meninggalkan
hal begini, alasannya kenapa anda bisa merujuk pada pembahasannya
dikitab-kitab), kalau tidak bisa meninggalkan semuanya, maka jadikan ada
dan tidak adanya sama saja, bila masih tidak bisa maka seimbangkan baik
dan buruknya, dsb.
- 1)Adat dan tradisi yang
menjadi ibadah, 1a)dijauhi karena percampuran yang berpotensi mendekati
penyekutuan kepada Tuhan, seperti sesajen, 1b) dijauhi karena sesuatu yang
benar-benar tidak ada contoh prilaku/akhlak, seperti: memukul dan melukai
diri dalam asyuro, 1c)tertolak karena bertentangan terbalik dengan hukum
yang jelas dalam syariat, seperti: budaya minum tuak (miras). 1d)budaya
lama sebelum islam atau budaya baru sesudah islam lainnya yang tidak
sesuai syariat. 2)adat, tradisi, teknologi yang masih dipertentangkan
karena menjadi sarana/alat yang masih dalam rana ijtihad (sepertinya harus
dirinci jauh lagi sub bagiannya), seperti: apa yang dibahas Walisongo
diatas tadi, tandatanya setelah faham adalah (dapat membedakan mana
ibadahnya, sarana, percampuran dengan hal tradisi lain, bentuk hiburannya,
bukan merupakan kewajiban terus-menerus, sifat “serupa” diberi tahapan-tahapan
hukumnya atau adanya pembatalan-pembatalan hukumnya, dsb), setelah
membulatkan tekad maka bertawakkallah. 3)peralihan hukum karena keadaan
darurat, pertimbangan fiqh, contohnya, pada tahapan awal dari kasus
Walisongo diatas, dsb…. Dsb.
Masalah
bidah ini, terkait dengan masalah tingkat ”keragu-raguan” dan tingkat
“kehati-hatian” seseorang atau kesadaran seseorang, yang mana tiap orang
berbeda tingkatnya, untuk hal ini sangat sensitif, diserahkan ke pertimbangan
individu masing-masing, sebaiknya Anda membaca banyak-banyak jenis referensi
dan sisi-sisi pembedahan masalah-masalah ini sebelum membulatkan tekad untuk
bertawakkal.
Islam
telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan
individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam
kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh
adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya (HR.
Muslim : 1480).
Dalam
kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat Al Baqarah ayat 233,
dimana Allah berfirman, “Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. (Al Baqarah : 233).
Imam
Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ”Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum
bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung
kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat
melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang
terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh
salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu
dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang
lain (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 1/635).
Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura’
telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya,
yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang
dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi
menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian
pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali ‘Imran : 159).
Di
dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura’ ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki
yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy Syura’ : 36-39).
Maksud
firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka
tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal
itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah
peperangan dan semisalnya (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim 7/211).
Seluruh
ayat Al Quran di atas menyatakan bahwasanya syura’ (musyawarah) disyari’atkan
dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura’ adalah sebuah
kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya
bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh
orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam
permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang
terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan
demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut
untuk bermusyawarah” (As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126).
Sunnah
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi
shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang
terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau
pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai
keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy. Selain itu, rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi
berkemah dan beliau menerima pendapat Al Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan
untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam
perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap
tinggal di Madinah hingga menunggu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di
luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah
menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Dalam
masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits Al ifki, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda
‘Aisyah radhiallahu ‘anhum. *kasus fitnah
Demikianlan,
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya
baik dalam masalah perang maupun yang lain.
Amir
Al Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari
syura’. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan
syura’, yaitu memperoleh solusi yang
tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari
celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti
atsar (dalil) (Al Aqd Al Farid hlm. 43)
Saat
Samarkand jatuh ketangan pasukan muslim, orang Samarkand datang ke khalifah
protes.
Samarkhand,
adalah sebuah negeri di daerah Asia Tengah, ibukota Uzbekistan saat ini. Saat
itu dikirimlah pasukan Islam dipimpin oleh Quthaibah bin Muslim. Dengan tujuan
untuk menyelamatkan dan mengislamkan Samarkhand. Pada dini hari, dimulailah
operasi penaklukan Samarkhand. Penaklukan itu terjadi dengan sangat mudah tanpa
perlawanan yang berarti, karena saat itu mayoritas penduduk Samarkhand sedang
terlelap tidur. Sehingga ketika subuh atau pagi harinya mereka baru menyadari
bahwa kota mereka telah ditaklukkan.
Melihat kota Samarkhand telah dikuasai dengan tiba-tiba, mereka pun lantas
mengajukan keberatan kepada panglima perang. Kenapa mereka keberatan? Sebab
mereka tahu bahwa penaklukan yang terjadi dini hari itu tidak sesuai dengan
ajaran Nabi Muhammad, tidak sesuai dengan sunnah Rasululullah, sehingga mereka
mengajukan keberatan. Selama ini mereka mendengar bahwa jika ada tentara Islam
yang hendak menawan sebuah kota, sesuai dengan ajaran Nabi mereka, maka mereka
akan memberitahukan terlebih dahulu kapan mereka akan tiba, melalui pintu kota
sebelah mana mereka akan menyerang, berapa jumlah personel yang dikerahkan,
kemudian tentara Islam dilarang oleh Rasulullah untuk menghancurkan bangunan,
membunuh anak-anak, orang-orang lanjut usia dan wanita serta musuh yang sudah
menyerah, juga dilarang menghancurkan tempat-tempat ibadah, dilarang merusak
pohon-pohon dsb.
Bagi Rasulullah dan tentara Allah yang haq, mengislamkan musuh lebih mulia
daripada membunuh atau menawannya dalam keadaan kafir. Sebab salah satu tujuan
jihad dalam Islam bukan hendak membunuh musuh sebanyak-banyaknya tetapi justru
menyelamatkan musuh sebanyak-banyaknya, yaitu dengan membawa mereka ke dalam
agama yang selamat lagi menyelamatkan yaitu Islam.
Maka rakyat Samarkhand kemudian mengirim utusan kepada khalifah Umar bin Abdul
Aziz tentang keberatan mereka dalam penaklukan Samarkhand. Khalifah pun faham
apa yang terjadi, lantas beliau memanggil hakimnya untuk mengadili panglima
perang dan seluruh pasukan yang terlibat. Akhirnya diputuskan bahwa penaklukan
Samarkhand yang baru saja dilakukan adalah tidak sah menurut hukum Islam, dan
pasukan yang terlibat mendapat hukuman yaitu dengan cara meminta maaf satu per
satu kepada seluruh penduduk kota Samarkhand. Maka terjadilah peristiwa luar
biasa, pasukan Muslim yang mencapai jumlah ribuan itu lantas bertebaran
keseluruh pelosok kota, door to door, untuk meminta maaf kepada seluruh
penduduk kota Samarkhand tanpa terkecuali. Bagi mereka ketaatan kepada Allah,
Rasulullah dan Pemimpin adalah lebih utama. Sungguh peristiwa luar biasa,
mengharukan, dan ajaib, yang belum pernah diajarkan oleh Pemimpin ataupun
diajarkan dalam ilmu perang mana pun. Itulah indahnya Islam.
Beberapa bulan kemudian dilakukan lagi ekspedisi oleh tentara Muslim ke
Samarkhand. Kali ini tentu saja semua dilakukan dengan Standard Operating
Procedure (SOP) yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka apa yang terjadi?
Yang
terjadi adalah sebuah keajaiban. Tanpa disangka-sangka, penduduk Samarkhand
ternyata sudah menanti di depan pintu kota untuk menyambut pasukan Islam
tersebut, bukan dengan senjata tetapi dengan senyuman hangat yang penuh
harapan. Mereka berbondong-bondong ingin memeluk Agama Islam, karena mereka
telah merasakan akhlak Islam yang sungguh agung yang diajarkan Rasulullah SAW,
dan merasakan bahwa hanya dengan Islam mereka akan mendapat keselamatan. Hati
mereka sungguh puas dan redha menerima kedatangan Islam.
Selain itu ini adalah teladan kekesatrian/kewiraan/kependekaran dengan jalan
terang-terangan, juga bukan diam membiarkan keburukan atau diam karena
menyengaja keburukan tetap ada dengan tujuan tertentu walau terlihat mulia atau
pun memancing/menunggu kekacauan dengan cara-cara tidak syar’i walau terlihat
bertujuan mulia (agak licik menurut penulis, juga kurangnya/tidak adanya upaya
membendung mudharat diwaktu-waktu tersebut).
Bila
menang kita bisa tunjukkan dengan bukti kerja nyata dalam berapa masa 5-10
tahun bahwa iniloh solusi syariat islam, dimana masyarakat butuh bukti
lapangan, mungkin perbaikan ekonomi dan penurunan harga-harga, menambah ruang
untuk pekerjaan, perbaikan kesejahteraan, pendidikan (juga termaksud mengurangi
fitnah ilmu), kesehatan, kestabilan keamanan dan hilangnya/kurangnya kriminalitas,
termaksud rasa aman kaum minoritas tentunya dengan solusi dan pandangan syariat
islam. Sesuatu yang universal diingankan masyarakat untuk kebaikannya di dalam
negara. Setelahnya tanpa diminta pun, mungkin saja malahan masyarakat
keseluruhan sendiri yang bakal ingin dan menyuarakan mengganti sistem
keseluruhan dengan kesadaran mereka sendiri tanpa merasa dipaksa karena adanya
pembuktian ini bahwa ternyata solusi itu buat kebaikan mereka pula dan nyata
terasa manfaatnya. itu sih kalau masyarakatnya mau dengan sendiri atau kalau
jalannya normal dan cepat, tidak ada tangan pihak ketiga, aseng dan asing,
belum masanya huruhara dunia atau dicobanya digagalkannya atau dikendalikannya pemilu
karena melihat adanya indikasi pro syariat menang dan itupun kalau menang
suara. ini salah satu solusi, tawaran dari solusi damai pada keadaan negeri nan
damai sebelumnya. solusi lain sesuaikan dengan sikonnya ntar.
Disini
dalam tahap kedua ini diperlukan lagi sinergi kerjasama antara yang berada
didalam sistem dan yang berada diluar sistem, dakwah menyadarkan masyarakat
terhadap pemurnian pandangan islam terhadap negara. Namun harus hati-hati
terhadap pengabaran negara dalam sudut pandang islam yang jangan sampai membuat
ada bagian masyarakat menjauhi partai berasas islam (bisa menggembosi/tidak
membantu perolehan suara pada pemilu). Gambaran kasar tujuannya adalah seperti
awalnya, memenangkan jumlah suara parlemen dan presiden, mengajukan bukti-bukti
dan manfaat lapangan keberhasilan solusi syariah, kepuasan masyarakat hingga
ditinjau bukti dimana pada pemilu berikut telah 75% lebih masyarakat menyatukan
suara kepada partai berasas islam (yang kemaren lalu memegang pimpinan 5 tahun
tersebut, bila menang), bila hal ini kelak terlihat jelas maka makin dekatlah
kepada tujuan akhir dimana sarana kemaren akan ditinggalkan secara keseluruhan
tentunya atas inisiatif semua element masyarakat sipil militer dan bahkan non
islam yang menginginkannya terwujudnya keseluruhan sistem karena bila hal ini
terjadi maka tidak ada kekacauan yang akan mendahului kemauan masyarakat luas
tersebut. Dakwah-dakwah insentif pada tahap dua ini menjadi teramat penting.
Bisa
dengan membumikan perkataan senada seperti “demokrasi bukan dari islam tapi
memilih pemimpin islam/partai berasas islam sebuah keharusan”, pengertian dan
pemahaman dari dua hal yang seakan-akan bertentangan ini yang harus dirinci dan
didengungkan jelas agar masyarakat mengerti dan namun tidak memberatkan pada
salah satunya yang tentu saja menimbulkan banyak kerancuan bahkan perpecahan.
Toh kedua-duanya adalah perkataan yang benar, namun sesuaikanlah pada tempatnya
yang pas atau pada lingkup kedua-duanya dapat disatukan/tidak menimbulkan
perpecahan. Maka ketika pemahaman masyarakat meningkat, tujuan akhir akan lebih
jelas kedepannya.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlakuk adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain)
untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim”.
(QS. Al-Mumtahinah [60] : 8-9)
Bila
pun masyarakat luas tidak menginginkan pergantian keseluruhan sistem, dapat
saja tetap berlaku adil dalam memakai sistem demokrasi, yaitu masing-masing
kaum versus islam berhak mencoba berjuang memenangkan sistem, selama keadaan damai dan janganlah
membantu kemenangan atau menjadi kawan dari partai berbasis non islam, karena
sama saja membantu melawan/memerangi penegakan syariat islam atau membiarkan
saja sistem dikuasai penuh oleh golongan yang tidak berpihak kepada islamisasi
untuk subtansi-subtansi sistem dalam sebuah negeri. Maka sikap diam atau golput
pun adalah sesuatu pilihan yang jelek, meninggalkan sebuah kesempatan amalan
baik diduniawi untuk maslahat bersama, apalagi kalau sikap golput adalah
disengaja untuk menunggu kacau, maka kesannya adalah siasat licik dan pembiaran
kepada mudharat yang terjadi juga bisa saja memperbesar efek-efek mudharat yang
terjadi.
Demokrasi
ini mau dibawah kemana, demokrasi teokrasi atau demokrasi sekuler liberal?
Namun, terlepas dari kritik-kritik itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan
rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan
rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat,
dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon
yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory
democracy’, dikembangkan pula tambahan ‘bersama rakyat’, sehingga menjadi
“kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan
bersama rakyat”. Penulis melihat demokrasi khusus adalah kedaulatan rakyat
islam dalam memilih syariat islam sebagai hukum negaranya, demokrasi patokannya
adalah menuruti kehendak mayoritas manusia yang berhukum dengan hukum Tuhan,
dengan mendominankan suara ulama, dai dan cendikiawan islam diparlemen dan
memenangkan presiden dari orang-orang utama dalam tauhid kepada Allah SWT.
“kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan
bersama rakyat, dimenangkan oleh rakyat/umat islam yang berhukum dari Tuhan,
demokrasi yang bersyariat islam”. Bila telah menang dan berjalan, tentu saja
ditengah jalan akan ada mekanisme otomatis proses pengaturan konsep negara
secara islam dengan sendirinya atau istilahnya langsung berteori dan
berpraktek, teori yang menghasilkan praktek dan praktek yang menghasilkan
teori. Pengarahannya akan lebih jelas seiring dengan waktu perjalanannya. So, usahakan
dan biarkan berjalan dulu, see, wait and then more action. Jangan belum menang,
sudah ribut. Cape dech!
Antara
Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Oleh: Ust. Felixsiauw
MUHARRIKDAKWAH - Dalam Islam ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah,
dan pendekatan keduanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun fiqh
hukum itu hanya ada hitam-putih dan jelas, bila terkait hukum benda maka
hukumnya halal atau haram, bila terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5
(ahkamu-khamsah) yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia
menuju kebaikan, dan sebagaimana yang kita pahami, dakwah itu memerlukan proses
dan waktu yang tidak singkat.
Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan
pada dalil Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma Sahabat dan Qiyas. Misalnya ketika ada seorang Muslimah bertanya “Apa
hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan fiqh dan dakwah bisa
berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.
Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya jelas “haram” bagi wanita tidak
berhijab atau melepas hijab selain kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya
bisa dijawab dengan menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami
kewajiban berhijab. Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki
adalah dari Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya
yang taat” misalnya.
Pendekatan secara dakwah ini intinya menguatkan, memotivasi dan memberikan
harapan agar pelaku maksiat tak lari dari pendakwah, mau terus belajar agar
pemahamannya meningkat, dan bila pemahamannya sudah meningkat, insyaAllah
kemaksiatannya akan ditinggalkan.
Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahan seseorang
hanya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan
kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas,
dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah
Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh
nggak?”
Kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa” ikut aja dulu, karena merasa tak enak
atau karena ingin dia ikut pada kita terlebih dahulu, karena kita justru
melegitimasi pacaran yang maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan
tetapi kita harus jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut
kajian, itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.
Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka hijab bagi wanita?”, jawabannya harus
tegas “ya haram”, tidak boleh dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab
dengan kalimat multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman
atau kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat.
Islam memang tak memaksa dan memberi pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau
tidak, menjadi beriman atau malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah
memilih menjadi seorang Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya,
“saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk,
ya harus ikut aturan saya”. Logis.
Karena itulah selepas Rasul wafat ada kaum yang menolak melaksanakan kewajiban
zakat. Maka Khalifah Abu Bakar nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka
mau melaksanakan kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila
sudah memilih Islam ya kewajibannya membayar zakat.
Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul bahwa hukum berhijab itu adalah suatu
keharusan – “hukumnya wajib” bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara
dakwah, bisa banyak macam dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan
menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum
fiqhnya harus disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah
status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan
banyak orang dari hukum Allah.
Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah,
yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik.
Juga saat ditanya “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak
dijadikan topeng kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan
sebelum menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa
melainkan pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak
penanya.
Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh iya, sekarang banyak orang menggunakan
simbol agama untuk mencapai popularitas, uang, dsb..” Sangat-sangat tak elok
Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat mendengar jawaban semisal itu?
Kira-kira begini “Ohh orang berhijab banyak parah ya? mendingan hijab hati deh”
atau “Iya bener, mendingan kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang
penting baik”
Lalu makin banyaklah orang beralasan saat ditanya kenapa belum tunaikan
kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah aja berhijab, tapi ancur”
Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian
banyak dijadikan topeng kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat,
“Muslimah berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”.
Ini jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan
Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih kuat dibanding paksaan, namun bukan
berarti selama menunggu kemauan, kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti
ketika seorang Muslimah belum memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak
berhijab menjadi hilang. Karena ada
manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi
istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas
Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw “Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan
menangis!” (HR Ibnu Majah)
Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul,
agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata
yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.
Maka Muslimah yang belum bisa berhijab pun seharusnya “memaksakan” diri dalam
ketaatan, pasti Allah mudahkan dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan
“tidak mau memaksakan” lantas menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan
dan kelalaian saja.
Sampaikan kebenaran pada ummat agar mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan
cara yang baik pula, setelah itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan
dan kabar gembira lalu semuanya sempurnakan dengan tawakal
Buat yang sudah berhijab, semoga istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya.
Bagi yang belum, selamat “memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada
orang yang mendekat pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat
pada-Nya.. akhukum, @felixsiauw
Belajar dari Kasus
Irak: Da’i Serukan Golput, Syiah Kuasai Negara Oleh: AM Waskito
Baru-baru
ini Ja’far Umar Thalib ditanya oleh jamaah pengajiannya tentang hukum mengikuti
pemilu. Dia menjawab bahwa demokrasi itu haram, tidak boleh diikuti. Demokrasi
juga sistem bid’ah yang diadopsi dari para filsuf kafir. Singkat kata, jangan
mengikuti even pemilu 2014 yang sebentar lagi digelar.
Jika
kesimpulan atau fatwa Ja’far Umar Thalib ini ditelan mentah-mentah, maka
konsekuensinya kaum Muslimin (Ahlus Sunnah) akan meninggalkan tempat-tempat
pengadaan pemilu, kemudian orang Syiah, Liberal, non Muslim memenuhi TPS-TPS,
sehingga akhirnya terpilihlah tokoh-tokoh politisi yang anti Islam seperti
Jalaluddin Rahmat, Ulil Abshar Abdala, dan sebagainya. Kalau mereka terpilih
dan dominan suaranya diparlemen kemudian membuat aneka masalah dalam kehidupan
Umat, ya jangan salahkan mereka; tapi salahkan diri sendiri yang telah diberi
kesempatan memilih orang yang benar, tapi tak dimanfaatkan.
Umat
Islam harus ingat dengan baik. Terpilihnya Nuri Al Maliki dan rezim Syiah di
Irak, hal itu adalah melalui mekanisme demokrasi. Ketika itu banyak dai-dai
Islam menyerukan golput, lalu terpilihlah tokoh-tokoh Syiah sehingga
mendominasi parlemen dan pemerintahan; sampai akhirnya pemerintahan Irak jatuh
ke tangan Syiah. Kini Syiah di Indonesia, Liberal, jaringan China, non Muslim
berusaha mengambil kesempatan untuk menguasai Indonesia. Faktanya, mereka
sangat gencar mencalonkan tokoh-tokohnya, melakukan lobi politik, melakukan
politik pencitraan, dan seterusnya.
Kami
akan jelaskan kembali masalah ini sebagai bagian dari amanat yang harus
disampaikan. Meskipun masih saja (banyak) yang salah paham atau tidak mengerti.
[1].
Bagaimana hukum demokrasi menurut ajaran Islam? Jawabnya jelas, demokrasi bukan
sistem Islam, tidak dikenal dalam sejarah Islam, dan statusnya HARAM menurut
Syariat Islam. Mengapa demikian? Karena patokan dalam sistem Islami
adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan dalam demokrasi
patokannya adalah menuruti kehendak mayoritas manusia. Betapa jauhnya perbedaan
antara taat kepada Allah dan Rasul, dengan mengikuti selera mayoritas manusia.
Kedudukan demokrasi dalam hal ini sama seperti hukum makan daging babi, seks
bebas, minum khamr, ribawi, dan lainnya yang sama-sama haram.
[2].
Daging babi haram, seks bebas haram, ribawi haram, minum khamr haram; tetapi
mengapa di tengah kehidupan bangsa kita masih banyak (atau ada) yang melakukan
hal-hal haram itu? Mengapa negara tidak menetapkan keharaman hal-hal itu secara
tegas? Mengapa dan mengapa? Ya jawabnya mudah: karena negara Indonesia ini
bukan berdasarkan Syariat Islam. Sekali lagi, sistem dan UU di negara kita ini
bukan Islam. Kalau berlaku sistem Islam, tidak perlu demokrasi-demokrasian.
Kita tak butuh demokrasi di sebuah negara yang Islami. Jawaban Ja’far Umar
Thalib dan selainnya bisa dibenarkan, dalam konteks sistem Islami. Kalau dalam
sistem sekuler seperti Indonesia ini, justru manfaatkan celah politik
sekecil mungkin.
[3].
Negara seperti Indonesia ini kan bukan Islami. Sebagian kalangan Muslim malah
menyebutnya sebagai negara thaghut, kafir, syirik. Jelas kan bahwa negara kita
bukan (belum) negara Islami. Jika demikian, maka dalam urusan-urusan yang
bersifat sosial-kemasyarakat, dalam urusan birokrasi, kepemimpinan, dan
kenegaraan kita tidak bisa memaksakan Syariat Islam berlaku. Kalau dalam urusan
pribadi, keluarga, lingkup terbatas, kita bisa menerapkan Syariat Islam; tapi
dalam lingkup masyarakat luas, tidak bisa memaksakan. Paling yang bisa kita
lakukan adalah: cara politik, lobi pejabat, tekanan publik, pembentukan opini,
dan yang semisal itu.
[4].
Bisa saja sebagian Muslim ingin memaksakan agar Syariat Islam berlaku dalam
kehidupan sosial, birokrasi, politik, kepemimpinan. Tapi hal itu akan ditolak
oleh kalangan sekuler, hedonis, non Muslim yang sejak lama memang benci Islam.
Resikonya akan terjadi konflik sosial, dalam skala kecil atau meluas. Atau
paling kasarnya, akan terjadi perang antara pendukung Syariat Islam dan para
penentangnya; seperti zaman DI/TII dulu. Mungkin dalam batas tertentu para
pendukung Syariat tidak menolak jika harus menempuh cara perang untuk
memberlakukan Syariat; masalahnya, apa yang sudah Anda siapkan untuk peperangan
itu sendiri? Kalau Rasulullah SAW dan para Shahabat RA saja melakukan persiapan
luar biasa untuk peperangan ini, apakah kita cukup dengan semangat dan
keyakinan akan Nashrullah (pertolongan Allah)?
[5].
Jalan demokrasi atau pemilu adalah langkah kompromi antara arus pendukung
Syariat Islam dengan para penentangnya, daripada kita menempuh cara perang
(konflik). Kalau ada dua jalan, untuk mencapai tujuan yang sama (penegakan
Syariat Islam), satu jalan melalui perang, jalan lain melalui kompetisi
politik; maka Syariat Islam membimbing kita untuk menempuh madharat yang lebih
kecil. Kaidahnya, ikhtaru akhaffi dhararain (memilih madharat yang
lebih kecil). Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW sebelum penaklukan
Makkah. Waktu itu terbuka dua jalan,
secara terbuka memerangi Kota Makkah, atau memilih perjanjian damai dengan
mereka. Lalu Nabi SAW memilih jalan damai, melalui perjanjian Hudaibiyah.
Tujuannya sama, menaklukkan Makkah, tetapi menempuh cara yang lebih sedikit
madharatnya.
Manhaj
ini dipahami secara jelas oleh para sahabat. Ketika Rasulullah saw telah
bersabda, maka tidak ada ungkapan lain apa pun yang menyelisihi sabda beliau.
Walaupun itu perkataan Abu Bakar, atau Umar. Padahal, keduanya adalah dua guru
Islam sekaligus khalifah rasyidah setelah Rasulullah saw. Umar bin Al-Khattab
pernah berkata, “Rendahkanlah oleh kalian
pendapat akal dalam agama karena aku pernah mendapatkan kehinaan itu pada
peristiwa Abu Jandal karena menolaknya (yakni sabda Rasulullah).” Kala itu,
Umar berkata : “Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam
kebatilan? Tetapi, mengapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?”
Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Tahanlah logikamu, karena aku adalah utusan
Allah dan Dia tidak akan menelantarkan diriku.” Merasa tidak puas, Umar
pun pergi ke Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Mengapa kita menerima kehinaan
untuk agama kita? Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam
kebatilan?” Umar ketika itu berpikir bahwa kesepakatan yang disetujui pada
perjanjian Hudaibiyah, isinya merupakan kehinaan besar bagi umat Islam. Namun
setelah itu, berkah Rasulullah saw pun tampak. Dalam perjalanan pulang
Rasulullah saw dari Hudaibiyah, surat Al-Fath pun turun. Semua ayatnya adalah
kabar gembira dan semuanya adalah kebaikan bagi Rasulullah saw dan umat Islam.
Bahkan, salah seorang sahabat berkata, “Kalian menganggap kemenangan itu adalah
penaklukan Mekkah, sedangkan kami menganggap kemenangan itu adalah perjanjian
Hudaibiyah. Karena setelah perjanjian itu kemenangan dan kebaikan pun datang
disebabkan oleh berkah berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Pen:
tahanlah logikamu yang memang benar itu sejenak! Tempatkanlah pada tempatnya
yang tepat (adilkanlah). Sebagian orang menganggap kemenangan itu dengan
berdirinya khalifahan, tapi anehnya terkhusus negeri ini, penulis menganggap
kemenangan awal itu ketika memenangkan demokrasi dan menjalankan penegakan
syariah didalam sistemnya dengan aman seterusnya tanpa hambatan luar hingga
masa penentuan penaklukan dunia kelak. Berlahan-lahan menggolkan/merevisi
undang-undang ke prosyariah, undang-undang perekonomian, sosial, pendidikan,
hukum pidana dan perdata, dsb. Selama demokrasi itu subtansinya mengikuti
aturan nash dan hukum baku dalam islam, yang pokok bisa belakangan nyusul.
Sakit nga sudah cape-cape berpuluh tahun bikin sistem demokrasi mendunia, ehh…
ternyata bisa diislamisasi jua aiii.
Pada
waktu peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, islam telah memiliki wilayah
kekuasaan yang menjalankan syariahnya, Madinah dan juga sanggup mempertahankan
keamanannya dari rongrongan serangan luar namun kurang punya legitimasi dari
suku-suku lain, sebelumnya pula telah terjadi perang berkali-kali. Bahkan umat
islam bisa saja lebih gencar berperang karna musyrikin Mekkah pada waktu itu
sudah tidak mampu membendung atau membuat serangan lagi kepada Madinah (seakan-akan
sudah hampir kalah). Bila dilihat, melakukan cara damai daripada pilihan perang
lebih utama selama memang adanya maslahat besar dibelakangnya, meskipun awalnya
telah terjadi perang, kecerdasan menilai sikonnya dan sebab akibat teramat
penting. Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa Abu Bakar adalah seorang yang
paling mencintai umat setelah Rasulullah, sedangkan Umar adalah seorang yang
paling keras terhadap pegangan agamanya, dan bila tidak salah sahabat mu’adz
adalah yang paling mengetahui halal dan haram.
Diriwayatkan
dari Anas secara marfu, dia berkata, “Umatku
yang paling penuh cinta kasih kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras
dalam memegang agama Allah adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, yang
paling mengetahui masalah halal dan haram adalah Mu’adz, dan yang paling taat
adalah Zaid. Setiap umat memiliki kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah
Abu Ubaidah.”
Bila
ada serupa perjanjian Hudaibiyah, bila pengambil keputusan seperti
karakteristik Umar biasanya barat/non islam menyatakan sebagai islam garis
keras, kemungkinan jalan jihad fisik yang dominan. Masalahnya nusantara adalah
negeri damai dan karakteristik kebanyakan orang-orangnya adalah (sekedar garis
besarannya saja) karakteristik serupa Abu Bakar atau yang dikatakan islam
moderat (buktinya jalur tarekat dominan di negeri ini) tapi jangan lupa Abu
Bakar bisa tegas pula terhadap yang membedakan syariat. Dalam perjanjian
Hudaibiyah point-point aturannya dibuat oleh musyrikin Mekkah, itulah Umar yang
keras memegang agamanya bisa bersikap demikian, namun diminta untuk menahan
logikanya. Didalam perjanjian itu terwujud saling interaksi antara kedua pihak
dalam kaitan sesistem perjanjian tersebut. Bila Anda bisa lebih jeli saja, Anda
bisa melihat dalam kacamata lain hal-hal dibelakang demokrasi sekarang ini yang
dibuat oleh pandangan barat yang mungkin saja berbeda dengan demokrasi dijaman
kuno dahulu sebelum islam hadir (mungkin saja bukan dimaksud demokrasi ala
Aristoteles atau sebagainya seperti pengertian yang sekarang), Anda bisa
membagi dari satu jenis sistem demokrasi menjadi paling sedikit 3 cabang arah
dan tujuan berbeda dalam wujudnya. Bisakah Anda melihat ujung panahnya, lubang
panahnya bahkan bulu panahnya?.
PERJANJIAN
HUDAIBIYAH, BUKTI KEJENIUSAN POLITIK NABI MUHAMMAD SAW
Berkembangnya
Agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman
sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah
tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah tokoh dengan karakter yang
paling hebat. Bahkan Michael J Hart yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan
teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya. Salah satu bukti
kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah,
atau Shulhul Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal
ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kaum musyrikin Mekah. Ini terjadi
pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini
terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah. Pada saat itu
rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak
melakukan ibadah Haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh Suku
Quraisy, penduduk Mekah. Maka setelah terjadi negosiasi beberapa waktu, kedua
belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai. Sebelum terjadinya
Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama-sama dengan Kaum Yahudi
Khaibar, dan suku-suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik menyerang
Madinah. Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha
penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang
dibuat oleh Kaum Muslimin berupa parit. Serta berkat bantuan dari Allah SWT
dengan mengirimkan berupa badai yang sangat dingin yang menerpa pasukan
musyrikin tersebut. Perang ini dipandang
sebagai akhir dari usaha Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin
Madinah.
Sedangkan isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut menurut riwayat, intinya
adalah:
- Gencatan senjata antara
Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
- Bagi penduduk Mekah yang
menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
- Bagi penduduk Madinah yang
menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
- Bagi penduduk selain Mekah
dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
- Pada saat itu Nabi Muhammad
SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah.
- Nabi Muhammad SAW dan
pengikutnya dipersilahkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian
itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya
membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk
berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu
kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.
Sekilas
isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan
hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu
isinya:
- Gencatan senjata sudah tidak
diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq,
Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu
dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak
datang ke Mekah.
- Jika penduduk Mekah tidak
boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan
bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
- Jika penduduk Madinah yang
pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga
Madinah akan berkurang.
- Point ini bisa disebut
imbang.
- Kaum Muslimin yang sudah
capek-capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya
yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi
sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi
memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau
pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi
kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita
tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika
mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan
ejekan oleh mereka.
- Diperbolehkannya untuk
kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak
cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan
menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Pada
saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya
bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu
saja. Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi
perjanjian ini. Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin
untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda
berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa
heran lebih menguasai pikiran mereka. Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah,
istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan
seperti itu.
Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak
mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada
sahabat-sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau
lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau. Maka beliau membiarkan para
sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah
kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada
2 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
- Perjanjian ini
ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya.
Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga
siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan
perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai
otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku-suku lain
pun pasti mengakuinya.
- Dengan perjanjian ini, maka pihak
Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka
jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari
perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa-
apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat
di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau
seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa
dilihat dalam Al Qur'an Surat Al Hajj ayat 39-40.
O
ya selain itu dikatakan bahwa pada masa itu orang yang sudah berislam yang
berada di Mekkah tidak boleh menyeberang ke Madinah, begitupun yang sudah
menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya di Mekkah harus dikembalikan ke
Mekkah, kemudian adanya pelepasan tawanan di Madinah dengan berupa pembayaran
atau sebagainya, terjaminnya keselamatan orang yang mulai memiliki keimanan
dihatinya namum belum menampakkannya yang berada di Mekkah. Ternyata hal ini
malah menguntungkan islam itu sendiri, dimana orang-orang yang berada di Mekkah
ini bisa berdakwah lebih leluasa dan tidak bersembunyi lagi karena adanya
perjanjian damai ini kemudian ditambah para “tawanan politik” yang mengalami
kebaikan akhlak islam di Madinah terhadap para “tawanan politik” menjadi
tertarik pula dengan islam dan efeknya memberi penyampaian berita dan kabar
pula secara lebih luas kepada penduduk Mekkah tentang apa itu islam dan bagaimana
perlakuan islam terhadap mereka disana (Madinah) setelah mereka telah kembali
berada di Mekkah, maka sedikit demi sedikit dakwah islam telah dapat diterima
lebih luas oleh penduduk Mekkah, islam mulai memberikan pengaruh dan penerimaan
yang lebih luas pada masyarakat Mekkah yang mulai terbuka pola pikirannya waktu
itu dan yang tentu saja salah satu imbasnya akan mudah kepada penaklukannya
kelak saat bila terjadi. Selain itu, bisa saja cara ini tidak akan membuat
Mekkah (kota sendiri) jadi rusak karena peperangan yang tentu berakibat
merusak. Dan bukan pula hal ini dimaknai bahwa Rasulullah tunduk terhadap
musyrikin Mekkah atau dikatakan tunduk pada sistem mereka, proses yang
berlangsung dalam sistem tersebut tentu berbeda fungsi, tujuan dan caranya,
dalam sebuah sistem perjanjian paling sedikit terbagi 2 cara kerja berbeda maka
tentu saja bila kita memikirkan hal serupa konteks ini, kita dapat membuat
kesimpulan strategi baru cara membangun hal serupa contoh ini dimasa kekinian.
Hikmah
Perjanjian Hudaibiyah
- Berkembangnya syiar Islam.
- Kehidupan masyarakat aman
dan damai.
- Pengiktirafan Rasulullah dan
negara Islam di Madinah.
- Membuka jalan kepada
pembebasan Mekah daripada Musyrikin Quraisy.
- Orang Islam dapat membuat
perhubungan dengan kabilah Arab yang lain.
Kesan
Perjanjian Hudaibiyah
- Rencana utama: Pembukaan
Kota Mekah
- Musyrikin Quraisy semakin
lemah.
- Islam berkembang dengan
meluas dan Madinah semakin maju
- Orang Yahudi yang khianat
diusir dari Madinah.
- Rasullah mengajar ummatnya
bagaimana untuk membuat perjanjian dengan kaum kafir.
- Corak politik Rasulullah
yang lebih menjurus kepada pemerhatian dan pemikiran.
Maka
dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad
berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada
pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah
(Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk
menyebarkan Agama Islam.
Kemudian
dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin
bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi
penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang
beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi
mengganggu Madinah.
Dalam pada itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah.
Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya
selesai. Dan itu benar- benar terjadi. Maka ketika Bani Bakr yang menyatakan
berpihak kepada Quraisy dan didukung beberapa tokoh Quraisy diantaranya Ikrima
bin Abu Jahal menyerang Bani Khuza'ah yang menyatakan memihak Madinah, Nabi
Muhammad segera menyiapkan rencana untuk menghukum Kaum Quraisy. Dan pada
akhirnya, terjadilah penaklukan Mekah tanpa perlawanan berarti dari penduduk
Mekah.
Maka tepatlah ketika Kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah, dalam perjalanan turun
Surat Al Fath (Kemenangan).... Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.
Perdamaian
Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan
besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai
berikut.
Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan
perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional.
Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga
dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler.
Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat
bersama 1400 shahabat, sedang dalam fathu makkah dua tahun setelahnya beliau
berangkat bersama 10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah
Khalid bin Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum
pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.
Kedua, optimalisasi potensi kaum
muslimin untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat
mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum
muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi
yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah perang Khaibar, di mana
kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan
kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan
Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak
diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang
agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan
bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam
dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah.
Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya.
Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”
Kaum
Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum
muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad saw.
dan shahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka
kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.
Keempat, kematangan kaum muslimin. Sebab
dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya,
semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah swt
bersama mereka. Kematangan itu tergambar di bai’atur ridlwan dan tergambar
secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,
“Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (Al-Fath:
29).
Allahu
a'lam bishshawab.
PERHATIAN:
Kalau kita sudah sampai di titik ini, jangan dibalikkan lagi ke tahap
elementer, seperti ungkapan “demokrasi itu haram, bid’ah, sistem kufar, syirik”
dan seterusnya. Kita sudah progress pada tahap pertengahan, jangan dimentahkan
lagi dengan ungkapan-ungkapan elementer. Mohon jangan membiasakan diri
berputar-putar dalam kebingungan dan ketidak-jujuran dalam membangun pemahaman.
[6].
Bagi kalangan yang memutlakkan haramnya pemilu demokrasi dengan segala
argumennya, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab: “Bagaimana menurut Anda jika melalui proses
demokrasi dapat ditetapkan Syariat Islam sebagai hukum negara? Bagaimana jika
melalui proses pemilu dapat dipilih pemimpin sesuai Syariah? Bagaimana jika
melalui demokrasi, kaum Muslimin bisa berkesempatan mengatur negara dengan
nilai-nilai Islam?” Mohon pertanyaan ini dijawab dengan jujur. Jika mereka
SETUJU dengan demokrasi semacam itu, berarti yang jadi masalah bukan
demokrasinya, tapi hasilnya. Jika mereka TAK SETUJU, maka itu aneh. Mengapa
mereka tak setuju dengan penegakan Syariat Islam, kepemimpinan Syariah, dan
kekuasaan Islam?
[7].
Mungkin mereka akan membantah dengan pernyataan berikut: “Mana buktinya bahwa
mekanisme demokrasi bisa menetapkan Syariat Islam? Mana buktinya sistem
demokrasi bisa memilih pemimpin sesuai Syariat? Mana buktinya bahwa demokrasi
bisa menghasilkan dominasi politik Islam?” Jika demikian pertanyaannya, maka
kami bisa berikan sedikit data-data untuk dipikirkan. Pemilu demokrasi di
Pakistan pernah berhasil mengangkat Nawaz Syarif sebagai PM, lalu mereka
memberlakukan Syariat Islam; meskipun usia pemberlakuan itu sebentar, sebelum
Nawaz Syarif disingkirkan. Sistem demokrasi di Pakistan pernah mem-back up
kepemimpinan Presiden Ziaul Haq rahimahullah yang Islami. Pemilu demokrasi di
Kelantan Malaysia berhasil memantapkan negara bagian itu dengan UU Syariah.
Pemilu demokrasi di Mesir berhasil memperbaiki Konstitusi sehingga lebih
Islami, dan berhasil mengangkat Presiden Mursi yang hafal Al Qur’an sebagai
pemimpin Mesir. Begitu juga, sistem demokrasi di Sudan menjadi jalan dominasi
kaum Muslimin di sana. Termasuk demokrasi di Turki berhasil memperbaiki
kehidupan rakyat Turki dan adopsi nilai-nilai Islam (seperti busana Muslim dan
jilbab) ke dalam kultur sekuler Turki. Bahkan demokrasi di Palestina
mengukuhkan Hamas sebagai dominator di wilayah Ghaza. Ini adalah
kenyataan-kenyataan yang ada.
[8].
Mungkin masih ada keraguan dengan pertanyaan: “Tapi faktanya Ikhwanul Muslimin
di Mesir dibantai, Mursi digulingkan, FIS di Aljazair dibantai sampai jatuh
korban puluhan ribu Muslim?” Jika situasi Mesir dan Aljazair dijadikan ukuran,
itu konteksnya berbeda. Di sana yang terjadi adalah kezhaliman, kelicikan,
kejahatan terbuka terhadap mekanisme kompetisi politik yang jujur dan damai.
Sebagian orang menggunakan cara kekerasan untuk menghancurkan kemenangan yang
diperoleh melalui kompetisi politik yang fair. Jadi dasar masalahnya bukan di kompetisinya
itu sendiri. Tapi pada orang yang ngeyel dan tak mau kalah secara sportif, lalu
memakai cara-cara kekerasan. Logikanya begini: Ada perlombaan lari diikuti 10
orang pelari. Dari perlombaan itu diperoleh seorang pemenang sebagai juara. Dia
dapat piala. Tapi ada yang tak terima. Mereka menghajar sang juara sampai babak
belur, lalu piala di tangannya diberikan kepada pelari lain yang kalah. Yang
salah disini kan kezhalimannya, bukan kompetisi larinya.
[9].
Kalau kami umpamakan, pemilu demokrasi itu seperti bunga bank. Para ulama
Muslim kontemporer sudah sepakat bahwa bunga bank itu haram, karena termasuk
ribawi. Tapi pernah diajukan pertanyaan oleh sebagian orang kaya Muslim yang
menyimpan uangnya di bank-bank Swiss. Mereka bertanya: “Bagaimana harus kami
gunakan bunga bank ini? Jika tidak kami ambil, ia akan dikumpulkan untuk
lembaga-lembaga Nashrani, lalu dipakai untuk membiayai kegiatan Kristenisasi.
Kalau kami ambil, ia haram hukumnya sesuai fatwa ulama. Apa yang harus kami
lakukan?” Akhirnya diberikan fatwa, bahwa bunga bank itu boleh diambil, lalu
disedekahkan untuk pembangunan fasilitas sosial seperti jalan raya, jembatan,
penerangan jalan, dan lainnya yang bukan bersifat konsumsi. Nah dalam konteks
ini, situasinya mirip dengan pemilu demokrasi.
[10].
Yakin, haqqul yakin, bahwa demokrasi bukanlah sistem Islam, bukanlah cara
Islami. Singkat kata, ia haram. Tapi kalau hak suara demokrasi kita tidak
digunakan untuk mendukung misi perjuangan Islam, ia akan digunakan oleh
anasir-anasir anti Islam untuk mencapai kekuasaan, mencapai parlemen, masuk ke
proses legislasi UU, untuk mendominasi kepemimpinan birokrasi, dan lainnya. Apa
Anda mau hak politik kita diambil kaum anti Islam? Atau dengan kata lain, apa
Anda mau bunga bank uang Anda dikumpulkan lembaga-lembaga Zending untuk
mengkristenkan Umat manusia? Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
[11].
Terakhir, ini penting disampaikan, bahwa mekanisme demokrasi bukan satu-satunya
jalan politik yang tersedia bagi Ummat ini. Masih ada jalan-jalan lain yang
terbuka dan perlu terus dikembangkan, sesuai daya dan kesempatan. Jadi tulisan
ini bukan bermaksud menafikan jalan-jalan perjuangan lain. Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamiin. Tapi diharapkan tetap bersatu untuk mendulang suara, jihad 5
tahunan sampai ketetapan itu berubah.
Demikianlah,
bahwa asal hukum pemilu demokrasi adalah haram, bertentangan dengan pokok
ajaran Islam. Tapi dalam situasi darurat, di sebuah negara yang tidak berhukum
dengan Syariat Islam, hak suara kita dalam pemilu demokrasi perlu dimanfaatkan,
untuk mendukung missi perjuangan Islam. Jangan sampai yang menjadi pemimpin,
anggota parlemen, perumus UU, pemimpin birokrasi, dan sebagainya adalah
manusia-manusia hedonis, anti Islam, atau sesat akidah. Jika mereka yang
terpilih, tentu akan melahirkan banyak musibah dan fitnah bagi Umat ini. Paling
kasarnya, sejelek-jeleknya politisi Muslim, dia masih punya sisa-sisa loyalitas
kepada agama dan Umatnya. Daripada yang terpilih adalah politisi anti Islam.
Nas’alullah al ‘afiyah.
Semoga
pembahasan ini bermanfaat, ikut mencerahkan Umat, dan berterima di hati kaum
Muslimin.
Demokrasi,
Halal atau Haram dalam pandangan Islam??
Demokrasi adalah sebuah tema yang
banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan
memposisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui
prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.
Prinsip
Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam
demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:
- Kebebasan berbicara setiap warga negara.
- Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah
pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
- Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas
tanpa mengabaikan kontrol minoritas
- Peranan partai politik yang sangat
penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
- Pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
- Supremasi hukum (semua harus tunduk pada
hukum).
- Semua individu bebas melakukan apa saja
tanpa boleh dibelenggu.
Pandangan
Ulama tentang Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara
tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang
memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi
adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama
sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern
(Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut
paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang
diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak
terbatas pada para pendeta.
Mohammad
Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang
berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut
Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern
menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah
mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat
saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model
demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar
itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh
etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasian sich.
Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah
model demokrasi sebagai berikut:
1.
Tauhid sebagai landasan asasi.
2.
Kepatuhan pada hukum.
3.
Toleransi sesama warga.
4.
Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna
kulit.
5.
Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
Muhammad
Imarah
Menurut beliau Islam tidak
menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam
demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak
berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi.
Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan
prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur
oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia
berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada
pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah
Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia
memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam,
Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam.
(al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan
antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti
membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi
pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Yusuf
al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi
demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan
melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin
dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih
sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan
penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi
mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran
Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian
saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga
kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh
kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara
mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap
Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah
dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh
lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu
saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan
nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Salim
Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung
sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif
yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya
kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi
buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada
sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan
adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
- Menetapkan tanggung jawab setiap
individu di hadapan Allah.
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam
musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam
kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan
(al-Ahzab: 36).
- Komitmen terhadap islam terkait dengan
persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak
sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang
sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat,
dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah
ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah
kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Untuk
ini diperlukan kontrol pemuka agama islam untuk menyarankan bahkan menfatwakan
memilih partai berasas islam, pemimpin berkreteria islam dan larangan buat
golput.
Karena itu, maka perlu dirumuskan
sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
- Demokrasi tersebut harus
berada di bawah payung agama.
- Rakyat diberi kebebasan
untuk menyuarakan aspirasinya
- Pengambilan keputusan
senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
- Suara mayoritas tidaklah
bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas
yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga
ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan
mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya
dengan cukup mengambil pajaknya.
- Musyawarah atau voting hanya
berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah
ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
- Produk hukum dan kebijakan
yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
- Hukum dan kebijakan tersebut
harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep
demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya
harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka
sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat
harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan
Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Sebab dan akibat
Demokrasi
gagal karena prilaku orang-orang yang terpilih didalamnya yang mempunyai suara
terbanyak bisa menggagalkan/mengalahkan suara aspirasi yang kalah suara karena
akhirnya kalah voting. Suara aspirasi kalah banyak diparlemen atau hanya
terbolak balik kiri dan kanan karena rakyat yang memilihnya tidak dominan
memilihnya, bisa karena dibeli, karena pembalikan fitnah yang benar tidak
dipercaya dan yang salah dipercaya, hipnotis media, phobia, kurangnya ilmu,
dsb. Selain itu suara rakyat tidak dominan kepada suara aspirasi karena adanya
larangan sebagian guru-guru aspirasi yang mengharamkan masuk kedalam sistem
walau semisal hanya sekedar sejenak bersatu memperjuangkan aspirasi dibilik
suara, karena adanya guru-guru antiaspirasi yang punya kepentingan duniawi dan
dikuatkan dukungan hasil duniawi pula dan kurangnya dakwah dari guru-guru
aspirasi yang dapat membedakan masalah, manfaat, dan sikonnya kepada rakyat dan
sayangnya rakyat pun banyak pula yang tidak terdidik dengan aspirasi kebenaran.
Kebanyakan
manusia melihat akibat saja namun lupa melihat sebabnya, akibat lalu yang
menghasilkan sebabnya, sebab lalu yang menghasilkan akibat lalu tersebut. Lupa
memperhitungkan rantai lingkaran setannya, lupa pula memperhitungkan butterfly
effect-nya, bagian mekanisme pembentukan rangkaian takdir (dalam sudut pandang
manusia).
Semua
partai jelek, semua pejabat gila kekuasaan dan tukang korupsi, itulah salah
satu alasan golput. Munculnya korupsi karena adanya kesempatan, adanya
kesempatan karena berhasilnya kumpulan koruptor memenangi dan melenggang
dikekuasaan yang identik dengan lahan basahnya, kumpulan ini berhasil menarik
suara masyarakat berpihak padanya. Suara masyarakat berhasil tertarik karena
adanya iming-iming meninabobokan, dibeli, satu hobby, sugesti, dsb. Plus dibantu
oleh golputers sendiri. Golputers sendiri akan makin muncul bertambah karena
sikap apatis yang berhubungan dengan “melihat akibat saja” kemudian “yang lebih
muda yang idealis” melihat hal serupa termaksud merasakan pula rasa kecewa
“yang lebih tua yang mengalami” kemudian ikut-ikutan apatis. Sayangnya nilai
idealis ini tidak disertakan, dimanfaatkan dan ditujukan kepada yang amanah,
hingga yang amanah kalah suara dan tidak memegang suara yang dominan dalam
kekuasaan, mereka pun termarjinalkan didalam sistem. Ini hanya sekedar satu
sisi, tentu saja sebab akibat itu mengandung banyak faktor dan sisi-sisi
lainnya. Secara sadar Anda bisa meneliti sebab-sebab dan akibat-akibat Anda
menjadi atau berbuat golput.
Pernah
penulis berkata kepada tetua-tetua penulis, jangan pilih itu nanti
ujung-ujungnya nyesal, benar sih ujungnya nyesal, beberapa tahun kemudian,
jangan pilih itu, nanti nyesal lagi, nah nyesel lagi, kemudian berulang lagi,
nyesalnya dibeberapa tahun berikutnya. Maklumlah penulis tidak punya harta yang
dianggap berwibawa mengatasi kepunyaannya tetua-tetua, tidak punya kedudukan
yang bisa dihormati tetua dan juga masih belum makan banyak asam garam kata
mereka, jadi ya… cuma bisa sekedar mengingatkan yang mungkin saja masuk
telingan kanan keluar ditelinga kiri namun anehnya tetua-tetua ternyata tidak
kapok-kapok juga, sungguh hipnotis informasi hebat.
Tetua
ada yang berkata, tuh dukunganmu berkoalisi dengan pemenang yang tidak
aspirasi, penulis mau berkata, ya, karena mereka belum mampu dominan berkuasa,
habisnya banyak orang-orang kaya tetua sih … (maunya berkata gitu tapi nga
jadi, tau nih mulut terkunci rasanya dan penulis juga nga pandai bicara),
mereka mengambil kaedah fiqh untuk mendekati penguasa (yang cocok dan pas
keadaan pada saat situasi itu), mungkin ini hanya salah satu cara dimana Tuhan
menolak sebagian kerusakan, karena kaedah fiqh ini sesuai untuk mengurangi
kerusakan, maka ada beberapa bagian yang masih bisa baik, karena kesempatan
masuknya orang amanah tersebut dan kerja kerasnya, adanya penyeimbang keadaan
saat mengambil keputusan, sehingga keputusan tidak ekstream dan cendrung soft
dan tentu saja akan ada jalur lain dimana sistem atau pekerjaan (usaha) dapat
tersisipi oleh yang amanah (katakanlah bersifat universal), setengah amanah,
seperempat amanah (mungkin 3/4nya nga amanah), dsb. Cara lainnya dimana mereka
yang memegang kekuasaan itu akan saling menghancurkan dirinya sendiri (sesama
kawannya atau sesama jenisnya), telah terbukti berkali-kali dan juga akan
terulang kembali dan kembali. Bisa dibayangkan kerusakan akan lebih besar
seandainya tidak ada gejolak dalam tubuh mereka sendiri, dan mereka pun
sebagian waktu dan energinya terkuras untuk hal tersebut termaksud menghabiskan
beberapa bagian apa yang tidak halal pada mereka untuk meredam laju aspirasi,
dengan kata lain ada juga akibat sampingannya seperti dapat membuat tambah
kegelapan dihatinya. Dan berbagai cara lainnya. Masih bukan sistem islami saja,
yang islami mampu menolak beberapa balanya, apalagi kalau sistem tersebut bisa
islami.
Kadang-kadang
orang-orang pun menyamaratakan “sesuatu” tanpa membedakan prilaku atau
pelakunya, sebab-sebab, fitnah-fitnah, dsb. Katakan apakah sama orang kafir
dengan orang beriman? Apakah sama niat dan tujuan muslim yang memasuki sebuah
pekerjaan dan sistem dengan non islami yang memasuki sebuah pekerjaan dan
sistem.
Ambil
contoh tentang mengharamkan poligami, orang-orang menyamaratakan yang
berpoligami yang tidak syar’i dan yang berpoligami karena hal syar’i, kesannya
poligami adalah sesuatu yang buruk karena apa-apa yang dilihat atau terlihat
atau teropini tersugesti adalah yang buruk atau cuma menyengaja mau melihat
yang buruknya saja, lalu menguatkan menyamaratakannya menyesuaikan apa yang
sengaja ia benarkan dihatinya. Selalu hanya ingin bersangka buruk saja kepada
orang-orang yang berpoligami. Pernah setahun lalu penulis tidak sengaja
berdiskusi masalah poligami dengan seorang gadis, ketika itu penulis katakan,
coba katakan saja “sah-sah saja berpoligami dan semoga bukan Saya” bila tidak
berminat.
Penulis
katakan coba pikirkan kembali, kenapa Tuhan tidak mengharamkan atau
menghalalkan secara tegas, kenapa harus dibuat mengembang, “seakan-akan
boleh-boleh saja 1 s/d 4” (walau ada yang menafsirkan dengan memakai syarat
tertentu) dan itu akan membuat manusia berpolemik dan bertengkar berlarut-larut
sepanjang masa. Bukankah Tuhan mudah saja untuk menegaskan haram dan tidaknya
dalam wahyuNya?
Mengapa
pula muslimah-muslimah generasi terawal tidak menolak/meminta keringanan akan
hijab/jilbab (sehubungan dengan penulis belum menemukan adanya satu literatur
pun tentang adanya sikap penolakan tersebut dari generasi muslimah awal-awal
islam) kalau memang itu menyusahkan kaum wanita, bukankah diantara mereka, ada
yang tahu atau mendengar berita/cerita bagaimana kehidupan wanita-wanita di
Persia dan Romawi pada saat itu dan tren wanita pada saat itu (Arab jaman itu
sebagai bangsa pedagang petualang diberbagai negeri-negeri tetangganya dan
sahabat-sahabat nabi ada yang berasal dari negeri-negeri Persia dan Romawi).
Apa kalian akan menyalahkan mereka pula?
Saat
ini kita tahu beberapa hikmah dari sikap antipoligami dan ada hikmah apakah
dibalik poligami? Kenapa Tuhan mau melihat manusia memperdebatkan itu sepanjang
masa? kesannya sih jadi mempertanyakan hak absolut Allah SWT. Namun pikirkanlah
apa ada rahasia yang baik antara masing-masing pilihan itu?
Beberapa
alasan penulis jelaskan, hingga si gadis mengakui sah-sah saja hal tersebut.
Penulis katakan, kalau saya cwe, saya mau dipoligami, atas inisiatif dan
kesiapan saya dan melihat kemampuan dan persetujuan suami. Bila semisal kami
hidup sederhana, bisa saja saya yang mencarikan madu yang agak kaya (punya
rezeki yang lebih besar), tentu saja yang bisa hidup harmonis, saling membantu
dan tak iri dengan saya. Otomatis nilai kesejahteraan kami dan dia meningkat,
atau demi menyelamatkan sesama wanita, kenapa tidak. Menjadikan sahabat terbaik
sebagai madu. Dan bahkan mungkin saja mencarikan madu yang lebih cantik atau
muda dari saya untuk menyenangkan suami. Kau pikir suami tidak tambah cinta
melihat pengorbanan istri, katanya istri dituntut taat pada suami, bila ia
melakukan itu satu kakinya telah menginjak surga, tinggal melangkah, nah
pertanyaannya klo si istri taat saja sudah kya itu, gmana klo sih istri sudah
taat ditambah menyenangkan si suami dengan kasih sayang yang besar itu, berat
loh ujian bermadu itu, disitu pula istri bisa lebih dekat dengan Tuhan dalam
sabarnya dan lebih banyak waktu senggangnya dari gangguan suami. Istiqomah
dalam beratnya berumah tangga seperti itu dan memasukkan banyak hikmah dalam
hidupnya. Secara kodrat pria kebanyakan “minat” seperti itu, namun ada juga
sebagian kecil tidak mau bermadu. Kenapa saya tahu? Adakalanya tulisan itu bisa
mencerminkan akhlaknya, banyak tulisan karya pria termaksud banyak tulisan non
muslim yang mencerminkan itu terlebih lagi percakapan kaum muda.
Bila
saat ini ada 1000 cwo umur pas buat nikah, seharusnya kan cwe pasangannya satu
bandingan yaitu 1000 cwe, jadi idealnya 1000cwo:1000cwe, nah sekarang lihat
dulu berapa bandingan cwe sama cwo dalam sensus dikotamu, kota tetanggamu,
negaramu, negara tetanggamu dan dunia untuk umur 20-30? Anggaplah sekarang ini
cwe sama cwo sudah berbanding 1:4 di kota atau negaramu malahan ada dibeberapa
tempat perbandingannya sangat jauh, coba klo dipasangkan satu-satu, berarti ada
3000 cwe tidak dapat nafkah batin tiap 1000 pasangan, nah buat yang 3000 cwe
yang tersisihkan dan kalah ini beberapa bagian akan 2x lebih rentan terhadap
godaan-godaan cwo-cwo iseng, karena siapa sih nga mau dapat kasih sayang nafkah
batin? Maka bisa lebih banyak jadilah secara terselubung dan rela hati terjadi
hal-hal perselingkuhan gitu. bisa saja diantara mereka beberapa bagian menjadi
madu terselubung (poligami halal dikebiri pembolehannya dan selalu dijelekkan,
poligami terselubung akan menjadi-jadi), mengganggu suami orang atau pasang
badan rela diganggu, bisa pula menambah adanya lesbian, beberapa bagian jadi
perawan tua dan beberapa bagian karena harus juga mikir perut, cari nafkah
makan jadi beralih profesi wanita malam karena tak ada pencari nafkah makan
buat mereka dan ingat mereka juga butuh nafkah batin loh sama besarnya dengan
apa yang kamu inginkan soal kasih sayang tuh, ayo kira-kira wanita mana yang
egois, yang 1000 cwe bilang egois buat cwo yang poligami cwe, trus yang 3000
cwe nga kebagian bilang egois yang 1000 cwe tuh. Coba renungi dan pikirkan atau
bertanya pada mereka, klo kamu jadi wanita bagian yang 3000 tuh, gmana
perasaanmu klo nga kebagian cwo-cwo tuh dan gmana kau menafkahi lahir batinmu?
Ingatlah wanita yang kita bicarakan bukan 4000 saja, dikotamu ada ratusan ribu
hingga jutaan, lawan-lawan kasih sayangmu ada lebih besar jumlahnya, loh?!
berapa banyak perawan/gadis tua muda, janda-janda dan wanita penghibur yang
bermunculan menggila nakalnya karena mereka harus mencari nafkah sendiri,
berapa banyak anak-anak yang menjadi liar tak terkontrol, seandainya ada aturan
sah-sah poligami mungkin tuh semua berkurang, karena alasan pertama cwe berbuat
adalah mencari nafkah, nafkah fisik dan tentu saja nafkah batin. Ditambah
agamanya tidak kuat, mereka akan mencari kesempatan? Ya, lagi-lagi kesempatan.
Secara kebalikkan poligami halal bisa menyelamatkan antara 1000 s/d 3000 cwe
bila dilihat dalam kacamata lainnya, efeknya akan tidak terasa bila cuma 1 atau
2 orang, tapi kalau kolektif terjadi efeknya akan terasa terlihat jelas,
termaksud berkurangnya wanita malam yang terlihat dinihari. Mungkin sebab
akibat dan butterfly effect-nya ini kurang terpikir olehmu. Oleh karena
pilihanmu mengharamkan poligami dan mendengungkannya mendunia?
Dan
ada juga efek sampingan lebih dalamnya adalah masalah keributan rumah tangga,
kriminalitas seperti (KDRT), hak waris, harta gono-gini, status nasab dan nasib
anak yang kurang “legitimet”, dsb ketika ada perpisahan karena poligami
terselubung tadi yang dikatakan kurang “legitimet” dan juga akan makin
memperbesar efek stigma negatif pada seluruh pelaku poligami yang bakalan
berimbas pula kepada poligami halal nan syar’i.
Mungkin
kau pula tidak tahu bahwa bisa jadi diakhirat kau harus mempertanggungjawabkan
hal pilihan ini pula, 3000 cwe ini bisa beralasan dan menjadi salah satu saksi
dan penuntutmu pula di akhirat, untuk menyeretmu pula beserta mereka akan apa
yang kau lakukan di dunia. Mengapa kau berbuat nista? Salah satu alasan mereka
bisa meneriakkan masalah ini, didunia tidak ada yang menafkahi, tidak ada pria
penafkah, karena semua wanita yang menikah egois tidak membagi cintanya dan
mengharamkan poligami, yang terpampang jalan yang tidak halal. Lalu bagaimana
bila berjuta-juta wanita menjadikan ini pertanggungjawaban diakhirat. Karena
sebab akibat masih terhubung pada Pemberi sebab akibat, karena sebab akibat
dapat jadi alur cerita jalan persaksian pula. Dan ingatlah akibat-akibatnya
serta butterfly effect-nya yang luas jangkauan imbas akibatnya. Maka katakan
saja sah-sah saja poligami, sebab yang mengharamkan bahkan membuat aturan hidup
antipoligami, bisa saja diakhirat dituntut oleh wanita-wanita yang terjebak
berjalan digelapnya malam. Dan mengapa dikatakan dineraka lebih banyak
wanitanya? Salah satunya karena mereka menolak ayat Tuhan yang mengisyaratkan
sah-sah saja poligami, mengambil separuh dan membuang separuh nash. Katakanlah
“sah-sah saja poligami dan semoga bukan saya” bila tidak minat dan namun ya, semoga
saja dalam perjalanannya, Engkau bukanlah berada dibagian posisi yang 3000 cwe yang
tersisihkan kalah itu.
Untungnya
pula pada suatu masa kelak, penerus-penerus yang antipoligami ini dengan
kesadaran sendiri akan “sangat berlomba-lomba” minta dipoligami walau untuk
sekedar hanya melebelkan nama pria padanya (agar mendapatkan marga) bahkan
lebih parah dari itu ketika mereka dengan terang-terangan berlomba-lomba minta
dipoligami seperti keledai kawin tanpa ada rasa malu dan tidak secara sembunyi-sembunyi
lagi, yaitu ketika satu pria berbanding 50 wanita. Banyak pria yang mati ketika
huruhara dunia. Semua pria masa itu akan menjadi selebritis bagi wanita, yaitu
kaum yang akan merasakan kiamat langsung.
Wahai
saudaraku, lihat dengan hatimu, disini Anda bisa memperhatikan fitnah/kotoran
pun akan tetap mengimbas kepada yang syari walaupun ia berbuat sesuai hal
syari, tapi fitnahnya yang mengejar dan mendatanginya hingga ia terkena
imbasnya pula walaupun tidak berbuat serupa hal tidak syari tersebut, walaupun
ia sudah punya dinding pemisah jelas untuk dapat membedakan dan dibedakan,
bukankah keburukkan akan selalu berbentur kepada kebaikan, bukankah bau bangkai
lebih tajam baunya buat orang-orang lain yang mencium biarpun ada haruman
didekatnya, fahamilah ini, maka Anda akan tahu kekotoran pun akan melekatkan
predikatnya biarpun kepada lawan kekotoran tersebut karena sifat lengketnya
karena banyak yang melihatnya dari luar tanpa dasar ilmu yang dalam lalu
menyamaratakan semuanya, tidak jeli membedakan. Dalam sistem atau diluar sistem
(baca: demokrasi atau poligami), yang syari/yang islam akan tetap kena imbasnya
dari adanya fitnah/kekotoran sebagaimana imbas pandangan jelek terhadap seluruh
poligami ini, mau setinggi bagaimanapun iman dan taqwamu dan sangat-sangat
baiknya perlakuanmu kepada istri-istrimu dan biar bagaimana pun tingginya
keikhlasan istri-istrimu berbagi cinta, kau tetap kena imbas jeleknya dari
pandangan orang lain terhadap poligami, sebab banyak yang melihatnya tidak jeli
dan faham. Dan bukankah ini dari dulu menjadikannya pula olok-olokan keseluruh
umat islam, baik yang berbuat maupun tidak akan agama KITA tampaklah kebencian
mereka terhadap syiar islam, mereka yang tidak melakukan pun kena imbas juga,
bahkan ada kalangan yang “mengaku islam” pun mengolok-olok syariat yang sah-sah
saja ini, secara pembalikkan pun begitu pula, poligami adalah syariat yang
sah-sah saja (dari islam), begitu islam masuk ke demokrasi (luar islam), imbas
kotorannya pun akan terkena buat mereka walaupun ada dinding pemisah pembeda
dan dapat dibedakan, walaupun niat dan tujuan berbeda, karena diluar,
orang-orang menyamaratakan semua yang masuk disistemnya, padahal kaupun yang
ada diluar sistem juga terkena efek-efek lain-lainnya yang banyak dari
kekotoran yang ada di sistem ini, sebut saja bila kau adalah pekerja
kemungkinan kau terkena imbas BPJS dengan label bank konvensional ribawi
dibelakangnya, dikantongmu pun ada uang kertas pula, dan baru saja kita memperbaharui
opini umat, diseberang sana mereka pun tiba-tiba seakan-akan mau mengusung
perubahan, revolusi mental, wahh… hallooooo… darimana saja kemaren-kemaren! dan
kemudian pula mengatakan kekotoran, seperti: situs-situs Islam lebih berbahaya
daripada pornografi, perda syariat Islam bakalan dilarang karena mereka anggap
bakal menganggu kemajemukan NKRI, ada yang ingin menjadi intel mesjid mengawasi
kutbah jumat, dsb. Emangnya islam itu kekotoran peradaban bagi mereka, nah
kalian pun kena kan, wahai… Saudaraku.
Lebih
lanjut baca link pembahasan poligami dari beberapa sisi sudut pandang :
- http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/poligami-syariat-yang-ditentang.html
- http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/poligami-syariat-yang-ditentang-kasih.html
- http://kisahdalambingkai.blogspot.com/2014/05/ada-apa-dengan-poligami.html
- http://www.solusiislam.com/2014/05/surat-dari-seorang-perawan-tua-kepada.html
- http://www.eramuslim.com/oase-iman/poligami-dari-berbagai-sisi.htm
- http://ping.busuk.org/v/728258/pandangan-wanita-dara-tentang-poligami-sanggup-jadi-isteri-kedua-pengakuan-berani-mati.html
Menyerukan
manusia agar tidak menyukai poligami, adalah keburukan. Tetapi memudahkan lisan
menyeru manusia berpoligami adalah musibah. Membenci poligami yang jelas nyata
tuntunannya adalah kebathilan yang sangat besar. Tetapi memudah-mudahkannya
merupakan ketergelinciran. Sesungguhnya, jika suatu perkara telah ditetapkan
dalam syari'at, maka tidak ada hak bagi kita untuk setuju atau tak setuju. Pun,
poligami. Seandainya pahala amal kita memenuhi langit dan bumi, maka membenci
apa yang disyari'atkan Allah Ta'ala akan menghapus seluruh pahala itu. Tak ada
hak untuk menolak ketentuan syari'at. Membenci syariat Allah membuat amal
berguguran. Simak QS Muhammad: 9.
Renungilah:
"Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu
Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." QS. Muhammad,
47: 9.
Sesungguhnya
takalluf (memaksa-maksakan diri), tasyaddud (memberat-beratkan) maupun taqshir
(melonggar-longgarkan) adalah keburukan. Maka, kita perlu berbekal dengan
mempelajari agama ini dengan baik. Menggebunya semangat tanpa ilmu dapat
menggelincirkan sehingga ghuluw. Sebaliknya, ketiadaan ilmu & keyakinan
terhadap kemahabijaksanaan Allah dalam segala hal dapat jadikan seseorang
menganggap buruk syari'at. Sebagian orang bersikap nyinyir terhadap poligami
tanpa memilah mana yang syar'i mana yang tidak. Padahal ia menjadi panutan
& rujukan. Bersebab pandangan buruk terhadap syari'at, banyak muslimah yang
terhalang berumah-tangga, meski usia muda sudah hampir meninggalkannya.
Sebaliknya, ada yang kelewat semangat sehingga sibuk mengompori. Lupa menakar,
lupa menata bekal. Yang demikian ini justru bisa fatal. Alih-alih mengompori,
lebih baik mendidik diri dan orang lain tentang ilmu dien ini dengan baik &
matang. Inilah penakar & bekal yang baik. Sesungguhnya ini bukanlah soal
gengsi-gengsian. Bukan soal "wah". Tapi soal tanggung-jawab &
ketetapan syari'ah. Ini yang perlu kita ilmui. Demikianlah. Semoga catatan
sederhana ini bermanfaat. Berkenanlah mengoreksi jika jumpai kebathilan di
dalamnya. by @kupinang.
Sebagian
ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, telah menetapkan bahawa
menurut asalnya, Islam sebenarnya ialah monogami. Terdapat ayat yang
mengandungi peringatan agar poligami ini tidak disalahgunakan.
Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa
terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain.
Atau dengan kata lain bahawa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak
dilarang kecuali jikalau dikhuatirkan bahawa kebaikannya akan dikalahkan oleh
keburukannya.
Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan poligami yang
diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam
memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti
keadaan masyarakat. Ini berarti ia tidak boleh dilakukan dengan
sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi
untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Tulisan
kemaren tentang poligami ini sebenarnya dalam konteks sudut pandang untuk
wanita saja, untuk pilihan wanitanya karna bahasannya emang dari diskusi sama
wanita, kemaren tidak dilebarkan kepada sudut pandang pria, soalnya sepertinya
atau kemungkinannya ada sesuatu faedah yang besar buat wanita itu sendiri, tapi
biasanya yang diungkit-ungkit diluaran lebih kemasalah keprianya, bila dilebarkan
ke sudut pandang pria ia punya syarat, seperti berdasarkan asas adil, harus
dirinci lagi adil seperti apa. Terus niat hatinya sebenarnya apa, kemampuan
diri, juga masalah takalluf (memaksa-maksakan diri), tasyaddud
(memberat-beratkan) maupun taqshir (melonggar-longgarkan), terus penyampaian
dan ridho rumah tangga awal (istri pertama), anak dan keluarga lainnya, apa
telah siap semuanya, dsb. Walau unsur utamanya niat dan asas adil sudah cukup
tapi kan tidak elok juga bila tidak menyempurnakan hal-hal lainnya pula
terlebih dahulu, pertimbangannya seperti apa perlu dipikirkan masak-masak untuk
keharmonisannya dan untuk nilai pendekatan ibadah tersebut. Ajakan kabar dan
peringatan kemaren bersifat untuk wanita agar lebih memikirkannya lebih jauh
terhadap syariatnya dan pertimbangan gendernya.
Bila
dilihat secara individu (wanita), pilihan yang tepat adalah yang menurut
individu itu tepat buat penguatan ibadah dan keyakinan dia. Apakah ia sanggup
dengan ujian tersebut atau tidak. Apakah makin memberi dampak makin menjadikan
baik nilai agamanya atau tidak. Apakah
menolak dan meninggalkan yang menurut ia adalah mudharat baginya ternyata hasilnya
malah menambah banyak mudharat lain-lainnya dengan efek yang lebih luas. Itu
bila dilihat secara individu namun bila dilihat pula kelingkup lebih besar
terhadap umat, kenyataan lapangan dan manfaat melakukan kolektif, melihat sisi
sosialita yang lebih luas, lalu bagaimana sifat kolektif dan jangkauan luas ini?
Bagaimana pengorbananmu atau kasih sayangmu kepada umat atau kepada sesama
wanita atau sesama manusia lainnya? Apa batasan cintamu? Diri, keluarga, orang
lain, karena Allah atau pada Allah SWT? Hal lainnya yang kedua pula, benarkah
poligami buat sudut pandang wanita itu selalu bernilai buruk, padahal
kadang-kadang yang buruk itu belum tentu buruk. “Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19), suratnya untuk an-Nisa lagi, a yo
ada makna lain apa tuh? (oohhh… suamiku, janganlah memaksa diriku, kau tahukan
menurut penelitian bahwa akal wanita itu lebih lemah dari pria, maka ajarin
istrimu ini dahulu lebih dalam terhadap agamanya, bisa saja suatu saat istrimu
ini siap dan ikhlas dan bila pun tidak, bukankah sabar ditahap ini juga baik
untukmu dan bisa saja itu baik untukmu karena belum tentulah itu buruk, bisa
jadi poligami itu buruk untukmu, baik atau buruk hasilnya kita belum tahu
apakah kita sanggup, dan kau kan tahu, suamiku, istrimu ini bukanlah pemaham
kesetaraan gender, istrimu ini mengerti bahwa sebelum bicara kesetaraan gender
berbeda (pria dan wanita), maka harusnya bicara dulu kesetaraan gender sejenis,
aku punya suami, semua wanita lain harusnya juga punya kesempatan yang sama,
tapi ini ditolak karena sama saja antikesetaran gender (berbeda) karena memang
adanya perbandingan berbeda antara jumlah pria dan wanita, padahal secara
terselubung banyak yang mau setara secara gender (sejenis), poligami
terselubung, jadi sama saja tidak ada kesetaraan gender (berbeda) dan juga
terlebih lagi bila wanita yang mau banyak suami sama saja nambah jauh perbedaan
ini, dan juga tidak bisa untuk sama-sama tidak punya suami biar setara, dijamin
100 tahun kemudian, manusia musnah dengan sendirinya, dan juga mau dibawah
kemana nafsu ini, atau bayi tabung saja, berarti surga ntar berada dibawah
dasar tabung bukan lagi dibawah telapak kaki ibu, dan istrimu tahu bahwa itu
pula tidak dapat diserahkan hanya ke seleksi alam karena alam sudah menyeleksi
jumlah perbandingan berbeda wanita dan pria atau supaya seleksi alam yang akan
menyebabkan ada yang superior dan ada yang pecundang, waduh tetep nga ada
setaranya dech karena seleksi alam juga mengajarkan berbedanya kodrat wanita
dan pria. Istrimu ini tahu bahwa wanita tercipta mancung kedepan dibagian atas,
sedangkan pria mancung kedepan dibagian bawah, bicara kesetaraan itukan duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi, berarti harus ambil jalan tengahnya biar
setara, maka itu pun tidak bisa karena yang dapat mancung kedepan ditengah
secara kodrat cuma wanita saja yang dapat melakukannya, pria kan mana bisa,
maka istrimu ini tahu bahwa sah-sah saja ada poligami halal dan secara kodrat
tidak dapat ada kesetaraan gender untuk gender berbeda, baca juga http://hm-herimulyadi.blogspot.com/2014/05/inilah-manajemen-hati-supaya-siap-di.html
dan http://www.nyonyorino.com/poligami/
dan http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2014/05/30/30665/manajemen-hati-supaya-siap-dipoligami/#sthash.v9chl715.xJf3khsF.dpbs
).
Tugas Utama Wanita
Ada
perbedaan dalam penciptaan lelaki dan wanita. Lelaki memiliki
kesempurnaan dalam kekuatan fisik. Wanita lebih lemah dari segi
penciptaan bentuk tubuh dan tabiat alamiahnya. Karena wanita mengalami haid,
mengandung, melahirkan dan menyusui. Masing-masing memiliki tugas yang
sesuai dengan fisik mereka. “Rasulullah
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”
(HR Bukhari).
Perbedaan bentuk penciptaan ini difasilitasi dengan perbedaan beberapa hukum
syariat, serta perbedaan posisi dan peran dalam kehidupan keluarga dan
bermasyarakat. Lelaki dominan di sektor publik. Wanita lebih utama
di sektor domestik. Perbedaan peran dan tanggungjawab antara pria dan wanita
tidak membuat supermasi pria terhadap wanita, tetapi untuk saling mengisi dan
melengkapi.
Maju mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh wanita. Isteri hebat
yang mendampingi lelaki sukses, yang selalu memberi kehangatan dan menciptakan
keharmonisan rumah tangga. Ibu yang menjadi madrasah pertama dan utama,
yang akan membentuk akhlak dan pribadi generasi penerus. Wanita muslimah
yang menjalankan tugasnya akan melahirkan para pejuang, syuhada, mujahidin.
Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang
Paling Bengkok
Nabi
saw bersabda, “Berbuat baiklah kepada
wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka
sikapilah para wanita dengan baik” (HR Bukhari).
“Sesungguhnya
perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba
meluruskannya ia akan patah. Tetapi, jika kalian membiarkannya maka kalian akan
menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok” (HR Bukhari, Muslim, dan
Tirmidzi).
"Saling menasehati untuk berbuat
baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok” (HR
At-Tirmidzi).
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari
tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin
bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun
padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan
memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya” (HR Muslim).
Jika suami ingin meluruskan wanita dengan selurus-lurusnya tanpa kebengkokan,
pasti akan terjadi perselisihan dan perpisahan. Bila suami bersabar
dengan keadaan istri yang bengkok (kelemahan akal dan semisalnya), pergaulan
keduanya akan berlanjut.
Pesan hadits ini, lelaki bisa memahami sifat, karakter dan kecenderungan
wanita. Sehingga bisa bersikap lebih bijaksana, lemah lembut dan penuh
kasih sayang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan wanita. Tidak
keras dan kasar. Tetapi tidak membiarkan wanita, karena akan merugikan
keduanya. Wanita harus dijaga dengan baik, tidak didzalimi, diberikan haknya,
serta diarahkan kepada kebaikan. Waspadailah ada 4 golongan lelaki yang
akan ditarik masuk ke dalam neraka oleh wanita, karena tidak memberikan haknya,
yaitu: ayahnya, suaminya, saudara lelakinya, anak lelakinya.
Tulang rusuk yang paling atas adalah yang paling bengkok. Wanita itu ada
kebengkokan dan kekurangan. Rasul bersabda: “Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang
lebih bisa menghilangkan akal laki-laki yang teguh daripada salah seorang
diantara kalian (para wanita)” (HR. Al Bukhari Muslim). Kurang akal,
karena persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang lelaki.
Kurang agama, karena wanita tidak boleh shalat ketika sedang haidh dan nifas.
Allah Swt berfirman: “Dan bergaullah
kalian (para suami) dengan mereka (para isteri) secara patut” (QS 4:
19). Ibnu Katsir menafsirkan: “Halusi ucapan kalian terhadap para isteri
dan perbaiki perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana
engkau menyukai bila isteri berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga
berbuat yang sama. Allah Swt berfirman: “Dan
para isteri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf” (QS 2: 228).
Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (isteri)nya. Dan aku adalah
orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (isteri)ku.”
Wanita harus selalu di jaga dan di lindungi, karena wanita perlu sekali
perlindungan.
Wanita tidak dianggap rendah karena diciptakan dari tulang rusuk. Karena
tulang rusuklah yang melindungi dada, di mana di dalamnya ada jantung yang
memompa kehidupan manusia. Oleh karena itu, isteri memiliki dua tugas.
Pertama, mendorong suami agar kuat
dadanya (lambang keberanian dan keperkasaan), sehingga potensinya bisa
berkembang berkali lipat. Suami dijaga agar dadanya yang penuh dengan berbagai
macam perasaan (benci, cinta, senang, jengkel), bisa tetap menjadi lapang,
sehingga selalu bersikap optimis dan dapat menyelesaikan masalah. Dada
yang sempit membuat pesimis, putus asa, tidak semangat dan mudah sakit (QS
Thaha: 25, 28).
Kedua, menjaga hati suami. Hati
tempat keimanan dan kebahagiaan. Isteri harus memberi kedamaian dan kebahagiaan
suami, sehingga imannya semakin kuat.
Wanita, kembalilah kepada fitrahmu, yang akan membuat dirimu dan umat manusia
mulia.
[Ummu
Hafizh]
Rada
ribet juga menjelaskan detailnya karna ini menyangkut bagian ilmu hati,
maksudnya sih, harapannya dalam sabar itu, dalam keadaan itu bisa jadi banyak
hikmah yang kau dapati, banyak hal ilmu terbuka dihatimu dan bisa jadi tingkatan
derajatmu akan jauh lebih tinggi sangat dekat dengan Tuhanmu.
3090. Dari Muhammad bin Khalid
As-Salami dari ayahnya, dari kakeknya —salah satu sahabat Rasulullah SAW— ia
berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika Allah telah menghendaki seorang hamba tidak
sampai kepada derajat dengan amalnya, maka Allah akan memberikan ujian pada
fisik, harta atau pada keturunannya (anaknya). Kemudian Allah ciptakan
kesabaran pada hamba tersebut sampai ia mencapai derajat yang telah Allah SWT tetapkan
(Shahih) Ash-Shahihah 2599.
4263. Dari Miqdad bin Al Aswad,
ia berkata, "Sungguh, aku telah
mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang
yang terhindar dari fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang
terhindar dari fitnah. Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang dapat
terhindar dari fitnah dan orang yang diuji (dengan suatu cobaan) kemudian
bersabar, dan ia memuji (berkata dengan takjub, 'Alangkah baiknya cobaan
ini')." Shahih: Al Misykah (5405), Ash-Shahihah (973).
Dalam dunia sufiesme ada
pernyataan yang menyatakan bahwa wali itu lebih suka terkena musibah dan atau
cobaan dan atau kesusahan berupa kesederhanaan, kefakiran, zuhud dan bukan pula
berupa kenikmatan duniawi. Kalau yang ini detailnya bisa lihat pembahasan oleh
yang mempelajarinya.
Kenikmatan duniawi bisa jadi
hanya penggenapan pahala didunia hingga tidak menyisahkan pahala di akhirat
“Sebenarnya kesusahan dari
bencana yang menimpamu, akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui
bahwa Allah swt sedang mengujimu. Sebab
Dialah yang sedang mencoba kamu melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah
mengarahkankamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik."
Apabila manusia memahami
bahwasanya suatu cobaan, ujian yang datang dari Allah swt, diterima dengan ridha
hati, dan dipahami pula sebagai anugerah, maka ia akan menerimanya tidak dengan
hati sedih, bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah swt memberi
cobaan, ujian kepada Para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah swt membenci, akan
tetapi Allah swt menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang
dicoba itu.
Demikian pula Allah swt memberi
kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang
menimpanya mendapatkan jalan keluar dengan pertolongan dan izin Allah semata.
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah 216: "Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi
kamu, dan barangkali apa yang kamu suka itu belum tentu jelek bagi
kamu."
Abu Talib Al Makky menjelaskan
tentang ayat ini, yang dimaksud membenci dalam ayat ini ialah membenci
penyakit, kebodohan, kemiskinan yang menimpa seseorang. Belum tentu manusia
yang tidak memiliki hal-hal tersebut, lalu menjadi baik dan beruntung bahkan
sebaliknya, belum tentu orang yang memiliki harta benda yang banyak, atau tidak
pernah ditimpa cobaan, ujian, kesusahan lalu jelek bagi mereka dan tidak
termasuk orang beruntung atau merugi. Banyak sekali orang suka kepada harta,
atau berlimpah-limpah harta benda yang dimilikinya demikian juga kesehatan dan
kemasyuran, belum tentu baik bagi mereka di sisi Allah swt. Seperti yang
semakna dengan ayat: “Allah melimpahkan
kepada mereka kenikmatan lahir dan batin," Di maksud kenikmatan dalam
ibadah yang dianugerahkan Allah di dunia dan di akhirat.
Ali Daqqaq berkata: "Orang
yang selalu mendapat taufiq dari Allah ialah mereka yang terpelihara ibadahnya,
dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari Allah swt. Orang
yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya maka
imannya pun akan terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap
ujian dari Allah swt.
Inilah yang patut dipahami setiap
insan beriman. Bahwa cobaan kadang dapat meninggikan derajat seorang muslim di
sisi Allah dan tanda bahwa Allah semakin menyayangi dirinya. Dan semakin tinggi
kualitas imannya, semakin berat pula ujiannya. Namun ujian terberat ini akan
dibalas dengan pahala yang besar pula. Sehingga kewajiban kita adalah bersabar.
Sabar ini merupakan tanda keimanan dan kesempurnaan tauhidnya.
Dari Anas bin Malik, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia.
Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas
dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR.
Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).
Juga dari hadits Anas bin Malik,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat.
Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk
mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah.
Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu
Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Faedah dari dua hadits di atas:
1- Musibah yang berat (dari segi
kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan pahala yang besar.
2- Tanda Allah cinta, Allah akan
menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata
Lukman -seorang sholih- pada anaknya, “Wahai
anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan api sedangkan
seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”
3- Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho
Allah dengan mendapat pahala yang besar.
4- Siapa yang tidak suka dengan
ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang pedih.
5- Cobaan dan musibah dinilai
sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
6- Jika Allah menginginkan
kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia dengan diberikan
musibah yang ia tidak suka sehingga ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih
dari dosa.
7- Jika Allah menghendaki
kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat
hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath Thibiy berkata, “Hamba yang
tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di
akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa karenanya.” (Lihat
Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
8- Dalam Tuhfatul Ahwadzi
disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk bersikap sabar dalam
menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya untuk meminta musibah
datang karena ada larangan meminta semacam ini.”
Dunia penjara buat muslim, surga
buat orang kafir (dikutip dari hadis). Kita dapat saja selalu mendapat bahagia
di dunia, ada orang kafir yang bisa saja selalu mendapat kesedihan di dunia,
tapi bahagianya muslim itu masih dalam batasan penjara tidak sebanding dengan
apa yang ada dan menantinya di surga yang jauh super membahagiakannya sedangkan
orang kafir yang selalu mendapat kesedihan di dunia itu adalah bentuk masih
surga buatnya soalnya bila ia mati dalam keadaan kafir, maka kesedihannya
lebih-lebih super di neraka. Kita dapat saja selalu mendapat kesedihan di
dunia, ada orang kafir yang bisa saja selalu mendapat kebahagian di dunia, tapi
kesedihannya muslim itu masih dalam batasan penjara dunia yang tentu saja tidak
sebanding dengan apa yang ada dan menantinya di surga yang jauh dari kesedihan
dan super membahagiakannya sedangkan orang kafir yang selalu mendapat
kebahagian di dunia itu adalah masih bentuk surga buatnya soalnya bila ia mati
dalam keadaan kafir, maka bukan kebahagian yang masih ia dapatkan tapi
kesedihan super di neraka.
Namun
agak keliru juga kalau mengatakan di dunia ini, muslim akan selalu tidak dapat
bahagia, padahal tidak ada kekuatiran dan kesedihan buatnya namun sedang-sedang
saja penyikapannya, “Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(Al-Hadid: 22-23).
“Senantiasa bala`
(cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya,
sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan
lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)
Shahabat Ibnu
Mas’ud berkata: “Aku masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau sedang demam, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat
demam.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, sesungguhnya aku
merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara kalian.’ Aku berkata:
‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua kali lipat.’ Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, memang seperti itu. Tiada seorang muslim
pun yang ditimpa sesuatu yang mengganggu, sakit atau selainnya kecuali Allah
akan mengampuni dosanya seperti pohon yang merontokkan daunnya’. (HR. Muslim no. 2571, Kitabul
Birri wash Shilah).
Monogami
atau berumah tangga juga pada dasarnya mengandung ujian, mungkin saja bedanya
poligami itu bisa menambah banyak ujian juga menambah amalan dan juga mungkin
saja maslahat untuk orang lain, semua serba ujian, suami istri dengan ujiannya
pula, suami istri plus madu juga dengan ujian bertambahnya juga, keliru kalau
suami hanya mendapat nikmatnya doang, banyak cabang ranting yang tersusun
menjadi berlipat-lipat ujian, bahkan tapi bisa pula membantu dalam penguatan
agamanya juga, akan banyak hikmahnya tentunya buat si suami juga, buat istri
pertama juga, dan istri yang lainnya. Suami istri bisa kerjasama dalam ibadah,
bisa pula kerja terpisah dalam kehancuran, demikian pula yang poligami. 3000
cwe yang tersisih kalah juga bernilai ujian, kesabarannya dan jihad nafsunya
juga bisa meningkatkan derajatnya, demikian pula yang 1000 cwe dalam cakupan
ujian juga. 3000 cwe seandainya juga bertukar tempat dengan yang 1000 cwe juga
bisa bersikap dan berniat sama antipoligami. Yang 3000 cwe ia bisa iri, dengki
hingga balas dendam, bisa juga sabar dan mandiri, dsb. Yang 1000 cwe bisa
menjadi janda dan menambah jumlah dari 3000 cwe tersisih, belum yang akan
muncul dari generasi yang meningkat umur sedikit beda dibawah usianya akan
dapat menambah juga atau mengurangi, Yang 1000 cwe juga bisa sombong dengan
superiornya, bisa makin lupa diri, atau juga bisa menjadi muslimah baik, dsb.
“kasihan ya! Dimulut gitu, dihatinya, emangnya GP”, “kasihan ya! Solusinya apa?
Saya cuma bisa nyampaiin sabar ya, syukur nikmat buat saya”, “Saya mau
poligami, ooh… suamiku.. saya taat, saya dengar dan patuh, a…bang!”,
ujung-ujungnya pingsan (banyak hadis tentang taatnya istri ini (https://id-id.facebook.com/notes/club-curhat-muslim-dan-muslimah/antara-berbakti-kepada-orang-tua-dan-taat-kepada-suami/195988093777861
) tapi Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khaliq
(Sang Pencipta).” (HR. Ahmad), pikirkanlah sejenak juga, “Saya mau poligami,
oh… suamiku … lupakah kau janjimu sebelum terjadi akad nikah”, dsb. Setiap
pilihan bisa juga meningkatkan derajat namun derajat yang mana?. Tapi bila
dilihat real lapangan, gangguan setan dari jenis manusia dan jin akan nafsu dan
manfaat buat sesama manusia/wanita? Pilihan mana yang tepat. Ribetkan, dari beberapa
pecahan hal ini saja bila dipaparkan, banyak ilmu terlibat bahkan bisa pula bila
mau pemahaman pecahannya dipecah lagi makin diperdalam dan diperlebar lebih
jauh kesudut-sudut yang lebih dalam dan jauh lainnya. Pada dasarnya jurus-jurus
mempuni nan kompleks akan keluar diarea ini, dasar jurus sama tapi telah
berkembang menjadi jurus mempuni dengan masing-masing kelebihan, ada yang
jurusnya menang terhadap kekuatan dan daya tekannya, ada yang hebat dengan tipu
daya nan cerdik, ada pula yang hebat dengan kecepatan jurusnya, dsb namun
ketika ia menjadi master, merangkum semuanya, jurusnya kembali menjadi
sederhana dan umum tapi mengandung 1001 macam perubahan jurus yang sama
hebatnya. Kompleksitas ilmu dalam satu genggaman kesederhanaan jurusnya. Ia
akan kembali pada pokok-pokok keagamaannya. Apakah ia sanggup dengan ujian
tersebut atau tidak, apakah makin memberi dampak makin menjadikan baik nilai
agamanya atau tidak, apakah menolak dan menjauhi yang menurut ia adalah
mudharat baginya ternyata hasilnya malah menambah banyak mudharat lain-lainnya
dengan efek yang lebih luas, apakah ia seperti perumpamaan lebah atau lalat,
apa batasan cinta dalam pandangannya, dsb. Batasan usaha, amal dan doa dari
manusia.
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Ar Ruum: 21.
Mau
belajar jadi jiwa-jiwa yang tenang. Prototipe miniatur ketenangan awal itu ada
di dalam rumah tangga, belajar mengasihi umat itu juga ada di rumah tangga.
Rumah
tangga inti adalah Ayah, Ibu dan anak, bila dirunut lagi maka ada pula mertua,
ortu, saudara, paman, bibi, sepupu, pembantu, madu, anak yatim, teman/sahabat
keluarga, tetangga, serba sesusuan, dsb. Dalam rumah tangga ada “harapan”
menuju yang terbaik (kalau dipecah lagi, harapan akan material, harapan akan
generasi, dan harapan akan rohani), ada cinta, ada cemburu, kadang-kadang ada
takut, ada keiklasan berbagi, keiklasan tolong-menolong dan kerjasama,
keiklasan dalam kasih sayang, ada saling memaafkan, saling mengingatkan, saling
mendidik, saling berbuat demi yang lainnya, ada proteksi dan pegangan nilai-nilai,
ada pembelaan, penahanan diri terhadap sifat emosional buruk, ada penyakit dan
ujian lainnya, ada saling pengertian, ada sabar dan ada syukur, ada amanah, ada
canda, bahagia, sedih, ada jihad, ada kepemimpinan, ada musyawarah, ada peluh
dan lelah, dsb. Nah pintu-pintu dan juga batasan-batasan prilaku, baik itu
sifat dasar manusia, akhlak/moral baik maupun penyakit hati itu banyak
dijabarkan dalam sudut pandang agama dan konteks terkecil penjabaran dan
pengajaran praktek hikmah dan ilmunya ada di rumah tangga. Cinta, harap,
cemburu, takut, dsb tadi itu dalam konteks lingkup rumah tangga itu kan asal
munculnya datang dari hati (bersih/kotor) kemudian menjadi prilaku dan tindakan.
Jadi nga perlu main ghaib-ghaib buat belajar ilmu.
Hanya
didunia ini, kita masih diberi kesempatan untuk saling mengingatkan dan berkasih
sayang, soalnya, ia kalau diakhirat dapat satu tempat, kalau tidak gmana?
Mumpung ada kesempatan, setelah pertemuan tentu ada perpisahan, ia kalau
diakhirat dapat satu tempat, kalau tidak gmana? …..Yang paling enak, si ahli
jihad dapat memberi banyak syafaat kepada keluarga-keluarga yang tertinggalnya,
cara yang paling mudah menggapai nikmat. Nah loh!
Orang yang syahid
diberi hak untuk memberikan syafa'at kepada tujuh puluh penghuni rumahnya. Abu
Daud berkata; yang benar adalah Rabah bin Al Walid. [HR. Abudaud No.2160].
Apabila Allah
memberikan kenikmatan kepada seseorang hendaknya dia pergunakan pertama kali
untuk dirinya dan keluarganya. (HR.
Muslim)
Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421]
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu, Al
Maa'idah: 48
Pen
: Kenapa penulis menyatakan diawal tadi “seandainya saya wanita, saya mau
dipoligami” karena mungkin saja apa yang penulis lihat dari salah satu hikmah
lainnya terhadap masalah ini, mirip-mirip dengan penjabaran dibawah ini,
kelihatannya mudah saja tapi pada praktek kenyataannya susah, atau semisal Anda
bisa memperbandingkan atau menambah hikmah dari dengan memaafkan seseorang yang
sebenarnya sangat-sangat sulit dimaafkan oleh dirimu atau perbandingan lainnya.
Ya, mungkin saja, bagaimana tidak mungkin saja, wong penulis sampai seumur-umur
gini belum nikah, jadi mana tahu rasa berumah tangga, satu saja belum ada,
apalagi bisa melihat dan ikut merasakan rasa menjadi kedua, ketiga atau
keempat. Bahasan ini cuma contoh dari pokok bahasan yang namun bisa menjadi sub
pokok penjabaran pula dan juga buat melihat pembanding lebih jauh pokok bahasan
tulisan ini.
Suara Hati Seorang
Wanita Yang Di Poligami
baitul-hikmah.com,
Terasa dunia akan runtuh ketika kau meminta izin kepadaku untuk menikah lagi.
Membayangkan kau, suamiku tersayang, sedang membagi cinta, perhatian dan segala
kesenangan duniawi lainnya dengan wanita lain, bukan hanya sekedar mendatangkan
pusing dan mual tapi juga penyakit cemburu serta sakit hati yang mungkin tak
akan berkesudahan bagiku. Jangan protes wahai suamiku, Bahkan istri-istri nabi
yang muliapun, mereka tak bisa menghindar dari kecemburuan. Semua itu karena
cinta yang teramat sangat untukmu.
Sejenak
akupun buru- buru mengadakan koreksi kilat tentang apa yang kurang dari diriku,
atau tentang apa yang selama ini menjadi kelemahanku selama ini. Seakan semua
daya upaya akan aku kerahkan ketika menyadari bahwa kenyataan didepan akan
sebentar lagi sampai kepadaku. Dan akhir dari usaha itu adalah cara yang aku
fikir efektif untuk menghadang kenyataan takdir yang akan diberikan Allah
untukku
Akhirnya
hari itupun datang saat aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu. Ya Allah,
wanita mana yang ingin cintanya terbagi. Wanita mana yang kuat melihat suaminya
bermesraan dan bahagia bersama suamiku..suamiku yang sangat aku cintai. Ya
Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada posisiku,
sanggupkah engkau wahai suamiku?
Imanku
mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku mengunci
hatiku untuk tetap mengatakan tidak, tidak dan tidak untukmu. Pernikahan kita
adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak tentang dia. Dan lalu
bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam kebahagiaan kita? Apakah
selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?
Sekali
lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik dengan
kecemburuan yang sangat melekat erat. Namun sekuat tenagaku aku mencoba tidak
emosional. Sulit.. walaupun semua ini sangat sulit.
Namun…
akhirnya kecintaan Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang amal
bagiku untuk menggapai surga?, walau sekali lagi, Demi Allah sangat sulit
merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang lain.
Namun…
sekali lagi, Bahasa iman menggugah kesadaranku kembali. Sekejab kupalingkan
egoku untuk menilai maduku. Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan
hanya untuk aku dan suamiku, tapi terutama adalah baginya. Betapa resiko sosial
akan datang kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan
kepadanya. MasyaAllah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika menjadi
pelakon kisah hidupnya. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah atas semua
manusia. Diapun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya akan datang. Namun
ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah aku harus menyalahkannya,
yang berarti pula menyalahkan Allah sang maha pengatur?
Dari
pada aku memperburuk keadaan ini dengan prasangka yang menghinakanku sendiri,
lebih baik aku menguatkan hati untuk membantu menguatkan suamiku. Suamiku..
seseorang yang telah bertahun-tahun menjadikan aku satu-satunya ratu didalam
hati dan rumahnya, memulyakanku dengan segenap cinta dan kasih sayang, dan
orang yang paling mengerti dan mencintaiku. Pantaskah jika akhirnya aku
mennyebutnya sebagai pengkhianat atas kasih sayangku? pantaskah aku menyebutnya
orang yang tidak tahu terimakasih atas semua pengorbanan dan kasih sayangnya?
tidak, sama sekali tidak. Bahkan aku tidak akan rela gelar itu disebutkan
kepada suamiku, bahkan oleh diri aku sendiri.
Sesuatu
akan lebih berharga ketika hal itu telah atau akan meninggalkan kita. Semoga
ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas kebersamaan kita.
Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan olehku, karena aku tahu
bebanmu akan terasa lebih berat kedepannya, dan akan sangat sulit bagimu untuk
memilih. Maka aku tak akan membawa engkau pada posisi memilih. Seperti yang
disabdakan rasul yang mulia bahwa wanita sholihah adalah perhiasan terindah
bagi suaminya, dan subhanallah, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Sekaranglah saatku untuk membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi perhiasan
terindah yang pernah kau miliki, dan aku benar-benar menyayangimu.
Aku
buka pikiranku dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu akhirnya berbuah pikiran
bahwa engkau bukanlah milik ku yang abadi. Aku khawatir ketika cinta itu
melekat erat dihatiku, justru kesenangan hidup itu akan menjadikanku mendua
terhadap cinta kepada zat yang maha mencinta. Ah ternyata keikhlasan itu tidak
selamanya menyakitkan. Menyakitkan hanya bagi mereka yang merelakan diri mereka
sakit dan menyia-nyiakan perolehan pahala yang seharusnya bisa menjadi
miliknya. Dan sebagai pribadi yang ingin lebih pintar, aku tentu tak akan
melakukan hal itu. Ternyata Keikhlasan itu nikmat jika dalam menjalaninya hati
condong kepada cinta hanya kepada Allah.
Ya
Allah semoga surga Mu akan menjadi seindah-indahnya
tempat kembaliku kelak, dan semoga kau jadikan aku sangat lebih bahagia
bersanding dengan suamiku disana, dalam kehidupan yang abadi.
…,
Subhanallah, iman menguatkanku, ikhlas melegakanku, dan Allah memang benar-benar
menyejukkan hatiku, bahkan saat aku berada sendiri disini, dan kau berada
disana wahai suamiku,…
Setelah
kesejukan itu memenuhi relung hatiku, untuk selanjutnya aku memohon maaf
kepadamu wahai suamiku, bahwa karena cintaku kepada Allah telah mengalahkan
cintaku kepadamu. Aku yakin kau bukanlah pribadi yang akan menjadikan Alquran
sebagai tameng bagi nafsumu sendiri. Kau dengan tekadmu yang ingin
memuliakannya sebagai mana kau memuliakanku sebagai istrimu karena Allah, maka
akupun akan merelakanmu pula karena Allah. Semoga kelegaan hatiku dan kemuliaan
niatmu bukan hanya sekedar omong kosong, namun akan menjadi bukti nyata
pernyataan cinta kita yang hanya karena Allah. Dan kini, aku mempersembahkan
wanita itu untukmu. Benar-benar sebuah akhir yang sangat melegakan bagi sebuah
kecintaan yang hanya karena Allah…
(Syahidah)
- Dari MuslimahZone.com
*Cari
istri kya gini-ni, tingkat ilmunya kemungkinannya dach high class banget.
Apalagi juga enak kali ya, kali-kali aja karena makin banyak ratu-ratu dari
bidadari-bidadari surga bersamamu menemani kya gini bisa rame-rame kerjasama
ngajak kamu (suami) ke surga dunia juga surga akhirat tertinggi. Ada sebuah
hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Yakni tentang keberkahan
poligami. Sa’id bin Jubair ia berkata; Ibnu
Abbas pernah bertanya kepadaku, Apakah kamu sudah menikah? aku menjawab, Tidak.
Ia kemudian berkata, Menikahlah, karena orang yang terbaik dari ummat ini
adalah seorang yang paling banyak Istrinya. (HR.Bukhari no. 4681). Abdullah
Ibnu Abbas atau akrab disapa dengan Ibnu Abbas adalah seoraang yang Ghaniy
(baca : kaya). Sahabat Rasulullah yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Dan
menjadi tidak mungkin ia menyelewengkan karunia ilmu dan harta dari Allah
subhanahu wata’ala hanya untuk nafsunya. Dan tidaklah pula “yang paling banyak
Istrinya” ini diartikan jumlah tanpa batas. Allah ta’ala membatasinya dengan 4
saja (QS. An-Nisa’ : 3). Kalimat “فَإِنَّخَيْرَهَذِهِالْأُمَّةِأَكْثَرُهَانِسَاءً”
adalah kalimat yang bersifat kiasan (bunga kata). Nazhat Afza dan Khurshid
Ahmad dalam bukunya “The Position Of Woman In Islam” mengakui bahwa ada
segelintir umat Islam yang menyalahgunakan kemubahan poligami. Ia mengakui
bahwa diantara muslimin ada yang berpoligami hanya untuk kesenangan nafsu
duniawinya saja. Keduanya menganalisa bahwa fenomena ini diakibatkan oleh
kurangnya Ilmu Syari’at dan salahnya niat sang suami.
Disini
penulis mau bilang bahwa bisa jadi pilihan yang kita anggap sepele (seperti
masalah pengharaman poligami yang sah-sah saja ini atau membuat aturan hidup
tabu dan anti adanya poligami), bisa jadi punya pertanggungjawaban besar
diakhirat dan bisa jadi ternyata salah satu akibat duniawi pilihan itu berimbas
luas kepada banyak hal yang buruk dibeberapa jenis bidang. Sebab, tidak mungkin
dari ribuan bahkan puluhan ribu calon yang disodorkan partai Islam semuanya
bejat dan rusak -tak satu pun, atau puluhan, atau ratusan yang memikirkan
umat-. Tidak mungkin! Tidak mungkin batu bata yang ditempa oleh pembinaan
Islam, semuanya rapuh dan tidak layak pakai. Pasti ada batu bata kuat yang siap
memikul beban berat umat ini.
Pertimbangan
bolehnya memberikan suara dalam Pemilu karena menjalankan kaedah fikih: “Mengambil bahaya yang lebih ringan.”
Kaedah
ini disimpulkan dari ayat,
“Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.”
(QS. Al Kahfi: 79).
Lihatlah
apa yang dilakukan oleh Khidr adalah untuk mengambil bahaya yang lebih ringan
dari dua bahaya yang ada. Khidr sengaja menenggelamkan kapal milik orang
miskin, ini adalah suatu mafsadat (bahaya). Namun bahaya ini masih lebih ringan
dari hilangnya seluruh kapal yang nanti akan dirampas oleh raja yang zalim.
Begitu
pula ayat yang menceritakan bahwa Khidr membunuh seorang anak karena khawatir
orang tuanya tersesat dalam kekafiran, itu juga mendukung kaedah yang dimaksud.
Dalam ayat disebutkan,
“Dan adapun anak
muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir
bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran.” (QS.
Al Kahfi: 80). Membunuh anak muda itu adalah suatu mafsadat, sedangkan
kesesatan dan kekafiran adalah mafsadat yang lebih besar.
Dalam
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani membuat kaedah,
“Mengambil mafsadat
yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih
berat.” (Fathul
Bari, 9: 462)
Haruslah
Anda fahami, seorang muslim dengan tauhid yang benar akan bisa ditempatkan pada
posisi apa saja pekerjaan yang beraffliasi manfaat pada orang lain, semua ilmu
duniawi ada dalam genggaman ilmu agama, merekalah orang yang tepat, pada
waktu/situasi yang tepat, pada tempat yang tepat dengan tujuan yang tepat dunia
akhirat. Semua ilmu berada pada tangan prilaku sedang prilaku telah diatur
dalam batas-batasan pada nash. Pembebasan sebebas-bebasnya dari beberapa
prilaku pada suatu titik puncak akan tetap menghasilkan tabrakan dari
prilaku-prilaku tersebut, berbeda dengan islam yang mempunyai batasan jelas
akan masing-masing batasannya prilaku.
Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan
lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di
tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang
dihinggapinya).” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)
Seorang mukmin adalah manusia
yang memiliki sifat-sifat unggul. Sifat-sifat itu membuatnya memiliki keistimewaan
dibandingkan dengan manusia lain. Sehingga di mana pun dia berada, kemana pun
dia pergi, apa yang dia lakukan, peran dan tugas apa pun yang dia emban akan
selalu membawa manfaat dan maslahat bagi manusia lain. Maka jadilah dia orang
yang seperti dijelaskan Rasulullah saw., “Manusia paling baik adalah yang
paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.”
Kehidupan ini agar menjadi indah,
menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti itu. Menjadi
apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala
yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi
bahagia dan sejahtera.
Nah, sifat-sifat yang baik itu
antara lain terdapat pada lebah. Rasulullah saw. dengan pernyataanya dalam
hadits di atas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang
dimiliki oleh lebah. Tentu saja, sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham
dari Allah swt. seperti yang Dia firmankan, “Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl:
68-69)
Sekarang, bandingkanlah apa yang
dilakukan lebah dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, seperti
berikut ini:
Hinggap
di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih
Lebah hanya hinggap di
tempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang
terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang
berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan
atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.
Begitulah pula sifat seorang mukmin.
Allah swt. berfirman:
Hai
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
adalah musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah: 168)
(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A’raf:
157)
Karenanya, jika ia mendapatkan
amanah dia akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melakukan
korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, penipuan, dan dusta.
Sebab, segala kekayaan hasil perbuatan-perbuatan tadi adalah merupakan khabaits
(kebusukan).
Mengeluarkan
yang bersih
Siapa yang tidak kenal madu
lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia. Tapi
dari organ tubuh manakah keluarnya madu itu? Itulah salah satu keistimewaan
lebah. Dia produktif dengan kebaikan, bahkan dari organ tubuh yang pada
binatang lain hanya melahirkan sesuatu yang menjijikan. Belakangan, ditemukan
pula produk lebah selain madu yang juga diyakini mempunyai khasiat tertentu
untuk kesehatan: liurnya!
Seorang mukmin adalah orang yang
produktif dengan kebajikan. “Hai
orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
Al-khair adalah kebaikan
atau kebajikan. Akan tetapi al-khair dalam ayat di atas bukan merujuk pada
kebaikan dalam bentuk ibadah ritual. Sebab, perintah ke arah ibadah ritual
sudah terwakili dengan kalimat “rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu”
(irka’u, wasjudu, wa’budu rabbakum). Al-khair di dalam ayat itu justru bermakna
kebaikan atau kebajikan yang buahnya dirasakan oleh manusia dan makhluk
lainnya.
Segala yang keluar dari dirinya
adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya tidak
mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik; perilakunya tidak menyengsarakan
orang lain melainkan justru membahagiakan; hartanya bermanfaat bagi banyak
manusia; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk
sebesar-besar kemanfaat manusia.
Tidak
pernah merusak
Seperti yang disebutkan dalam
hadits yang sedang kita bahas ini, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan
ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan
perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia
selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan
cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan
cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha
menghentikan kezaliman itu. Jika kerusakan terjadi akibat korupsi, ia
memberantasnya dengan menjauhi perilaku buruk itu dan mengajukan koruptor ke
pengadilan.
Bekerja keras
Lebah adalah pekerja keras.
Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat “menetas”), lebah pekerja
membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia
memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah,
hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun
memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah: 7)
Kerja keras dan semangat pantang
kendur itu lebih dituntut lagi dalam upaya menegakkan keadilan. Karena,
meskipun memang banyak yang cinta keadilan, namun kebanyakan manusia –kecuali
yang mendapat rahmat Allah– tidak suka jika dirinya “dirugikan” dalam upaya
penegakkan keadilan.
Bekerja
secara jama’i dan tunduk pada satu pimpinan
Lebah
selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja
secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri.
Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil
teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor
lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang
tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar
membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Tidak
pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah
tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa
terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu,
mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap
seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.
Itulah beberapa karakter lebah
yang patut ditiru oleh orang-orang beriman. Bukanlah sia-sia Allah
menyebut-nyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Quran sebagai
salah satu nama surah: An-Nahl. Allahu a’lam.. Dakwatuna.com
Memilih
ataupun tidak memilih bisa bernilai baik atau malah sebaliknya berdosa. Ketika
anda menetapkan pilihan berdasarkan nepotisme atau iming-iming uang atau bahkan
karena tidak peduli dengan akhlak orang yang dipilih, pokoknya dilandasi
semangat kelompok, 'right or wrong, my party', itu bisa dinilai suatu dosa.
Pada sisi yang lain, memutuskan tidak memilih karena tidak peduli atau masa
bodoh padahal melihat adanya potensi yang membahayakan umat kalau hal tersebut
dilakukan juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak pada
tempatnya.
Mungkin pemahaman yang lebih tepatnya adalah : ini merupakan kalkulasi dalam
menilai manfaat atau mudhoratnya keputusan untuk menjadi golput atau ikut-serta
dalam pemilu, dan karena berdasarkan pertimbangan seperti itu tentu saja
penilaian akan bersifat subjektif tergantung sudut pandang kita dalam melihat
permasalahannya. Bagi para ulama yang menyatakan golput adalah haram, mereka
mungkin menetapkan bahwa sikap ini - dalam kondisi sekarang - dapat menimbulkan
mudhorat dan bencana yang lebih besar bagi keselamatan umat, ketimbang ikut
memilih sekalipun nanti bakalan kecewa karena ternyata si calon yang telah
ditunjuk tersebut tidak amanah.
Pada dasarnya tidak memilih atau golput juga merupakan suatu pilihan yang
memiliki konsekuensi yang sama ketika kita memutuskan untuk memilih calon yang
ada. Ikut mencoblos dalam pemilu mengandung resiko baik dan buruk, dikatakan
baik kalau si calon tersebut bekerja sesuai amanah yang diberikan, dan disebut
tidak baik kalau dia berkhianat. Sebaliknya tidak memilihpun mempunyai resiko
yang buruk juga, gara-gara kita tidak memilih, maka yang terpilih justru
orang-orang yang memiliki prinsip dan nilai bertentangan dengan apa yang kita
anut. Tapi manusia berhak berikhtiar. Ikhtiar secara bahasa artinya
memilih. secara istilah ikhtiar adalah usaha seorang hamba untuk memperoleh apa
yang dikehendakinya, bila pun hasil ikhtiar nantinya dimasa depan menghasilkan
sesuatu mudharat baru yang lebih besar atau tidak sesuai dengan harapan awalnya,
yang terpenting niat awal dalam ikhtiar ini haruslah benar bertujuan mulia dengan
sarana yang baik pula sesuai kaedah syariat dan hanya Allah SWT serta hati Anda
yang tahu niat Anda tersebut.
Bagaimana mungkin kita mampu
menyelesaikan suatu masalah jika hanya dengan berdiam diri? Masalah tersebut
akan tetap menimpa diri tanpa ada suatu pemecahan dari sang penerima masalah.
Bukankah manusia itu ketika memperoleh masalah dia ditugaskan untuk
menghadapinya? Selesai tidak selesai masalah tersebut, kita kembalikan kepada
Yang memberikan masalah, yakni Sang Maha Sempurna.
Berdiam diri bukan menjadi solusi
yang benar untuk menghadapi berbagai masalah yang menimpa diri ini. Bergerak
adalah salah satu langkah untuk menyelesaikan masalah yang menimpa diri ini.
Setidaknya, dengan bergerak, kita telah melakukan usaha untuk menyelesaikan
masalah yang memimpa.
“Jalanilah”
Nasihat itu mengajarkan kepada
kita semua agar tetap bergerak dikala berbagai permasalahan telah meruntuhi
jiwa-jiwa manusia. Bergerak untuk mencari solusi terbaik. Bergerak di
jalan-Nya. Tetap bersabar dan berikhtiar dengan segala ketentuan-Nya.
Fitrah seorang manusia ketika
masalah menghampirinya, maka dia akan merasakan beban yang tak terkira. Apalagi
jika masalah itu begitu berat, maka dia pun sekejap akan mengeluh. Tapi, bukan
seorang musim jika hanya pandai mengeluh tak mencari sebuah solusi yang terbaik
untuk menyelesaikannya. Bergerak, apapun yang terjadi. Kita kembalikan
kepada-Nya.
Bukankah Dia tidak akan
menurunkan suatu masalah kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya?
Maka dari itu, jalanilah hingga akhir batas kemampuan tersebut. Tapi, yakinlah.
Dia akan tetap membersamai orang-orang yang selalu mengadu dan meminta
kepada-Nya. Bahkan, Dia akan lebih menyukai orang-orang yang selalu mendekat
kepada-Nya. Mendekat tidak hanya dikala dalam kesulitan tetapi mendekat dikala
kemudahan. Walaupun tak bisa dipungkiri, manusia lebih banyak mendekat dikala
dalam kesulitan.
Rahmat dan kasih sayang-Nya
sangat luas tak mampu diukur dan digambarkan oleh apapun. Sehingga, Dia tetap
memberikan pertolongan kepada siapapun tatkala Dia didekati. Persoalan hidup
ini untuk dijalani. Bukan untuk diratapi, ataupun ditangisi dengan berdiam
diri. Maka dari itu, “Jalanilah”
Ali bin Abi Thalib
berpesan, “Kezhaliman akan terus ada.
Bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.”
Pemerintahan yang
menelurkan atau mencoba bersyariat islam
Semisal
pemerintah menelurkan undang-undang antimiras, maka dari pusat sampai daerah
dampak pengurangan miras akan terjadi bahkan orang-orang yang berbisnis miras
bakalan alih profesi mengganti produk kelainnya yang bukan miras atau hengkang
keluar dari negeri ini untuk berbisnis haram tersebut atau ketika pemerintah
menelurkan undang-undang potong tangan pada koruptor maka dari pusat sampai
daerah akan melakukan ketetapan itu, dsb.
Bila
tidak mau, ya sudah gimana kalau diganti dengan hukum mati ditembak rame-rame atau
digantung saja? orang-orang awam kebanyakan ditanya malah lebih parah permintaannya
dari sekedar hanya potong tangan yaitu minta hukum mati atau hukum gantung (sebenarnya
kita bisa memanfaatkan prilaku-prilaku/sifat-sifat dasar lahiria manusia untuk memanipulasi/bersiasat
untuk tujuan tertentu, namun berbedanya islam mempunyai batasan-batasan jelas
yang tidak membolehkan segala cara, ia harus dalam batasan syar’i, tampaknya
orang non islam lebih pandai memanfaatkan hal ini namun juga dengan segala
cara). Bila penulis ditanya, penulis akan lebih menyukai hukum potong tangan
dan diadakan didepan publik karena ia lebih kuat menghasilkan rasa jeri dan
jera kepada orang lain dan akan sangat membudayakan “budaya malu” dan juga
masih akan memberi banyak ruang kesempatan bertobat dan dapat mengawali
mendulang pahala didunia lebih banyak bagi orang tersebut ditambah kebaikan
dari efek hikmah-hikmah imbas sebab-akibat dari sisa perjalanan hidupnya yang pasti
ia dapat setelah hukumannya itu, bila ia jeli dan sadar, ia akan dapat
meningkatkan nilai derajat dirinya sebagai hamba kepada Tuhannya, selain itu
“kebijaksanaan dari hukum islam” akan menampakkan hasil lebih maksimal. Tidak,
hukum pidana hari ini saja, Wah… pernah penulis berkelakar pada kawan,
mendingan korupsi saja sampai batasan dana tertentu, ntar buat jaringan
perkawanan dahulu kepada mafia hukum dan peradilan kalau bisa juga harus dapat pegang
kartu trup mereka-mereka sebagai jaminan pula, terus bila ketangkap, bayar biar
hukumnya ringan 3 tahunan dan bayar biar dana terkorupsi dinilai lebih jauh
kurang sesuai kesepakatan dari yang sebenarnya nilainya dan terus bayar-bayar
lagi untuk diajukan dan minta remisi terus-menerus biar hukuman bisa menjadi
dibawah setahun pokoke setiap ada remisi karena hari nasional atau karna
apapun, ya yang penting sesuai budget separuh hasil korupsi buat upeti
tersebut, nah saat bebas, bisa dech separuh hasilnya dipakai modal usaha lain
dan menghilang dari hingar bingar kekuasaan. Yang penting bukan karena kasus
akibat fitnah, soalnya bisa lama banget nilai tahun hukumannya, nga sesuai mah
kebanyakan koruptor lainnya ntar, yang ringan-ringan masa hukumannya. Atau jadi
kambing hitam pengganti dari atasan kelas kakap karena pasti agak mendingan
lama walau dijamin dana abadi dan tidak terlalu disorot media.
Bila
demikian apakah demokrasi dinegeri ini tidak bisa menelurkan syariah dalam
setiap lininya. Satu syariat yang keluar dengan cepatnya ia mengajak keluar
syariat yang lain. Barokah dari langit dan bumi itu lebih cepat turunnya dari
apa yang diperkirakan, perbaikan itu bukan dengan hitungan matematis manusia
atau berapa lamanya seperti yang kau pikirkan. Dampaknya lebih besar dan
mengikat menyeluruh kepada setiap masyarakat didalam negeri dibanding wacana
atau ceramah (bukan memarginalkan dakwah, dakwah keharusan individu maupun
kolektif, tapi lebih melihat efek yang lebih luasnya dari dakwah), maka agama
dan kekuasaan politik tidak bisa dipisahkan. Diperlukan kemenangan dan
dominannya partai berasas islam di pemerintahan mengalahkan partai berbasis non
islami. Partai haq ini butuh dukungan persatuan umat islam. Bersyariahnya
negeri dapat dengan cara menaklukkan demokrasi tersebut hingga mengadopsi
syariah keseluruhan lininya atau sesuai kesanggupan usaha dan upaya sampai
batasan kesanggupan tersebut.
Jika
saja, sebuah lembaga berwujud sebuah LSM, maka jangkauannya hanya sebatas itu.
Namun, jika misalnya kaum muslimin menguasai pemerintahan, hanya dengan satu
kali tanda tangan saja, maka ribuan gedung sekolah baru bisa dibangun, milyaran
beasiswa bisa digelontorkan, jutaan warga miskin bisa terentaskan. Dan, aneka
kebijakan-kebijakan kebaikan lainnya bisa dieksekusi secara massif dalam tempo
sesingkat-singkatnya.
Orang-orang
telah bergerak dengan dua amalan nyata, didalam sistem bergerak untuk penegakan
syariat sementara masih juga tetap bergerak ikut pula diluar sistem tetap
berdakwah dan membentuk pengajian-pengajian dikota dan didesa gunung dan
lembah, membangun sarana dan prasarana majelis ilmu untuk pendidikan umat, berislam
dengan pelayanan kesehatan juga tujuan berislam dengan pelayanan sosial
lainnya, tujuan akhirnya pun sama untuk umat, islam, syariat, khalifahan islam dan
akhirat dengan konsep menjadi rahmat untuk semua. Beberapa aliran jihadi pun
telah terjun ke tanah jihad secara langsung sementara beberapa bagian yang
tertahan pun tetap berdakwah dan masih membantu dalam mendulang suara, yang
bila dilihat kelompok-kelompok yang mengikuti sunnah nabi semua mengarahkan
pandangan dan dakwahnya kepada kemenangan islam, syariat dan khilafah. Secara
dhahir terlihat pengotakan-pengotakan namun secara batin banyak yang bersatu
dan mencoba menyatukan. Ataukah malah sedikit orang asing saja yang
mendakwahkan kesatuan hati umat?
Perda
Islam dan Ijtihad Politik
Oleh: Syaiful Anshor
“Perda bernuansa syariat Islam
yang sukses dilakukan Patabai adalah sebagai bentuk ijtihad penegakan syariat Islam
dalam konteks formal-struktural”
PENEGAKAN Syariat Islam di
Indonesia seolah jadi isu yang tidak pernah mati. Sejak lama, perjuangan umat
Islam untuk menegakkan syariat Islam di Tanah Air tidak pernah surut. Baik
usaha secara kultural maupun struktural-konstitusional. Sejak tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dihapus, ekspektasi penerapan syariat Islam umat Islam tidak
begitu signifikan. Meski begitu, umat Islam tidak putus asa dan masih berjuang
dengan segala cara. Salah satunya yang dilakukan Nangro Aceh Darussalam yang
telah dapat privillege khusus dari pemerintah berupa otonomi khusus (otsus)
untuk menegakkan Syariat Islam.
Hal serupa juga dilakukan di bumi
Sulawesi Selatan. Perjuangan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh dan ulama yang
tergabung dalam Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang
dikomandani langsung oleh putra pejuang legendaris Sulsel, Abdul Aziz Qahhar
Mudzakkar. Meski begitu, usaha untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia
bagian timur ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perjuangan KPPSI
agar Sulawesi Selatan dapat otsus penegakan syariat Islam sampai sekarang belum
terwujud. Salah satu sebabnya, belum dapat rekomendasi dari gubernur untuk
diajukan ke pemerintah pusat.
Sepanjang sejarah, penegakan
syariat Islam di Tanah Air selalu diwarnai pro-kontra. Hal itu karena syariat
Islam masih dipandang negatif dengan sederet stigma miring. Syariat Islam
dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada hukum potong tangan dan
rajam. Tak sedikit orang yang takut jika syariat Islam diberlakukan. Khususnya
kaum sekular-pluralis. Mereka menentang habis-habisan dan secara
terang-terangan penegakan syariat Islam. Tak hanya itu, aktivis syariat Islam
juga dicitrakan buruk, seperti kelompok radikalis, ekstrimis, dan subversif. Padahal,
syariat Islam tidak sesempit pandangan mereka.
Kendati perjuangan KPPSI agar
Sulsel dapat otsus penegakan syariat masih jauh, bukan berarti tidak memiliki
sumbangsih terhadap pembangunan negara. Setidaknya, penegakan syariat Islam
berupa Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Islam yang digulirkan di Kabupaten
Bulukumba jadi bukti bahwa syariat Islam telah memberikan sumbangsih signifikan
terhadap pembangunan daerah. Hal itulah yang dirasakan Mantan Bupati Kabupaten
yang terletak di ujung Selatan Provinsi Sulsel ini yang menjabat selama dua
periode, 1995-2000 dan 2000-2005, Drs. H. Andi Patabai Pabokori.
Andi Patabai tergolong sukses
memimpin Kabupaten Bulukumba. Dari sisi APBD naik signifikan. Begitu juga
tingkat kriminalitas. Dari yang sebelumnya angka kriminalitas tinggi, setelah
kepemimpinannya turun drastis. Seluruh Muslimah mengenakan pakaian Muslim.
Masyarakat Muslim Bulukumba pun pandai membaca Al Quran. Kegiatan keagamaan
selalu semarak. Non Muslim pun merasakan manfaatnya hingga tak sedikit yang
justru mendukung perda. Gara-gara kesuksesan itu, dia pun dipercaya masyarakat
untuk jadi Bupati selama dua periode. Katanya, bahkan, seandainya boleh
mencalonkan untuk ketiga kali, masyarakat berharap dia maju kembali jadi
Bupati.
Ketika pertama memimpin
Bulukumba, Patabi cukup miris melihat kondisi masyarakatnya. Kriminalitas
tinggi. Pemerkosaan, pembunuhan, dan pencurian kerap kali terjadi. Begitu juga
miras banyak diperjual belikan. Karena itu, dia berfikir, cara untuk
menanggulangi itu semua hanya satu: dengan syariat Islam. Patabai pun berfikir
simpel. Syariat itu tidak mesti harus dengan rajam dan potong tangan. Tapi,
hal-hal sederhana, seperti baca tulis Al-Quran, melarang penjualan miras,
kewajiban mengenakan baju muslimah bisa mencegah praktik kriminalitas.
Dia yakin dengan itu masyarakat
di Bulukumba bisa hidup aman, nyaman, dan tenang. Konsep format atau wadah
penerapan syariat Islam yang dilakukan Patabai berupa Perda bernuansa Islam.
Dia membuat empat Perda. Antara lain: Pertama, Perda Nomor: 03 tahun 2002
tentang larangan, pengawasan, penertiban, dan penjualan minuman beralkohol.
Kedua, Perda Nomor: 02 Th. 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan
Sedekah. Ketiga, Perda Nomor: 05 Th. 2003, tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah. Keempat, Perda Nomor : 06 Th. 2003 tentang Pandai Baca Al Quran bagi
siswa dan Calon Pengantin.
Perda-perda itu ternyata sangat
efektif. Dalam tempo dua tahun, masyarakat telah merasakan efeknya.
Kriminalitas turun drastis. Tidak ada lagi orang jualan miras. Tidak ada lagi
pencurian. Bahkan, katanya, binatang peliharaan dan kendaraan jika dibiarkan di
luar rumah pada malam hari akan aman. Khususnya untuk zakat. Pendapat zakat
naik drastis. Patabai mewajibkan jajaran pejabat daerah untuk menyisihkan
gajinya untuk zakat. Dana itu pun bisa terkumpul ratusan juta rupiah per bulan
dan bisa digunakan untuk membantu masyarakat.
Apa yang terjadi di Bulukumba
sebenarnya potret baik penegakan syariat Islam. Meski masih berupa empat perda.
Hal itu menandakan jika syariat Islam ditegakkan akan memberikan manfaat, bukan
mafsadah. Hal itu sekaligus menepis ketakutan sejumlah kelompok dan tanggapan
miring tentang syariat Islam bahwa syariat Islam itu menyelamatkan, bukan saja
umat Islam, tapi juga non-Muslim.
Ijtihad
Perda bernuansa syariat Islam
yang sukses dilakukan Patabai adalah sebagai bentuk ijtihad penegakan syariat
Islam dalam konteks formal-struktural. Syariat
Islam itu tidak mesti identik dengan atau menunggu daulah Islamiyah atau
khilafah Islam. Format wadah syariat Islam bersifat fleksibel, tidak
absolut (qothi’). Hal itu membuka ruang ijtihad. Ijtihad itu justru satu sisi
lebih efektif dalam membumikan Islam dalam konteks formal.
Diskursus wadah penerapan syariat
Islam juga mengemuka dalam kongres KPPSI yang diadakan di Asrama Haji Sudiang,
Makassar 7-9 Maret ini. Amir KPPSI, Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar mengatakan
tidak ada dalil qothi baik dalam al Quran maupun hadits yang mengatakan daulah
Islamiyah. Karena itu, wadah syariat Islam bersifat ijitihadi dan fleksibel.
Fleksibelitas itu bisa diterjemahkan ke berbagai cara. Bisa melalui otonomi
khusus, bisa melalui perda-perda syariat Islam, atau daerah Islam binaan.
Tergantung probabilitas yang paling memungkinkan.
Karena itu, apa yang dilakukan
mantan Bupati Bulukumba patut ditiru. Setidaknya, dengan digulirkannya
perda-perda bernuansakan syariat Islam bisa membantu pembangunan daerah dengan
menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi dan religiusitas masyarakat.
Peristiwa Hilful
Fudhul
Hilful
Fudhul adalah perjanjian yang paling terkenal di dalam sejarah semenanjung
Tanah Arab sebelum Islam. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kita berarti
"perjanjian yang disertai sumpah yang utama". Nama Hilful Fudhul,
diambil dari beberapa nama orang yang mengadakan perjanjian sejenis pada masa
sebelumnya. Ketiga-tiga nama orang tersebut masing-masing bernama Fadhal, iaitu
:
- ·
Fadhal
bin Fudholah,
- ·
Fadhal
bin Wad'ah
- ·
Fadhal
bin al-Harist.
Berdasar
pada keterangan kitab Siratul Halabiyah, ketiga-tiga orang tersebut telah
mengadakan perjanjian yang bertujuan membela, menolong orang yang teraniaya.
Kerana peristiwa perjanjian itu memang penting untuk diperingati dan bagi
menghormati ketiga-tiga orang tersebut, maka para ketua Quraisy sebulat suara
menamakan perjanjian itu dengan Hilful Fudhul.
Sejarah Hilful Fudhul
Diriwayatkan,
apabila meninggalnya pemimpin utama kaum Quraisy iaitu Abdul Mutalib bin
Hasyim, Bangsa Quraisy dipandang merosot oleh kabilah-kabilah lain sesudahnya
peperangan fujjar. Kelemahan ini timbul akibat kesalahan mereka sendiri.
Masyarakat arab ketika itu tidak ada kesatuan dan persatuan yang sepakat.
Ikatan kaum Quraisy dan kaum-kaum yang lain mulai longgar. Ada di antara mereka
yang cuba menguasai kedudukan-kedudukan penting yang sebelumnya.
Kedudukan-kedudukan itu hanya dikuasai oleh kaum Quraisy yang berketurunan
Abdul Manaf . Semenjak zaman pemerintahan Qusai bin Kilab hinggalah zaman Abdul
Mutalib, Kota Mekkah tidak pernah dicerobohi oleh sesiapa. Kecuali pada zaman
Abdul Mutalib iaitu pencerobohan oleh Abrahah dan tentera bergajahnya. Umum
mengetahui Abrahah dan tenteranya sememangnya tidak terkalahkan oleh pasukan
Quraisy dan kaum-kaum yang lain.
Ketidakstabilan ini diambil kesempatan oleh Kaum Hawazin untuk menyerang Kota
Makkah. Faktor yang lain ialah di kota Makkah tiada Jabatan Polis dan
Undang-undang yang menahan dan menghukum penjahat walaupun di kalangan pembesar
yang mencabuli hak orang lain seperti orang yang sedang bermusafir dan
sebagainya. Maksudnya jenayah memang berleluasa di Kota Makkah dan tiada pencegahan
serta hukuman. Kerana itu, tidak hairanlah jika ada pihak-pihak yang
sewenang-wenangnya menindas golongan bawahan, oleh kerana tidak ada keadilan
dan hukuman bagi pelaku penindasan dan tidak ada pula lembaga yang menguruskan
masalah itu.
Atas daya usaha Az Zubair bin Abdul Mutalib, pahlawan Bani Hasyim, beliau
mengumpulkan bani-bani yang terkemuka dari kaum Quraisy di rumah Abdullah bin
Jud'an untuk bermusyuarat.
Bani-bani
yang terlibat adalah seperti berikut :
- ·
Bani
Hasyim
- ·
Bani
Abdul Manaf
- ·
Bani
Abdul Mutalib
- ·
Bani
Zuhrah
- ·
Bani
Taim
Keputusan Mesyuarat
Di
Makkah dan kawasan sekitarnya selepas ini tiada lagi penganiayaan walaupun ke
atas hamba sahaya, orang yang bermusafir, peniaga, penziarah, kanak-kanak,
wanita, lelaki dan orang tua. Orang yang menzalimi akan dihukum manakala orang
yang dizalimi akan mendapat pembelaan yang sewajarnya. Hukuman tidak
mengira bangsa, pangkat, keturunan dan warna kulit walaupun di kalangan kaum
Quraisy. Sekiranya mereka menganiaya, mereka akan dihukum dengan hukuman yang
setimpal .
Pada ketika ini, Nabi Muhammad saw baru berusia 20 tahun dan bagindalah peserta
yang paling muda di majlis tersebut. Walaupun begitu, Nabi sudah terkenal
dengan seorang pemuda yang sangat jujur lagi amanah, berfikiran cerdas dan
tajam. Inilah faktor-faktor yang menyebabkan kaumnya memilihnya menjadi salah
seorang ahli mesyuarat yang penting ini .
Mesyuarat ini dikenali sebagai Hilful Fudhul. Hilful Fudhul berasal dari
persetiaan 3 orang dari Bani Jurhum. Mereka adalah seperti yang dinyatakan di
atas tadi iaitu Fadhal bin Fudholah, Fadhal bin Wada'h dan Fadhal bin Al
Harist. Mereka bertiga berjanji
akan membela orang yang dianiaya dan menghukum orang yang menganiaya tidak
mengira rupa, bangsa, warna kulit dan pangkat dan sebagainya. Di atas
peristiwa inilah mesyuarat yang dianjurkan oleh Az Zubair ini dikenali sebagai
Hilful Fudhul .
Hasil daripada mesyuarat di kalangan kaum Quraisy ini tidak sekadar teori dan
retorik tetapi ia dilaksanakan dengan begitu baik sekali. Ia berjalan selama
bertahun-tahun lamanya. Rasulullah s.a.w amat memandang tinggi perjanjian ini.
Sabda
baginda, “Sesungguhnya Aku telah
menyaksikan satu sumpah setia [perjanjian] yang dimeterai di rumah Abdullah bin
Jad'an. Aku tidak akan suka bahawa aku menerima unta yang hebat sebagai ganti
untuk menyalahi sumpah setia itu. Jika Islam mengajak dengan perjanjian yang
serupa nescaya aku menerimanya.” -Sirah Ibnu Hisyam dan turut diriwayat di
dalam Musnad Imam Ahmad
Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: “Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an.
Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini.
Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan
mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan
oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)
Sebab disepakatinnya perjanjian ini
Perjanjian yang
menafikan semangat kefanatikan jahiliyah yang biasanya timbul dari perasaan
ashobiyah kebangsaan atau sukuisme (perkabilahan). Disebutkan bahawa sebab
disepakatinya perjanjian ini adalah lantaran dari seorang pedagang dari Yaman
bernama Zubaid, dia ditipu oleh penduduk Makkah oleh kerana barang dagangan
yang dibawa pedagang tersebut telah dibeli oleh Al-‘As Bin Wail Al-Sahmy namun
harganya tidak diselesaikan oleh penduduk Mekkah. Ketika pedagang tersebut
meminta tolong kepada sekutunya iaitu Abdul Al Dar, Makhzum, Jumah, `Adi, dan
para penduduk Mekkah, tidak ada seorang pun yang mempedulikannya.
Wahai keturunan
Fihr! Tolonglah orang yang perdagangannya dizhalimi
Di tengah kota Mekkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarga
Dalam kondisi berihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya
Wahai para pembesar di antara dua batu (hajar Ismail dan hajar Aswad)
Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya
Bukan untuk orang yang jahat dan suka berkhianat
Oleh
kerana itu, dia menulis sebuah syair dan membacanya dengan keras di atas sebuah
gunung. Kemudian Al Zubair Bin Abdul Muthalib bangun dan bertindak, "Apa
kalian ini semua bisu?". Kemudian dengan hal itu mereka yang telah
mengikat janji Hilful Fudhul segera bertindak menemui Al-‘As Bin Wail Al-Sahmy
dan mengambil barang dagangan lelaki dari Yaman tersebut. Kemudian memulangkan
kepadanya, setelah mereka menyepakati perjanjian Al Fudhul tersebut.
Rasulullah mengungkapkan kesaksiannya pada perjanjian Hilful Fudhul, saat
beliau belum diangkat Allah menjadi Rasul :
"Ketika aku
bersama para bapa saudaraku turut sebagai saksi dalam persekutuan di rumah
Abdullah bin Jud'am, betapa senang hatiku menyaksikan hal itu. Seandainya
setelah Islam datang, aku diajak mengadakan persekutuan seperti itu, pasti ku
sambut dengan baik.”
(Muhammad Al-Ghazaly, dalam Fiqhus Sirah).
Penerapan Kisah "Hilful
Fudhul" Dalam Dunia Islam Kontemporari
Peristiwa
seperti Hilful Fudhul pernah diterapkan oleh salah seorang ulama yang berpegang
kepada manhaj yang haq, manhaj Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Iaitu
Fadhilatus Syeikh Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah dan Lajnah Ad Daimah Saudi
Arabia. Ketika beliau berfatwa membolehkan Pasukan Amerika berada di Pinggir
Padang Pasir Perbatasan dengan Iraq dan Kuwait ketika terjadi pencerobohan oleh
Saddam Husein (Tokoh Parti Baats Sosialis) Iraq ke Kuwait tahun 1992. Sebenarnya
hal ini bukanlah hanya pendapat Syeikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah saja.
Bahkan Imam Syafi'e rahimahullah pernah menyatakan hal tersebut. Imam Syafi'e
Rahimahullah menegaskan bahawa yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya
tahaluf (yang ertinya secara etimologi dari kata al-hilfu yakni ai al-`ahdu
iaitu perjanjian, dan sumpah) dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat
Mughni al-Muhtaj; 4/221).
Saat itu, para ulama Lajnah Ad Daimah yang diketuai beliau berfatwa membolehkan
meminta bantuan daripada non muslim dalam hal menghentikan kezaliman yang
dilakukan oleh saudara yang seagama. Apalagi negara tetangga Saudi Arabia
sewaktu itu tidak satu pun yang mendokong negeri Saudi Arabia. Bahkan mereka
memberi bantuan moral kepada presiden Iraq yang nyata melakukan kezaliman saat
itu dengan menceroboh Kuwait dan akan menyerang Saudi Arabia.
Ibrah Hilful Fudhul
- Keadilan adalah nilai sejagat
yang harus dipertahankan. Penyertaan dan dokongan Nabi Muhammad saw terhadap
peristiwa tersebut bertujuan untuk memperkukuh sendi-sendi keadilan.
Nilai-nilai kebenaran mesti didukung sekalipun muncul dari kaum jahiliah.
- Hilful Fudhul adalah sesuatu yang
utopia dalam kegelapan jahiliah. Hal tersebut sebagai indikasi bahawa
tersebarnya virus-virus yang merosak tuntutan moral dan agama pada suatu
masyarakat tidak berarti mensiakan nilai-nilai kebaikan yang lain. Sekalipun
masyarakat Makkah majoritinya penyembah berhala (paganisme) dan dekadensi moral
bermaharajalela seperti zina, riba dan kezaliman tetapi terdapat juga
orang-orang yang berakhlak mulia yang mahu menegakkan keadilan dan menolak
penganiayaan.
- Kezaliman dengan segala bentuk
dan tipunya bertentangan dengan ajaran Islam. Keadilan hendaknya ditegakkan
tanpa memandang warna kulit, agama, dan suku.
- Pengesahan hukum bolehnya
melakukan perjanjian dan kesepakatan antara perbezaan agama dalam hal-hal yang
membawa kepada kebaikan dengan mempertimbangkan pencapaian maslahat (kebaikan)
dan mafsadat (kerosakan) dari segala aspek.
- Seorang muslim sepatutnya
memiliki nilai positif untuk merealisasikan kebaikan lingkungan dan
masyarakatnya, bukan sebagai penonton yang kagum atau terpana melihat hasil
yang muncul dari proses tersebut.
Kesimpulannya
Sikap positif Rasulullah saw terhadap Hilful Fudhul menegaskan betapa Islam
mendukung sebuah perjanjian yang sarat dengan nuansa perlindungan dan pembelaan
hak asasi manusia, walaupun inisiatif dari perjanjian tersebut datang dari
kalangan non muslim, dan bahkan sebelum masa kerasulan nabi Muhammad SAW lagi.
Hadis tersebut menunjukkan sikap Nabi SAW yang sangat prihatin terhadap
sebarang pakatan atau tindakan untuk menentang kezaliman. Biarpun sumpah setia
ini berlaku sebelum kebangkitan Nabi SAW sebagai Rasul akhir zaman, tetapi
naluri seorang Nabi sangat terkesan dengan sebarang tindakan yang dilakukan
untuk menentang kezaliman .
Rasulullah SAW telah menjelaskan mengenai keterlibatan baginda di dalam
peristiwa Hilful Fudhul di zaman jahiliyyah, baginda menyatakan, jika peristiwa
Hilful Fudhul (dimana mereka bahu-membahu untuk kemenangan) terjadi di masa
kenabian maka Rasul memilih untuk ikut serta di dalamnya. Dalam kesempatan lain
Rasul pernah meminta pertolongan Muth’am bin Ady seorang Nasrani untuk
kemanfaatan dakwah. Gambaran tersebut menunjukkan sejauhmana semua peluang dan
kesempatan digunakan untuk kemaslahatan dakwah. Wallahua’lam.. Rujukan : tinta mahasiswa
Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: “Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an.
Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini.
Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan
mendatanginya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan
oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)
Yang
perlu diingat bahwa perjanjian dan pengambilan kebijakan ini terjadi di jaman
jahiliyah dimana Muhammad muda belum menjadi Rasul, maka hadis ini menekankan
bahwa nabi Muhammad SAW sebagai mewakili islam, bila menjumpai lagi perjanjian
serupa dijaman islam telah hadir, Beliau akan mendatanginya atau turut serta
tentu saja yang bernilai atau menghasilkan kebijakan yang bersifat baik demi
maslahat yang lebih besar dan umum. Lalu bagaimana bila peristiwa yang serupa
keadaan/sistemnya terjadi pada umat islam dewasa ini?
Dijaman
ini sistem serupa hal ini dapat dijabarkan pada parlemen dan koalisi. Jadi masih
bisa dibenarkan dalam konteks kekinian serupa hal tersebut, umat islam hadir di
parlemen dan koalisi yang bertujuan melahirkan kebijakan publik yang mengandung
maslahat bersama dan umum. Dan tentu saja akan lebih baik lagi bila kebijakan
tersebut berlandaskan syariat islam atau atas inisiatif umat islam. tujuan dan
maknanya harus dilihat penyesuaian dari makna dan tujuan hikmah kejadian
peristiwa Hilful Fudhul. Ketika tidak terwujud kemenangan dari persatuan umat
islam sendiri ataupun kalah suara maka pilihan lanjutan kedua adalah berkoalisi
dengan standart untuk menghasilkan kebijakan dengan landasan moral baik yang
umum diterima yang tentunya nilainya juga harus adalah tidak bertentangan
dengan hal-hal syari.
Praduga terbalik
Anggap
dalam demokrasi ada dua kubu partai, partai haq dan partai batil, partai golput
diabaikan suaranya.
Partai
batil didukung oleh : partai sekuler, partai liberal, partai plural, partai
aliran sesat, partai munafik, partai fasik, partai non agama islam dan partai
atheis
Partai
haq didukung oleh : partai islam a, partai islam b, partai islam c, alias hanya
umat islam pro syariah dan sayang-sayang saja juga pecah banyak partai. Jadi
sebagai prioritas pertama yang harusnya dilakukan adalah mewujudkan koalisi
antara beberapa parpol islam ini.
Tapi
umat islam pro syariah yang dimaksud adalah umat islam pro syariah yang mau
berkotor lama atau sejenak di demokrasi itu sendiri, jadi suara umat islam pro
syariah disini terbagi dua karena tergembosi oleh umat islam pro syariah
antidemokrasi yang suara sebagian ini masuk pada partai golput yang berwatak
pro syariah yang tidak berpengaruh apa-apa kebijakan negeri yang tentu saja
kebijakan negeri ini berimbas pula buat seluruh masyarakat, termaksud partai
golput berwatak pro syariah.
Jangan
dipatok demokrasi adalah suara rakyat yang unsur selain islam semua ada, yang
dipatok adalah bagaimana demokrasi disini adalah mendominankan suara umat islam
(parpol islam) agar suara non islami tidak dapat membuat keputusan/dapat
diabaikan keberadaannya/dimarginalkan pengaruhnya dalam mengambil keputusan dan
dapat lenggang menelurkan undang-undang dan kebijakan bernilai syariah.
Indonesia memiliki lebih 80% umat islam tentu demokrasi di Indonesia bisa
dibangun dengan menganut hukum dan kebijakan syariah.
Demokrasi
haram berikut turunan produknya termaksud pemilu maka semua yang masuk sistem
demokrasi dan ikut pemilu berarti sesat, maka :
Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. Qs. Al Qashash: 56
Karena
sesat berarti sudah tidak dapat diberi petunjuk, berupa penyampaian kabar dan
peringatan, apalagi untuk mengaplikasikannya pada diri mereka sementara
tuntutan islamnya diri adalah pengaplikasian batin dan lahir pada diri sendiri juga
bekerja dalam amalan bersama untuk kolektif manfaat. Akan sangat menyita waktu
dan perhatian untuk berdakwah, bila memilih solusi damai, solusi damai terbaik
telah dijelaskan diatas, bila pilihan lebih relevan adalah perang maka terbentur
keadaan damai dinegeri tersebut, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi masalah
ini. Bersabda nabi shallallahu alaihi wa sallam; barang siapa memerangi umatku membunuh orang baik dan orang fajirnya
serta tidak berhati-hati dari orang mukminnya dan tidak menepati perjanjian
kepada yang membuat perjanjian dengan mereka maka dia bukanlah dari golonganku
dan aku bukan dari golongannya. (HSR. Muslim no 1848). Jadi pilihan relevan
jihad adalah keluar ketanah jihad (konteks kekinian hari ini atau hal diatas). Bila
penekanan pada dakwah luar sistem saja karena berarti tidak boleh masuk dalam
sistem sedikit maupun menyeluruh, berarti pula konsekuensinya untuk masa
kekinian adalah meninggalkan kekuasaan secara penuh dan pembiaran kekuasaan
dikuasai penuh oleh pihak ideologi non islami saja, lalu apa yang akan terjadi
kemudian?
Perlu
diingatkan bahwa efek luas dari kemenangan adalah sifatnya “berbondong-bondong
mendekat” secara luas mencakup batasan seluruh wilayah kekuasaannya, mengikat
menyeluruh orang-orang awam sampai orang-orang terpelajar, bila yang menguasai
penuh sistem adalah sekuler maka efek “berbondong-bondong mendekat” adalah
hal-hal berbau sekuler maka daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb
dikuasai oleh sekuler, apa yang terjadi seperti kata seorang ulama, “Umat Islam
beribadah akan dibiarkan, umat Islam membangun kekuatan ekonomi akan
diwaspadai, dan jika umat Islam membangun kekuatan politik maka akan
dihancurkan, umat islam membangun opini akan dimarginalkan atau dahuluan
dimanfaatkan lawan ideologinya namun cara dan tujuannya tidak berlandaskan
tauhid yang benar, dsb”. Setan dari jenis jin dan manusia akan lebih banyak
bergentayangan dan makin menjadi-jadi sekuler karena tidak ada atau kurangnya
tekanan, paksaan, penyeimbang, kontroling, dsb ala islami tersebut maka
otomatis dakwah akan makin kalah taring dan suara, dan pula makin menjadi
terkebiri dan kerdil dalam lingkup tertentu dan juga akan semakin mengecilkan
seiring makin kuatnya daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb dari
kekuasaan sekuler tersebut. Agama makin dijauhkan dari area politik, pendidikan,
ekonomi, keamanan, sosial, dsb. Pemimpin kafir atau anti Islam akan
menghalangi manusia dari jalan Allah, akan makin membatasi ruang gerak pada dai
untuk berdakwah, membatasi ruang syariah, membiarkan kebatilan menyebar
dimana-mana, walau terlihat ada kemajuan (hal yang normal dari sebuah tuntutan
dari kepemimpinan terhadap kemajuan peradaban dan teknologi) maka ia bisa pula
akan sebanding dengan keburukkan yang menyertainya, karena tidaklah moral baik
saja yang dituntut tapi adalah akhlak mulia (moral yang bertauhid) apalagi bila dilakukan secara
halus terus-menerus dan tetap seakan-akan menjaga “kedamaian” yang dapat
diartikan pula sebagai “keburukan berkedok kedamaian”, nah ini akan menjadikan
upaya damai yang menipu padahal kalau sudah urusan “damai” (mungkin kalau
disini ini, katakanlah dapat diwakili dalam perjanjian piagam jakarta) umat
islam tidak berkutik secara perlawanan fisik, tidak dibolehkan memulai membuat
kekacauan dikala damai maka memang benar kata nabi bahwa tiada pilihan kecuali
harus taat walau terzhalimi agar tidak harus sampai “mati sambil menggigit batang pohon” karena tidak relevannya
pilihan perlawanan fisik dalam keadaan “damai” tersebut (karena selain faktor
“damai” ini, juga benar-benar ada sangat banyak sekali bawaan efek lain-lain
dari “keburukan berkedok damai” itu yang memang membuat tidak dapat berkutik
secara perlawanan fisik, contoh seperti: susahnya mengumpulkan kekuatan dan
penyatuan sikap, terlena kenikmatan duniawi yang menggiring didalamnya, takut
mati kerena indahnya hidup, kurangnya/termarginalnya penyebaran dan pemahaman ilmu,
tersebarnya kebatilan dan tempat-tempat batil yang dapat melelapkan dan
melupakan, berkurangnya kontrol terhadap penyebaran penyakit hati, makin
jauhnya nilai agama dari lingkup keamanan, pendidikan, ekonomi, politik, dsb dan
setelahnya karena juga akan terbentur pada sikon hukum itu sendiri, boleh-tidaknya
melanggar “perjanjian damai” itu sendiri, juga masalah taat kepada pemimpin
walau semisal terzhalimi, maka hanya bisa hal tersebut diatas “mentaati” agar
dapat menyelamatkan islam dalam lingkup kecilnya atau pribadinya, maka masih
mendingan kalau masih boleh terbuka tapi kalau sampai berakibat harus
sembunyi-sembunyi berdakwah karna tekanan, paksaan, kontroling, dsb dari
kekuasaan sekuler tersebut, gmana? Secara tidak langsung umat islam sendiri
juga berarti turut andil “menggoakan” dirinya sendiri alias rela “digoakan”.
…… 'Wahai
Rasulullah, lalu apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika Allah memiliki
seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia menzhalimimu dan mengambil sesuatu
yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan) selain kamu harus menaatinya. Jika
tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit batang pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai
Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan
parit-parit dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut,
maka ia akan diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa
terjatuh ke dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat
semua pahala kebaikannya'."
(Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud
Hudzaifah berkata,
"Aku bertanya lagi kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, apakah setelah
datangnya Islam akan ada keburukan lain?' Beliau menjawab, ''Keburukan berkedok
kedamaian dan kelompok yang terselimuti kekufuran dan anggota kelompoknya pun
terselimuti olehnya. "Hudzaifah berkata, "Aku berkata, 'Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan keburukan berkedok kedamaian?' Beliau
menjawab, 'Ketika hati seluruh kaum sudah tidak dapat lagi kembali kepada
kebaikan sedia kala.' Maka aku bertanya lagi, 'Apakah setelah Islam datang akan
ada keburukan lain yang akan kembali datang?' Beliau menjawab, 'Fitnah orang
buta dan tuli (akan kebenaran), dan fitnah itu memiliki pemanggil yang berada
di atas pintu neraka. Jika kamu mati, wahai Hudzaifah, dalam kondisi menggigit
batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka'. (Hasan: ibid.)
Untuk
yang ini bila dikontekskan hal diatas maksud “mati dalam dalam kondisi
menggigit batang pohon sekalipun, itu lebih baik daripada kamu mengikuti mereka”
merupakan dinding/pemisah jelas keislaman dirinya terhadap ideologi lainnya
artinya keberpihakkan tetap ada meskipun dalam kondisi bagaimanapun dan ideologi
apapun yang memimpin dan atau tetap dalam syariat islamnya, baik bekerja
didalam sistem atau bekerja diluar sistem (Anda juga tidak perlu menutup-nutupi
kenyataan yang sudah jadi rahasia umum bahwa selalu akan ada perang dingin di
dunia ini). Pada konteks kekuasaan
sekuler tadi maka taatnya dalam hal kebaikannya, bukan hal keburukannya, cuma
membatasi atau terbatasi karena faktor tadi menjadi ketidaktaatan pada
keburukan pemimpin ini pada pegangan untuk diri masing-masing dan sebisa untuk
lingkungan sekitarnya yang “mengecil” itu, agar tidak “mati sambil menggigit batang
pohon”, tapi terkhusus korban/terfitnah langsung yang menerpa dirinya
pada sistem itu, jika kamu mati dalam kondisi menggigit batang pohon sekalipun,
itu lebih baik daripada kamu mengikuti keinginan mereka, contoh seperti:
tawanan politik karena pesanan (jika benar terfitnah, bisa jadi ia adalah ujian
untuk meningkatkan derajatmu, bila sebuah kebenaran, maka anggaplah azab Allah
SWT untukmu karena kasih sayangNya, untuk menghapus dosa-dosamu agar dapat
kembali kepadaNya), contoh lain korban pembunuhan petinggi IM di Mesir, dsb.
Kedua hadis tersebut dalam konteks lembut dan keras (memberi pipi buat ditampar
atau membalas balik) akan berbeda pada kondisi berbeda pula.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.” (QS. Ali Imran 102)
Dari
shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim
sebuah pasukan, dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan.
(Di pertengahan jalan) komandan pasukan tersebut menyalakan api, kemudian
memerintahkan pasukannya untuk masuk ke dalam api tersebut. Maka sebagian
pasukan ingin masuk ke dalam api tersebut dalam rangka mentaati perintah sang
komandan, namun sebagian yang lain mengatakan, mari kita melarikan diri.
Kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, maka beliau bersabda kepada pasukan yang ingin masuk ke dalam api
tersebut, ‘Sekiranya mereka masuk ke dalam api tersebut, maka mereka akan
terus-menerus dalam kobaran api tersebut hingga hari kiamat.’ Dan beliau
bersabda kepada pasukan yang melarikan diri, ‘Tidak ada ketaatan dalam
kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang ma’ruf’.” (HR.
Al-Bukhari: 7257)
Demikianlah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya, bahwa mentaati
pemimpin dan pembesar kaum dalam rangka bermaksiat kepada Allah, akan
menggiring mereka ke dalam neraka-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala, wal ‘iyadzu
billah. Sehingga Rasulullah menegaskan bahwa ketaatan kepada makhluk hanya
boleh dalam hal-hal yang ma’ruf.
Jadi
pada situasi dan kondisi lainnya yang berbeda kelak, bila berhasil bersatu atau
mulai adanya gejala bersatu antara diluar sistem dan didalam sistem melawan
sistem itu maka sudah pasti akan ada fitnah orang buta dan tuli dari kebenaran
(gejalanya sih sudah muncul), disini bingungnya penulis untuk apakah penulis harus
menyampaikan cara-cara menyatukan 2 ijtihad berbeda (dalam sistem dan luar
sistem) berikut gerakan secara gambaran kasar, dimana ada fungsi berbeda yang
harus dikerjakan berbeda (tetap dalam koridor perjuangan masing-masing) dan ada
fungsi yang harus dikerjakan bersama (contoh bersatu sejenak dalam bilik suara,
menyatukan semua suara kepada partai berasas islam dan memenangkannya), berikut
dalil-dalilnya bahwa persatuan ini dapat terjadi walau terlihat diluaran ada 2
ijtihad berbeda atau menyembunyikannya dan membiarkannya berjalan apa adanya
karna faktor-faktor fitnah yang akan banyak terlihat untuk memecahkannya
kembali walaupun sebagian besarnya sudah terjabarkan dari 2 link ini (disini
pula Anda akan benar-benar melihat orang-orang yang akan keluar dari jamaah
kaum muslimin). Sedangkan bagaimana permasalahan menyangkut bagian sikap respon
permasalahan keluar dan bantuan keluar untuk umat islam dibelahan lainnya
bahkan masalah jihad fisabilillah itu sendiri masih dapat berjalan juga dari
persatuan 2 ijtihad dalam fungsi berbeda dan fungsi bersama ini tanpa merusak sambil
jalannya kondisi untuk menaklukan demokrasi dan memurnikannya di dalam negeri
sendiri juga tanpa memancing sikap progresif dari luar bahkan ia pun masih
dapat sesuai dengan kaedah bangsa, Pancasila dan UUD 45 juga pegangan sikap
politik luar negerinya, bila memang itu diinginkan selama belum perpindah jaman
ke lima.
Salim
A. Fillah mengatakan didalam Piyungan bahwa di dalam Pancasila, para bapak
bangsa, telah menitipkan amanah Maqashid Asy Syari’ah (tujuan diturunkannya
syari’at) yang paling pokok untuk menjadi dasar negara ini. Lima hal itu;
pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang diejawantahkan
dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun Nasl (Menjaga
Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia. Keempat Hifzhul
‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal
(Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Sambil
lalu: Mungkin 2-3 tahun lalu, waktu itu penulis karena rada suka membaca lalu memanfaatkan
kaedah-kaedah fiqh dan penjabaran pintu-pintu dalam dunia tasawuf beserta sifat
lahiria manusia dan penyakit hatinya untuk terjun ke dunia dagang (manfaat ini
bukan hanya untuk dagang, untuk pendidikan, untuk motivasi (pernah lihat sekali
di tv, Teguh Mario dengan cara penjabaran berbeda ia menjabarkan konteks
“sesuatu” yang sebenarnya itu juga adalah sudah ada tertuang dalam kaedah-kaedah
fiqh), untuk makar, hal duniawi lainnya dan bahkan untuk perang sekali pun
dapat dipakai, seperti kisah “Sam Kok” strategi perang Cukat Liang yang
berjilid-jilid tebalnya yang kemudian dijadikan strategi dagang Tionghoa) tapi
kehendak Allah SWT menutup semua teknis-teknisnya dan menyudutkan penulis
kearah pilihan menabrak dan menggunakan segala cara atau tidak sama sekali,
akhirnya penulis mundur dan tidak memakai segala cara, dan ternyata memang
arahan tujuan penulis bukan duniawinya tapi manfaat pelajaran dan pengalamannya
saja dari dunia lain tersebut. ini hanya sekedar ingin agar kalian tahu saja
mungkin ada faedahnya buat kalian. O ya, nah waktu itu, penulis berada di
Jakarta sengaja menjaring banyak investor, selama di Jakarta juga ada
kesempatan untuk bertemu salah satu seseorang yang juga diklasifikasikan dan
direkomondasikan “TOP”. Besoknya akan dikondisikan bertemu dan ke rumah Ayandaputra
(nama samaran) seorang anak jenderal di masa lalu, tapi emang nga sempat
ketemu, karena mendadak Ayandaputra keluar kota dengan jet-nya. Penulis awalnya
sih nga terlalu mikirin dan percaya begitu saja hal-hal cerita dibalik layar
dari seseorang “tionghoa berkaca mata (lupa namanya karena sudah malam dan
memang nga fokus ke ceritanya itu)” yang menceritakan Ayandaputra, tapi
beberapa waktu lalu namanya muncul di tv dan kemudian menghilang dengan
cepatnya. Baru kemudian penulis menyadari bahwa cerita anak didiknya dan
lingkup permainannya bisa jadi benar sesuai dengan beberapa nama-nama
tokoh-tokoh yang dikatakan dekat padanya di media dan tv (penulis hanya tahu
sampai disitu saja). Dari kisah ini, Penulis hanya berpikir tanpa strategi dan koordinir
baik dari perang bayangan dibalik layar, umat islam akan susah bangkit dari
keterpurukkannya.
Bagaimana
efek luas akan “berbondong-bondong mendekat” dari kekuasaan yang berada
ditangan sekuler ini maka maaf penulis tidak dapat menggambarkan secara detail
dan luas mencakup hal ini karena susah, ribet, dan banyak menghamburkan kata
untuk menyatukan seluruh puzzle script-scriptnya menjadi satu kesatuan bentuk aplikasi
gamenya. Silahkan Anda memikirkannya lebih detail sendiri untuk melihat
gambarannya dan juga melihat gambaran bagaimana konteks penjabaran seluruh
syariah pada jaman modern bisa membuat dunia sebenarnya sebagai ala surgawi.
Baru disitu Anda menentukan yang mana sebenarnya yang dinyatakan sebagai
meninggalkan mudharat namun ternyata hasilnya malah menghasilkan mudharat yang
jauh lebih besar dan lebih luas jangkauan efek akibatnya, menjadi diam atau
golput apakah akan lebih baik efek luasnya?.
Lalu
apa efek “berbondong-bondong mendekat” bila parpol islam yang memenangkan
kekuasaan maka daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb akan menguatkan dan
mengikuti syariah islam. Maka daya tekanan, paksaan, penyeimbang, kontroling,
dsb ala islami ini otomatis membuat dakwah akan makin bertaring dan bersuara
dan makin meluaskan lingkupnya seiring makin kuatnya daya tekan, daya paksa,
daya kontroling, dsb dari kekuasaan islam tersebut (lihat contoh model lain
seperti faedah perjanjian Hudaibiyah dan penaklukan Mekkah). Tugas menjadi
rahmat buat semua akan lebih mudah tercapai untuk dunia dan akhirat. Islam dan
syariah akan makin meluas efeknya.
Bila
keadaan seimbang, maka ia menjadi penyeimbang yang tangguh, saling tarik
menarik dan saling mewarnai, yang pasti rasa aman beribadah dan menyebarkan
dakwah masih bisa dimiliki juga masih bisa menyisipkan ruang-ruang syariah
untuk hidup merdeka.
Efek
“berbondong-bondong mendekat” bila parpol islam yang memenangkan kekuasaan maka
daya tekan, daya paksa, daya kontroling, dsb tersebut memuat kontrol sosial, ekonomi,
pendidikan, keamanan, peradilan, informasi dan media, dsb lebih baik, tekanan
untuk bermoral baik makin menjadi yang menjadikan bangsa bermartabat tinggi dan
juga daya paksa mengikuti syariah (undang-undang yang berlaku) makin tegas
dalam hukumnya, terutama budaya malu
akan makin menjadi lebih tinggi bernilai dan perlu diingatkan lagi ada
manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi
istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas. Begitupun kebalikkannya bila
sekuler berkuasa, terpaksa menjadi kebiasaan lalu menjadi adat atau budaya
berbau sekuler atau tercampurnya pemahaman dengan hal-hal sekuler. Terkait
paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw “Menangislah
kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR
Ibnu Majah). Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari
Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata
yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan
dari api neraka.
Beliau
shallallahu alaihi wa sallam sangat memahami saat terjadi fathu makkah bahwa
banyak diantara mereka yang berpura-pura masuk Islam, namun demikianlah
hidayah masuk ke hati seorang sedikit demi sedikit.
Dari Anas bahwa ada seorang yang
meminta kepada Nabi shallallahu alihi wa sallam kambing sebanyak (lembah)
antara dua bukit lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberinya kemudian
orang tadi mendatangi kaumnya seraya berkata, "wahai kaumku masuk
Islamlah, karena Demi Allah, Muhammad telah memberiku pemberian yang tidak
takut kefakiran." Berkata Anas, "Sungguh saat itu banyak orang yang
masuk Islam namun tidak menginginkan kecuali dunia, tetapi setelah berIslam
sungguh Islam lebih mereka cintai daripada dunia dan seluruh isinya."
( HR. Muslim)
Berkata Al Imam Ibnu Taimiyah rahimahulloh: "Maka kebanyakan manusia jika
masuk Islam setelah kekufuran atau dilahirkan di atas Islam dan menjalankan
syariatnya, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka adalah
muslimun yang memiliki iman secara mujmal/global. Akan tetapi masuknya
hakikat keimanan kepada hati mereka adalah terjadi sedikit demi sedikit
jika Allah memberikannya kepada mereka. Dan kebanyakan manusia tidak sampai
kepada derajat yakin dan jihad. Jika mereka ini dibuat ragu, niscaya mereka
ragu, jika diperintah jihad niscaya mereka tidak mau. Namun mereka ini bukanlah
Kafir dan bukan pula munafiq. Hanya saja mereka tidak memiliki ilmu dan
ma’rifah serta keyakinan hati yang membentengi dari keraguan, tidak pula mereka
memiliki kekuatan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mereka utamakan di atas
keluarga dan harta…" (Al-Iman 2/350)
Karena
itulah Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersama
umumnya kaum muslimin, menasehati mereka dan bersabar atas gangguan mereka.
Dari Muadz radhiyAllahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Wajib atas kalian untuk selalu bersama
umumnya kaum muslimin, jamaah serta masjid-masjid mereka" (HR.
Thabrany di Al-Mu'jam Al-Kabiir 20/164).
Anda
bisa berpikir atau memikirkan efek sebab-sebab dan akibat-akibat luasnya
terhadap 3 jenis perbedaan hasil “demokrasi” ini dan mengembangkannya lebih
lanjut.
…… 'Wahai
Rasulullah, lalu apakah selain itu?' Beliau menjawab, 'Jika Allah memiliki seorang khalifah di bumi ini, kemudian ia
menzhalimimu dan mengambil sesuatu yang menjadi hakmu, maka (tidak ada pilihan)
selain kamu harus menaatinya. Jika tidak, maka kamu akan mati sambil menggigit
batang pohon.' Lalu aku bertanya kepada beliau, 'Lalu apa lagi, wahai
Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Kemudian akan keluar Dajjal membawa sungai dan
parit-parit dari api. Barangsiapa terjatuh ke dalam parit api Dajjal tersebut,
maka ia akan diberi pahala dan dosa-dosanya pun akan diampuni. Dan barangsiapa
terjatuh ke dalam sungai yang dibawa Dajjal, maka ia berdosa dan akan diangkat
semua pahala kebaikannya'."
(Hasan: Ash-Shahihah (1791) Sunan Abu Daud
Untungnya
dan dapat dimanfaatkan di dalam sistem demokrasi yang “damai” ini, adanya
kesempatan atau dapat bertukarnya pemimpin kekuasaan selama lima tahunan dengan
cara-cara memanfaatkan status “damai” tadi juga, daripada “selalu mati sambil menggigit
batang pohon” Maka lebih baik berusaha agar tidak “selalu mati sambil menggigit
batang pohon” tersebut, yaitu dengan merespon dan ikut memproses
pergantian pemimpin atau bahkan subtansi-subtansi sistem sekaligus. Daripada
sifat pemimpinan tersebut ala diktaktor seumur hidup, maka hanya dapat
dilakukan dengan tanda kutip “bukan memulai” tapi memanfaatkan bila ada kejadian
terjadi kekacauan entah karena kudeta, revolusi atau reformasi, nah yang umum
ini akan menjadikan kemungkinan paling besar adalah pilihan jihad fisik.
Pertanyaannya, beranikah? Dan bagaimana kaedah-kaedah dan hukum-hukum syar’i
sudah sesuai kondisikah terhadap situasinya dan benarkah atau tidak? Bagaimana
persiapannya? Maka akan banyak hal lagi yang harus dibahas dan disimpulkan.
Kita mesti belajar lagi ilmu syari tentang bahasan ketaatan kepada penguasa
(baik dari kaum muslim, dari kaum munafik dari kaum syiah, maupun dari kaum
kuffar), Kata kuncinya : Jika penguasa itu tidak menghambat dakwah kaum
muslimin, maka kita taat kepadanya dalam hal kebaikannya, bukan hal
keburukannya, namun jika penguasa itu menindas sampai penindasan seperti di
suriah, bukankah ini yang dicita-citakan kaum muslimin, puncak keimanan
tertinggi perlawanan jihad fisabillah, mati diatas agama atau hidup mulia,
tentu saja pilihan yang dilihat dari faktor ketika awalnya damai atau tetap
adanya kedamaian yang berkedok tersebut dan atau ketika adanya terjadi kekacauan
berserta faktor lain-lainnya.
Pemberontakan
Terhadap Penguasa Dan Batasan-Batasan Syar'inya
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara permasalahan yang
sedang ramai dibicarakan ialah masalah hubungan antara rakyat dengan penguasa
serta batasan-batasan syar'i, berkenaan dengan hubungan ini. Syaikh yang mulia,
ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar
yang dilakukan oleh para penguasa merupakan alasan dibolehkannya melakukan
pemberontakan terhadap mereka. Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan
meskipun menimbulkan mudharat atas kaum muslimin di negeri itu.
Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa negeri Islam sangat banyak,
bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?
Jawaban.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanyalah bagi Allah semata. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti petunjuk
beliau. Amma ba'du.
Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya
"Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa : 59]
Ayat diatas menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri, yaitu umara' dan ulama.
Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa
mentaati waliyul amri dalam perkara ma'ruf merupakan kewajiban.
Nash-nash hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma'ruf
bukan dalam perkara maksiat. Mereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka
diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak
penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
"Artinya : Barangsiapa melihat
sebuah perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci
kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnnya. Sebab
barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu mati, maka ia mati secara
jahiliyah"
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam .
"Artinya : Seorang muslim wajib
patuh dan taat (kepada umara') dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara
yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat,
jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat".
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara
ma'ruf dan kemungkaran: "Wahai
Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? "Beliau menjawab:
"Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu".
Ubadah bin Shamit Shallallahu 'alaihi wa sallam menuturkan : "Kami memba'iat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya"
Beliau melanjutkan : "Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu
kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah
[Al-Qur'an dan As-Sunnah]"
Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan
memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata
dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih
parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan
terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak,
orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan
kacau. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata pada diri
penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an
dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan
menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak
memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika
pemberontakan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mereka tidak boleh
melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaidah syar'i yang disepakati
bersama menyebutkan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang
lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara
yang dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun menolak kejahatan
dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran
itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih
dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin
akibat kemarahan penguasa itu, maka mereka boleh melakukannya.
Adapun jika pemberontakan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang lebih
besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya
orang-orang yang tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah
barang tentu pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.
Dalam kondisi demikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam
perkara ma'ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendo'akan kebaikan
bagi mereka. Serta sungguh-sungguh menekan tingkat kejahatan dan menyebar
nilai-nilai kebaikan. Itulah sikap yang benar yang wajib ditempuh. Karena cara
seperti itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan
cara seperti itu juga dapat menekan tingkat kejahatan dan meningkatkan
kuantitas kebaikan. Dan dengan cara seperti itu jugalah keamanan dapat
terpelihara, keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih
besar lagi. Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum
muslimin.
[Disalin
dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil kitabi wa
sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam
Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-29 Terbitan Darul Haq, penerjemah
Abu Ihsan Al-Atsari]
Kesimpulannya:
Demokrasi dapat ditaklukan dengan dua cara, cara damai atau cara peperangan.
Cara ketiga, diam kemungkinan hampir-hampir tidak dapat sama sekali. Dalam
keadaan damai atau adanya perjanjian damai walaupun itu “keburukkan berkedok
kedamaian” atau ketika sekuler memimpin, maka kita taat walau terzhalimi, taat
pada hal kebaikan bukan pada hal keburukkan atau maksiat, tidak boleh patuh dan
taat jika diperintah berbuat maksiat, menjadikan syariah agama tetap sebagai
pegangan diri masing-masing, Allah SWT adalah pelindung dalam lingkup
“terbatasi” dan apa saja lingkup yang bisa dikerjakan dalam “pembatasan”
tersebut agar “tidak mati sambil menggigit batang pohon”, kalaupun diperintah dengan
pemaksaan akan maksiat, kita bisa menasehati dengan berbagai media atau dengan
menasehati dengan cara lebih kolektif (demo damai), kalau masih ditekan
pemaksaannya maka “lebih baik menolak sampai mati sambil menggigit batang pohon
daripada menuruti perintah orang buta dan tuli tersebut” atau secara soft
dengan contoh Kisah
Ammar bin Yasir yang mengatakan kata-kata kufur karena jiwanya teracam. Saat
hal ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada Ammar, “Bagaimana keadaan hatimu?” “Tenang dalam
keimanan”, Jawab Ammar. Beliau kemudian berkata, “Jika mereka kembali melakukan
hal itu, maka ulangilah perbuatanmu itu.” Kejadian ini menjadi sebab
turunnya firman Allah (yang artinya),“Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”
(An Nahl: 106).
Tergantung keutamaan pilihan dan kekuatan imam kalian. Dalam hal ini, bila
lebih dan sangat jauh yaitu bila sampai kepada melihat kekafiran yang nyata
pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah
(Al-Qur'an dan As-Sunnah) maka ia bisa membangun perlawanan fisik, walau wala
dan bara akan sangat lebih jelas tapi masalahnya cara ini tidak akan dapat
menyatukan banyak hati dan juga terbentur pada kemampuan kolektif dan
perhitungan penimbulan mudharat-mudharatnya juga kondisi “seakan-akan damai”
tadi, maka cara lembutnya bukan memulai tapi dengan memanfaatkan bila ada
terjadinya kekacauan terlebih dahulu entah akan disebabkan oleh apa nantinya
baru turut andil terjun langsung, maka bisa jadi ia akan mendapat sokongan
berlipat dari kelompok yang lain-lainnya, tidak menyalahi perjanjian “damai”
dan tidak menyalahi menimbulkan dahuluan mudharat akan dampak kerusakan
peperangan dan namun ketika jaman ini, ternyata sistem “kedamaian” ini dapat
beralih 5 tahunan sekali maka bukankah ada cara lebih mudah dan lebih kecil
efek mudharatnya untuk menjatuhkan sistem dan kepemimpinannya dengan cara-cara
damai pula. Lalu kenapa kau menghindar membantu saudaramu yang berjuang dalam
sistem? Dari masalah taat walau terdzalimi saja dan status “damai”, anda akan
terbentur berbagai sisi pendapat berbeda dari masing-masing kelompok islam,
dari penentangan keras hingga yang lembut kepada Anda. Tapi begitu Anda diam
saja tidak membantu, maka Anda juga terbentur dengan pembiaran “keburukan
berkedok damai” ini yang dengan halusnya akan sangat menggerogoti sendi-sendi
kekuatan umat dan bahkan lingkup dirimu pula. Cukupkah sampai disitu. Ternyata
tidak, mungkin Anda tidak tahu atau mungkin melupakannya pula bahwa merebut
kekuasaan itu sama dengan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) maka lihat
pula masalah penyikapan ghanimah ini, yang harus diingat adalah pemanfaatan
ghanimah ini, Anda akan mendapatkan wilayah dilengkapi dengan potensi-potensi
dan aset-aset potensialnya yang ada, untuk apakah itu? bisa jadi untuk
persiapan dimana kuda-kuda terbaik banyak datang pula darinya. Terserah Anda
mau mempersiapkan diri menjadi “apa-apa” atau tidak menjadi “apa-apa”. Penulis
cuma mengajak Anda membantu saudaramu menyokong mendapatkan suara, menyatukan
diri dalam bilik suara, lalu bila mau keluar maka keluarlah kembali ke jalur
Anda karena hal ini juga punya fungsi-fungsi pentingnya. Hal terpenting adalah bila
benar hal ini lah yang dimaksud adalah “keburukan berkedok kedamaian” maka kita
tahu, esok hari entah beberapa waktu lagi kita akan menuju babak yang lebih
puncak, puncak akan peralihan jaman menuju kekhalifahan akhir jaman maka bagaimana
sikap atau respon kita memanfaatkan perbedaan ijtihad ini menjadi satu kekuatan
utuh dan mengutuhkan bersama dengan mencari sebab-sebab perubahan yang syari
atau sebab-sebab peperangan yang syari. Ingatlah lebah selalu hidup dalam
koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan
masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri dan juga lebah tidak pernah
memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau
terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela
mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang.
“Mungkin masih ada
keraguan dengan pertanyaan: “Tapi faktanya Ikhwanul Muslimin di Mesir dibantai,
Mursi digulingkan, FIS di Aljazair dibantai sampai jatuh korban puluhan ribu
Muslim?” Jika situasi Mesir dan Aljazair dijadikan ukuran, itu konteksnya
berbeda. Di sana yang terjadi adalah kezhaliman, kelicikan, kejahatan terbuka
terhadap mekanisme kompetisi politik yang jujur dan damai. Sebagian orang
menggunakan cara kekerasan untuk menghancurkan kemenangan yang diperoleh
melalui kompetisi politik yang fair. Jadi dasar masalahnya bukan di
kompetisinya itu sendiri. Tapi pada orang yang ngeyel dan tak mau kalah secara
sportif, lalu memakai cara-cara kekerasan. Logikanya begini: Ada perlombaan
lari diikuti 10 orang pelari. Dari perlombaan itu diperoleh seorang pemenang
sebagai juara. Dia dapat piala. Tapi ada yang tak terima. Mereka menghajar sang
juara sampai babak belur, lalu piala di tangannya diberikan kepada pelari lain
yang kalah. Yang salah disini kan kezhalimannya, bukan kompetisi larinya”
Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa
yang memberontak kepada kami dengan senjata, maka dia bukan golongan kami” (HR.
Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)
Pen
: Bila umat islam (parpol berasas islam) menguasai kekuasaan di negeri ini lalu
keadaan seperti ini terjadi maka sama saja dengan menyatakan pembatalan piagam
jakarta yang dimaknai serupa perjanjian hudaibiyah, pembatalan status damai
karena itu seperti pernyataan memerangi karena agama dan pengusiran dari
kekuasaan kepada yang memenanginya dengan hak dan adil (nilai yang berlaku
universal) yang sesuai sistem yang ada, jadi akan ada kesempatan terbuka dari
kekacauan ini yang bisa dimanfaatkan yaitu jihad fisik dan bukankah ini yang
paling dicita-citakan mati sahid atau hidup mulia, kita tidak mencari atau
memulai kekacauan, tapi bila ada harusnya kita pula tidak lari darinya.
Silahkan membuka peluang meninggalkan demokrasi secara langsung dan mengarahkan
ke daulah islamiyyah dengan jihad fisabilillah karena kata “damai” telah
terhapus pada saat-saat seperti itu. Nah, kini ini adalah giliran aliran jihadi
sebagai garda terdepan atau pun mereka-mereka yang berkecimpung diluar sistem
karena lebih siap dengan ke-Umar-annya, namun jangan sampai malah ternyata
berada jauh dibelakang diluar pembatas garda belakang. Komitmentkah? Siapkah?
Kalau tidak ada yang memimpin, ya sudah balik “menggoakan” diri saja. Kita
tidak menerima kudeta jenis ini karena sifatnya, namun bila tidak dapat melawan
atau mau mengambil kesempatan melawan dan kemudian terjadi proses dari
kekacauan ini membalikkan damai kembali, mau tidak mau hasil kepemimpinan ini
harus ditaati, makanya sebelum itu, adanya peluang waktu terkecil itu dapat
dimanfaatkan dengan keberanian. Mungkin Anda akan berkata, apa ini tidak akan
menimbulkan mudharat lebih besar, maka ini kebalikkannya karena mengembalikan potensi
“keburukkan berkedok kedamaian” akan lebih berbahaya pada saat itu, karena
kekuatan umat akan benar-benar terjepit dan cara-cara “damai” akan sangat
lambat bergulir kembali ke permukaan seperti halnya sekarang, sebelum
kemenangan partai islam tadi, sebelum terlambat karena kekuatan umat akan
sangat-sangat tumpul nantinya dan butuh proses lebih panjang lagi nantinya.
Bila terjadi, pada saat itu diumumkan buat yang ingin berpihak kepada
siapa-siapa, lalu diumumkan pula untuk meminta yang tidak terlibat (pengungsi)
keluar dari kota-kota sementara ke tempat netral yang akan ditentukan kemudian
yang aman dari serangan agar menjauhkan mereka menjadi korban yang tidak perlu
karena pedang masih punya satu arah mata sedangkan bom dan peluru itu tidak
mempunyai mata yang tetap. Kalau senjata mah dengan sendirinya datang bakal
diberi sama militer beriman. Bila dengan hak, maka Allah SWT pun akan memberi
pertolongan seperti satu contoh kisah dari serangan drone-drone kepada pasukan
gajah (Qs. Al-fiil). Nah, setelah bersatu dalam bilik suara maka disini pula
ada fungsi dari yang berada diluar sistem sebagai kesatria mengawal dan menjaga
yang berada dan berjuang didalam sistem. Apakah kalian bisa melihat
masing-masing fungsi ini, kalau bisa melihat lalu kenapa tidak dapat bersatu?
Abu
Nu’aim meriwayatkan dari Abi Riqad bahwa ia berkata, “Mudah-mudahan Allah melaknat orang yang bukan dari golongan kami. Demi
Allah, hendaknya kamu sekalian memerintah
kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau kamu sekalian akan saling
membunuh, kemudian orang-orang jahat berkuasa atas orang-orang yang baik dan
akan menghabisinya sehingga tidak ada lagi orang yang berani melakukan amar
ma’ruf dan nahi mungkar, lalu kamu sekalian berdo’a tapi tidak dikabulkan
karena kedurhakaanmu.”
diriwayatkan
Al Harits dari Ali ra, bahwa ia berkata, “Hendaknya
kamu sekalian melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau kamu sekalian akan
dikuasai orang-orang jahat dari kamu dan kemudian ketika orang-orang pilihanmu
itu berdo’a, tidak dikabulkan.”
Coba
lihatlah dengan cara lain perihal tafsir tambahan ayat-ayat ini, kembangkan ke
sudut pandang lainnya untuk masa kekinian dan tidak menyalahi atau melangkahi
makna aslinya.
152. Dan
sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh
mereka dengan izin-Nya sampai pada sa'at kamu lemah dan berselisih dalam urusan
itu[237] dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu
apa yang kamu sukai[238]. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan
diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan
kamu dari mereka[239] untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah
mema'afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang
orang yang beriman.
[237].
Yakni: urusan pelaksanaan perintah Nabi Muhammad s.a.w. karena beliau telah
memerintahkan agar regu pemanah tetap bertahan pada tempat yang telah
ditunjukkan oleh beliau dalam keadaan bagaimanapun.
[238].
Yakni: kemenangan dan harta rampasan.
[239].
Maksudnya: kaum muslimin tidak berhasil mengalahkan mereka.
153. (Ingatlah)
ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang
berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah
menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan[240], supaya kamu jangan bersedih
hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu.
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[240].
Kesedihan kaum muslimin disebabkan mereka tidak mentaati perintah Rasul yang
mengakibatkan kekalahan bagi mereka.
154. Kemudian
setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk
yang meliputi segolongan dari pada kamu[241], sedang segolongan lagi[242] telah
dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap
Allah seperti sangkaan jahiliyah[243]. Mereka berkata: "Apakah ada bagi
kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?." Katakanlah:
"Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka
menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu;
mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur
tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di
sini." Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya
orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke
tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa
yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah
Maha Mengetahui isi hati.
[241].
Yaitu: orang-orang Islam yang kuat keyakinannya.
Sampai
dengan ayat 189, Qs. Ali 'Imran : 152-189, maka kalau mereka dan kalian alias
KITA bersatu, akan ada golongan yang keluar dari barisan kita, yang buta tuli
akan kebenaran.
Ada
juga penjabaran lainnya disini :
Yusuf
Qaradhawi mengatakan :
Pertama, sesungguhnya melakukan kebajikan
adalah salah satu kewajiban dan tugas yang harus diemban setiap muslim, karena
setiap muslim diperintahkan untuk selalu melakukan kebajikan seperti halnya
mereka diperintah untuk melaksanakan ibadah (mahdhah) dan jihad. Allah SWT
berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, ruku’, sujud
dan sembahlah Tuhan kalian, serta kerjakanlah kebajikan agar kalian menjadi
orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Haj: 77)
Kedua, sesungguhnya para fuqaha telah
bersepakat bahwa menghilangkan marabahaya dari setiap muslim seperti kelaparan,
kekurangan pakaian serta menghilangkan penyakit yang menimpa mereka, merupakan
sebuah kewajiban kolektif terhadap semua muslim. Jika seluruh umat Islam tidak
ada yang melakukannya, maka mereka semua berdosa. Dalam salah satu hadits
disebutkan,
“Beri makanlah mereka yang kelaparan dan
bebaskanlah mereka yang tengah kesulitan.” (HR. Bukhari)
Ketiga, sesungguhnya menyebarkan dakwah
tidak efektif dilakukan hanya dengan perkataan atau hanya dengan banyak menulis
berbagai buku atau makalah belaka. tetapi bersamanya harus dilakukan pula
aktivitas-aktivitas kongkrit yang mampu meningkatkan kecintaan terhadap Islam
dan para juru dakwahnya di tengah-tengah manusia. teori inilah yang banyak
dipraktekkan oleh para misionaris. Satu orang dapat mengkristenkan satu orang
lainnya, mereka mendirikan rumah sakit-rumah sakit, sekolah-sekolah, panti
asuhan serta berbagai klub yang mampu memikat masyarakat untuk bergabung dengan
agama mereka.
Keempat, sesungguhnya dakwah memiliki
beberapa target jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjang diantaranya
mendirikan negara Islam. Sedang jangka pendek, misalnya turut andil memberikan
kontribusi–kendati secara parsial–dalam memperbaiki masyarakat. Tentu saja
tujuan-tujuan tersebut satu sama lain tidak bertentangan tapi melengkapi.
Ibaratnya, seperti orang yang hendak menanam kurma dan zaitun. Kedua tanaman
tersebut tidak akan pernah berbuah, kecuali setelah beberapa tahun. Akan tetapi
seorang petani yang cerdas, adalah mereka yang mampu memanfaatkan lahan kosong
yang terdapat di antara pohon kurma dan zaitun tadi. Dimana mereka manfaatkan
untuk menanam tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dapat dipetik hasilnya dalam
tempo yang sangat singkat, seperti sayur-mayur. Dengan cara demikian, mereka
mampu mengoptimalkan tanah, kerja kerasnya tidak sia-sia serta waktunya
bermanfaat. Dimana mereka tidak hanya duduk dan berpangku tangan menjadi
seorang penganggur, hanya karena menunggu pohon kurma dan zaitun berbuah dalam
waktu yang sangat lama.
Kelima, dalam setiap kelompok,
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan
berbeda-beda. Ada yang pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam
berdakwah, yang lain tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi
sosial. Oleh sebab itu, kenapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat
agar semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan
beban mereka. Sedang Allah Taála akan menolong seseorang, selama ia mau
menolong saudaranya.
Allah
hanya menolong orang-orang yang telah menolongNya. Siapa yang menolong agamaNya
maka barulah Allah akan menolongnya. Ini merupakan suatu hukum yang
diundang-undangkan dalam bentuk syarat dan balasan, sebagaimana firmanNya,
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(Q.S. Muhammad: 7)
Pada
bagian lain Allah juga mengundang-undangkan perihal tersebut dalam bentuk
berita yang tetap, yang dikukuhkan dengan ‘laam al-qasam’ dan ‘nun taukid’
dalam firmanNya,
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa.” (Q.S. Al-Hajj: 40)
Dari
ayat-ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa orang-orang yang diberi
pertolongan oleh Allah ta’ala hanyalah orang-orang yang telah membela agamaNya
dan yang telah menegakkan kalimatNya. Pertolongan Allah ta’ala bisa diperoleh
bila kita mengundang-undangkan (menetapkan) syariatNya di tengah-tengah
makhluk-Nya. Jaminan perihal itu diungkapkan menyusul dalam uraian kualitas
orang yang membela dan dibela Allah ta’ala, yakni dalam surat Al-Hajj ayat 41,
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41)
Al-Quranul
karim juga mengutarakan bahwa pembelaan Allah itu hanya bisa diraih dengan
keimanan dan dengan menyiapkan diri menjadi pasukan Allah. Siapa yang beriman
kepada Allah dengan iman yang sebenarnya, berarti ia telah membela Allah ta’ala
dan sudah masuk menjadi pasukanNya.
“…dan Kami selalu berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar-Ruum: 47)
“…dan sesungguhnya tentara Kami Itulah yang
pasti menang,” (Q.S. Ash-Shaffaat: 173)
Kalau
ada sidang yang bersifat bukan rahasia negara sebaiknya sidang terbuka (*salah
satu cara mewujudkan budaya malu), biar warga kaya kami ini melek melihat, jadi
kita bisa melihat mana yang amanah dan mana yang tidak, mana yang mewakili dan
mana yang tidak, umpama sidang undang-undang miras misalkan, kita bisa melihat
kinerja langsung wakil-wakil yang menyatakan diri mewakili umat islam, juga
dapat pula memanfaatkan dari sifat-sifat dasar manusia tentunya tidak memakai
semua cara, harus dibatasi pada syariat, bisa saja mereka akan mendukungmu karena
faktor kesehatan, kriminalitas, saingan bisnis, kepentingan lainnya atau karena
amal yang ingin dilihat kalayak umum atau juga karena pengalaman pribadi dan
keluarganya, dsb. Pada saat yang sama diluar membuat daya tekan (karena bagian
menasehati penguasa kalau 1 atau 2 orang saja daya tekannya kurang untuk jaman
sekarang maka bisa secara kolektif menyampaikan nasehat, daya tekan dan daya tawarnya
tinggi seperti demo damai), bisa memanfaatkan dan membentuk opini publik, seperti
masalah kesehatan, kriminalitas, kecelakaan, dsb. Memperbanyak dakwah di mimbar
jumat dan majelis dakwah lainnya. Memperbanyak perbincangan dan pembuktian di
media dan jejaring sosial karena ada akses tak terbatas disana berdasarkan
fakta dan data, kalau photo-photo korban kan nga etis, jadi kisah-kisah saja bisa
dilihatkan, seperti penulis pernah melihat seorang teman digorok lehernya
dengan sesama teman minum, untung masih hidup tapi suaranya rusak, tawuran
karena minum sering lihatnya, ada juga akibatnya kematian, pernah melihat teman
hanya punya kulit pembungkus tulang hingga meninggal, teman yang meninggal
lainnya (kata teman lainnya, hatinya bolong-bolong), dan beberapa teman
lainnya, di tv kan banyak kejadian mati masal, trus pernah juga lihat teman
cwe, karena minum, ternyata minumannya malah menjadi bibit bayi alias
mengandung (kamu tertawa, ah… lucu ya…, berhenti tertawa diatas penderitaan
orang lain, bikin keras hati tau, penulis saja telah mengurangi hal ini, tuh di
tv berhambur hal-hal gini), dsb. bentuklah perulang-ulangan selalu untuk
mengalahkan sugesti dan hipnotis media seberang. Seperti sholat yang dilakukan
berulang-ulang. Kalau sekilas saja maka setan sangat pintar mengalihkan
perhatian orang awam, sih. Tentunya strategi dengan landasan syariat yang
benar. Qishash, membalas sama kaya diulang itu-itu juga jadinya. Kalau tidak
ada tanda kutip “lawan tanding bersama”, pakai dengan maksud untuk pembelaan
diri. (ketika tulisan ini direvisi kembali, membaca, rupanya CIA pun akhirnya
mulai pula turut bermain didunia media sosial dan juga mulai mencari
pengembangan software buat melacak untuk dunia sosial media :)). O ya, bijaklah
melihat hadis akhir jaman untuk suatu persoalan, seperti: tahukan ini adalah jaman
dimana yang amanah malah nga dipercaya dan yang khianat malahan dipercaya, maka
cross check, fahami dahulu dengan melihat sebanyak sudut pandang yang ada bisa
dilihat, lihat sisi-sisinya lainnya pula yang terlihat maupun yang tidak (terselubung), pengikut-pengikutnya,
fitnah-fitnahnya, sebab-akibatnya, dsb. Jadi Anda bisa melihat yang mana
terfitnah benaran (biasanya fitnah ini tidak kenal waktu, ada terus dan tidak
hanya ada pada “saat tertentu” dan diulangnya itu-itu saja dan dari tulisannya
terlihat sifat kebencian orang yang menulis (kebencian yang tidak syari, tidak
pada tempatnya baik dilakukan secara halus maupun kasar)) dan yang mana memakai
“fatamorgana” ini untuk sekedar pencitraan, seakan-akan terdzalimi ternyata
hanya kamuflase atau settingan saja, seakan-akan bersahaja berisi ternyata tong
kosong yang disetting berbunyi nyaring atau bagian tersembunyi b melakukan seakan-akan
serangan fitnah ke “b” untuk mendongkrak nilai “b” juga berarti “b” menampilkan
“action” seakan-akan “terlihat baik (settingan)” hanya sekedar mendongkrak nilai
“b” atau bagian tersembunyi b melakukan seakan-akan kebalikkannya mengaku
“sesuatu” yang dianggap jelek datang dari “a” ternyata fitnah untuk menjatuhkan
“a” berarti juga menyembunyikan “kebaikan” dari “a” agar orang salah tafsir akan
diri “a” jelek atau memakai kesemuanya sekaligus pula, juga memanfaatkan opini
umat untuk menghadapi umat atau agar awam terbelok tafsir/faham karenanya, ada
juga sebenarnya adalah sifat yang sebenarnya “menjengkelkan” yaitu adanya orang
yang bersebrangan, orang ketiga atau orang lain dengan kepentingan sesaatnya,
ideologinya atau duniawinya yang sengaja melempar bola liar atau bermanuver
dengan seakan-akan fitnah kiri dan kanan atau kebalikkan pembenaran kiri dan
kanan, semua jadi disamaratakan “jelek” atau disamaratakan “benar”, hingga
mengaburkan mana yang benar atau pula membiaskan mana yang sangat jelek dan
mana yang sedikit jeleknya dengan tujuannya adalah agar yang idealis (secara
universal) menjadi kebingungan lalu akhirnya apatis keseluruhan atau jadi asal
nyoblos dan hingga dapat menjauhkan mereka dari “sesuatu” agar “sesuatu” itu
lepas dari konsep “aspirasi” yang dengannya mengakibatkan “sesuatu” itu akan
selalu terbuka peluang untuk “memasukkan” kepentingan pihak-pihak itu, atau
berakibat “awam” menganggap semua sama saja “ada baiknya”, anehnya juga bila
sudah terjepit melihat “fenomena”, ada juga pihak-pihak ini, mengambil monuver
dengan memanfaatkan keinginan umat, sungguh kata-kata berbuih mulia keluar dari
mulut-mulut dan prilaku indahnya namun sayangnya tidaklah itu ia tempatkan pada
tempatnya karena lagi-lagi tujuannya bukan ibadah kepada Allah SWT tapi demi
kepentingan sesaatnya dari kaum-kaumnya terhadap keduniawian bagaikan sifat
musang berbulu domba, manusia akan berpura pura dengan akhlak dan perbuatan mereka.
Pelaku kebatilan dan memusuhi kebenaran namun dibungkus dengan mendukung kebajikan,
di"cemari" dan di"kotori" hanya untuk
"pencitraan" dan sebagai alat "jual" politik di depan
ratusan juta pemirsa. Semoga Allah selalu melindungi kita semua dengan hidayahnya....aamiiin
yaa rabbal alamiin.... 204. Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. 205. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia
berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman
dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan[130].
[130]. Ungkapan ini adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha menggoncangkan
iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan pengacauan. (QS Al-Baqarah 204-205).
Pernah baca sebuah hadis yang sampai saat ini belum ketemu lagi referensinya,
dimana isinya tentang beberapa prilaku baik dari “kaum kafir atau mungkin kaum
bani israel”. Prilaku baik yang tidak dilandasi tauhid yang benar, mungkin bila
awam melihat kebaikan itu akan mudah mengecohkan awam itu.
Yang
paling mudah adalah melihat pengikutnya, koalisinya, akar rumputnya atau teman-temannya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual
minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau
kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Dan seorang pandai
besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak
sedap” (HR Bukhari dan Muslim)
“Seseorang itu berada pada agama teman
karibnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah yang
dia jadikan teman karibnya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian
bersama para shadiqin.” (QS. At-Taubah [9] : 119)
“Dan sabarkanlah dirimu beserta orang-orang
yang menyeru Rabbnya di waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya,
dan janganlah kamu palingkan wajahmu dari mereka hanya karena kamu menghendaki
perhiasan dunia, dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang telah Kami lalaikan
hatinya dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya
sangat melewati batas.” (QS. Al-Kahf [18] : 28)
Pen : revolusi mental, wahh… hallooooo…
darimana saja kemaren-kemaren! …dst. (penulis bukannya bermaksud ingin
menghakimi setiap orang yang bisa jadi dan mungkin saja memang ada yang “baru”
mau berubah menjadi lebih baik, tapi hal ini agar dicermati dahulu, penulis
menyampaikan “nada seperti itu” agar yang mendengar tidak salah tafsir atau
tersugesti dan penulis sengaja melempar atau mengajak memikirkannya atau
mempertimbangkannya terlebih dahulu, maka hal yang dimaksud diatas itu, apakah
itu malahan berisi perubahan mental masih berbentuk sekuler satu ke sekuler
lainnya ataukah menuju perubahan yang lebih islami atau menuju maslahat yang
lebih bersyariat, ntar malahan hanya dan alias sekedar pencitraan lagi atau
bertujuan tertentu dan pula untuk perubahan mental itu harus dimulai dari diri
sendiri si pembuat pernyataan dan juga lingkup lingkungan cakupan dirinya),
juga sebagai contoh nyata, bilakah salah satu subtansinya seperti memasukkan
nilai “budi pekerti” pada setiap bidang-bidang ilmu pendidikan maka sebagai
muslim yang diperhatikan apakah yang terhakiki yang dimaksud itu adalah
berkisah atau bernilai filosofi atheis, filosofi sekuler, mitologi, kisah
israliyat, dsb atau kisah-kisah kehidupan seperti Romeo and Juliet, kisah hidup
ilmuan dimana kisahnya sarat dengan hal tidak islami, dsb. Jadi unsur budi
pekerti yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan dari perubahan cara pandang filosofi
kehidupan ini dan dari nilai “kisah” yang dijadikan sebagai masukkan rujukan
budi pekerti itu. Bagi seorang muslim bila keadaan salah satu jenis subtansinya
bernilai hal ini sama saja menambah adanya fitnah ilmu. Secara universal memang
masih ada sisipan nilai budi pekerti secara universalnya, masalahnya bila tidak
diarahkan dan dijelaskan dalam bahasan kearah syariat dan islam, hal budi
pekerti ini akan terkontaminasi menjadi budi pekerti universal saja, bukan
menjadikan bernilai akhlak bertauhid. Bukan pula penulis melarang adanya
“kisah-kisah” seperti itu karena memang tidak bisa dihentikan atau dilarang
adanya didunia tapi ia juga harus punya penyeimbang terhadap pandangan agama. Orang
yang cerdas akan faham maksud pernyataan ini, benar pula bahwa tidak boleh
berburuk sangka atau bergunjing dan sampai harus mengadakan kebohongan hanya
untuk sekedar pembelaan, masalahnya bila diam saja, bagaimana dengan
penyampaian kabar dan peringatan dan harapan agar orang lain ikut terbangun dan
sadar tercerahkan. Kita diam, lawan lalu berbicara semaunya, kita berusaha
membela diri dengan cara syari, lawan memutarbalikkannya dengan berbagai cara.
Kita menyampaikan fakta dianggap fitnah, padahal yang fitnah yang blowup
pencitraan duluan. Dianggap atau diopinikan tidak beretika tapi berisi fakta
dan dalil, dianggap atau diopinikan beretika ternyata dusta, bukankah kejam
bila didiamkan saja hingga orang lain yang diharapkan tercerahkan malah ambigu
hingga jadi apatis dan malah menjadi tidak memahami agamanya atau menjadikan
kebenaran atau kejelakan menjadi bias dan tersamarkan, lalu bagaimana
perimbangan dakwah akan peringatan dan kabar gembiranya?
Jadi
bagaimana kabar dan peringatan sampai tanpa mengandalkan emosi semata dan tanpa
mengadakan kebohongan atau pergunjingan tentunya kita juga memakai
kaedah-kaedah syar’i pada agama. Kami faham percuma menyampaikan kabar dan
peringatan pada orang yang buta dan tuli tapi bukankah diluar sana ada orang
lain juga yang mendengar atau membacanya yang mungkin saja sedang beranjak
menuju yang hak atau ia tidak mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya karena
belum sampai padanya perihal tersebut atau ia terkaburkan oleh sugesti
media/public figure. Kami membenci prilaku buruk dibaliknya, dan Anda kan orang
yang cerdas yang akan faham dengan cara penyampaian data dan fakta dan dalil
untuk memberikan kabar dan peringatan yang sesuai syariat dan untuk
menempatkannya pada tempatnya yang pas/benar maka maafkanlah dan ingatkanlah
yang tidak tahu atau berlebih-lebihan menyampaikan pembelaan dan manfaatkanlah
sebagai anugrah dengan adanya hal pembelaan seperti tersebut (karena mungkin
saja mereka terbawa emosi, tidak faham batasan syari-nya, pengalaman buruk atau
sesuatu yang memang ia tahu kebenarannya namun cara penyampaiannya dengan cara
buruk karena emosi, tidak pandai bicara atau menulis, ingin terlihat “wah”, dsb),
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa ifki adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa
yang dikerjakannya, dan barangsiapa diantara mereka yang mengambil bahagian
yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar”. [An
Nur : 11]. Kita juga
sebenarnya tidak tahu pembelaan beremosi tinggi atau demi kepentingannya apakah
ini anugrah atau bencana, sebab ada yang belum tentu buruk dan ada yang memang
buruk dan juga sebab kadangkala pembelaan dengan emosi berlebih ini atau demi
kepentingannya juga dijadikan rujukan orang lain/lawan tanding atau membangun
faham perlawanan balik versi kedua, ketiga, dst dari orang lain/lawan tanding
bahwa begitulah keadaan keseluruhan kelompoknya (lawannya) yang tentu saja
merupakan paragdigma diantara benar dan salah, karena bisa jadi ada penyusupan
kelawan untuk membuat keruh dan bias penyampaian kebenaran, kurang faham cara
penyampaian dakwahnya, awam, emosi, dsb. Diatas dijelaskan bahwa ada golongan
kita membawa fitnah dan ada golongan lawan membawa fitnah dan ada juga pihak
yang tidak kita ketahui lahirnya juga membawa serupanya. Sebab pula kita tidak
tau apa yang tersembunyi atau apa modus sebenarnya sebelum kita benar-benar
mempertimbangkannya dengan dasar ilmu dan iman. Namun dari semua itu, yang
paling benar atau lebih utama adalah membela agama dan menegakkan kalimatNya,
ketika kita telah melihat hal ini telah jelas, jadi sebagai bagian umat islam yang
benar-benar harus dibela adalah kepentingan agama islam dan umatNya.
Bagaimanapun
ada keberhasilan di hari-hari capres ini, akhirnya dimana-mana terutama di
sosial media kita dapat melihat tersingkapnya berbagai macam topeng-topeng,
tersingkapnya cara-cara pencitraan-pencitraan, tersingkapnya berbagai macam kepentingan-kepentingan,
tersingkapnya permusuhan-permusuhan, tersingkapnya selimut-selimut, banyaknya tersingkap
berbagai teknik nan cerdik dan penuh tipu daya terhadap strategi dan makar demi
kepentingan. Banyak hikmah yang dapat kita petik dan banyak pengajaran yang
mencerahkan yang dapat kita raih. Tentu sesuatu yang akan berguna untuk esok
hari, dan hal ini juga akan mengubah jalan dimasa mendatang yang lebih “melek”,
bagaimanapun kejadian, amunisi, perang model itu akan terus berlanjut dihari
depan, dan media-media pun akhirnya akan ada penyeimbangnya. Mereka lupa satu
hal dalam perang pemikiran bahwa umat islam punya pengajian-pengajian,
mimbar-mimbar dan sekarang pun ada media-media sosial gratis yang mencakup
lingkup luas yang dapat dipakai atau dimanfaatkan pula sebagai sarana dakwah,
saling menasehati dan saling memberikan pencerahan. Setiap sarana tentu sesuai
dengan tujuan, daripada media-media sosial ini hanya dipakai untuk tujuan yang
tidak bermanfaat saja.
Bahayanya
penyebar berita palsu (fitnah)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
sering mendengar berita yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang kadang isu kecil
di perbesarkan dalam berita yang diedarkan atau sebaliknya. Kadang kadang
berita itu berkait dengan kehormatan seseorang muslim. Bagaimanakah sikap kita
terhadap berita yang belum tahu kebenarannya dan bersumber dari orang yang
belum kita ketahui kejujurannya?
Dalam naskah berikut ini, penulis
menjelaskan kepada kita, bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
berita-berita yang belum jelas kebenarannya itu.
Allah berfirman, maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al
Hujurat : 6].
Dalam ayat ini, Allah melarang
hamba-hambanya yang beriman percaya kepada berita angin. Allah menyuruh kaum
mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua
berita itu benar, dan juga tidak semua berita yang disampaikan ada faktanya.
Ingatlah, musuh-musuh kamu senantiasa mencari kesempatan untuk menjatuhkan
kamu. Maka wajib atas kamu untuk selalu berwaspada, hingga kamu boleh kenal
pasti orang yang hendak menyebarkan berita yang tidak benar.
Allah berfirman, maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”
Maksudnya, janganlah kamu
menerima (begitu saja) berita dari orang fasik, sebelum kamu periksa, teliti dan
mendapatkan bukti kebenarannya.
(Dalam ayat ini) Allah
memberitahu, bahwa orang-orang fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia
dusta, akan tetapi kadang kala ia juga benar. Karena, berita yang disampaikan
tidak boleh diterima dan juga tidak ditolak begitu saja, kecuali setelah
diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti, maka diterima dan jika tidak, maka
ditolak.
Kemudian Allah menyebutkan illat
(sebab) perintah untuk meneliti dan larangan untuk mempercayai berita-berita
tersebut. Allah berfirman.
“Agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya”.
Kemudian nampak bagi kamu kesalahanmu dan kebersihan mereka.
“Yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” [Al
Hujurat : 6]
Terutama jika berita tersebut boleh menyebabkan punggungmu kena rotan.
Maksudnya isu yang kamu bicarakan boleh mengkibatkan kamu kena hukum had, seperti
qadzaf (menuduh) dan yang sejenisnya.
Sesungguhnya semua kaum muslimin
perlu menghayati ayat ini, untuk di baca dan renungi, lalu beradab dengan adab
yang ada padanya. Betapa banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang
disebarkan orang fasiq yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa
yang terbunuh, harta yang terampas, kehormatan yang terkoyak, akibat berita
yang tidak benar! Berita yang dibuat oleh para musuh Islam. Dengan berita itu,
mereka hendak menghancurkan persatuan umat Islam, dengan menyemarakkan dan
mengobarkan api permusuhan diantara umat Islam.
Betapa banyak dua saudara,
berpisah disebabkan berita bohong! Betapa banyak suami-isteri berpisah karena
berita yang tidak benar! Betapa banyak bangsa bangsa, dan kumpulan kumpulan,
parti parti, jemaah jemaah dan negara negara saling memerangi, karena tertipu
dengan berita bohong!
Allah Azza wa Jalla Yang Maha
Lembut dan Maha Mengetahui, telah meletakkan satu kaedah bagi umat ini untuk
memelihara mereka dari perpecahan, dan membentengi mereka dari pertikaian, juga
untuk memelihara mereka dari api fitnah.
Tetapi sayang tidak ada satu pun
masyarakat muslim yang bebas dari orang-orang munafiq yang memendam kedengkian.
Mereka tidak senang melihat kaum muslimin berbaik-baik menjadi masyarakat yang
bersatu dan bersaudara.
Wajib atas kaum muslimin untuk
berhati-hati dan berwaspada dengan musuh-musuh mereka. Dan hendaklah kaum
muslimin mengetahui, bahwa para musuh mereka tidak pernah tidur (tidak pernah
berhenti) merancang tipu daya terhadap kaum muslimin. Maka wajiblah atas mereka
untuk senantiasa waspada, sehingga boleh mengetahui sumber kebencian, dan
bagaimana rasa saling permusuhan dikobarkan oleh para musuh.
Sesungguhnya keberadaan
orang-orang munafiq di tengah kaum muslimin dapat menimbulkan bahaya yang
sangat besar. Akan tetapi yang lebih berbahaya, ialah keberadaan orang-orang
mukmin berhati baik yang selalu menerima berita yang dibawakan orang-orang
munafiq. Mereka membuka telinga lebar-lebar mendengarkan semua ucapan orang
munafiq, lalu mereka berkata dan bertindak sesuai dengan berita itu. Mereka
tidak peduli dengan bencana yang bakal menimpa kaum muslimin akibat percaya
kepada orang munafiq.
Al Qur’an telah mencatatkan buat
kita satu bencana yang pernah menimpa kaum muslimin, akibat dari sebagian kaum
muslimin yang mengikuti orang-orang munafiq yang dengki, sehingga boleh
mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang sebelum kita.
Bacalah Surat An Nur dan
renungilah ayat-ayat penuh barakah yang Allah ucapkan tentang kebersihan Ummul
Mukminin ‘Aisyah dari tuduhan kaum munafiq. Kemudian sebagian kaum muslimin
yang jujur terikut ikut menuduh tanpa meneliti bukti-buktinya. Allah berfirman
: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa
ifki adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu
buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya, dan barangsiapa diantara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu,
baginya adzab yang besar”. [An Nur : 11].
Ifki maksudnya ialah berita
bohong. Dan ini merupakan kebohongan yang paling jelek.
“Janganlah
kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu”. [An Nur
: 11].
Tidak semua perkara-perkara itu boleh dinilai hanya melalui zahirnya saja.
Karena terkadang kebaikan atau nikmat itu datang dalam satu bentuk yang
kelihatannya menyusahkan. Diantara kebaikan (yang dijanjikan Allah buat
keluarga Abu Bakar), ialah Allah menyebut mereka di malail a’la. Dan Allah
menurunkan beberapa ayat yang boleh dibaca mengenai keadaan (keluarga Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu).
Dengan turunnya ayat ini, maka
hilanglah mendung dan tersingkaplah kegelapan itu. Lenyap sudah gunung
kepedihan yang berlegar dalam kalbu Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
suaminya, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahandanya.
Sebagaimana juga hilangnya kepedihan si penuduh, iaitu seorang shahabat yang
jujur Shafwan bin Mu’atthil.
Kemudian ayat selanjutnya mengajarkan
kepada kaum mukminin, bagaimana menyikapi berita.
Allah berfirman: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita
bohong itu, orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap
diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ”Ini adalah suatu berita
bohong yang nyata.” [An Nur : 12].
Wahai kaum muslimin, inilah
langkah pertama yang harus engkau lakukan, jika ada berita buruk tentang
saudaramu, yaitu berhusnuhan (berperasangka baik) kepada dirimu. Jika engkau
sudah husnuzhan kepada dirimu, maka selanjutnya kamu wajib husnuzhan kepada
saudaramu dan (menyakini) kebersihannya dari cela yang disampaikan. Dan engkau
katakan, “Maha Suci Engkau (Allah), ini
merupakan kedustaan yang besar”. [An Nur : 16].
Inilah yang dilakukan oleh
sebagian shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika sampai berita
kepada mereka tentang Ummul Mukminin.
Diceritakan dari Abu Ayyub, bahwa
istrinya berkata,”Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan
banyak orang tentang Aisyah?” Abu Ayyub menjawab,”Ya. Itu adalah berita bohong.
Apakah engkau melakukan perbuatan itu (zina), hai Ummu Ayyub? Ummu Ayyub
menjawab,”Tidak. Demi Allah, saya tidak melakukan perbuatan itu.” Abu Ayyub
berkata,”Demi Allah, A’isyah itu lebih baik dibanding kamu.”
Kemudian Allah berfirman : “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu. Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang
dusta”. [An Nur : 13].
Inilah langkah yang kedua, jika
ada berita tentang saudaranya.
Langkah pertama, mencari dalil
yang bersifat batin, maksudnya berhusnuzhan kepada saudaranya. Langkah kedua
mencari bukti nyata.
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti”. [Al Hujurat : 6].
Maksudnya mintalah bukti
kebenaran suatu berita dari si pembawa berita. Jika ia boleh mendatangkan
buktinya, maka terimalah. Jika ia tidak boleh membuktikan, maka tolaklah berita
itu di depannya; karena ia seorang pendusta. Dan cegahlah masyarakat agar tidak
menyampaikan berita bohong yang tidak ada dasarnya sama sekali. Dengan
demikian, berita itu akan mati dan terkubur di dalam dada pembawanya ketika
kehilangan orang-orang yang mau mengambil dan menerimanya.
Seperti inilah Al Qur’an mendidik
umatnya. Namun sayang sekali , banyak kaum muslimin yang tidak konsisten dengan
pendidikan ini. Sehingga jika ada seorang munafik yang menyebarkan berita
bohong, maka berita itu akan segera disebarkan di masyarakat samada melalui
percakapan atau melalui media termasuk melalui internet tanpa periksa dan
meniliti kebenarannya. Dalam hal ini Allah berfirman.
“(Ingatlah)
di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut”.[An Nur
: 15].
Pada dasarnya ucapan itu diterima dengan telinga, bukan dengan lisan. Akan
tetapi Allah ungkapkan tentang cepatnya berita itu tersebar di tengah
masyarakat. Seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut ke mulut tanpa melalui
telinga, dilanjutkan ke hati yang memikirkan apa yang didengar, selanjutnya
memutuskan boleh atau tidak berita itu disebarluaskan.
“Kamu
katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. [An
Nur : 15].
Allah mendidik kaum mukminin
dengan adab ini. Mengajarkan kepada mereka cara menghadapi berita serta cara
membanterasnya, sehingga tidak tersebar di masyarakat. Setelah itu Allah
mengingatkan kaum mukminin, agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Allah juga mengingatkan mereka, agar tidak menyertai bantu para
pendusta penyebar berita bohong. Allah berfirman.
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. [An
Nur : 17].
Kemudian Allah menjelaskan,
membantu para pendusta bererti mengikuti langkah-langkah syaitan. Allah
berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti
langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji dan yang mungkar”. [An Nur : 21].
Dalam ayat selanjutnya Allah
menerangkan, lisan dan semua anggota badan lainnya akan memberikan kesaksian
atas seorang hamba pada hari kiamat. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan dan
kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Pada hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut
semestinya, dan tahulah mereka, bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang
menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)”. [An Nur
23-25].
Wahai para penyebar berita palsu (fitnah)! Wahai para pendusta! Hai orang yang
tidak senang melihat orang mukmin saling berbaik-baik sehingga dipisahkan! Hai
orang yang tidak suka melihat kaum mukmin aman! Hai para pencari aib orang yang
baik! Tahanlah lidahmu, karena sesungguhnya kamu akan diminta
pertanggungjawaban kata-kata yang engkau ucapkan. Allah berfirman: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan,
melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. [Qaf : 18].
Tahanlah lidahmu! Jauhilah
perbuatan bohong dan janganlah menyebar fitnah! Janganlah menuduh kaum muslimin
tanpa bukti, dan janganlah berburuk sangka kepada mereka! Seakan-akan aku
dengan engkau, wahai saudaraku, berada pada hari kiamat; hari kerugian dan hari
penyesalan. Sementara para seterumu merebutmu. Yang ini mengatakan “engkau
telah menzalimiku”, yang lain mengatakan “engkau telah menfitnahku”, yang lain
lagi mengatakan, “engkau telah mengaibkanku”. Sementara engkau tidak mampu
menghadapi mereka. Engkau mengharap kepada Rabb-mu agar menyelamatkanmu dari
mereka, namun tiba-tiba engkau mendengar.
“Pada
hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada
yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”. [Al
Mukmin : 17].
Lalu engkaupun menjadi yakin dengan neraka. Engkau ingat firman Allah: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad)
mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang
dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada
waktu itu mata (mereka) terbelalak” [Ibrahim : 42].
Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan semoga Allah memberikan taufik
dan hidayahNya.
Oleh DR Abdul Azhim Al Badawi
[Diterjemahkan dari majalah Al
Ashalah, edisi 34 tahun ke VI]
Ghibah
yang Dibolehkan
Menceritakan ‘aib orang lain
tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah
artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat
pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang
lain.
Adapun dosa ghibah dijelaskan
dalam firman Allah Ta’ala, “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing
satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam
kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang
lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu
siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga
tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az
Zujaj.”
Asy Syaukani rahimahullah kembali
menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia
itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan,
begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan
agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah
adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang
melakukan ghibah.”
Adapun yang dimaksud ghibah
disebutkan dalam hadits berikut, Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang
tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut
engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya
ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa
yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya
(menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka
berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no.
2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Ghibah dan menfitnah (menuduh
tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan
yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang
lain adalah sebagai berikut:
- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa
atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah
menzalimiku.”
- Meminta tolong agar dihilangkan dari
suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran
tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu
menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan
kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti
seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan
demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
- Mengingatkan kaum muslimin terhadap
suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
- Membicarakan orang yang terang-terangan
berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan
pada masalah lainnya.
- Menyebut orang lain dengan sebutan yang
ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan
yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Dan semua itu dijelaskan oleh
Imam An-Nawawi dengan dalil. Silahkan merujuk ke Riyadhushshalihin. Dimaksud
oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada
kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan
ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin,
apalagi ia mendapat backingan dari non muslim maka sudah barang tentu kaum
muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan adalah yang benar ada
pada dirinya atau yang ada pada kelompok-kelompoknya dan bukanlah memfitnah
yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.
Dari Aisyah bahwa ada seorang
yang meminta izin (bertamu) kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam
beliau berkata ; dia adalah seburuk-buruk
orang, namun ketika telah duduk, Nabi shallallahu alaihi wasallam bermuka manis
dan berlemah lembut kepadanya. Ketika orang itu telah pergi maka Aisyah berkata
Wahai Rasulullah, ketika engkau pertama
kali melihatnya engkau mengatakan demikian dan demikian, namun (saat duduk
bersamanya), engkau bermuka manis dan berlemah lembut kepadanya, maka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "wahai Aisyah kapankah
engkau pernah mendapatiku sebagai seorang yang bejat akhlaknya. Sesungguhnya
seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang
dijauhi manusia karena takut dari gangguannya." (Muttafaq alaih)
Apakah nabi berbuat ghibah?
Cerdaslah berpikir.
Pengaruh
besar para pendukung atau pembisik terhadap kebijakan seorang presiden, yang
baik maupun yang buruk, sebagaimana dalam hadits shahih riwayat Bukhori :
Tiada ada seorang
dinobatkan sebagai khalifah, kecuali baginya dua Bithonah (Pembisik, Penasehat
dan Orang Dekat) Bithonah yang memerintahkan kebaikan dan memotivasinya untuk
melakukan kebaikan, dan Bithonah memerintahkan keburukan dan memotivasinya
untuk melakukannya, yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah. (HR Bukhori : 6611).
Dakwah
itu tidak melulu harus ngaji, Membuka kebenaran juga dakwah. Memberi pencerahan
juga dakwah, Membela orang yang kena fitnah itu wajar kok, yang bersifat
memburuk-burukkan dan fitnah harus diclearkan, termaksud pencitraan yang
bertujuan untuk kepentingan duniawi juga harus diclearkan. Membela agama dan
kepentingan umat adalah lebih-lebih lagi.
Andaikata
seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya
menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan
menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada
orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT, tidak ada yang mengajak untuk
taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Sampaikanlah walau
satu ayat yang bila itu kau tahu makna/hakiki/tujuan kebenarannya.
Sebaik
apapun kita, tentu ada kurangnya. Sesungguhnya Allah tak meminta kita menjadi
insan serba sempurna tanpa cacat dan cela. Allah hanya meminta kita menyadari
kesalahan, bertaubat dan selalu berusaha lebih baik daripada sebelumnya. Kita pun
harus berani melihat kelemahan kita, penyakit-penyakit yang ada dibadan kita,
baru bisa kita kuat, baru bisa kita bangkit. Kita diri sendiri pun pula
tetaplah harus selalu instropeksi diri juga.
Dan barang siapa yang
berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (Q.S.Thaha .123)
Musim kampanye, musim serba
mendadak. Mendadak sholat, mendadak sorban, mendadak jilbab, mendadak ke
pesantren, makin FPI kostumnya, padahal FPI dituduh terus. Ketika semua dipaksa
untuk kepentingan kampanye, akhirnya banyak yang gak pada tempatnya. Agama
dipolitisasi untuk kepentingan duniawi saja bukannya kepentingan duniawi
dipolitisasi untuk keberlangsungan agama dan dakwanya.
Ngapain repot, tetap juga cari
duit, makan, ….dsb juga diri sendiri saja yang lakuin kok. Nga ngaruh tuh
politik-politikan. Enak dan tidaknya peraturan dibuat oleh kebijakan, banyak
dan tidaknya alur pekerjaan difasilitasi atas nama kebijakan, naik dan turunnya
harga dikontrol atas nama kebijakan, nyaman dan tidak nyamannya sarana dan
prasarana publik dibangun dengan nama kebijakan, siapa yang bilang itu tidak
mempengaruhi setiap individu yang ada dalam rana/lingkup kebijakan tersebut.
Cerdaslah berpikir. Dasarnya adalah kepentingan-kepentingan bisa pribadi,
kelompok, atau ideologi, maka buat yang cerdas berpikir, solusi terbaiknya
memang cuma terkumpul di dalam syariat-syariat islam.
Membuat persepsi dan image butuh
waktu dan konsistensi. Begitupun sebaliknya, merubah persepsi atau image juga
membutuhkan waktu. Di sini dapat disimpulkan bahwa image merupakan sesuatu yang
butuh proses dan waktu. Pertanyaan selanjutnya mengapa image begitu penting?
Image jelas penting, karena dengan image inilah yang memudahkan konsumen
melakukan tindakan yang merupakan gabungan antara alam bawah sadar
(subconscious mind) dan alam sadar konsumen (conscious mind).
Dalam buku (How Customer Think by
Gerald Zaltman) disebutkan bahwa pikiran, emosi dan pembelajaran konsumen 95%
terjadi di alam bawah sadar dan hanya 5% yang berasal dari alam sadar. Nah
fenomena merek dagang bernama 'sesuatu' terus menerus disematkan ke alam bawah
sadar manusia dan mencoba dikendalikan atau disebut 'mind control'. Meskipun
dengan berbohong, semua dilakukan demi mencapai tujuannya. Bahkan penelitian
HerbertKrugman menyatakan bahaya #kartelmedia di televisi, orang tua harus
mewaspadai apa yang disebut program #MindControl -Pengendalian Pikiran.
Dari penelitian HerbertKrugman
dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi meskipun hanya 30 detik namun
efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta (analitis / kesadaran) menjadi
gelombang Alfa (tidak kritis / mudah diarahkan). Sebagai orang tua, sejenak
anda bayangkan kalo anak anda nonton bioskop selama 90 menit atau konser musik
selama 2 jam? Atau banyak remaja dan pria paruh baya menghabiskan berjam-jam di
depan layar komputer untuk melihat situs porno! Bisa anda bayangkan bagaimana
menurunnya sikap atau apatisnya mereka pada isu-isu keagungan akhlak Islam? Akhirnya
stigma fitnah yang dibangun justru menguntungkan pihak lawan agar publik tidak
usah berpikir neko-neko, cukup duduk manis nonton TV nya sambil mengucapkan prihatin.
Tak hanya televisi, kita perlu
filter yang baik dan melakukan pendampingan pada tayangan video di youtube
bahkan sampai ke aplikasi game atau apps lainya di bb, android dan ipad
anak-anak kita. Daniel L. Schacter, Professor dan Ketua Psikologi dari Harvard
University mengatakan bahwa “kita
berpikir bahwa iklan yang sekilas yang kita lihat tidak mempengaruhi kita dalam
melakukan penilaian terhadap suatu produk. Tapi penelitian menunjukkan bahwa
orang cenderung membeli produk yang diiklankan dan padahal itu merek yang baru dilihat sebelumnya/baru saja ada
iklannya – ini terjadi bahkan ketika mereka tidak mempunyai eksplisit memori
setelah melihat iklan tersebut”.
Pengaruh
Serangan Masif Media sebagai Mind Control
Penelitian Herbert Krugman
menyatakan bahaya gelombang media yang secara masif memberitakan hal yang sama
(kartelmedia) misalnya dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi
meskipun hanya 30 detik namun efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta
(analitis / kesadaran) menjadi gelombang Alfa (tidak kritis / mudah di
arahkan). Pesona akan “sesuatu” yang dijual/diimagekan terus menerus diciptakan
agar mengganggu alam bawah sadar kita agar mudah di arahkan. Akhirnya stigma
yang dibangun justru menguntungkan pihak lawan agar publik tidak usah berpikir
neko-neko, cukup duduk manis nonton TV dan tercuci pemikirannya karena
'serangan bawah sadar tersebut'.
Jadi jika berbicara image kita
tidak bisa lepas dari kata memori. Dan secara teori memori bisa dibagi menjadi
2 yaitu explicit memory dan imlicit memory. Di mana explicit memory adalah
proses mengingat yang kita lakukan secara sadar sedangkan implicit memory itu
terjadi tanpa kita sadari. Dan dalam penelitian menunjukkan bahwa implicit
memory ini lebih lama dibanding memori yang disimpan secara tradisional. Dan
implicit memory inilah yang merupakan kekuatan tersembunyi dari suatu iklan.
Ayo kembali waras, Tolak
kebohongan publik media bayaran. Banyak kalangan menilai ada ketidakwajaran
pada popularitas dan bak 'jin ifrit' yang selalu saja tampil di media tanpa ada
rasa lelah. Semua media siap sedia mengabadikannya meski sedang membersihkan
sepatu. Inilah solusi instant tingkatkan popularitas. Banyak pemberitaan akan
“sesuatu” sudah tidak relevan dengan aslinya. Hingga "Masa sepatu robek
saja diberitain, hal remeh temeh yang tidak ada kaitannya," katanya.
Dibutuhkan perimbangan perulang-ulangan berita melawan hipnotis media agar ada
pencerahan berkelanjutan.
“Saya
pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis
Islam Bersatu yang tahu peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua
orang media sudah tahu, dia dipersiapkan oleh media. “kok tahu!”. “Ya iyalah,
kita sudah tahu planning tim sukses di balik layarnya.”. “Setiap yang
ditampilkan di TV itu ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit tahu cara
olahannya di dapur, yang banyak memakai bahan pemanis, pewarna buatan yang
berlebihan, makanya kita nggak makan.” Rasanya beda enak banget, eh
jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan ya, tidak cepat basi, jangan-jangan
pakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam, mungkin pakai pewarna
tekstil. Kalau beli sayur jangan memilih yang terlalu bagus, mungkin pakai
pestisida dan pupuk kimia berlebihan, pilih saja yang agak kena ulat. Terlalu
murah, jangan-jangan curian, atau jangan-jangan imitasi. Terlalu menggiurkan,
jangan-jangan terjebak investasi bodong.
Baru
masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa
ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban
tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main,
mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat,
sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya
yang diblowup besar-besaran?
Jangan
remehkan keganjilan meski tak seberapa, bisa jadi ada sesuatu yang besar
dibaliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya, ada yang
tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya. Tak mesti curiga, tapi
waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar bukan rekayasa. Daripada
hebat, tapi akting.
Kita
hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita
bisa terkecoh, kita bisa saja salah dalam menganalisa, bisa keliru dalam
mengambil keputusan. Tetapi kita punya hati, agar menggunakan akal sehat
semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja, cermati proses di dapurnya.
Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka. Meski bukan yang terbaik,
tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya,
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Berpikir ulang akan risiko. Karena produk
itu terlalu baik, membuat saya ragu memilih produk tersebut.”
Dan kalau Kami
menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar
dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal
mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan
kamu. (QS
Muhammad: 30).
Imam
Ibnu Katsir memaknakan لَحْنِ الْقَوْلِ lahn al qaul adalah
apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan atas maksud-maksud
mereka, (dimana) pembicara difahami dari kelompok mana dia dengan makna-makna
dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahn al qaul.
(Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).
Imam
al-Baghawi menjelaskan, (Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari
kiasan-kiasan perkataan mereka) artinya: sesungguhnya engkau (Muhammad)
mengenal mereka dalam hal yang mereka kemukakan berupa peremehan dan
penyepelean terhadap urusanmu dan urusan Muslimin, maka setelah ini tidaklah
seorang munafik pun berbicara di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali beliau mengetahui (maksud sebenarnya) lantaran perkataannya, dan
mengetahui cara mengambil bukti kejahatannya dengan (memperhatikan) esensi pembicaraannya.
(Tafsir Al-Baghawi QS Muhammad: 30).
Secara
mudahnya, walaupun tampaknya yang dikatakan (oleh siapapun yang di dalam hatinya
ada yang disembunyikan mengenai Islam) itu ke kanan, namun bagi yang
mengerti –sesudah mengenal permainan kata atau silat lidahnya– maka akan
mengerti bahwa sejatinya esensi dari perkataannya itu adalah ke kiri.
"Propaganda
adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi,
memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan (publik) untuk mendapatkan
reaksi yang diinginkan penyebar propaganda." (Garth S. Jowett and Victoria
O'Donnell, Propaganda And Persuasion)
"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang
diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya (menganggapnya sebagai
kebenaran)." (Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada zaman Hitler)
Kita
dapat membalas serupa Qishash dengan menyebarkan data, fakta dan dalil
berulang-ulang pula dimedia-media yang kita sanggup menggapainya, sebagaimana
sholat yang berulang-ulang dapat menghapus perbuatan keji dan mungkar,
harapannya sifat keji dan mungkar dari media-media silibis yang rata-rata
mainstream utama dikuasai mereka akan ada penyeimbangnya, agar “melek” bersama dapat
terwujud.
Perang Asimetris
Oleh
Gia Juniar Nur Wahidah
Apa itu perang
asimetris?
Itu
yang pertama kali melintas dalam pikiran
saya ketika membaca judul file presentasi Prasetyo Sunaryo. Pertanyaan
berikutnya yang muncul adalah, jika ada perang asimetris maka ada pula perang
simetris, lalu apa perbedaan di antara keduanya?
Karena
didorong oleh rasa penasaran itulah maka saya mulai membaca slide-slide
berikutnya. Walaupun banyak sekali istilah yang tak saya pahami di sana, namun
di sini saya akan mencoba untuk membagikan apa yang saya dapatkan.
Perang
dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu perang simetris dan perang asimetris.
Perang simetris merupakan bentuk perang konvensional, perang seperti yang pada
umumnya kita pahami. Perang simetris atau perang konvensional umumnya terjadi
karena adanya pemaksaan kehendak yang tidak dapat diselesaikan dengan cara
damai atau diplomatik. Aktor dari perang jenis ini adalah negara. Sementara itu
perang asimetris merupakan perang yang penyebabnya berasal dari perebutan
wilayah kaya sumber daya alam atau aset strategis lainnya. Aktor dari perang
ini bisa negara atau pun non negara. Jika dulu kita mengetahui seringkali
terjadi jenis perang simetris, seperti Perang antara Romawi Barat dan Timur, Perang
Salib, perang di Vietnam, perang Jerman Barat-Jerman Timur, Perang Pasifik,
Perang Korea, dan banyak perang lainnya, maka hari ini jenis perang ke dua
inilah yang kerap kita jumpai.
Pada
dasarnya perang asimetris adalah perang antara dua pihak dengan kekuatan yang
tidak seimbang (David & Goliath) dengan pola yang tidak beraturan dan
bersifat tidak konvensional. Masing-masing pihak berusaha untuk mengembangkan
taktik dan strategi untuk mengeksploitasi kelemahan lawannya dalam mencapai
kemenangan. Perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan
dari cara-cara berfikir yang tidak lazim, dan diluar aturan-aturan peperangan
yang berlaku, dengan spectrum perang yang sangat luas, terbuka dan mencakup seluruh
aspek-aspek kehidupan. Terminologi perang asimetris, digunakan untuk membedakan
dengan perang konvensional, dimana musuh yang dihadapi jelas, aktornya negara,
yang didukung oleh pasukan dengan aturan yang jelas dan peralatan militer yang
dibolehkan oleh konvensi internasional. (DRN, Komtek Hankam, 2007)
Terjadinya
perubahan bentuk perang dari simetris ke asimetris terjadi karena perang dengan
menggunakan senjata (hard power), yang menggunakan ukuran penghancuran kekuatan
militer lawan, sudah dianggap tidak efektif. Maka digunakanlah cara baru dalam
berperang yaitu menggunakan soft power, antara lain : Cultural Warfare, Economic & Financial Warfare dan Information
Warfare yang berfungsi membangun suatu persepsi tertentu yang diinginkan
oleh lawan. Korporasi dan NGO dapat merupakan bentuk tentara baru dalam perang
asimetris (Kiki Syahnakri, 2007).
Selama
satu setengah abad terakhir ini, korporasi telah berusaha dan mendapatkan hak
untuk mengeksploitasi SDA yang ada di dunia dan hampir diseluruh ranah usaha
manusia. Dari sisi pandang korporasi, masih ada satu hambatan besar yang masih
menghalangi korporasi untuk megendalikan semuanya yaitu yang dikenal
“lingkungan/wilayah publik”. Pada dua dekade ini, korporasi berusaha dengan
gigih menghilangkan apa saja yang dianggap rintangan olehnya. Melalui proses
yang dikenal sebagai privatisasi, maka sebagian “wilayah publik” telah
berpindah tangan menjadi wilayah korporat. Dengan berjalannya waktu, korporasi
semakin mendikte keputusan yang seharusnya digariskan oleh pihak yang
seharusnya mengawasi mereka di pemerintahan dan telah mulai mengendalikan
bidang-bidang masyarakat yang sebelumnya melekat pada wilayah publik (res
publica). Artinya pemegang kekuasan/kendali di masyarakat secara de facto tidak
tunggal lagi, seperti pemerintah, tetapi sudah menjadi multi aktor (Joel Bakan,
2004). Inilah yang menyebabkan aktor pada perang asimetris bias dari negara
ataupun non negara.
Jelaslah
bahwa hari ini kita sedang menghadapi perang modern yang bertujuan untuk
menghancurkan kekuatan suatu bangsa dengan merusak nilai-nilai budaya, merusak
moral sehingga selanjutnya bangsa tersebut dalam kondisi “self-destruction”.
Perang
modern di hari ini sudah jelas merupakan perang asimetris dan kekuatan di kedua
belah pihak tak seimbang. Satu pihak kekuatannya menghaegemoni dan pihak lain
tak berdaya. Indonesia hari ini—sadar atau pun tidak—sedang terkepung dalam
perang ini. Di satu sisi Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang
merupakan magnet berbagai pihak yang ingin menguasai pengeksploitasiannya. Di
sisi lain Indonesia juga merupakan Negara muslim terbesar di dunia, yang jika
sumber daya manusianya berkualitas, maka akan berpotensi besar memimpin dan
menguasai dunia—suatu kondisi yang tak pernah diinginkan oleh musuh-musuh
Islam.
Mari
kita tengok perkembangan ekonomi, tercatat bahwa pada tahun 1967 nilai 1 US
Dollar setara sekitar 90 Rupiah di Indonesia, dan nilai 1 US Dollar setara
sekitar 20 Bath di Thailand. Di tahun 2007 tercatat nilai 1 US Dollar setara
sekitar 9000 Rupiah di Indonesia, dan nilai 1 US Dollar setara sekitar 40 Bath
di Thailand. Dengan turunnya nilai rupiah sebesar sekitar 10.000 % dalam kurun
waktu 40 tahun, sementara di Thailand, nilai baht hanya turun sekitar 100%,
maka bias diduga, bahwa di Indonesia telah terjadi proses pemiskinan
sistematik. Apakah keadaan tersebut bukan berasal dari sebuah produk perang
asimetri? (Bambang Ismawan, 2008). Sebuah fakta tak terelakkan yang menunjukkan
bahwa memang Indonesia sedang dalam kemelut perang asimetris.
Lalu bagaimana cara memengkan perang asimetris
yang terwujud dalam modern ini?
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d : 11)
Jika
kita lihat kembali tabel di atas, ada tiga perang yang dikobarkan di perang
modern ini, yaitu mind-war,
knowledge-war, dan values-war. Maka untuk memenangkan perang modern, kita
harus menang dalam ketiga perang tersebut.
Pengertian
Perang
asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir
yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum
perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara
trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra -ideologi,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan
peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang
tidak seimbang.
Rujukan
lain menyatakan, “Asymmetric warfare” can describe a conflict in which the
resources of two belligerents differ in essence and in the struggle, interact
and attempt to exploit each other’s characteristic weaknesses. Such struggles
often involve strategies and tactics of unconventional warfare, the “weaker”
combatants attempting to use strategy to offset deficiencies in quantity or
quality. Such strategies may not necessarily be militarized.This is in contrast
to symmetric warfare, where two powers have similar military power[citation
needed] and resources and rely on tactics that are similar overall, differing
only in details and execution.
Strategi
Dalam
perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun
kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga
strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga
dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang
asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan
musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa
taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara lain:
1.
One side can have a technological advantage which outweighs the numerical
advantage of the enemy; the decisive English Longbow at the Battle of Crécy is
an example.
2.
Technological inferiority usually is cancelled by more vulnerable
infrastructure which can be targeted with devastating results. Destruction of
multiple electric lines, roads or water supply systems in highly populated
areas could have devastating effects on economy and morale, while the weaker
side may not have these structures at all.
3.
Training and tactics as well as technology can prove decisive and allow a
smaller force to overcome a much larger one. For example, for several centuries
the Greek hoplite’s (heavy infantry) use of phalanx made them far superior to
their enemies. The Battle of Thermopylae, which also involved good use of
terrain, is a well known example.
4.
If the inferior power is in a position of self-defense; i.e., under attack or
occupation, it may be possible to use unconventional tactics, such as
hit-and-run and selective battles in which the superior power is weaker, as an
effective means of harassment without violating the laws of war. Perhaps the
classical historical examples of this doctrine may be found in the American
Revolutionary War, movements in World War II, such as the French Resistance and
Soviet and Yugoslav partisans. Against democratic aggressor nations, this
strategy can be used to play on the electorate’s patience with the conflict (as
in the Vietnam War, and others since) provoking protests, and consequent
disputes among elected legislators.
5.
If the inferior power is in an aggressive position, however, and/or turns to
tactics prohibited by the laws of war (jus in bello), its success depends on
the superior power’s refraining from like tactics. For example, the law of land
warfare prohibits the use of a flag of truce or clearly marked medical vehicles
as cover for an attack or ambush, but an asymmetric combatant using this prohibited
tactic to its advantage depends on the superior power’s obedience to the
corresponding law. Similarly, laws of warfare prohibit combatants from using
civilian settlements, populations or facilities as military bases, but when an
inferior power uses this tactic, it depends on the premise that the superior
power will respect the law that the other is violating, and will not attack
that civilian target, or if they do the propaganda advantage will outweigh the
material loss. As seen in most conflicts of the 20th and 21st centuries, this
is highly unlikely as the propaganda advantage has always outweighed adherence
to international law, especially by dominating sides of any conflict.
6.
As noted below, the Israel-Palestinian conflict is one recent example of
asymmetric warfare. Mansdorf and Kedar outline how Islamist warfare uses
asymmetric status to gain a tactical advantage against Israel. They refer to
the “psychological” mechanisms used by forces such as Hezbollah and Hamas in
being willing to exploit their own civilians as well as enemy civilians towards
obtaining tactical gains, in part by using the media to influence the course of
war.
Pada
sisi lain terdapat tipologi strategi ideal yang digunakan dalam perang
asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1.
Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct
attack dan barbarism.
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct
defense dan guerrilla warfare strategy.
Tingkat
Keberhasilan
Berdasarkan
data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan
tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang
bermain:
Terlihat
bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor perang
asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih
tinggi. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang
asimetris dalam menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa
saja terkalahkan dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.
Bagaimana di
Indonesia?
Indonesia
sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara,
dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh
nyata adanya perang asimetris di Indonesia. Strategi ini tergolong murah tanpa
mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang
asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media
dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan
lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru
untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang
kombinasi juga sering digunakan. Jadi hard power dan soft power digunakan
secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh
perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan
Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap
kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari
non-konvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin
perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya
yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya. Alasan
awalnya adalah NFZ, tapi itu sesungguhnya kedok untuk mencapai tujuan
sebenarnya.
Sejarah
perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung AS
dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah
indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia,
TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan
ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta
yang bersekongkol dengan AS. Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan
dapat masuk kewilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya.
Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan
terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah
indonesia. Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini,
Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy” sehingga strategi
konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS
yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan kawasan masih bisa di
turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia. Jadi cukup dengan strategi Asimetris
saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi,
kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Seperti
yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa
dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang
asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak
hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan
sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan
senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas
28/3/2011)
Wamenhan
mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran
utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa
sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa.
Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk
upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan
menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena
saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti
Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia
sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris.
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus
melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan
lainnya.
Seorang
pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris,
Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang
sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama
adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. Seperti diketahui, di
Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa
(kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu
kota. Bahkan setengah dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat
menjadi ancaman disintegrasi. Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi,
desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata
Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari
sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak
berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara
dan agama. Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The
Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah
pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun
sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak
berkutik, yaitu terorisme ideologi.
Pakar
lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare
Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi
terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi
semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus
dapat menjadi senjata perusak. “Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke
lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di
kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya. Ia mencontohkan
ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak
di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah.
Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan
negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang
lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan
perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi
perekat kesatuan Soviet.
Apa yang Harus Kita
Lakukan?
Fahami
lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum
semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin
banyak bergentayangan. Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya
keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan
negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun. catatan
oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (dosen akademi angkatan udara).
Ghazwul Fikri
Disadari
atau tidak, kini kaum kuffar dan munafiqin secara gencar dan sistematis
berupaya keras mengeliminasi Islam supaya tidak berkembang dan berupaya pula
menghancurkan umat Islam dari dalam. Program eliminasi dan penghancuran ini
terangkum dalam program Al-ghazwul-fikri (perang pemikiran) yang mereka
rencanakan.
Dalam
bukunya, Pengantar Memahami Al-ghazwul-fikri, Abu Ridha menyatakan,
Al-ghazwul-fikri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari uslub qital (metode
perang) yang bertujuan menjauhkan umat Islam dari agamanya. Ia
adalah penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan
penyerbuan mereka terhadap dunia Islam.
Paling
tidak, ada empat hal yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri.
Pertama, Tasykik, yakni gerakan
yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin
terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus menerus menyerang (melecehkan)
Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Kedua, Tasywih yakni gerakan yang
berupaya menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya,
memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di
kalangan umat Islam. Di sini, mereka melakukan penyesatan dan pencintraan
negatif, tentang agama dan umat Islam lewat media massa dan lain-lain,
sehingga Islam terkesan menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya.
Ketiga, Tadzwib, yakni pelarutan budaya
dan pemikiran. Disini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan
pencampur-adukan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam,
sehingga umat Islam yang awam kebingungan dengan pedoman hidupnya.
Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan”
dunia Islam, mendorong Kaum Muslimin agar menerima pemikiran dan budaya Barat,
seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, nasionalisme dan lain sebagainya.
Keempat
hal tersebut di atas, dirasakan atau tidak, kini telah banyak mempengaruhi ucap,
sikap dan perilaku kaum Muslimin dalam meniti kehidupannya.
Tak
sedikit, di antara saudara seiman kita yang terperdaya oleh program ini. Kini,
di hadapan kita terbentang banyak tantangan. Muncul bermacam aliran pemikiran,
paham dan gerakan dari kaum kafirin dan munafiqin yang
berupaya keras meracuni jiwa tauhid kita. Bahkan lebih dari itu,
kaum kafirin dan munafiqin saling bahu membahu melakukan
aksi pemurtadan dengan berbagai cara, dari mulai yang paling halus dengan
iming-iming dan kedok Kemanusiaan hingga memaksa banyak umat Islam dengan cara
kasar, brutal disertai penganiayaan untuk meninggalkan Islam.
“Dan tiada
henti-hentinya mereka memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama
kalian, jika mereka mampu…,” [QS.
Al-Baqarah: 217]
Seiring
dengan itu, gerakan sekularisme berskala global pun sedang berupaya
keras mengenyahkan syariat Islam dari kehidupan kaum Muslimin. Penguasa
negara-negara kapitalis
yang notabene kaum Salibis dan Zionis, rela
mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam
jurang sekularisme yang mereka tawarkan.
Allah
berfirman: ”Mereka berkehendak memadamkan
cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir
tidak menyukai,” [QS. At Taubah: 32]
Saat
ini pula, kaum kuffar tak henti-hentinya memunculkan
isu “terorisme”, sebagai isu utama (main issue) atau isu
sentral. Sasaran kampanye anti-“terorisme” itu sebenarnya sangat
mudah dipahami oleh kita. Sasarannya tiada lain adalah kekuatan Islam.
Tegasnya, umat Islam yang berupaya menerapkan syariat Islam dan menyerukan
jihad melawan kezaliman kaum kafir bersiap-siaplah mendapat
label “teroris”.
Kampanye anti-“terorisme” hakikatnya
merupakan bagian dari ghazwul fikri, yakni invasi, serangan, atau
serbuan pemikiran dengan tujuan mengubah sikap dan pola pikir agar sesuai
dengan yang mereka kehendaki. Dalangnya (Zionis) dan antek-anteknya berupaya
secara sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai
ancaman yang sangat menakutkan.
Semakin
jelas kiranya, pada era global sekarang, medan perang utama Islam vis a
vis kaum kafirin dan munafiqin adalah ghazwul
fikri, selain medan perang konvensional seperti yang terjadi di
Afghanistan, Palestina, Suriah, Kashmir, dan lain-lain.
Senjata
utama kemenangan dalam perang pemikiran ini adalah media massa, yang terbukti
sangat efektif mempengaruhi pola pikir, pemahaman, dan perilaku masyarakat.
Karena itu, pihak yang lemah dalam bidang penguasaan media massa akan menjadi
pihak yang kalah perang.
Ringkasnya,
siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai dunia, karena ”The
new source of power is information in the hand of many” (sumber utama
kekuasaan yang baru adalah informasi yang menyebar kepada banyak orang (opini
publik). Opini yang terus-menerus melalui media massa bisa menentukan yang
jahat (batil) menjadi benar (hak) dalam persepsi masyarakat atau sebaliknya.
Sarana
paling efektif dari ghazwul fikri yang dibarengi dengan ghazwuts
tsaqofi (perang peradaban/budaya) adalah media massa, termasuk di
antaranya radio, televisi, internet, suratkabar, tabloid, majalah, buku,
buletin, selebaran dan lain sebagainya.
Dalam
dunia komunikasi ada istilah populer, “Siapa yang menguasai informasi, dialah
penguasa dunia”. Memang, telah menjadi pendapat umum bahwa siapa yang menguasai
informasi, dialah penguasa masa depan. Sumber kekuatan baru masyarakat ialah informasi
yang dierikan/dijatuhkan ketangan banyak orang dan uang di tangan segelintir
orang yang memainkan peran besarnya
Kaum
Zionis Yahudi memang tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mereka dengan sangat
lincah menguasai sarana media massa dalam ‘perang pemikiran dan
perang kebudayaan’ yang serba canggih itu sekaligus merekrut menjadi pemiliknya.
Dalam bukunya berjudul ‘Bahaya Zionisme terhadap Dunia Islam’, Dr Majid Kailani
mengajak kita untuk mau membaca sekaligus mewaspadai strategi mereka dalam
menghadapi abad Informasi yang tercantum dalam Protokolat Zionis XII yang
isinya:
“Peran apakah yang
dapat dimainkan oleh media massa akhir-akhir ini? Salah satu di antaranya
adalah untuk membangkitkan opini rakyat yang keliru. Hal ini dapat
membangkitkan emosi rakyat. Kadang juga bermanfaat guna mengobarkan konfrontasi
antar partai politik, tentunya akan banyak menguntungkan
pihak kita. Apalagi saat mereka sedang bertikai, kesempatan baik bagi kita
untuk mengadu domba. Namun dengan media massa, kita juga dapat memakainya
sebagai ajang persahabatan semu yang kebanyakan orang tidak mengerti kesemuan
itu. Kita akan mengendalikan peran media ini dengan
sungguh-sungguh. Sastra dan pers adalah dua kekuatan yang amat
berpengaruh. Oleh karena itu kita akan banyak menerbitkan buku-buku kita dengan
oplah yang besar.”
Menurut
Dr Majid Kailani, memang Zionis amat suka menyuguhkan berbagai pemberitaan yang
menimbulkan umpan emosional di segala bidang. Atau juga banyak menimbulkan
kebangkrutan moral pembacanya. Berbagai jenis media massa dalam strategi Zionis
dibagi menjadi tiga bagian yang setiap bagiannya berperan sesuai dengan
perannya, seperti tercantum dalam Protokolat Zionis XII yang isinya:
“Media
pertama, kita jadikan sebagai media yang resmi, yakni media yang selalu
siap membela kepentingan rakyat. Dengan strategi ini mata rakyat akan
terkibuli. Media yang kedua, kita jadikan semi-resmi, yang
berkewajiban menetralkan setiap oposisi yang hendak mengobarkan api permusuhan
atau pemberontakan. Sedang media ketiga, bertugas sebagai media yang
berpihak menjadi oposisi semu. Di dalam berita utamanya harus menampakkan sikap
konfrontatif. Dengan memasang perangkap semacam itu, akan bermunculanlah
orang-orang yang berwatak oposisi menjadi kolomnis yang gigih dan banyak
menantang. Maka kerja kita tinggal mencatat mereka ke dalam ‘Daftar Hitam’
kita.”
Sebenarnya, Ghazwul
Fikri bukanlah hal baru bagi kalangan gerakan Islam, namun mungkin karena
kurangnya persiapan dan minimnya ‘peralatan perang’ masih jauh tertinggal
dibanding dengan sarana ghazwul fikri yang dimiliki
kaum kuffar dan munafiqin, utamanya televisi. Minimnya
dana, kurang profesionalnya pengelola, dan lemahnya manajemen biasanya menjadi
penyebab utama lemah dan hancurnya sebuah media massa Islam.
Kini
tiba saatnya, kaum aghniya (orang-orang kaya) untuk lebih disadarkan
dalam jihad al mal (jihad harta). Dan, dana Infak (zakat &
shadaqoh) pun diberdayakan lebih optimal, khususnya untuk membekali para da’i
dan mujahid terjun ke medan perang/ghazwul fikri.
Kaum
Muslimin, khususnya kalangan mudanya juga harus terus membekali diri
menghadapi ghazwul fikri ini dengan bermodal iman, ilmu, wawasan dan
keterampilan jurnalistik untuk bertempur di medan media massa. Sekaligus
memerangi kaum penyesat ajaran Islam melalui keterampilan menulis di media
massa.
Betapapun
gencarnya Zionis Yahudi dan Salibis setiap hari mengendalikan pikiran kita
melalui gambar dan kata-kata, namun semua itu tidak menjadikan kita lupa untuk
mengambil langkah bijak dengan check and recheck, tabayun dalam
setiap menerima informasi.
Allah
berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” [QS. Al
Hujuraat: 6]
Mengenal Mind
Control – dengan editan
Mungkin
sebagian besar dari kita sudah memahami apa itu mind control. Kebanyakan orang
mengaitkan mind control dengan cuci otak untuk bisa mengendalikan otak
seseorang lewat sebuah subliminal message. Secara umum ada dua jenis mind
control. Yang pertama adalah Public mind control dan yang kedua adalah
Eksclusive mind control.
Public mind control adalah jenis
mind control yang mudah kita lihat saat ini. Media mainstream adalah contoh
dari public mind control. Media mainstream adalah media yang sudah dikenali
banyak orang seperti televisi (seperti METROTV, SCTV, TRANSTV, dll), media
cetak (majalah, tabloid, koran, dsb), internet (lebih kearah web-web
mainstream). Mari kita lihat faktanya sekarang, kita sangat membutuhkan
informasi yang diberikan oleh yang saya sebutkan diatas kan saat ini? Nah,
disini letak yang sangat bagus dan dimanfaatkan untuk menyebarkan mind control.
Media mainsteram diatur hanya untuk memberikan informasi-informasi yang perlu
diketahui oleh masyarakat saja. Terutamanya semisal contoh untuk mem-public
figure-kan seseorang demi kekuasaan maka dibuat pencitraan, dari dulu ini
terulang-ulang, nah baru sekarang ada keseimbangan ketika kita ramai-ramai
menjadi penyeimbang dimedia-media sosial. Karena itu, kita tidak akan mendapatkan
informasi yang jujur dari media mainstream yang ada “kecondongan” atau
diharuskan “condong”, karena sesuai kepentingan “dapur” untuk menyembunyikan
kebenarannya, dan hanya menampilkan yang terbaik walau bisa saja bertentangan
dengan aslinya udang dibalik batu atau sengaja diactorkan selalu baik,
disetting diulang-ulang, dibumbui rupa-rupa, diberi jenis macam-macam wewangian
dan kadang juga ditambah dengan diprakarsai untuk strategi mendzalimi diri
sendiri, tujuannya juga untuk menambah efek blowup dari pencitraan. Bila Anda
memahami cara kerja sugesti atau hipnotis maka seperti itulah teknik yang
dipakai.
Kita
ambil contoh yaitu ungkapan opini untuk sugesti “iklan dia adalah kita”, selalu
“kita” lama-lama akan terjadi pembenaran, iya, dia adalah kita, jadi kita
adalah dia. Dia selalu benar, nga ada salahnya, yang salah orang lain, pemda
lain, faktor alam (takdir Tuhan juga disalahi), dsb…., ini akan hilang dari
pertimbangan orang yang menghayati iklan tadi maka ujung-ujungnya dia adalah
kita, dia benar, kita benar, kita ikut benar dan kita dukung benar, dia
mewakili kita, kita jadi benar dan kita adalah dia. Ditambah efek sederhana,
merakyat, pekerja, dsb maka ia mewakili cara-cara kita (awam) dalam berkegiatan
sehari-hari, maka ia akan menjadi benar-benar adalah kita. Bila ada yang
menyalahi dia maka sama saja menyalahi kita. Mainstream utama membully Anda,
maka persepsi sugesti “kita” akan membully Anda juga jadinya.
Tv
memberitakan tentang beberapa proyek yang heboh, seperti rumah susun,
dijelaskan dimana, apa saja, kotanya, ujung-ujungnya tanpa disebut pun maka
tertuju pada satu sosok “gebernurnya” tapi coba ada tv lain nayangkan “sampah
bertumpuk” maka dijelaskan dimana, apa saja, kotanya, ujung-ujungnya tanpa
disebut pun maka tertuju pada satu sosok “gebernurnya”. Bila hal-hal
sebab-akibat dan butterfly effect-nya tidak kita fahami maka tv dengan mudahnya
menghasut anda karena kebenarannya hanya difokuskan pada apa yang ingin
ditampilkan saja (lahiriahnya), ini biasanya disebut sebagai pencitraan dengan
pola mind control.
Ada
juga teknik yang digunakan dalam public mind control adalah teknik
Masalah-Reaksi-Solusi (MRS) Sebagai contoh adalah tragedi WTC, ini adalah
masalah yang diciptakan “oknum atau kelompok” (masalah), setelah itu mereka
menunggu respon masyarakat dunia (reaksi) dan akhirnya kepanjangan “oknum atau
kelompok” (dalam hal ini AS) memberikan
solusi dengan war on "terorism". Nah, cukup simpel kan? Pihak yang menolak
solusi ini akan dicap pro-terorisme, sebaliknya yang mendukung akan dicap
pejuang HAM dan pro-kedamaian. Ujung-ujungnya pemberangusan islam.
Public
Mind Control juga ada berhubungan dengan Predictive Programming. Program ini
adalah bagian dari MRS tadi. Predictive programming berguna untuk menginduksi
pikiran publik tentang peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Predictive
Programming umumnya ditampilkan dalam bentuk entertainment karena otak manusia
paling mudah menerima sesuatu bernuansa hiburan. Tokoh seperti Iron Man,
Superman, Vampir, Harry Potter adalah bagian dari predictive programming.
Sekarang kita akan bahas eksclusive mind
control, jenis ini sering disebut publik berbasis trauma. Sebelumnya saya
akan memberi tahu arti subliminal message, yaitu bagian terdalam dari otak kita
yang mengendalikan alam bawah sadar. Berawal dari sebuah penelitian di Jerman
(pada era nazi) bahwa MPD/DID adalah kondisi yang digunakan untuk sarana
eksclusive mind control. MPD (Multi Personality Disorder) atau DID (Dissociative Identity Disorder)
adalah kondisi dimana seseorang punya kepribadian ganda MPD/DID secara alami
bersifat genetik, tapi bisa juga diciptakan lewat penyiksaan traumatis terus
menerus. Joseph Mengele adalah perwira SS saat zaman PD2 yang ditugaskan untuk
mengepalai penelitian MPD/DID, Ia adalah seorang grand master freemason yang
menguasasi sihir kabalah, musik, aborsi, dan penyiksaan. Pada tahun 1945,
Mengele dan dedengkotnya ngungsi dari Polandia ke Amerika untuk melanjutkan
proyek mind control. Pada tahun yang sama Mengele memimpin proyek mind control
dalam skala luas yang diberi nama Program Monarch, 2 tahun kemudian dibentuk
CIA sebagai tulang punggung. Program Monarch pada dasarnya dibuat untuk
memunculkan satu ras super secara genetik.
Tujuan dari program monarch adalah untuk mencetak budak-budak berkepribadian
ganda yang dapat diaktifkan dan dijalankan untuk menjalankan misi-misi. Lady
Gaga adalah bagian dari program monarch yang tugasnya membantu mempengaruhi
pemikiran remaja labil sekarang ini. CIA, MI-6, MI-5, Mossad, FBI, Gereja setan, Hollywood, dsb.
Faktor utama dalam program monarch adalah kemampuan dalam berdiosiasi
(memisah). Subyek yang terkena diosiasi akan mudah diarahkan ke program monarch
dan sukses menjadi MPD/DID. Lawan dari diosiasi adalah asosiasi (berkumpul)
contohnya adalah shalat berjamaah. Para yogis (pengikut yoga), amnesia, autisme, haluinasi adalah jenis dan subyek
yang memiliki bakat disosiasi. Setiap budak yang lulus dari program Monarch
memiliki kepribadian ganda (MPD). Kepribadian ini akan disamarkan dengan
kepribadian lain. Mereka disamarkan dengan berbagai profesi seperti artis, penyanyi,
ustad, sutradara, dsb. Saat Programmer menginginkan para budak Monarch ini
melakukan misi, maka ia cukup diberikan kode yang di kalangan mereka disebut
Alter. Alter adalah alat yang digunakan untuk membangkitkan kepribadian lain
yang tersembunyi di dalam alam bawah sadar. Budak Monarch dengan predikat tokoh
agama nantinya akan digunakan untuk masuk ke institusi agama lalu merusak agama
dari dalam. Guna menghasilkan manusia berkepribadian ganda secara efektif,
program Monarch lebih tepat dilakukan sebelum seorang anak berumur 6 tahun.
Toleransi Islam
(tasammuh ) vs Toleransi Barat (toleransi)
Toleransi
dalam Islam merupakan pembahasan yang cukup penting untuk dikaji, karen banyak
di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang
tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang
menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau dijadikan alasan untuk
memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim,
atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang
‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan program kristenisasi baik
secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta
toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar umat beragama, padahal
justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.
Sebagai
muslim, kita harus mengembalikan hakikat toleransi dalam kacamata Islam. Sebab,
istilah toleransi ini - sebagaimana disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama
karya Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya tidak terdapat dalam istilah Islam,
akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari
sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan
berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan
padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi
dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik
ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku
untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan
“tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan
makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan
tanpa protes).
Sedangkan
kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh”
yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan
gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata
samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat
dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan
kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat
yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti
ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam
kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).
Dengan
demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, penulis merujuk kepada
makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi
kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam
bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna
memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami
secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
Kalau
kita mau melihat terbentuknya konsep toleransi antara Islam dan Barat, maka akan
kita dapatkan bahwa motif terbentuknya konsep toleransi antar keduanya sangat
berbeda. Konsep toleransi dalam Islam
dibentuk oleh ajaran Islam itu sendiri baik berupa firman Allah (Al-Quran)
ataupun sabda dan perilaku Rasulullah SAW (al-Hadits). Sedangkan Barat,
dibentuk berdasarkan sejarah ataupun reaksi terhadap kondisi sosial dan
politik.
Sebagai
contoh, dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah
mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut dengan “zaman kegelapan” (the dark
age). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 H dan
mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat
Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14.
Renaissance artinya rebirth (lahir kembali), karena masyarakat Barat merasa
bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka seolah
mengalami kematian.
Di
“zaman kegelapan” inilah terjadi banyak penyelewengan dan penindasan kepada
rakyatnya dengan mengatasnamakan agama. Penindasan yang terkenal paling jahat
pada waktu itu adalah, apa yang dilakukan oleh institusi Gereja dengan nama
Inquisisi. Inquisisi adalah hukuman terhadap kaum heretic (kaum yang di cap
menyimpang dari doktrin resmi gereja). Karen Armstrong, mantan biarawati dan
penulis terkenal, menggambarkan institusi inquisisi dalam sejarah sebagai
berikut, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi
Kristen paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam
Gereja Katholik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga
digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap
kaum Katolik di negara-negara mereka”.
Adapun
bentuk kejahatannya, Robert Held dalam bukunya Inquisition, memaparkan bahwa
ada lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal yang
digunakan oleh institusi gereja pada waktu itu, seperti pembakaran hidup-hidup,
pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh, pemotongan lidah, alat penghancur
kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat
brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan
adalah wanita. Antara tahun 1459-1800, diperkirakan antara dua-empat juta
wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.
Dalam
ajaran Yahudi, juga telah terjadi penyelewengan yang berujung kepada penindasan
atas nama agama. Dalam Old Statement (Kitab Perjanjian lama), dinyatakan bahwa
sikap mereka terhadap kelompok lain tidak hanya sebatas kebencian, pelaknatan
dan pengingkaran. Namun mereka juga diperintah untuk membumihanguskan
bangsa-bangsa lain, karena – menurut mereka – bangsa Yahudi adalah bangsa
pilihan (the Chosen People). Pemusnahan semua kelompok lain, menurut mereka
adalah merupakan perintah Tuhan.
Dari
peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah, kemudian
pemikiran mengenai pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John
Locke figur yang cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya, yaitu dengan
menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte
tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli
kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak
salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktrin
inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat (negara-negara
demokrasi Barat).
…Toleransi
(samahah) dalam Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa
ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak
menafikan unsur dakwah dalam Islam yang bersifat mengajak, bukan memaksa…
Adapun
dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam.
Ketoleranan Islam mencakup berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun
muamalah. Dari segi aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an
yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini
tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak,
bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum
dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka
tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar
jizyah sebagai jaminannya.
Dalam
masalah Ibadah, Islam juga bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di
dalam Islam bersifat tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika
seseorang ingin berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara
berwudhu dengan cara tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu
berdiri, maka boleh dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang sedang
sakit, maka boleh di qadha. Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang
inilah yang menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi
ibadah.
Adapun
dalam muamalah, Islam menyuruh berbuat baik dalam bermasyarakat, baik itu
kepada yang muslim atau non-muslim. Misalnya, ketika seorang muslim mempunyai
tetangga non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan, maka harus dibantu. Ketika
diberi hadiah, maka harus diterima. Begitu juga ketika ada tetangga non-muslim
sedang sakit, harus dijenguk. Itulah adab seorang muslim yang harus dijaga
dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama.
Permasalahannya
adalah, ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan
peribadatan, maka banyak orang salah paham. Mereka mengira bahwa toleransi dalam
masalah keikutsertaan acara-acara non-muslim diperbolehkan dengan tujuan untuk
menciptakan kerukunan antar umat beragama. Padahal toleransi seperti ini di
dalam syariat terdapat dalil-dalil yang melarang, baik itu dari Al-Qur’an,
Al-Sunnah, maupun ijma ulama.
Ketika
muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka
hal ini bisa dikategorikan dalam hal tolong menolong dalam dosa yang sudah
jelas diharamkan. Allah SWT telah melarang perbuatan tersebut sebagaimana
disebutkan di dalam salah satu ayat (yang artinya), Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Qs Al-Ma’idah 2).
Dalam memahami ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
Allah memerintahkan orang beriman untuk tolong menolong dalam kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran. Allah juga melarang umat Islam saling tolong menolong
dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang haram. Ritual non-Muslim adalah suatu
amalan batil yang diharamkan oleh Allah SWT yang menjadikan pelakunya berdosa.
Oleh karena itu, keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk
dalam kategori tolong menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang
diharamkan.
Selain
itu, keikutsertaan ritual non-muslim dengan alasan toleransi juga tidak bisa
dibenarkan secara syar’i karena seseorang tersebut tergolong telah
mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfirman (yang
artinya), Dan janganlah kamu
campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang
hak itu, sedangkan kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari
menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak
dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan
Islam.
Adapun
toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan
umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan
dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka.
Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Banyak
hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat di atas dalam memahami sikap
toleransi antar umat beragama yang benar dalam Islam. Dalam memahami ayat di
atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu” maksudnya, Dia tidak melarang kamu berbuat baik kepada
orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena masalah agama, seperti berbuat
baik dalam masalah perempuan dan orang lemah.
Selain
itu, Imam al-Syaukani (1250 H) dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat
ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang
kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan
dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan
mereka.
Adapun
sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dalam kitabnya al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, Ia berkata: “Qatilah mendatangi putrinya Asma’ binti Abu
Bakar. Namun Asma’ enggan menerima hadiah dan kedatangan perempuan (ibunya) itu
ke rumahnya. Karena itu, Aisyah menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi
SAW. Maka Allah menurunkan surat Al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi
memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya”.
Ini
merupakan dalil bahwa berbuat baik kepada non-Muslim merupakan kewajiban,
selama orang-orang non-Muslim itu tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari
negeri mereka, serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari
negeri mereka. Bahkan Rasulullah SAW mengancam terhadap umatnya yang berbuat
zalim kepada non-Muslim yang sudah terikat perjanjian dengan umat Islam dengan
ancaman tidak masuk surga. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang
terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman
surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak empat puluh
tahun perjalanan (di dunia) (H.R Bukhari).
Oleh
karena itu, Nabi SAW bermuamalah dengan orang Yahudi di Madinah dengan muamalah
yang sangat baik. Dalam masalah perdagangan, Beliau SAW pernah menggadaikan
baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm. Rasulullah juga
menetapkan perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan kaum Yahudi.
Perjanjian itu antara lain berisi tentang perdamaian dengan kaum Yahudi, sumpah
setia mereka, serta mengakui keberadaan agama (bukan kebenaran agama selain
Islam) dan harta-harta mereka. Beliau SAW juga meminta jaminan kepada mereka
untuk menepati perjanjian mereka. Namun demikian, sikap toleransi, harmonis,
tolong menolong dan kerjasama antara umat Islam dengan non-Muslim di sini
hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan
permasalahan akidah dan ibadah.
Dari
paparan di atas, sangat jelas sekali bagaimana ternyata pembentukan pola
doktrin toleransi antara Islam dengan Barat amatlah berbeda. Doktrin toleransi
dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah, melainkan merupakan bagian integral
dari warisan Islam. Berbeda halnya dengan Barat yang doktrin toleransinya
dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power. Itulah sebabnya menyamakan
doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi yang ada di Barat tidaklah
tepat.
Namun
anehnya, saat ini proses overlapping doktrin toleransi mulai muncul ke
permukaan sehingga mengakibatkan kerancuan dalam memahami makna toleransi yang
benar menurut Islam. Dari sinilah maka tidak tepat kalau ada umat Islam yang
menggunakan kata toleransi untuk mendukung eksistensi aliran sesat apalagi
untuk mendukung gerakan kristenisasi, karena toleransi semacam ini adalah
toleransi ala Barat yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Kamu
bisa nggak enak sama manusia padahal dia sama kayak kamu tapi nggak pernah
merasa nggak enak sama Allah pencipta-mu? toleransi itu dicakup dalam pengertian
dua belah pihak bukan hanya pengertian satu pihak, kita tahu cara agama dia,
dia juga harus tahu cara agama kita dan kembali lagi tolerasi dalam Islam
adalah membiarkan pemeluk agama lain melaksanakan apa yang mereka yakini, kita
nggak ikut-ikutan.
Satu
kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan
mereka, termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman
kita masuk toilet lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia
masuk toilet, maka biarkan ia tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau
temani temannya juga untuk lepaskan kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa
seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat natal. Yang kita lakukan adalah
dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non muslim merayakannnya tanpa
mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala orang-orang
JIL (Jaringan Islam Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti toleransi
dalam Islam yang sebenarnya.
Tapi
semua kembali kepada masing-masing, bisa aja kamu cari dalil-dalil maksa yang
bolehin. Ya.. hidup itu pilihan.
“Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
“Katakanlah:
“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS.
Al Isra’: 84)
“Kamu berlepas diri
terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu
kerjakan.”
(QS. Yunus: 41)
“Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Tambahan
: Pemilu, pileg dan pilpres adalah waktu untuk pencarian, pemutusan dan
perwakilan buat pengambil keputusan dan kebijakan sebuah negeri yang hasilnya
dituntut untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang menjaga “Adh-Dharuriyyat
al Khams” (lima perkata darurat), yaitu Agama, Akal, Jiwa, Keturunan dan Harta
atau dalam bahasa dari Salim Fillah adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama), Hifzhun Nafs (Menjaga
Jiwa), Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan/keturunan), Hifzhul ‘Aql (Menjaga
Akal) dan Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan). Maka janganlah heran dengan
cara-cara membangun persatuan dan membentuk opini, mengkampanyekan,
memenangkan, memilih, mewakilkan dan membentuk jajaran pemerintahan semua
termaktup dan harus sesuai dalam cara-cara ajaran islam, sesuai dengan
syariatNya. Ini cara toleransi islam dalam pemilu, pileg dan capres juga dalam
cara-cara pengambil kebijakan/keputusan/undang-undang dalam parlemen dan
pemerintahan. Ada batasan syari terhadap batasan prilaku dan pelaku, untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku
dalam porsi menempatkan pada tempatnya yang tepat (adil) pada sikonnya dan bukan
pula bentuk Kalimatnya haq, tapi kebatilan yang jadi kehendak.
That's
our tolerance, that's islamic tolerance.
Wallahu
a’lamu bis-shawab.
*)
Penulis adalah Alumnus Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima Jawa Tengah.
Oleh:
Kharis Nugroho, Lc.
Para
Kiai dan Ustadz juga para Habib telah turun kegelanggang politik, apa sih yang
dikhawatirkan mereka dan yang mereka tahu dan kebanyakan masyarakat tidak tahu
apabila pasangan yang satunya terpilih, apa yang mereka khawatirkan dari
pasangan itu? Bagaimanakah penerimaan masyarakat umum/awam, maukah mendengarkan
fatwa-fatwa para alim ulamanya?
Prakata
yang diambil dari fb “Islam bersatu Muallaf berseru”
Dan
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (QS. Al Maidah : 92)
Keterangan
In The name of Allah the Most
Beneficent the Most Merciful.
Assalamu’alaikum warrahmatulahi
Wabarakattu.
Perkenalkan, Kami ini Muslim.
Islam adalah nama agama kami.
Artinya adalah “selamat” atau “tunduk patuh.” Kami telah bersaksi bahwa tidak
ada ilah selain Allah semata. Anda tidak tahu ilah? Ilah adalah sesuatu yang
diharapkan, ditakuti, dicintai, dan dipatuhi oleh manusia. Itulah pernyataan
loyalitas yang kami ulang sedikitnya sembilan kali dalam sehari semalam.
Kami adalah manusia yang merdeka. Merdeka dari desakan hawa nafsu. Tidak mudah,
tapi kami selalu berusaha untuk tetap loyal pada satu-satunya ilah kami.
Kami bukan termasuk orang-orang yang tunduk pada keinginannya pribadi. Kami
juga tidak tunduk pada godaan kesenangan badani belaka. Kami merdeka karena
tunduk pada Allah semata.
Bagi kami, tidak ada yang absolut kecuali Allah. Kami tidak mengutak-atik Kitab
Suci kami, bahkan tidak berani sekedar untuk menambah satu kata atau huruf baru
ke dalamnya. Kami tidak berani untuk berpikir bahwa kami lebih tahu urusan kami
sendiri. Ada Yang Maha Tahu yang akan menyelesaikan segala urusan kami.
Kami berani di hadapan manusia dan takut di hadapan Allah, lantang di hadapan
diktator dan menyerah tanpa syarat di hadapan Allah. Jangan bingung. Ini hanya
masalah menempatkan diri pada kedudukannya yang benar.
Kami ini Muslim.
Anda tahu siapa kami? Kami adalah
umat yang selalu menimbulkan rasa cemas kepada mereka yang diliputi dengki.
Kami menyuruh putri-putri kami berhijab, dan hal itu membuat semua orang
khawatir. Padahal mereka tidak ragu melepas putri-putri mereka dengan pakaian
minim hingga larut malam. Ah, mereka hanya takut, karena kaum perempuan Muslim
hidupnya lebih menyenangkan. Mereka takut semua perempuan akan mengikuti jejak
putri-putri kami.
Agama kami memang tidak pernah menyelisihi fitrah. Semuanya sesuai dengan
karakter dasar manusia. Mereka menutup aurat bukan karena terpaksa, melainkan
karena memang demikianlah yang baik bagi mereka.
Tanyakanlah pada putri-putrimu, bukankah hari-hari mereka dilalui dengan penuh
kekhawatiran karena mata lelaki yang selalu sigap menangkap apa-apa yang sesuai
dengan syahwatnya?
‘Tanyakanlah pada kaum perempuanmu, bukankah hidup mereka penuh dengan
penyesalan karena selalu disusahkan oleh para pria hidung belang? Ah, tidak
perlu dijawab. Kami sudah tahu jawaban jujurnya.
Jangan heran jika kami enggan menyentuh minuman beralkohol, karena Allah memang
tidak menghendaki hamba-hamba-Nya melakukan perbuatan-perbuatan yang bodoh
seperti lazimnya orang mabuk.
Semua hukum yang susah payah dirumuskan oleh negara-negara Barat untuk
menghindari ekses negatif dari minuman keras hanya teori usang.
Cukup sebuah ayat dalam Al-Qur’an, maka kami pun menjauh darinya. Inilah bukti
ketundukan kami.
Mengapa kalian bingung menyaksikan kami shalat lima waktu setiap harinya?
Justru kamilah yang bingung melihat kalian begitu jarang meluangkan waktu untuk
Tuhan.
Anda pikir shalat itu mempersulit hidup kami? Demi Allah, kami tidak membasuh
kepala kami dengan wudhu dan tersungkur dalam sujud kecuali untuk mendapatkan
manisnya iman.
Kami paham jika Anda tidak mengerti. Rasa manis hanya dipahami oleh mereka yang
memiliki lidah. Iman hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia untuk tunduk.
Kalian yang tidak memahami lezatnya iman tidak akan mengerti tujuan hidup kami.
Kami hidup hanya untuk mati. Semua manusia begitu, tapi sedikit yang mau
mengakuinya. Kenyataannya semua manusia akan mati. Bedanya, kami memiliki
tujuan yang pasti, dan kami yakin pada petunjuk arah yang terpampang di depan
mata.
Kami tidak takut mati, karena mati itu keniscayaan. Tidak ada bedanya mati
sekarang atau tahun depan. Yang menjadikannya beda hanyalah caranya.
Kami adalah kaum yang akan maju berdesak-desakan ketika pintu menuju syahid
terbuka.
Anda tidak paham? Tentu saja, karena Anda tidak memiliki kerinduan kepada
akhirat.
Siapa pun boleh menyangkal, tapi kebenaran adalah kebenaran. Kami hanya
menyuarakan kebenaran, dan kebenaran itu lincah seperti air.
Jika terhalang batu, ia akan mengambil jalan lain. Jika dibendung, ia akan
berkumpul hingga cukup banyak dan akhirnya melimpah dari dinding yang
menghadang.
Jika Anda berusaha memenjarakan kebenaran yang terus mengalir dalam suatu
wadah, maka niscaya kebenaran itu akan menekan ke segala arah, dan semua
dinding pun akan runtuh.
Anda bisa menghina Rasul kami dengan berbagai gambar yang tak pantas, tapi
semuanya hanya akan berakhir mengenaskan bagi para penghujat. Di negeri
penghujat Rasulullah saw. itu, lima ribu eksemplar Al-Qur’an telah terjual
dalam lima bulan saja.
Anda bisa menyebarkan kabar bohong apa pun tentang kami, namun hal itu hanya
akan mendorong semua orang untuk mengenal kami lebih jauh.
Ini adalah kabar buruk bagi kalian, karena siapa pun yang mempelajari Islam
dengan baik niscaya hatinya akan tersentuh. Teruskanlah makar ini, dan kami
akan tetap menjadi pemenangnya!
Anda bisa mengajak semua orang untuk memerangi kami, namun kebenaran akan
sampai juga pada telinga-telinga yang tetap terbuka.
Kalian bisa membumi-hanguskan negeri-negeri kami, namun Islam akan sampai juga
di negeri kalian. Faktanya, ratusan manusia-manusia pintar dan berakal mengucapkan
dua kalimat syahadat ditiap harinya, iya tiap harinya. Ribuan dalam setahun.
Janganlah mengelak dari fakta dan realita yang ada.
Cepat atau lambat, negeri kalian akan menerima Islam dengan tangan terbuka,
karena kebenaran akan selalu menyentuh hati manusia yang cenderung pada
kelembutan.
Kami ini Muslim. Kamilah yang akan memenangkan pertarungan, jika memang Anda
bersikeras untuk bertarung.
Tapi jangan khawatir, karena kami tidak merasa perlu memaksa Anda masuk ke
dalam barisan kami. Cukuplah dengan menjadi teman yang baik, dan semuanya akan
baik-baik saja. Allah SWT tidak melarang kami berteman dengan siapa pun yang
tidak memerangi kami.
Kepada semuanya, kami sampaikan salam hangat persahabatan: bukalah pintu hati
kalian untuk kebenaran, dan ia akan datang dengan berbagai cara yang belum
pernah kalian bayangkan sebelumnya.
Kami adalah tangan-tangan yang saling berpegangan dan saling menjaga satu sama
lainnya. Kami adalah dahaga yang saling mendahulukan.
Kami adalah tubuh-tubuh yang saling menyelamatkan. Kami adalah lidah-lidah yang
saling menghibur dan hati yang saling mencemaskan.
Suatu saat nanti, kami akan menjadi dominan di dunia dan menjaga semua makhluk
Allah. Jika agama non-muslim di dunia tetap ada dan menjadi minoritas, anda tak
perlu khawatir. Kami akan selalu menjaga kaum yang minoritas, karena itu adalah
ajaran kami.
Walau kami selalu difitnah dan dimusuhi oleh orang-orang pengacau di dunia ini,
namun sejak dulu kami selalu mencintai ketentraman dan kedamaian baik itu di
dunia maupun di akhirat.
“Sesungguhnya orang kafir itu
merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang
kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.” (Qur’an Surah
Ath-Thaariq 86 : 15-17)
Kami adalah Muslim. Kami akan menang.
*Setiap umatku akan masuk Surga kecuali yang tidak mau. Para sahabat bertanya :
"Wahai Rasulullah siapakah yang tidak mau ?". Beliau bersabda :
"Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk Surga dan barangsiapa yang
tidak taat padaku maka dialah yang tidak mau (masuk Surga)". (HR. Bukhari)
*Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah:
"Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab
dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?"
Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah).
Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imron : 20)
*Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS.
Al Maidah : 67)
*Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS.
Al Maidah : 92)
*Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS. Al Maidah : 99)
*Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat. (QS. Al An aam :90)
*Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi
nasihat yang terpercaya bagimu".(QS. Al A'raf : 68)
*Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk
menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah,
hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang
sebaik-baiknya. (QS. Al A'raf : 87)
*Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa
(amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan) nya kepadamu. Dan Tuhanku akan
mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat
membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara
segala sesuatu. (QS. Huud : 57)
*Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan
kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena
sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab
amalan mereka.(QS. Ar Ra'du : 40)
*Jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan
atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An
Nahl : 82)
*Jika mereka berpaling, maka katakanlah: Aku telah menyampaikan kepada kamu
sekalian (ajaran) yang sama (antara kita) dan aku tidak mengetahui apakah yang
diancamkan kepadamu itu sudah dekat atau masih jauh?". (QS. Al Anbiya :
109)
*Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan
tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang." (QS. An Nuur ; 54)
*Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam
menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang
mau mengambil jalan kepada Tuhannya. (QS. Al Furqon : 57)
*Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga
telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan
(agama Allah) dengan seterang-terangnya." (QS. Al Ankabut :18)
*(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al Ahzab : 39)
*Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan
jelas". (QS. Yaasin : 17)
*Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi
mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya
apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira
ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu
amat ingkar (kepada nikmat). (QS. As Syura : 48)
*Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang. (QS. At Taghabun : 12)
*Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya
baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (QS. Al
Jinn : 23)
Wassalamu’alaikum warrahmatulahi
Wabarakattu.
Setiap
kebenaran bersumber dari Allah Ta'ala. Oleh sebab itu setiap dan seluruh
kebenaran akan bersifat komplementer (saling isi dan melengkapi) dan sinergis
(saling memperkuat). Ketika (sudah) benar mempersepsi sesuatu, maka kita mesti
menghargai persepsi atau pendapat orang lain yang juga bernilai benar. Jangan
sampai merasa paling benar dengan meremehkan (apalagi menyalahkan) pendapat
lain yang sama benarnya. Mendapatkan kebenaran dari banyak sisi itu lebih baik
dari satu sisi. Karena kebenaran sejati hanya bisa didapatkan ketika kita
mengetahui sisi-sisi kebenaran lainnya.
Qs.
An-Nahl, 16: 125: “Wahai Muhammad,
ajaklah manusia kepada Islam, agama Tuhanmu, dengan hujah-hujah yang kuat,
nasehat yang baik dan sanggahlah hujah lawanmu dengan hujah yang lebih baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari agama-Nya, dan
Allah Maha Mengetahui orang-orang yang mengikuti hidayah Islam.“
"Anda
tidak dapat membaca Al-Quran begitu saja, kecuali jika Anda bersungguh-sungguh
memberi perhatian dengan penghayatan mendalam. Anda tinggal memilih;
menyerahkan sepenuhnya seluruh jiwa dan raga kepada Al-Quran atau memeranginya
dengan akal dan nalar Anda. Maka, Al-Quran akan menyerang Anda lebih kuat dari
yang Anda bayangkan, mendebat, mengkritik dan membuat malu para
penantangnya." (Prof. Dr. Jeffrey Lang)
"Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah penjelasannya." (Qs Al-Qiyamah 16-19).
Di
dalam Islam pun, politik mendapat tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan nilai kebaikan
agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan
agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa
al-sulthan tawamaan).
Agak lengkapnya Al-Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama
dan mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar. Agama adalah dasar
perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan
yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak
dikawal akan sia-sia.” Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa
berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan
baik dan nyaman.
Membeli
Kemenangan" Oleh Akmal Sjafril
“Andaikan
kalian sanggup berkomitmen untuk begini dan begitu, tentu akan saya dukung.
Tapi sejauh ini, saya masih melihat banyak kekurangan dari diri kalian.
Sesungguhnya kita tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan kain pel
yang kotor!”
Kalimat semacam di atas, dalam berbagai varian bentuknya, sering sekali
terdengar. Hemat saya, terutama ungkapan yang terakhir, memang dapat menemukan
konteksnya dalam banyak kasus, namun tidak untuk semua kasus. Memang benar,
kain pel yang akan digunakan untuk membersihkan lantai tidak boleh kotor. Tapi
sebersih apakah ‘tidak kotor’ itu sebenarnya?
Khalid ibn Walid ra bisa dibilang ‘bukan siapa-siapa’ ketika situasi memaksanya
untuk menjadi pemimpin pasukan Muslim di Perang Mu’tah. Rasulullah saw telah
menyerahkan bendera pasukan kepada Zaid ibn Haritsah ra, dan berwasiat agar
memberikannya kepada Ja’far ibn Abu Thalib ra jika Zaid ra gugur, kemudian
berwasiat lagi agar memberikannya kepada ‘Abdullah ibn Rawahah ra jika Ja’far
ra gugur. Allah SWT berkehendak ketiga panglima nan gagah ini menjadi syuhada.
Saat itulah kaum Muslimin berembuk dan mengangkat Khalid ibn Walid ra – yang
belum lama masuk Islam – untuk menjadi pemimpin mereka. Khalid ra, yang di
Perang Uhud mengayunkan pedangnya untuk menghabisi kaum Muslimin, kini menjadi
Syaifullaah (Pedang Allah) yang akhirnya mampu membawa pasukan Muslim meraih
kemenangan.
Dalam pasukan yang dikirim ke Perang Mu’tah itu, tidak tertutup kemungkinan ada
yang jauh lebih senior, jauh lebih bagus ibadahnya, dan jauh lebih baik
akhlaq-nya daripada Khalid ra. Apalagi, sebelum memeluk Islam, Khalid ra
bertahun-tahun mendapat pendidikan dari sang ayah, Walid bin al-Mughirah, yang
sangat memusuhi Islam. Akan tetapi, Khalid ra adalah orang yang sangat pas
untuk memimpin pasukan Muslim, baik di Perang Mu’tah ataupun di perang-perang
sesudahnya.
Jika kita ingin mencari ‘kain pel’ yang putih bersih tanpa noda sama sekali,
tentu kita akan berpaling kepada orang-orang yang sudah lama memeluk Islam,
atau yang telah membersamai Rasulullah saw sejak dahulu, misalnya Abu Bakar ra.
Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah seorang panglima, maka Khalid ra
nyaris tak punya pesaing.
Tentu saja kita tidak hendak mengatakan bahwa ‘kain pel’ yang bersih itu tidak
penting. Hanya saja, dalam banyak kasus, kita tidak perlu menunggu kedatangan
kain pel yang bersih mengkilat sebersih kain pel di toko sebelum akhirnya
benar-benar membersihkan lantai. Tidak semua kondisi ideal dapat tercapai.
Bahkan seringnya, jika kita menunggu-nunggu kondisi ideal terjadi, maka kita
tidak akan beranjak dari tempat kita berada sekarang. Orang-orang tua jaman
dahulu sudah mengajarkan sebuah kebijakan: tak ada rotan, akar pun jadi.
Di tengah-tengah generasi Muslim akhir jaman ini, ke manakah akan kita cari
seorang Abu Bakar ra atau seorang ‘Umar ibn al-Khaththab ra? Di manakah akan
kita temukan sang pemimpin yang bersih tiada cela, yang kuat ibadahnya, terpuji
akhlaq-nya dan cemerlang akalnya, hingga kita tak bisa menyebutkan barang satu
saja keburukannya?
Betapa banyak orang yang merasa dirinya terlalu suci untuk bergabung dengan
yang lain. Ia dapat menghitung secara terperinci sekian ratus kesalahan mereka.
Shalatnya salah di sini dan di situ, caranya mendidik anak kurang begini dan
begitu, kesehariannya masih kurang yang ini dan itu. Ia merasa tak punya
harapan jika harus bergabung dengan orang-orang yang dianggapnya tak membuatnya
lebih baik. Ia lupa bahwa – andaikan benar – tak ada orang yang bisa membawa
kebaikan pada dirinya, maka ia sendirilah yang berkewajiban membawa kebaikan
itu pada orang-orang di sekitarnya.
Betapa banyak orang yang bagus ibadahnya namun menyimpan semua kebaikan untuk
dirinya sendiri. Ia membenci si pelaku dosa sebagaimana ia membenci dosa itu.
Ia selalu sendiri, karena di sekelilingnya hanya ada para pembuat dosa, dan ia
khawatir ia pun akan melakukan dosa yang sama jika bergaul bersama mereka. Ia
hibur dirinya sendiri dengan kata-kata Rasulullah saw yang mengisyaratkan bahwa
kelak orang-orang yang memegang teguh agama ini akan menjadi ‘asing’. Ia lupa
sama sekali bahwa setiap kamus bahasa Indonesia selalu membedakan makna “orang
asing” dengan “orang yang mengasingkan diri”.
Pada akhirnya, ia menghibur dirinya sendiri dengan menolak semua tuduhan bahwa
ia telah memelihara penyakit ukhuwwah dalam dirinya sendiri. Muncullah kalimat
seperti di atas tadi, yang menegaskan bahwa ia siap bergabung kapan saja dan
berkomitmen penuh, asalkan yang hadir di hadapannya adalah kelompok yang serba
sempurna dan tak pernah salah.
Janganlah heran sekiranya orang semacam ini pada akhirnya selalu berjalan
sendiri. Kalaupun ia menemukan teman-teman yang segagasan dengannya, mereka
hanya akan berkumpul (atau lebih tepatnya bergerombol) dan tidak jalan ke
mana-mana. Mereka hanyalah sekumpulan orang malang yang diam sambil menunggu
kendaraan yang tak kunjung lewat, sambil mengutuki jaman yang terus berganti.
Manusia, sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, bukan hanya tak ada yang
sempurna, namun juga tak bisa menyempurnakan dirinya sendiri. Setiap anak
dibesarkan bukan atas usaha dirinya sendiri, bukan pula hanya oleh kerja keras
kedua orang tuanya, melainkan juga oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena
itu, duhai tuan-tuan, pahamilah bahwa masyarakat yang sakit parah selamanya
takkan melahirkan pemimpin yang baik. Bolehlah berikan pengecualian kepada para
Nabi, karena mereka dibimbing langsung oleh Allah. Tapi di luar itu, berlaku
hukum yang sama.
Maka, duhai tuan-tuan yang suci, janganlah bermimpi akan berjumpa dengan
pemimpin besar nan adil jika masyarakatnya masih jauh dari nilai-nilai
kebaikan. Jika para guru dan orang tua masih ridha siswa-siswi menyontek
asalkan lulus UN, maka janganlah menolak takdir jika kelak mereka makan uang
haram hasil korupsi. Jika orang tua masih susah mematuhi rambu lalu lintas atau
menerobos lampu merah, janganlah terlalu kecewa sekiranya sang anak cepat
belajar dan melanggar segala aturan dengan mudah di usia remaja. Dan tentu
saja, jika engkau, tuan-tuan yang suci ini, tidak pernah membimbing umat untuk
menyucikan diri dan perbuatannya, maka jangan memasang impian terlalu tinggi
agar kelak suatu hari negeri ini makmur sejahtera dan dilimpahi rahmat Allah
SWT dari segala penjurunya.
Orang-orang beriman tidak mengenal putus asa selama mereka masih merasakan
kebersamaan dengan Allah SWT. Kita tidak berputus asa dengan negeri ini,
sebagaimana kita tidak berputus asa dengan perkumpulan atau organisasi apa pun
yang kita bentuk untuk membangun negeri. Jika ada kekurangan, maka itulah
kenyataan, sebagaimana kenyataan yang biasa kita hadapi di tengah-tengah
generasi Muslim akhir jaman ini. Kita telah berdamai dengan kenyataan bahwa
keadaan negeri ini masih jauh dari ideal, dan kita berusaha menyelamatkannya
dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita berdamai pula dengan kenyataan
bahwa orang-orang yang memiliki komitmen sama dengan kita pun masih jauh dari
ideal, namun kita menghargai tekadnya untuk terus memperbaiki diri dan
mensyukuri kenyataan bahwa masih ada sekelompok orang yang mau menerima kita
dengan segala kekurangan kita.
Berhentilah menunggu. Kemenangan yang sesungguhnya takkan hadir di depan mata
dan tak bisa kaubeli begitu saja. Kemenangan itu ada di depan sana, menunggu
orang-orang yang siap untuk jatuh-bangun dalam memperjuangkannya……………….
Pen
: gampang saja kalau mau dapat kain pel yang sangat bersih, cari dan kemudian
bawah orang utama ke Arab Saudi, lalu minta dokter-dokter bedah yang bertauhid
untuk membedahnya, mengambil hatinya, minta imam Masjid Haram untuk mencucinya
di sumur air zam-zam, kemudian pasang lagi, lebih bagus cuci 3x dengan disertai
doa dan niatnya dan juga disertai doa dan niat kalian terus carikan dan berikan
kepadanya stemple perak yang tidak ada keduanya dan dapat memerintah terus beri
bendera hitam yang tanda kutip “berbentuk” seperti itu, bendera itu harus
dibuat atau datang dari timur dahulu baru diberi kepadanya disana. Tapi nga
dimaksud seperti ini juga, ini hanya “hiperbola” saja. Wahai saudara… Kita ini
punya tugas ibadah buat pribadi dan rahmat buat semua dan mungkin juga tugas
khusus kekinian adalah untuk menyiapkan “kuda-kuda” terbaik, berupa potensi-potensi
dan aset-aset terbaik, pada gilirannya, mungkin saja kalian dan mereka alias
KITA akan berhijrah dan berjuang ke Syam semuanya. Disini gunung awal yang
harus kita pindahkan, tembusi, taklukkan atau robohkan adalah demokrasi dan
menjatuhkan ekonomi ribawi itu, mudah-mudahan saja kita benar-benar dapat
menjadi “apa-apa”. Maka bersatu itu adalah sesuatu yang indah.
Kata
negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata dawlah, sebenarnya
merupakan kata asing. Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh
orang-orang Arab pada masa Jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam.
Wajar,
jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa
Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w.
711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkataan orang Arab asli di dalam
kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-’Arab, juga membuktikan bahwa kata dawlah
tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya
mengatakan bahwa kata dawlah atau dûlah sama maknanya dengan al-’uqbah fî
al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan
secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata dawlah dan dûlah memiliki
makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah
(kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari
musuh kami) merupakan arti dari kata dawlah (Ibn al-Mandzur, Lisân al-’Arab,
jilid XI, hlm. 252).
Kepastian
tentang kapan kata dawlah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara
tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn
Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata dawlah dengan pengertian negara.
Kata ini tercantum dalam bab fî ma’nâ al-khilâfah waal-imâmah (Ibn Khaldun,
Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 170-210).
Meskipun
kata dawlah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan
as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam.
Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang
menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadis dapat
dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadis berikut:
Dulu, urusan Bani
Israel diatur dan dipelihara oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, segera
digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sepeninggalku tidak ada lagi nabi.
Yang (akan) ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak. (HR Muslim dalam bab Imârah).
Walhasil,
gambaran real yang dimaksud oleh kata dawlah (negara) telah disinggung oleh
Islam dengan menggunakan kata lain, yaitu khilafah.
Ibn
Khaldun juga menggunakan kata Dawlah Islâmiyyah (Negara Islam). Artinya, kata
dawlah disifati dengan kata islamiyyah untuk menyebut al-khilâfah (Ibn Khaldun,
Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 180 dan 210-211). Ia memberikan sifat islamiyah
(Islam) terhadap kata dawlah (negara) karena kata daulah (negara) memiliki arti
umum, mencakup negara Islam dan bukan Islam. Akan tetapi, jika kata dawlah
digandengkan dengan kata islamiyyah, maka artinya sama dengan al-khilâfah. Oleh
karena itu, kata Daulah Islamiyah (Negara Islam) hanya memiliki satu makna,
yaitu Khilafah. Di luar itu (selain Negara Islam), Ibn Khaldun sendiri
cenderung menggunakan istilah al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara) saja.
Sesungguhnya
terdapat juga istilah lain yang banyak digunakan oleh para fukaha yang
menggambarkan realitas yang sama dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah, yaitu
Dâr al-Islâm. Kata Dâr al-Islâm juga merujuk pada nash-nash syariat dan
memiliki makna syar’î (al-haqîqah as-syar’iyyah). Kata tersebut dijumpai, antara
lain, dalam hadis berikut:
Ajaklah mereka
kepada Islam. Jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka, dan cegahlah
(tanganmu) untuk memerangi mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari
negeri mereka (dâr al-kufr) ke negeri kaum Muhajirin (dâr al-Muhajirîn).
Beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukannya, mereka akan memperoleh
hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. (HR Muslim).
Lawan
kata dari dâr al-Islam adalah dâr al-kufr, dâr al-musyrik, atau dâr al-harb.
Kata Dâr al-Islâm sendiri acapkali disamakan dengan kata Dâr al-Hijrah atau Dâr
al-Muhâjirîn.
Dari
sini, sebenarnya terdapat kesepadanan pengertian dan realitas yang sama pada
kata Daulah Islamiyah, Khilafah, dan Dar al-Islam.
Selanjutnya,
apa yang menjadi ciri sebuah negara yang tergolong sebagai Dar al-Islam, atau
Daulah Islamiyah, atau Khilafah?
Imam
Abu Hanifah menjelaskannya melalui pengertian yang terbalik, Beliau menjelaskan
syarat-syarat sebuah dar al-kufr, yaitu: (1) Di dalamnya diterapkan sistem
hukum kufur; (2) Bertetangga (dikelilingi) dengan negeri kufur; (3) Kaum Muslim
dan non-Muslim (dari kalangan ahlu dzimmah) tidak memperoleh jaminan keamanan
dengan keamanan Islam (Dr. Muhammad Khayr Haykal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî
as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, jilid I, hlm. 662).
Sementara
itu, Syaikh ‘Abdul Wabhab Khallaf, dalam bukunya, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah,
lebih gamblang mendefinisikannya sebagai berikut:
Dar
al-Islam adalah dâr (daerah/negeri) yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum
Islam, sementara sistem keamanan di dalamnya berada dalam sistem keamanan
Islam, baik mereka itu Muslim ataupun ahlu dzimmah. (Dr. Muhammad Khayr Haykal,
Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, , jilid I, hlm. 666).
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan lagi bahwa suatu tempat/negeri dapat
digolongkan sebagai Dar al-Islam jika memenuhi dua syarat: (1)Diterapkannya
sistem hukum Islam; (2)Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan
Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka (Taqiyuddin an-Nabhani,
Syakhshiyah Islâmiyah, jilid II, hlm. 260). Beliau menambahkan lagi bahwa jika
salah satu syarat dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis,
tempat/negeri tersebut tidak bisa digolongkan sebagai Dar al-Islam.
Daulah
Islamiyah ditegakkan diatas tiga rukun :
- Daar (tempat / negeri)
- Ro’iyah (rakyat)
- Siyadah (kekuasaan)
Para
fuqaha telah melakukan riset tentang rukun-rukun daulah ketika mereka meriset
tentang hukum-hukum darul islam lalu didapat penjelasan dari pendefinisian
mereka terhadap darul islam.
Definisi
pertama adalah bahwa setiap negeri yang muncul didalamnya da’wah islam oleh
para penduduknya tanpa adanya pengawalan, pengawasan maupun pembayaran serta
telah diterapkan di negeri itu hukum kaum muslimin terhadap orang-orang ahli
dzimmah apabila didalamnya terdapat orang-orang ahli dzimmah dan juga para
pelaku bid’ah tidaklah menguasai orang-orang yang berpegang dengan sunnah.
Definisi
kedua adalah setiap bumi yang ditinggali oleh kaum muslimin walaupun didalamnya
masih terdapat orang-orang non muslim atau diterapkan didalamnya hukum-hukum
islam maka negeri itu disebut dengan Negeri Islam termasuk juga daerah-daerah
yang ada didalamnya yang berada dibawah hukum kaum muslimin.
Sedangkan ro’iyah (rakyat) adalah mereka yang berada di dalam batas-batas
daulah dari kaum muslimin dan juga ahli dzimmah. Sedangkan
siyadah (kekuasaan) adalah diterapkan didalamnya hukum islam.
Daulah Islamiyah ini mencakup berbagai aturan dan kekuasaan yang setiap
kekuasaannya memiliki tugas khusus yang dibebankan daulah untuk merealisasikan
tujuan umum, yaitu memelihara kemaslahatan kaum muslimin baik dalam urusan
agama maupun dunia.
Macam
kekuasaan didalam Daulah Islamiyah adalah :
- Hakim atau Imam A’zhom Imam
adalah wakil dari umat didalam kekhilafahan Nubuwah dalam memelihara agama
dan mengatur dunia.
- Wali al ‘Ahd yaitu orang
yang memegang jabatan imam setelah wafatnya. Berarti tidak ada Wali al Ahd
didalam melaksanakan urusan-urusan daulah selama Imam masih hidup.
- Ahlu Halli wal ‘Aqdi yang
memiliki tugas memilih Imam serta membaiatnya.
- al Muhtasib yaitu wakil Imam
yang melakukan tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mengamati keadaan rakyat dan
menyingkap perkara-perkara dan maslahat-maslahat mereka.
- al Qodho
- Baitul Mal.
- Para Menteri. (al Mausu’ah
al Fiqhiyah juz II hal 7290 – 7294)
Banyak
sekali definisi tentang Khilafah—atau disebut juga dengan Imamah—yang telah
dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
- Khilafah adalah kekuasaan
umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan
tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah,
I/8).
- Imamah (Khilafah) ditetapkan
bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia
(Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 3).
- Khilafah adalah pengembanan
seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam
kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang
kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166
& 190).
- Imamah (Khilafah) adalah
kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan yang berkaitan
dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama
dan dunia (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).
Dengan
demikian, Khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai: kepemimpinan umum atas
seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Definisi inilah yang lebih tepat.
Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî
al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut
Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).
Terlepas
bagaimana dan seperti apa pandangan agama per kelompok terhadap model negara,
yang pasti khilafah adalah hal diatas negara yang jauh lebih pokok dan dalam
jangkauan yang lebih sulit yang harusnya disesuaikan penempatan yang tepat pada
bahasannya.
"Tiap-tiap tempat ada kata-katanya yang
tepat, dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat. Setiap pekerjaan itu ada upahnya,
dan setiap perkataan itu ada jawabannya" (Al Hadits)
Katakanlah
negara demokrasi yang kemudian menjelma berhukum syariah yang belum sepenuhnya
bisa mengikuti model Madinah, bila berhasil lolos dari komplik internal, maka
ia mempunyai kekuatan kedaulatan wilayah yang lebih kuat yang memang sebelumnya
telah berdaulat lama, masih terjaganya pertahanan dan keamanan yang memang
sebelumnya telah kuat dan tidak berkurang karena peperangan sebelumnya namun
tetap akan terbatas pada batasan al-mulk (kerajaan) atau ad-dawlah (negara)
bukan khilafah, sama walaupun semisalnya kemudian dari negara demokrasi
kemudian berhasil menjadi negara islam (dimaksud kerajaan islam) maka ia juga
bukan khilafah. Untungnya adalah kekuatan dukungan, perlengkapan dan senjatanya
bermanfaat full buat khilafah bila ada telah tegak, dan bisa saja kuda-kuda terbaik
dan penunggang-penunggang terbaik juga banyak datang dari dia, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh
kalian" [Al-Anfal : 60]. Tidak disebutkan secara tersurat bisa jadi ia
adalah dikondisikan sebagai tempat persiapan pula (dijauhkan dari gangguan
fisik) dan bisa jadi juga bukan menjadi “apa-apa”, tinggal pilihan mau berusaha
menjadi “apa-apa” atau tidak menjadi “apa-apa”. Apalagi nusantara untuk masa
kini didukung faktor strategis kawasan yang tidak boleh rentan komplik fisik
buat kepentingan regional teritorial politik luar negeri asing maka itu bisa
menjadi “kesempatan” pula yang dapat dimanfaatkan. Dan asing harus berpikir dua
kali terhadap hal ini dan juga berpikir 2x terhadap penyikapan akan makna
“kesempatan” itu. Pen: kalau memang dilihat faktor strategis kawasan ini,
seharusnya nusantara mampu tidak didikte asing, mampu mandiri sendiri menjadi
negara kuat. Karena ancaman fisik 2 kali tidak rentan. Hebatnya secara
underground dibombardir kepentingan, sayang pemimpin negeri tidak jeli
mengambil celah penguatan kemandirian ini.
Sementara
hal lain, negara islam (dimaksud kerajaan islam) yang dibangun dari jihad
fisik, selain membutuhkan dan membangun bukti terhadap penjalanan syariah
didalam wilayah kekuasaannya, menguatkan kedaulatannya untuk diterima luas
negara-negara lain, juga harus lebih menguatkan pertahanan dan keamanan
wilayahnya, dan tahapan ini lebih rentan karena umumnya dalam pembentukan opini
dunia negara ini dikatagorikan negara teroris. Juga masalah perlengkapan
keamanan wilayah kurang kuat karena pondasi baru membangun dari bekas-bekas
peperangan dan juga rentan dari koalisi luar negara (kafir) yang lebih ingin
meruntuhkannya. Dan hal ini juga tetap akan terbatas pada batasan al-mulk
(kerajaan) atau ad-dawlah (negara) bukan khilafah.
Jadi
lawan sepadan khilafah islam adalah new world order, jadi khilafah islam adalah
hal pokok dari sekedar wacana negara/kerajaan atau sekedar haram dan tidaknya
masuk sistem demokrasi pada sebuah negara, khilafah dalam cakupan bahasan
diatas hal tersebut. Mengapa demikian?
Karena
khilafah bukan hanya berbicara menyatukan sebuah batasan negara/kerajaan dalam
satu komando pusat tapi juga untuk menyatukan semua negara/kerajaan didalam
satu komando pusat tersebut terutama negara dimana umat islam banyak berada,
menyatukan semua umat islam dimanapun berada di negara manapun untuk berbaiat
pada satu komando.
Semisal
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi atau pun sebuah negara islam, maka
negeri ini harus menyatu dalam satu komando pusat ini, hanya ada dua pilihan,
tunduk dengan sendirinya atau akan diperangi, maka dikatakan tidak perlu kuatir
apakah nusantara tetap sebuah demokrasi sekuler, demokrasi bersyariat atau
negara islam (tetap berusaha dalam tujuan sesanggup-sanggupnya), pada masa
penentuan nanti hanya ada dua jalan tersebut, pada masa tersebut pula akan
terjadi hanya satu-satunya pilihan yang ada (bagi islam) adalah jihad fisik
yang akan terjadi kolektif diseluruh belahan dunia. Bila negara dikuasi oleh
umat islam (terlepas masih tidak murni sampai menjadi negara islam atau hanya
sebatas usaha sampai demokrasi bersyariat) pada saatnya ia akan mudah tunduk
dengan sendirinya, lain bila halnya negara ini dikuasai oleh selain orang
beriman maka hal yang nyata pada saat itu, komplik besar dua kubu di nusantara
tetap akan terjadi.
Makanya
bila ada negara islam kemudian ingin menjadi khilafah, untuk mengembangkannya
keluar daerah kekuasaannya dan untuk memperluasnya maka ia terbentur pada
penerimaan negeri-negeri lain sekitarnya, terbentur pada nasionalisme sempit
dinegeri-negeri lain tersebut, terbentur pada kepentingan penguasa
negeri-negeri lain tersebut, terbentur pada kepentingan pemilik modal atau
tuan-tuan tanah yang punya kepentingan dinegeri-negeri lain tersebut, terbentur
dengan perbedaan-perbedaan ideologi lainnya pada negeri-negeri tersebut dan
terbentur pada kepentingan politik luar negeri negara-negara besar terhadap
konsep pemetaan teritorial kawasan itu. Bagaimana mau bicara urusan yang lebih
besar sementara ada kesempatan untuk mengambil negeri agar dapat lebih bersyariat
pun susah bersatu, maka akan lebih berat lagi menyatukan umat di negara-negara
sekitarnya, terasa mimpi saja dan nyatanya hal tersebut tidak ada yang mampu
mencapainya, kecuali Imam Mahdi, kecuali pula tidak mempercayai perihal Imam
Mahdi. Maka wajar saja batasan pencapaian cuma bisa negara bersyariat,
pencapaian dari state-nation (negara bangsa) saja.
Al-Imaam Muslim bin Al-Hajjaaj
rahimahullah berkata : Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyyah
Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin ‘Abdillah, dari
Al-Jurairiy, dari Abun-Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir
dibaiat diantara keduanya” [Ash-Shahiih no. 1853].
Diriwayatkan juga oleh Abu
‘Awaanah dalam
Al-Mustakhraj no. 7133 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/143; semuanya dari
jalan Khaalid bin ‘Abdillah yang selanjutnya seperti hadits di atas.
Hadits di atas lemah, karena :
- Jurairiy,
meskipun ia seorang yang tsiqah, namun mengalami ikhtilaath dalam
hapalannya di akhir hidupnya.
- Khaalid
tidak diketahui secara pasti apakah ia mendengar riwayat Jurairiy sebelum
atau setelah masa ikhtilaath-nya.
Al-Atsram berkata kepada Ahmad
bin Hanbal : “Aku berkata : Sesungguhnya mereka mengatakan penyimakan Khaalid
(dari Al-Jurariy) setelah ikhtilaath-nya ?’. Ia menjawab : ‘Aku tidak tahu”
[Al-Muntakhab minal-‘Ilal oleh Al-Khallaal, hal. 166 no. 87].
Abu Sa’iid mempunyai syawaahid
dari :
1. Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam
Al-Kaamil 7/437, Ath-Thabaraaniy dalam
Al-Ausath no. 2743, Ibnul-A’raabiy dalam Mu’jam-nya no.
1067, dan Al-Qadlaa’iy dalam Musnad
Asy-Syihaab no. 767; semuanya dari jalan Abu Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid
bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila
dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling baru baiatnya di antara
mereka”. Sanad riwayat ini lemah, karena Abu Hilaal. Periwayatan Abu
Hilaal dari Qataadah dilemahkan Ahmad dan Ibnu Ma’iin.
Abu Hilaal dalam riwayat maushul
ini diselesihi oleh Hammaam yang meriwayatkan dari Ibnul-Musayyib secara
mursal.
Al-Atsram berkata : Aku pernah
bertanya kepada Abu ‘Abdillah : ‘Apakah engkau menghapal hadits dari Abu
Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Apabila dua orang khalifah dibaiat’ ?’. Ia berkata :
‘Hadits ini mursal dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, dari Hammaam, dari Qataadah,
dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu
Hilaal adalah mudltharibul-hadiits (haditsnya goncang) dalam periwayatan dari
Qataadah” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 166 no. 87].
‘Affaan mempunyai mutaba’ah dari
Abul-Waliid Hisyaam bin ‘Abdillah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil
7/436-437.
Al-Bazzaar berkata : “Abu Hilaal
menyendiri dalam periwayatan marfuu’ ini, sedangkan selain dirinya
meng-irsal-kannya” [Kasyful-Astaar no. 1594].
Kedudukan Hammaam lebih tinggi daripada
Abu Hilaal, sehingga riwayat mursal inilah yang mahfuudh.
Selain Ahmad, Ad-Daraquthniy juga
menguatkan riwayat mursal ini.
2.
Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy
dalam Asy-Syaamiyyiin no. 2773 & dalam
Al-Ausath no. 3885 & dalam
Al-Kabiir 1/314 no. 710, dan
Tammaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no.
252; semuanya dari jalan Sa’iid bin Basyiir, dari Abu Bisyr Ja’far bin Abi
Iyaas, dari Sa’iid bin Jubair : Bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair pernah
berkata kepada Mu’aawiyyah terkait perkataan yang terjadi antara keduanya dalam
permasalahan baiat Yaziid : “Dan engkau wahai Mu’aawiyyah, telah mengkhabarkan
kepadaku bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila di muka bumi ada dua khalifah, maka
bunuhlah yang paling akhir di antara keduanya”. Sanad riwayat ini lemah
dikarenakan Sa’iid bin Basyiir. Ad-Daaraquthniy
menyebutkannya dalam Al-‘Ilal 7/52-53 no. 1204.
3. Anas
bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’
3/1144 dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh
2/42-43; semuanya dari jalan ‘Ammaar bin Haaruun : Telah menceritakan kepada
kami Fadlaalah bin Diinaar Asy-Syahhaam : Telah menceritakan kepada kami
Tsaabit, dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : “ …..(al-hadits)….”.
Sanad riwayat di atas sangat lemah
karena Fadlaalah bin Diinaar, seorang yang munkarul-hadiits [Adl-Dlu’afaa’
lil-‘Uqailiy 3/1144 no. 1515 dan Lisaanul-Miizaan 6/331-332 no. 6032 &
6/333 no. 6034].
4.
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Sebagaimana disebutkan
Al-‘Uqailiy dalam Al-Kabiir 1/280 dari jalan Al-Hakam bin Dhuhair Al-Fazaariy.
Sanad riwayat ini sangat lemah
karena faktor diri Al-Hakam.
Melihat
beberapa jalan riwayat di atas, maka dapat dirangkum sebagai berikut:
- Jalan Abu Sa’iid Al-Khudriy
radliyallaahu ‘anhu lemah.
- Jalan Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu lemah karena mursal.
- Jalan Mu’aawiyyah bin Abi
Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa lemah.
- Jalan Anas bin Maalik
radliyallaahu ‘anhu sangat lemah.
- Jalan ‘Abdullah bin Mas’uud
radliyallaahu ‘anhu sangat lemah.
Ada hadits lain yang menguatkan
maknanya, yaitu : Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin Naafi’ dan Muhammad
bin Basysyaar – Ibnu Naafi’ berkata : Telah menceritakan kepada kami Ghundar,
sedangkan Ibnu Basysyaar berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far – : telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ziyaad bin ‘Ilaaqah, ia
berkata : Aku mendengar ‘Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan terjadi banyak fitnah dan kekacauan. Barangsiapa ingin memecah belah
urusan umat ini sedang mereka dalam keadaan bersatu, maka bunuhlah ia dengan
pedang siaipun orangnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1852 (59)].
Dan telah menceritakan kepadaku
‘Utsmaan bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Abi
Ya;fuur, dari ayahnya, dari ‘Arfajah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu
orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau
memecah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1852 (60)].
Kesimpulan : Shahiih lighairihi.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah 7/235-239 no. 3089.
Dan telah menceritakan kepadaku
Wahb bin Baqiyah Al-Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah
dari Al-Jurairi Dari Abu Nadirah Dari Abu Sa’ad Al-Khudri Ra., Katanya
Rasulullah Saw. Bersabda: ”Apabila di
baiat (diangkat) orang Khalifa tandingan (sehingga terdapat Khalifah
tandingan), maka bunuhlah yang terakhir.” (HR Muslim, No 1853)
خَلِيْفَتَيْنِ
: dua khalifah, maksudnya dua orang khalifah/pemimpin yang menjabat
pemerintahan yang sama dalam satu waktu.
Hadis tersebut menerangkan
tentang tidak syahnya apabila diangkat seorang imam di dua tempat. Hal tersebut
didasarkan pada pendapat Al-Mawardi yang mengatakan bahwa, ”jika Imamah
(kepemimpinan) diberikan kepada dua orang di dua tempat, maka Imamah
(kepemimpinan) keduanya tidak sah, karena umat tidak dibenarkan mempunyai dua
imam (khalifah) pada waktu yang sama”.
Adapun jika terdapat dualisme
kepemimpinan Al Mawardi juga mengatakan bahwa kursi imamah (kepemimpinan)
diberikan kepada siapa di antara kedua orang tersebut yang paling dahulu
pengangkatannya, dan akadnya. Permasalahan ini sama seperti kasus dua wali
dalam pernikahan seorang wanita. Jika ada dua wali menikahkan seorang wanita
dengan dua orang pria, pernikahan yang benar ialah pernikahan yang dahulu
akadnya. Jika telah diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu diangkat
sebagai imam (khalifah), maka kursi imamah (kepemimpinan menjadi miliknya,
kemudian orang kedua harus menyerahkan segala urusan kepadanya, dan berbaiat
kepadanya.
Sebagaimana telah di terangkan di
atas bahwa adanya dualisme kepemimpinan merupakan hal yang tidak diperbolehkan.
Hal itu sangat rasional sekali karena jika ada dua pemimpin yang berkuasa dalam
waktu yang sama maka antara kedua pemimpin tersebut akan saling berambisi untuk
melancarkan kekuasaanya sehinga yang ada malah akan timbul persaingan yang
malah akan merugikan masyarakatnya.
Oleh sebab itu, Islam melarang
adanya dualisme kepemimpinan sangat kemashlahatan yang di kandungnya sangat
besar sekali. Adapun jika terjadi dualisme kepemimpinan maka dalam menyelesaikan
persoalan tersebut jangan langsung mengkontekskan hadits di atas dengan
membunuh salah satu di antara pemimpin tersebut, melainkan dengan cara
dilengserkan salah satunya.
“Apabila
dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dibaiat diantara
keduanya”
Dalam makna tambahan lain (bisa
benar atau salah) bahwa juga ditujukan apabila ada dua daulah islamiyah secara
tekstual bila diartikan kasarnya adalah dianggap perintah langsung memerangi,
dalam kacamata lain yang lembut bahwa dimaknainya ini ditujukan agar untuk
menekankan persatuan umat dan lebih utama mencari jalan bersatu sambil menahan
diri (yang satu mengalah berbaiat kepada yang lainnya demi persatuan), namun
disiratkan pula tidak dapat bersatu karena kerasnya pegangan masing-masing,
jadi secara tekstualnya demikian.
Bila dilihat dilapangan kemungkinannya,
tentu ada kompromi atau negosiasi, masing-masing bisa mengklaim paling dahuluan
waktu berdiri, paling dahuluan ada kelompoknya, dsb bahkan bisa pula paling
merasa benar sendiri, tidak bersesuaian mahzab, aliran, dsb. Yang
ujung-ujungnya tidak dapat bersatu. Kemungkinan mengambil jalan tengah,
berjalan masing-masing, kemungkinan paling parah adalah terjadi bentrokan
bersenjata.
Rasulullah
Saw bersabda, “Akan berperang tiga orang
di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putra khalifah. Tetapi, tak
seorangpun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah
bendera-bendera hitam dari arah Timur, lantas mereka memerangi kamu (orang
Arab) dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu.
Maka jika kamu melihatnya, berbaiatlah kepadanya walaupun dengan merangkak di
atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi.” [HR. Ibnu Majah:
Kitabul Fitan Bab Khurujil Mahdi no. 4074). Mustadrak Al-Hakim 4: 463-464. Dan
dia berkata, “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain.” (An-Nihayah
fit Firan 1:29].
Bila
pemaknaan diatas bisa dikatakan benar, maka kemungkinan lain 3 putra khalifah
adalah adanya 3 daulah yang memperjuangkan khalifahan dengan masing-masing
versi mereka yang tidak mampu bersatu itu, apakah di Syria seperti itu? bukan
bermaksud menyalahkan salah satu kelompok yang ada disana, doakan semoga ada
persatuan dan mengingat selalu prinsip-prinsip peperangan yang diajarkan
Rasulullah.
Sampai-sampai
untuk mempersatukan dalam khilafah ini, Allah SWT mengabarkan kepada rasulNya
tentang satu sosok yang dapat menyatukan hati umat-umat islam. Bila tidak
dikabarkan mungkin penerimaan dan penyatuan tidak dapat diharapkan terjadi,
bila dikabarkan, otomatis mereka, umat berpegang kepada hadis nabi bisa yakin
100%.
Dalil
bahwa satu-satunya Khalifah islam yang ditunggu itu adalah Al Mahdi -alaihis
salam- dan bukan yang lain. Dan khalifah islam dari golongan Quraisy.
Bersabda
Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wa salam- : “Sungguh bumi ini akan dipenuhi oleh kezhaliman dan kesemena-menaan.
Dan apabila kezhaliman dan kesemena-menaan telah penuh, maka Allah akan
mengutus seorang laki-laki yang berasal dari ummatku (dalam hadits lain
keturunanku), namanya seperti namaku, dan nama bapaknya seperti nama bapak ku.
Maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kemakmuran, sebagaimana telah
dipenuhi sebelum itu oleh kezhaliman dan kesemena-menaan. Di waktu itu langit
tidak akan menahan sedikitpun dari tetesan airnya, dan bumi tidak akan menahan
sedikitpun dari tanam-tanamannya. Maka ia akan hidup bersama kamu selama 7
tahun atau 8 tahun, dan paling lama 9 tahun”. (HSR Thabrani, Al Bazzar, dan
Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Imam As Suyuthi dalam Al Jami’ dan disetujui
keshahihannya oleh al albani)
Disini
dijelaskan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wa salam- bahwa sebelum
turunnya al Mahdi -alaihis salam- bumi sedang penuh dengan kezhaliman dan
kesemena-menaan, oleh karena itu tidak mungkin al Mahdi di turunkan setelah
adanya khilafah rasyidah akan tetapi dapat dipastikan bahwa al Mahdi lah
khalifah yang pertama kali setelah zaman kedzaliman ini. Zaman kedzaliman dan
kesemena-menaan adalah zaman kita ini, sehingga setelah ini khilafah hanya akan
berdiri oleh al mahdi yang bernama Muhammad bin Abdillah, bukan oleh negara/organisasi/harokah
manapun dan tanda-tanda awalnya ada di Mekkah. Banyak yang berpendapat
pembaiatan iman Mahdi akan terjadi spontan di Mekkah oleh beberapa penduduk
atau ulama disana dan kemudian diikuti secara cepat oleh pasukan panji hitam,
lalu kelompok-kelompok islam, organisasi-organisasi islam dan mungkin saja oleh
negara-negara islam. Semoga organisasi-organisasi islam tidak menyatakan diri
lagi “kami masih netral” pada masa
tersebut -:).
Dimana
harus menempatkan pada tempatnya "khilafah ala minhajin nubuwwah"
dalam pembahasan "sesuatu"?
Umat
islam didalam sistem yang terpilih menang atau kalah, banyak atau sedikit,
bersatulah sebagai bentuk ibadah dan tujuan perjuanganmu dalam politik maka
berjuanglah dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan memperjuangkan,
menggolkan, merevisi atau mengajukan undang-undang yang prosyariat sebanyak
kemampuan dan semampu-mampu kesempatan yang diberikan Allah SWT itu. Bila ada
pelarangan jilbab, lawan dan coba golkan pembolehan jilbab atau lebih
terang-terangan lagi dengan kewajiban jilbab, antimiras versus pembolehan
miras, dsb. Biarkan masyarakat melek melihat, siapa dan apa. Jangan
ditunda-tunda dan jangan setengah-setengah lagi. Ormas islam dapat membantu
masukan draft RUU-nya. Jangan lihat kami, lihat niat dan ibadah Anda kepada
Allah SWT sesuai tempatmu berusaha keras tersebut dapat dilakukan, karena amal
dari usaha tersebut milik kalian. Dibalik fitnah yang besar punya pahala amal
yang besar pula. Gol atau tidaknya urusan Allah SWT. finishnya Tawakkallah.
“Dan Katakanlah:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah:
105)
“Dan Dia (Allah)
yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan
semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha
perkasa, Mahabijaksana.”
(Al-Anfal [8] :63)
Katakanlah: Hai
hamba-hamba Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada Nya sebelum datang
azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
60. Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.
61. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
62. Maka
bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna."
63. Mereka itu
adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena
itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
64. Dan Kami tidak
mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
65. Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.
66. Dan
sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau
keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali
sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan
pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih
baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
67. dan kalau
demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
68. dan pasti Kami
tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
69. Dan barangsiapa
yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.
70. Yang demikian
itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.
71. Hai orang-orang
yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah
bersama-sama! Qs.
An Nisaa'
Imam
Syihabuddin As Suhrawardi, Suatu saat datang kepada beliau pertanyaan, ”Wahai
Tuanku, jika aku meninggalkan amalan maka aku selamanya tidak memiliki amalan,
namun jika aku beramal maka aku terjangkit ujub, maka mana yang lebih utama?”
Imam As Suhrawardi pun menuliskan jawabannya, ”Beramalah dan beristighfarlah
dari ujub.” (Thabaqat Al Auliya, hal. 263)
“Sepeninggalku
akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat
orang yang memecah belah al-jamaah atau menginginkan perpecahan dalam
urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah
itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak
memecah belah al-jamaah (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash
Shaghir ).
Bentuk Jihad Modern
-http://ilalank.yu.tl/bentuk-jihad-modern.xhtml
Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan
dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat
Islam. Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan
dalam bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad
dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji,
membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah
Islam amar ma'ruf nahi munkar.
1. Perang
Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar berperang di jalan
Allah. Apabila kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk
berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan
oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela Diri, dan melindungi dakwah.
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:
"Mengapa kamu
tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik
laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami,
Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi-mu."
(Qs. An-Nisa[4]: 75)
"Di izinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu." (Qs.al-Hajj [22] : 39)
Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh
perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam
juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan,
minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan
proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera
dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau
menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran, peperangan dilakukan untuk
menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah
tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini
dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah, ayat 193:
"Perangilah
mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata.
Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap
orang-orang zalim."
(QS. Al-Baqarah: 193)
Demikian ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam
situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan,
peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan
dan membuat kerusakan di muka bumi.
2. Haji Mabrur
Haji
yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan,
haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa
Hadis, diantaranya:
Aisyah
ra berkata : Aku menyatakan kepada
Rasulullah SAW : Tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada
amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : Tidak ada,
tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji
menuju haji yang mabrur.
Pada riwayat al-Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
"Aisyah
menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad
beliau menjawab sebaik-baiknya jihad adalah haji."
3. Menyampaikan kebenaran kepada
penguasa yang dzalim
Dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan
Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan
kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan
perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara
damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan
yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim
disebutkan, antara lain, dalam hadist riwayat at-Tirmizi:
Abu
Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang zalim.
Kata A' dzam pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran
kepada penguasa yang zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin
mengandung resiko yang cukup besar pula.
4. Berbakti kepada orang tua
Jihad
yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada
pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika
mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap
harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap
orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)
Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.
Seseorang
datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian
Nabi SAW bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih,
Nabi SAW bersabda: Terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.
2528.
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata: "Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, aku
datang untuk berbaiat kepadamu guna hijrah (berperang), dan aku telah
meninggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis." Rasulullah
kemudian menjawab, "Kembalilah kamu kepada keduanya dan buatlah keduanya
tersenyum sebagaimana kamu telah membuat keduanya menangis." (Shahih)
2529.
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata: Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah,
bolehkah aku berjihad?" Rasulullah bertanya, "Apakah engkau memiliki
kedua orang tua?" Ia menjawab, "Ya (aku punya)," Rasulullah
kemudian berkata, "Berjihadlah (berbakti) kepada keduanya."
(Shahih: Muttafaq 'Alaih)
2530.
Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata: Seorang
laki-laki dari Yaman datang kepada Rasulullah (guna meminta izin untuk berjihad),
Rasulullah berkata, "Apakah di Yaman engkau memiliki seseorang
(keluarga)?" Laki-laki tersebut menjawab, "Aku masih memiliki orang
tua." Rasulullah bertanya, "Apakah keduanya telah mengizinkanmu
(untuk jihad)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak." Rasulullah
kemudian bersabda, "Kembalilah dan minta izinlah kepada keduanya. Apabila
keduanya mengizinkanmu maka berjihadlah, namun apabila tidak (mengizinkanmu)
maka berbuat baiklah kepada keduanya." (Shahih)
Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan
kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan
orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orangtua,
menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta
berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia termaksud membantu
pekerjaan/nafkah orang tua. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Isra[17] ayat 23: "Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka
sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia".
5. Menuntut Ilmu dan Mengembangkan
Pendidikan
Bentuk
Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di
dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :
Orang yang datang
ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau
diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang
siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat
kesenangan orang lain.
(riwayat Ibnu Majah)
Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu
sebagaimana disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad
di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu
sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi.
6. Membantu Fakir-Miskin
Jihad
yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama,
menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk
perhatian dan perlindungan atau bantuan material.
Hadis yang diriwayatkan Bukhari berikut ini menjelaskan:
Dari
Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan
orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah."
(HR. Bukhari)
Memberikan bantuan financial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda,
merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.
Sebab, jihad dan perhatian atau
kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan, keduanya sama-sama
membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah,
kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan
orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya.
Pemahaman jihad yang baik dan
berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense
of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengorbankan permusuhan,
menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamaian. Jihad, juga dapat
meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan melakukan
tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat
mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat mengggunakan
semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan
meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan
bangsa. Di tengah, banyaknya bencana dan musibah yang merenggut ribuan
nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat
diperlukan. by Difan
TIGA Pertanyaan
Dasar Buat Penganut Anti Demokrasi
Bismillah
…
Menjelang pemilu belakangan ini
seruan anti demokrasi oleh para Andemis (penganut paham anti demokrasi) lebih
ramai dari biasanya. Anggapan umum yang dipahami oleh Andemis adalah sebagai
berikut:
#1: “Demokrasi itu haram, sistem
kufur, tidak sesuai syariat Islam, tidak diajarkan Rasulullah, saatnya kembali
pada hukum Allah.”
#2: “Tinggalkan demokrasi, sistem
ini terbukti gagal mengelola negara. Gagal mengakomodasi hak dan kewajiban
ummat. Kembali pada syariah, tegakkan khilafah.”
#3: “Partai politik itu adalah
barang najis dan parlemen sebagai septic tank-nya. Jadi tidak mungkin kita bisa
menegakkan syariat Islam dengan kumpulan najis-najis di parlemen.”
Sebagai muslim memang harus
menempatkan hukum Allah diatas segalanya. Namun demikian mari kita lihat
kondisinya saat ini. Negara kita yang terdiri dari beragam agama dan
kepercayaan, suku bangsa, budaya dan adat istiadat, sejak awal berdirinya itu
dibangun dengan sebuah sistem demokrasi yang menurut Andemis dianggap sebagai
sistem kufur / bathil.
Untuk menanggapi tiga anggapan
umum di atas, di bawah ini ada TIGA pertanyaan dasar untuk Andemis.
Pertanyaan PERTAMA :
Bagaimana caranya merubah sistem
yang mereka anggap kufur ini menjadi tegaknya hukum Allah?
Sayangnya sampai saat ini belum
ada jawaban konkret dan teknis dari Andemis. Umumnya Andemis tidak pernah
secara terbuka menyampaikan detail teknis strategi bagaimana cara merebut
kekuasaan yang ada di tangan demokrasi. Apakah dengan cara menggalang revolusi,
pemberontakan, kudeta atau justru melalui demokrasi itu sendiri.
Andemis hanya memberikan petunjuk
untuk melaksanakan ajaran Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan
cara: membina umat. Dakwah tauhid adalah sarana untuk mencapai tujuan Andemis. Kita
harus setuju bahwa tauhid adalah pondasi yang menjadi doktrin utama dakwah
untuk tegaknya Islam. Ibarat sebuah rumah, pondasi adalah elemen terpenting
karena berimplikasi luas terhadap kekuatan bangunan diatasnya.
Namun jangan lupa, bahwa untuk
membangun sebuah rumah, kita harus membangun pondasi yang kokoh, juga harus
membangun dinding dan atap dari berbagai komponen yang terbaik. Jadi, pondasi,
dinding sampai atap adalah satu kesatuan. Kalau memahami esensi ini, maka akal
kita seharusnya berfokus pada upaya membangun sebuah rumah, yang tidak hanya
berpikir membangun pondasi. Pondasi yang kuat tanpa dinding dan atap menjadi
tak ada artinya karena kita tetap kehujanan dan kepanasan. Lama-lama kokohnya
pondasi itupun rusak hanyut terkikis air hujan dan rapuh karena kepanasan.
Memperkokoh aqidah / tauhid sebagai pondasi harus dilakukan bersama-sama dengan
upaya lain dalam konteks perubahan yang kita harapkan.
Satu hal yang Andemis lupakan
dalam membangun sebuah sistem adalah merenovasi rumah yang telah terbentuk itu
lebih sulit daripada membuat rumah baru. Satu-satunya cara adalah merobohkan
rumah kemudian membentuk rumah baru dengan desain baru mulai dari pondasi dan
seterusnya. Dalam konteks perubahan sistem, cara merubah sistem ini yang kita
pertanyakan bagaimana cara merobohkan sistem lama. Sayangnya tidak ada jawaban
yang pasti. Sedangkan mengganti sebagian dari isi konstitusi saja dilakukan
secara berdarah-darah seperti yang terjadi di Mesir. Itu hanya sebagian. Maka
bisa dibayangkan bagaimana berdarah-darahnya penggantian sistem jika dilakukan
pada bangsa yang heterogen seperti Indonesia?
.
MENCEGAH KEMUNGKARAN DENGAN KEKUASAAN
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “La’natullah ‘alas siyasah (laknat Allah kepada politik)”.
Nabi berkata demikian karena yang menjadi persoalan adalah manakala politik
yang dilaknat Allah adalah politik yang telah menjadi realitas kita di
hari-hari ini, seperti politik yang alpa berlandaskan moral, yang diisi
figur-figur haus kekuasaan tanpa pernah bertanya ke dalam hati untuk apa ia
berkuasa; politik yang hanya menitikberatkan perjuangan kepada usaha mengejar
kursi kekuasaan; politik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat
untuk menegakkan kebenaran.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan peringatan: “Kami
tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula
kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. [HR Al Bukhari no.7149
dan Muslim no.1733]
Allah pun juga berjanji, ”Kampung akhirat Kami sediakan buat
orang-orang yang tidak haus kekuasaan (sewenang-wenang), serta tidak berbuat
kejahatan di muka bumi…” [QS 28:83].
Politik yang dilaknat Allah itu
akhirnya menjadikan banyak kerusakan di negeri ini, di antaranya tingginya
kasus korupsi; penguasaan ekonomi oleh asing melalui tangan-tangan pribumi;
maraknya pornografi dan pornoaksi; tingginya tingkat pelecehan seksual terhadap
perempuan dan anak; peredaran miras yang tak terbendung, sehingga menjadi
pemicu angka kriminalitas, kecelakaan di jalan raya, perkelahian / tawuran
massal, KDRT, bahkan pembunuhan. Juga bebasnya penyebaran aliran sesat dan
munculnya nabi-nabi palsu, atau peng-khultusan yang berlebihan terhadap orang
yang dianggap ‘berilmu’; dan kerusakan lainnya.
Pertanyaan
KEDUA :
Bagaimana solusi Andemis
mengatasi kerusakan / kemungkaran tersebut SAAT INI dalam masyarakat demokrasi?
Pertanyaan pertama saja masih
belum konkret jawabannya dari Andemis, dari dulu hanya teori, sementara roda
zaman terus berputar, menggilas manusia-manusia lemah, makanya “saat ini” saya
tulis kapital; nah… sekarang sudah dihadapkan dengan pertanyaan kedua.
Betul, Allah melaknat politik,
BILA politik itu dijalankan dengan cara-cara kotor seperti di atas. Namun
demikian Rasulullah telah menyampaikan petunjuk mengatasinya. Dari riwayat Abu
Said al-Khudri, Rasulullah menyampaikan bahwa:
“Barang siapa di antara kamu melihat
kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya, sekiranya tidak mampu
maka dengan lidahnya, sekiranya tidak mampu lagi maka dengan hatinya. Cara demikian
(dengan hati) itu adalah selemah-lemahnya iman.”
“Dengan tangannya” kerap dimaknai
sebagai “dengan kekuasaannya”. Dan kekuasaan, tentu saja bersangkut akrab
dengan politik. Bahkan saking perlunya kekuasaan untuk menegakkan kalimat Allah
di muka bumi, Imam Al Ghazali pernah berkata:
”Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi dan
kekuasaanlah penjaganya. Sesuatu yang tidak berpondasi akan hancur, dan segala
yang tidak memiliki penjaga pasti akan musnah.”
Dengan demikian bukan berarti
Nabi menabukan politik dan menjadikannya hal yang harus dihindari. Bagi orang
yang berhati lurus dan amanah, politik adalah kerja melawan kekuatan
anti-kemanusiaan.
.
HINDARI SIKAP GHULUW TERHADAP PILIHAN
“Ah, semua parpol sama saja,
isinya koruptor, yang gak koruptor karena belum ada kesempatan saja”
“Partai dengan sedikit korupsinya
itu sama saja, kalau mereka ada kesempatan pasti juga menjarah yang lebih
besar”
Demikianlah obrolan para skeptis
di sebuah warung kopi.
Saya meyakini bahwa sikap ghuluw
(berlebihan) adalah sikap yang membentengi kita menjadi seorang yang tak bisa
berbuat apa-apa. Demokrasi adalah sebuah cara yang berada pada ruang ijtihad
yang bisa diukur dari dampak baik-buruknya. Andemis tahu kaidah Ahwan
asy-Syarrayn, memilih mudharat yang paling kecil / ringan diantara dua
mudharat. Sayangnya dengan jutaan alasan yang mereka ciptakan menolak memakai
prinsip ini atas dasar keharaman dan ketiadaan pilihan.
Menuntut kesempurnaan terhadap
pilihan adalah sikap ghuluw yang membuat waswas untuk memilih padahal kita
semua tahu tidak ada manusia yang sempurna, juga tidak ada sistem yang
sempurna. Yang ada adalah manusia dan sistem yang terus memperbaiki diri. Jika
terus bersikap mencari kekurangan dan kelemahan, mereka bisa dengan mudah mencarinya
pada siapapun calon kita.
Lebih parah lagi Andemis
melakukan kampanye pada umat Islam untuk meninggalkan demokrasi di saat negeri
ini berada dalam keterpurukan. Ini sungguh sikap yang tidak bijak dan dangkal.
Andemis tidak berpikir sejauh mana dampak demokrasi jika umat Islam
meninggalkan satu-satunya cara ini. Siapa nanti yang berkuasa?
Padahal diluar sana serigala sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme)
bahkan pikiran negatif yang lebih berbahaya akan dengan senang hati mengambil
kesempatan ini dan mereka meraih suara terbanyak. Mereka akan menguasai
Indonesia. Umat Islam akan terpinggirkan kembali karena tidak mempunyai
perwakilan di pemerintahan.
Andem: “Tinggalkan demokrasi,
sudah terbukti sistem ini gagal mengelola negara. Gagal mengakomodasi hak dan
kewajiban ummat.”
Prodem: “Lho, jika ditinggalkan, bagaimana ceritanya hak dan kewajiban ummat
bisa ditegakkan? Sementara pengelolaan negara diserahkan sepenuhnya pada
mereka?”
Demokrasi memang bukan dari Islam. Namun ada banyak prinsip demokrasi yang
sejalan dengan Islam, kita buang bila ada yang tidak sejalan. Memperdebatkan
demokrasi itu butuh waktu yang sangat panjang. Padahal “pertempuran pemilu”
sudah sangat dekat di depan mata. Para parpol sekuler dan teman-temannya telah
siap untuk menguasai Indonesia. Apakah kita memilih terus berdebat dan tidak
ikut pemilu, lantas membiarkan Indonesia dikuasai terus oleh orang-orang yang
tidak berpihak pada dakwah dan nilai-nilai Islam? Kapan nilai-nilai Islam bisa
tegak jika pemerintahan masih dikuasai oleh kalangan sekuler dan
teman-temannya?
Apakah orang-orang sekuler yang
menguasai pemerintahan mau ikut serta berjuang menegakkan nilai-nilai Islam di
Indonesia? MUSTAHIL!
Justru, mereka akan membuat banyak kebijakan yang merugikan umat Islam.
Satu-per-satu aset dan sumber daya alam Indonesia lepas ke tangan asing atas
nama kebijakan. Sistem pengelolaan pemerintahan yang lemah membuka peluang
korupsi yang lahir atas nama kebijakan. Pulau-pulau memerdekakan diri atas nama
kebijakan. Tumbuh suburnya kaum homoseksual dan disahkannya pernikahan sejenis
juga lahir dari sebuah kebijakan. Diterbitkan UU ormas versi anti Islam, bank
syariah dilarang, miras, prostitusi dan judi dilegalkan, jaminan produk halal
versi bukan Islam yang semuanya itu atas nama kebijakan. Produk hukum
substansinya jauh dari nilai-nilai Islam.
Kalau itu terjadi, umat Islam yang mundur dari demokrasi dan berada di luar
parlemen bisa apa?
Bagaimana cara kita bisa bilang
tidak sepakat pada kegilaan badut-badut politik di parlemen?
Dengan cara demo? Kudeta?
Yang jelas medan dakwah makin
berat kalau kondisinya seperti itu.
Apakah mau tiap hari kita demo
menolak UU legalisasi miras, judi, prostitusi, pornografi?
Apakah mau tiap hari kita
berhadapan dengan aparat?
Karena dikondisikan mengganggu
ketertiban umum dan dianggap merongrong kewibawaan pemerintah, apa mau Islam
kemudian menjadi musuh negara?
Lha… kenapa akhirnya justru Islam
yang harus diposisikan menjadi musuh negara?
Perdebatan soal boleh tidaknya
umat Islam berdemokrasi, ya sudahlah, memang banyak ulama yang mengharamkannya,
NAMUN yang memperbolehkannya juga banyak. Yang awalnya mengharamkannya pun
akhirnya banyak yang memperbolehkannya. Jika Anda mengaku peduli pada tegaknya
nilai-nilai Islam, saya kira hanya butuh LOGIKA SEDERHANA untuk memahami hal
ini. Allah lebih tahu mana yang lebih mulia, berdiam diri dan meninggalkan
arena; atau bertempur di arena parlemen untuk menegakkan nilai-nilai Islam di
muka bumi ini. Pilihan sikap Anda akan dipertanggung-jawabkan kelak di depan
Allah.
Sungguh mengerikan, apa yang akan
kita jawab di hadapan Allah ketika ditanya, kenapa hukum-hukum yang bukan hukum
Allah dibiarkan diproduksi di parlemen?
Mendiamkan hukum negeri ini diputuskan oleh orang-orang yang tidak berpihak
pada Islam itu hal yang mengerikan. Di medan perang, rudal menjadi senjatanya.
Di medan pertarungan parlemen, argumen, kata-kata, fakta-fakta dan data-data
menjadi senjata. Oleh karena itu, umat Islam yang amanah dan lurus harus
menguasai parlemen.
.
DEMOKRASI ADALAH WASILAH UNTUK
MEMAKSIMALKAN KEBAIKAN
Kita yang permisif dengan keadaan
ini tentu menerima sistem demokrasi karena memang sekarang tak ada jalan lain.
Kita cuma bisa melakukan penguatan demokrasi melalui peran serta dalam
demokrasi yang terlanjur jadi pilihan bangsa. Demokrasi adalah alternatif
wasilah untuk memaksimalkan kebaikan dan meminimalkan keburukan dengan realitas
yang kita hadapi sekarang.
Pertanyaan
KETIGA :
Bagaimana cara memaksimalkan
kebaikan melalui sikap anti demokrasi? atau Bagaimana bisa menjadi agen
perubahan melalui sikap anti demokrasi?
Berikan saya jawaban yang
sifatnya teknis dan applicable.
Saya yakin sampai saat ini bahwa sikap ke-anti demokrasi-an tidak mengubah
apapun, tapi jika ikut terlibat masuk dalam sistem, tentu bisa membenahi, meski
baru sebagian. Saya coba paparkan beberapa contoh nyata di bawah ini:
Contoh 1 :
Ingat sejarah bagaimana
berdarah-darahnya perjuangan untuk menghasilkan UU Perkawinan. Pada tanggal 16
Agustus 1973 pemerintah RI mengajukan RUU Perkawinan. Sebulan sebelum
diajukannya RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam yang
menilai bahwa RUU tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan RUU
tersebut membuka peluang untuk mengkristenkan Indonesia. Di lembaga legislatif,
Fraksi PP (PPP) adalah fraksi yang paling keras menentang RUU. Perjuangan
berhasil, kemudian lahirlah UU Perkawinan seperti sekarang ini. Bayangkan kalau
umat Islam saat itu berada di luar parlemen.
Kita bisa saja bilang bahwa kalau Andemis menikah, maka itu sama dengan
menikmati produk septic tank. Sadar gak itu? Bukankah semua produk demokrasi
itu dianggap najis oleh para Andemis.
Contoh 2 :
“Munculnya RUU ormas, yang isinya
mau memberangus ormas Islam”. 100% Andemis tidak bisa menggagalkannya. Namun
justru PKS lah yang duduk di parlemen yang bisa menggagalkannya. PKS bertarung
di parlemen agar hukum Islam tetap tegak, dan ormas-ormas Islam bisa berdakwah
dengan tenang saat asas tunggal (Pancasila) dibatalkan. Sejumlah poin telah
ditolak PKS dalam RUU Ormas misalnya soal keharusan menggunakan azas Pancasila
bagi seluruh ormas di Indonesia. Baca The
Globe Journal.
Aneh rasanya bila ada ormas Islam yang kemudian bersikap seolah-olah menghabisi
/ menggembosi perjuangan saudaranya di parlemen, padahal eksistensinya di bumi
Indonesia diperjuangkan saudaranya di parlemen karena cintanya.
Contoh 3 :
“Kasus pembangunan RS Siloam dan
Lippo Superblock di Sumatera Barat”. Andemis tidak bisa menggagalkannya. Suara
PKS yang minoritas di DPRD Sumbar awalnya gagal, namun akhirnya berhasil
menggagalkannya. Baca Sindo
News.
Jadi kalau ada Andemis nyinyir
terhadap seorang tokoh publik, misalnya gubernur Ahmad Heryawan (Aher), menurut
saya tidak relevan dengan 0 persen kontribusi Andemis. Aher sudah membangun
ribuan ruang kelas, membuat jalan-jalan di Jabar mulus, dan seterusnya, sesuatu
yang pasti Andemis tidak lakukan. Ke-andem-an tidak bisa mengubah tata kota,
tapi merebut posisi kepala daerah melalui jalur demokrasi bisa mengubah tata
kota.
Melihat posisi kita masing-masing
berdasarkan beberapa contoh di atas, maka berlaku hukum:
Hukum Pertama: “Apa yang belum bisa kami mengubahnya, dipastikan Andemis juga
tidak bisa mengubahnya”.
Hukum Kedua: “Apa yang kami bisa
lakukan, biasanya Andemis tidak lakukan”.
Sikap anti demokrasi terbukti
tidak mampu merubah apapun. Lha wong nonton dan berkomentar saja, apa yang mau
diubah. Bila mampu berlaga di lapangan kenapa harus memilih menjadi penonton?
Saya bingung dengan logika Andemis ketika memprotes sesuatu yang mereka sendiri
juga tidak berdaya mengubahnya.
Apa yang bisa dilakukan dengan sikap andem dan golput? Nothing. They just
barking. Selalu mengutuk kegelapan. Mereka berharap munculnya orang dan keadaan
ideal dengan instan.
Tidak satupun butir syariah yang
berhasil ditegakkan siapapun yang mengaku Andemis dalam UU negara ini. Saya
katakan 0 persen bagian Islam yang sudah berhasil dimasukkan Andemis dalam
aturan negeri ini. Sedangkan Pak Yusril Ihza Mahendra dengan kewenangannya dulu
sebagai menteri, telah menggulirkan 100 lebih aturan yang diambil dari hukum
Islam. Juga wakil-wakil kita dari fraksi PKS dan partai berbasis Islam lainnya
(PBB dan PPP) berhasil menggawangi lahirnya berbagai produk hukum yang sarat
dengan nilai-nilai Islam. Apa Andemis tidak tahu atau pura-pura diam saja?
Mendiamkan dan memimpikan kemenangan Islam adalah utopis.
Benar,
Undang-Undang di negeri ini dibuat manusia. Tapi jika lebih banyak manusia
shalih dan taat yang menyusunnya, bukankah akan seiring sejalan dengan syariat?
Benar
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah hukum terbaik. Lalu apakah Al-Qur’an dan
Sunnah punya kaki tangan untuk menjelmakannya dalam kehidupan? Bukankah
hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah itu harus diperjuangkan?
.
MENJEGAL LANGKAH PERJUANGAN MENUJU
PARLEMEN
Andem: “Ya, kita berjuang bersama
saja. Apa gak kapok? Ummat Islam sejak pemilu pertama di Indonesia sampai saat
ini selalu gagal menegakkan hak dan kewajiban ummat melalui parlemen.”
Prodem: “Sungguh aneh … Saudara ingin kami membuktikan keberhasilan perjuangan
kami di parlemen. Sementara saudara justru menjegal langkah kami dan turut
andil memperkecil suara kami di parlemen.”
Andem: “Kami bukan menjegal, kami hanya ingin membuka mata. Menegakkan syariat
itu tak bisa dilaksanakan jika sistemnya kufur. Sudah terbukti adanya umat
muslim di parlemen sejak dulu, tapi syariat tetap tidak tegak sepenuhnya.”
Prodem: “Coba Anda baca sejarah. Pernahkah perwakilan dari partai berbasis
Islam mendominasi parlemen? Jika tidak pernah, dan memang belum pernah,
bagaimana Anda memvonis bahwa perjuangan di parlemen itu pasti gagal? Sementara
tidak pernah satu kali pun perwakilan partai yang berbasis Islam menjadi
mayoritas dalam parlemen negeri ini.
Bagaimana Anda, para aktivis dakwah, akan menerapkan syariat untuk kemaslahatan
umat, sementara Anda malah menjegal orang-orang yang berjuang atasnya?
Bagaimana Anda menerapkan syariat
dan melegalkan syariat dalam undang-undang, sementara Anda meninggalkan medan
pertempuran sesungguhnya?
Kami menggunakan demokrasi, untuk
menebar sebanyak-banyaknya kebaikan dan menciptakan sebanyak-banyaknya
kemaslahatan bagi umat.
Kami menggunakan demokrasi, agar
yang benar menurut syariat dilegalkan pelaksanaannya dalam undang-undang negeri
ini. Pun sebaliknya. Kami menggunakan demokrasi, agar apa yang dipandang buruk
oleh syariat, dipandang buruk secara legal dalam undang-undang. Produk-produk
undang-undang yang sejalan dengan syariat telah banyak dihasilkan. Jangan
dikira tidak ada pertempuran disana.
Saya kadang-kadang gagal paham,
kenapa umat Islam yang Andemis itu biasanya sangat kritis terhadap umat Islam
yang melibatkan diri pada demokrasi. Tapi ketika yang menguasai pemerintahan
adalah dari kalangan sekuler, mereka seperti kehilangan sikap kritis. Aneh,
bukan?!
Jika mengajak umat Islam aktif
memberikan kontribusi kepada negeri dengan cermat menggunakan hak suara dan
memilih cerdas di Pemilu, itu dituduh sebagai jualan agama. Lantas fungsi agama
untuk apa? Apakah hanya cukup yasinan dan shalawatan atau celana cingkrang dan
janggut panjang atau mengibarkan bendera Laa Ilaaha Illallah saja?
Jika mengajak umat Islam untuk
sadar dan bangkit melawan penindasan kaum minoritas melalui
budaya-ekonomi-sosial-politik- dianggap provokator dan teror atas nama agama.
Lalu fungsi ajaran agama sebagai amar makruf nahi munkar dibuang kemana?
Sebagai umat Islam di Indonesia, kita
terus menerus dinina-bobokan dengan jurus-jurus mabuk Andemis. Saat mabuk
itulah kita tidak peduli ada banyak masjid dirobohkan, nyawa muslim dibunuhi,
parlemen-presiden-birokrasi dikuasai para penjahat, semua segmen bisnis
dikuasai minoritas. Kita bangga hanya menjadi pegawai rendahan di tempat –
tempat yang seharusnya kita lah yang mengelola dan memakmurkannya. Lantas
relakah agama Islam yang tersisa dari diri kita hanya berupa kain sarung, baju
koko, peci, yang kemudian tanpa sadar semuanya bukan made in Muslim tapi made
in Non Muslim. Bahkan relakah kita jika Al-Qur’an kitab suci yang kita baca
tiap hari adalah Al-Qur’an yang dicetak bukan oleh perusahaan Muslim? Mengapa
kalau seorang Kiai-Ustadz-Ulama melarang Golput disebut jualan agama?
Padahal di luar sana, umat non muslim justru dihimbau oleh pemuka agama mereka
untuk tidak golput! Baca Seruan
Ketua PGI. Sementara orang-orang sekuler pun ramai-ramai mendukung parpol
sekuler.
Bisa Anda bayangkan wajah umat
Islam di Indonesia pasca Pemilu 2014. Wajah-wajah memelas dan terpinggirkan.
Mau seperti itu?!
Masih mau terus memecah belah sesama umat Islam sendiri, sementara “mereka”
justru sedang membangun kekuatan untuk bersatu dan meminggirkan peran umat
Islam?
Jika Anda peduli dengan tegaknya
nilai-nilai Islam di bumi pertiwi ini, mari gunakan hak pilih Anda dengan baik
pada pemilu 2014 nanti.
Mari tanamkan selalu rasa optimis
dalam medan demokrasi ini. Jangan berburuk sangka. Masih ada orang-orang baik
yang mau berjuang untuk kebaikan. Maka tugas kita adalah: menjadi orang baik,
berkumpul dengan orang-orang shalih, menyiapkan pemimpin shalih dan amanah
dalam dakwah. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus kita rebut
dan menangkan untuk menebar kebaikan dan menciptakan kemaslahatan yang lebih
besar. Dan merebut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidak bisa
dilakukan dengan sikap anti demokrasi dan golput.
Mari kita Say No to Golput!
Salam hangat tetap semangat,
06.04.2014
Selain itu persiapkan generasi
muda (anak-anak) Anda, karena kita tidak tahu apa yang akan berlangsung di
depan hari kemudian, kan bisa saja dan siapa tahu merekalah generasi yang
berhadapan langsung dengan Dajjal dan huruhara dunia, kalaupun tidak, maka
jadikan generasi muda adalah pijakan kokoh bagi kehidupan dan kebangkitan
islam. juga makin maksimalkanlah dakwah kepada militer dan peradilan, kuatkan
pondasi iman dan takwa mereka, sebab dipundak merekalah kokohnya hukum dan
peradilan yang amanah atau ada wajib militer beberapa masa buat lulusan
pesantren, kan bagus tuh bisa menularkan amanah dan bisa menjadi penopang yang
bagus terhadap kedaulatan hukum yang beramanah, tapi sih dakwah mah udah keharusan
disegala bidang yang bisa dan semampu-mampu kekuatan dan kesempatan yang diberi
Allah padamu, dsb.
Bila
ada kerjaan yang butuh dua tangan namun ternyata tangan yang satu lumpuh maka
kerja tangan yang lainnya tidak akan maksimal dan mungkin saja tidak bisa
kelar, masih mendingan seperti itu namun bagaimana bila tangan yang lumpuh
menyebabkan tangan yang lain ikut lumpuh pula.
2535.
Dari Ibnu Zughb Al Iyadi, ia berkata: Abdullah bin Hawwalah Al Azdi datang
kepadaku dan berkata, "Rasulullah
SAW mengutus kami untuk mencari ghanimah dengan usaha kami sendiri, kemudian
kami kembali dan tidak mendapatkan ghanimah sama sekali. Rasulullah mengetahui
jerih payah pada wajah kami, maka beliau berdiri di tengah-tengah kami dan
bersabda, "Ya Allah! jangan bebankan mereka kepadaku sehingga aku menjadi
lemah, jangan bebankan mereka terhadap diri mereka sehingga mereka menjadi
lemah, serta jangan bebankan mereka kepada orang lain sehingga mereka
mementingkan diri mereka sendiri." Setelah itu Rasulullah meletakkan tangan
beliau di kepalaku kemudian bersabda, "Wahai Ibnu Hawalah! Jika kamu
melihat kepemimpinan telah berada di tanah suci, maka gempa, cobaan, serta
permasalahan besar telah dekat. Hari Kiamat pada waktu itu lebih dekat dengan
manusia daripada kedekatan tanganku ini dengan kepalamu. " (Shahih)
Ulama, Politik dan
Nahi Munkar
Oleh:
Kholili Hasib
Ulama,
bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga (hafidz) dan
menempatkan sesuatu pada tempatnya (‘adil). Karena itu, aktifitasnya bisa
terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, politik, budaya
dan bidang-bidang fardhu kifayah lainnya.
Amanah,
salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar
kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram
mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak.
Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin
mudah menyebar.
Imam
al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh
kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan
ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan
barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat
kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’
Ulumuddin II hal. 381).
Masyarakat akan rusak, jika meninggalkan nahi munkar, rusak peradabannya,
menjadi peradaban badlawah (primitif), tidak beretika dan beradab. Lebih ironis
lagi jika diucapkan oleh seorang yang disebut ulama. Maka kata imam al-Ghazali
kerusakan masyarakat dikarenakan rusaknya ulama.
Imam
Ibnu Hajar meriwayatkan sebuah hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang
berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim). Biasanya, krisis
yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa
para ulamanya.
Kewajiban
nahi munkar dibebankan kepada ulama yang menyertai politik atau di luar
politik. Allah berfirman: “Hendaklah
di antar kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Dan Merekalah termasuk orang-orang yang beruntung.” (QS.
Ali Imran: 104). Ulama yang berpolitik tantangan dan tanggung jawab yang
dipikulnya lebih besar. Ia harus menjadi
‘alat’ agama. Bukan menjadi ‘alat’ penguasa.
Maksud
amanah adalah ulama itu merupakan seorang ‘pekerja’ Nabi, bukan ‘pekerja’
penguasa. Ulama berperan sebagai alat menyebar kepentingan Islam dan kaum Muslimin,
memberi keadilan, dan menjaga kesejahteraan ruhani.
Sedangkan
ulama non-politik harus menjadi rujukan dan diminta pandangannya tentang
kepentingan agama dan bangsa. Menunjukkan kewibawaan ilmunya. Bukan tunduk
kepada penguasa.
Ulama
tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh
negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan
peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.
Ketika,
penguasa menghambat kepentingan kaum Muslimin, ulama haram untuk berdiam diri.
Wacana terbaru misalnya, isu tentang penghambatan/penghapusan peraturan syariah
Islam oleh kaum minoritas. Ketika minoritas otoriter, dikhawatirkan memecah
kesatuan NKRI.
Justru
sangat wajar jika mayoritas memiliki kendali kuasa mempraktikkan syariah.
Harusnya, yang minoritas menghormati, yakni menghormati atas hak-hak mayoritas
memegang kendali. Sedangkan mayoritas melindungi kebebasan berkeyakinannya kaum
minoritas. Inilah keadilan, bukan kesema-menaan.
Otoriteriarisme
kaum sekuler-liberal tidaklah cukup dinasihati, tapi harus dihambat gerak
lajunya. Karena ideologi sekular-liberal merupakan bentuk kemungkaran akidah
yang wajib dicegah.
Persoalan
besar yang kini dihadapi kaum Muslimin adalah, objektifitas ulama ketika berada
dalam kendaran politik. Ulama dalam pusaran politik praktis, jika tidak
berhati-hati akan mempolitikkan ilmu dan agama.
Pandangan
agamanya akan dipengaruhi oleh ideologi politiknya. Isu anti penerapan syariah
tidak begitu serius ditanggapi oleh ulama di barisan pencegah syariah. Justru
senantiasa mencari kesalahan musuh politiknya, bukan memberantas musuh
agamanya.
Para
ulama, harusnya mengingat lekat perkatan Ibnu Hajar, bahwa siapa saja yang diam
ketika kemungkaran meluas, maka laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya
akan melaknat dia (Imam Ibnu Hajar, al-Shawaiq al-Muhriqah,10).
Belum
lama ini, ulama dari Bandung, KH. Athian Ali, mengingatkan, jika ada ulama yang
mendukung penolakan hukum Islam, maka kemungkinan mata hatinya sudah gelap dan hubbuddunya
(cinta dunia).
Pemimpin
agama yang hubbuddunya merupakan pemimpin yang fasik. Menurut imam al-Ghazali,
seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat.
“Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama suu’). Cirinya, menjual
ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi – kedudukan (jaah),
harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan – demi
kepentingan sesaat.
Ulama
Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan,
mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa. Cirinya, mereka selalu memuji-muji
raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi.
Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak
mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni
ikhlas karena menginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Patutlah
para ulama kini melaksanakan nasihat Syaikh Hasyim Asyari dalam salah satu
kitabnya: “Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau
terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara
furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu
benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi
pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan
hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam,
berusahalah memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan
perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad
dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (al-Tibyan,
hal. 33).
Beliau
mendorong keras kepada para ulama untuk bersama-sama membela akidah Islam.
Tidak fanatik buta serta menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan
akidah Islam.*
Penulis
adalah peneliti InPAS
Rep:
Administrator
Editor:
Cholis Akbar
Menyatukan
Dua Ijtihad Berbeda dalam Satu Visi dan Misi
Masalah intern umat memang harus
saling membenahi, tapi kalo urusan negara, kita mesti bersatu, ayo kita
belakangkan dulu perbedaan antar kita yang nantinya bisa memecah bela kita,
padahal kita BISA SATU dalam TALI AGAMA ALLAH.....!
Sahabatku...jika kita melihatnya
sebagai perebutan kursi, jabatan atau kedudukan, tentulah kita sangat kecewa
maka mari kita lihat kedalam lagi, partai adalah media dalam perjuangan. Islam
harus menjadi rahmat bagi semesta alam, bagi manusia dan alam sekitarnya, termasuk
dengan partai politik. Islam harus ada dimana-mana, harus bersuara untuk kepentingan
umat dan da'wah, jika apa yang kita sangka jelek, belum tentu menjadi jelek, setelah
mereka bertemu, berikrar...lalu berpencarlah...tebarkan kedamaian dan kebaikan...suarakan
suara umat...berdo'alah semoga apa yang mereka lakukan bukan karna kursi, jabatan
atau kedudukan tapi karena da'wah, karena kepentingan umat.
Terdapat dalil tentang keabsahan
berbeda pendapat dalam bagian furu’iyyah, Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim
meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab: “Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah
jalan, maka berkatalah sebagian mereka: ”Kita tidak shalat sampai tiba di
sana.” Yang lain mengatakan: ”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang
beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela
yang manapun.
Ibnu Hajar
Al-’Asqalani radhiyallahu anhu (dalam Al-Fath) setelah menerangkan
sebagian isi hadits ini mengatakan: “Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para
sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak
memperdulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap
larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan
hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh
peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq.
Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir “Dari
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan shalat ashar pada hari perang Khandak setelah matahari terbenam
kemudian setelah itu beliau shalat maghrib.” (HR. Bukhari & Muslim)
… Yang lain memahaminya sebagai
bermakna kiasan “untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah”.
Dari hadits ini, jumhur mengambil
kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.
”Ibnul Qayyim radhiyallahu anhu mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131): “Ahli
fiqih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu
kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya
kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Dan kita
tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti
perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan dzahir
hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang
benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh
dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani
Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dengan mendirikan
shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua
keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya…..
Sedangkan mereka yang
mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima
satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah
menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sedangkan yang
segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak
mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil.
Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga
menerima pahala.” Wallahu a’lam.
Coba perhatikan nasehat yang
bagus dari Ibnu Taimiyah berikut ini, “Adapun perselisihan dalam masalah hukum
maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang
berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak
akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar
radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah,
tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)
Kembali Ibnu Taimiyah
melanjutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para
sahabatnya, “Janganlah seorang pun shalat
melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.” Di antara mereka ada yang sudah mendapati
waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah
mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan
shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat
‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada
waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda
tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu
‘Umar.
Hal di atas berkaitan dengan
masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang
krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula.
(Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)
Juga coba renungkan apa yang
dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama
kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya, “Wahai Abu Musa, bukankah
kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu
masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Setelah membawakan perkataan Imam
Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan
dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.”
(Idem, 10: 17).
“Kami ingat kata Ibnu Taimiyah:
Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dari yang buruk. Akan
tetapi, orang yang cerdas adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua
kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan.”
Sebagai penguat dari pendapatnya, pemimpin redaksi web muslim.or.id ini menukil
sya’ir yang pernah dilantunkan Ibnu Taimiyah: “Orang yang cerdas ketika terkena
dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.”
Memang, kondisinya sekarang sudah
darurat dan bahaya, dan ancaman sangat nyata dari kafir musyrikin.
Dalam kajian Maqashid Syariah
kita mengenal istilah “Adh-Dharuriyyat al Khams” (lima perkata darurat), yaitu
Agama, Akal, Jiwa, Keturunan dan Harta. Kelima perkara ini senantiasa dijaga
oleh Syariat, karena ia bersifat primer, sangat penting dan darurat untuk
keberlangsungan hidup manusia di dunia dan kesuksesan mereka di akhirat.
Sehingga, manakala kelima perkara ini, atau salah satunya dalam kondisi
terancam, situasi itu dapat dinyatakan sebagai “situasi darurat”. Dan dalam
kaidah fikih dikatakan, “Adh-Dharuratu tubiihu al Mahdzuraat” (Keadaan darurat
membolehkan hal yang dilarang).
Dalam konteks politik di negeri
ini, secara faktual, pemimpin dipilih melalui mekanisme politik yang mengacu
kepada sistem demokrasi. Kita pun mengetahui bahwa demokrasi bukan dari Islam,
bertentangan dengan syariat, dan bahkan, asas-asasnya mengandung kekufuran.
Namun, berpartisipasi dalam sistem ini tidak menjadi haram secara mutlak. Dalam
situasi darurat, perbuatan itu dapat dilegalkan.
Memiliki pemimpin kafir atau
sosok yang anti Islam tentu sebuah madhorot yang mengancam eksistensi
“lima perkara darurat diatas”. Betapa banyak negeri Islam yang berubah menjadi
negeri kafir karena sebab penguasa atau pemimpin yang kafir, seperti Spanyol,
Iran dan lain-lain. Betapa banyak juga kaum muslimin yang kehilangan nyawa dan
harta mereka gara-gara dipimpin oleh orang kafir, seperti yang terjadi di
Suria, Burma dan lain-lain.
Dari sisi agama sangat jelas.
Pemimpin kafir atau anti Islam akan menghalangi manusia dari jalan Allah,
membatasi ruang gerak pada dai untuk berdakwah, membiarkan kebatilan menyebar
dimana-mana, bahkan bisa jadi sampai taraf membantai ahli Islam.
Maka, memilih untuk
berpartisipasi dalam produk demokrasi seperti pemilu atau pilpres, bukan sikap
seorang yang bermental tempe, ABG atau kabayan, bukan pula sikap takut kepada
selain Allah. Sangat keji tuduhan-tuduhan seperti itu padahal memilih sikap
untuk berpartisipasi pun didukung oleh fatwa banyak para ulama, baik secara
personal atau kolektif. Memilih berpartisipasi justru menunjukkan sikap
waspada, berorientasi mulia dan beritikad menunaikan wasiat Syariat untuk
mengupayakan Ishlah (perbaikan) dan taghyiir al munkar (merubah kemungkaran)
sesuai dengan kemampuan.
Dan satu hal yang harus difahami,
bahwa perbaikan membutuhkan proses dan merubah kemungkaran tidak berarti
melenyapkan kemungkaran secara sempurna, namun juga bermakna mengurangi
kemungkaran dan potensi bahaya yang mengancam. Sikap memilih untuk
berpartisipasi juga dalam rangka mengamalkan firman Allah, “Fattaqullaha mash tatho’tum” (Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan
kemampuan).
Berbicara tentang demokrasi,
setidaknya dapat kita tilik dari dua sisi. Yang pertama, adalah berbicara
tentang demokrasi dari sisi konsep dan asas demokrasi, serta apa yang menjadi
pandangan dan keyakinan kita terhadapnya. Dan ini jelas, sebagaimana yang telah
diutarakan di atas.
Yang kedua, berbicara tentang
demokrasi dari sisi sikap dan respon kita terhadap sistem tersebut, yang secara
faktual, tidak ada sistem politik yang lain di negeri ini. Sikap atau respon
terhadap sesuatu, tentu tidak hanya ditentukan oleh variable tunggal; yaitu
keyakinan. Sikap atau respon, selain ditentukan oleh keyakinan, juga
dipengaruhi oleh variable-variable yang lain, yaitu situasi dan kondisi yang
melingkupi saat kita harus mengambil sikap dan menentukan respon.
Maka terkadang, hal yang kita
yakini buruk, bisa jadi kita lakukan. Dan sebaliknya, hal yang kita pandang
baik, bisa jadi kita tinggalkan. Kapan kita memilih yang buruk? dan kapan kita
ternyata meninggalkan yang baik? Nah, inilah kemudian yang menjadi dasar
kemunculan konsep Syariat, “Jalbul
Mashalih wa Taktsiiruhaa wa Dar`ul Mafasid wa Taqliiluhaa” (Mendatangkan
maslahat dan memperbanyaknya, serta mencegah bahaya dan menguranginya). Ya,
pertimbangan-pertimbangan maslahat dan mafsadah inilah jawabannya.
Kita bisa saja melakukan sesuatu
yang buruk, untuk meraih kemaslahatan yang besar, atau untuk mencegah keburukan
yang lebih parah. Sebagaimana kita juga terkadang meninggalkan yang baik, untuk
meraih kebaikan yang lebih besar, atau untuk mencegah kerusakan yang lebih
besar. Sehingga dalam Syariat juga terdapat kaidah, “Tarkul waajib limaa huwa aujab” (Meninggalkan yang wajib untuk meraih
yang lebih wajib), “Irtikaabu akhaffu adh-dhararain” (memilih kemadaratan
teringan), atau “Irtikaabu al mafsadatish shughraa li daf’il mafsadatil kubraa”
(memilih kemadaratan yang kecil untuk mencegah kemadaratan yang besar).
Begitu pun halnya dalam sikap dan
respon kita terhadap demokrasi, walaupun kita menganggap demokrasi adalah
keburukan, namun tidak selalu berarti sikap yang kita pilih adalah
meninggalkannya secara mutlak. Jika ia sejalan dengan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah syariat diatas, ia bisa menjadi legal. Jika tidak, maka ia haram
sebagaimana asalnya.
Nilai dan kaidah yang saya
sampaikan diatas bukan berdasar pada akal-akalan semata. Terdapat banyak dalil
dari Al Qur`an dan Sunnah yang mengafirmasi legalitas kaidah diatas.
Diantaranya:
Pertama: Kisah
Ammar bin Yasir yang mengatakan kata-kata kufur karena jiwanya teracam. Saat
hal ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada Ammar, “Bagaimana keadaan hatimu?” “Tenang dalam
keimanan”, Jawab Ammar. Beliau kemudian berkata, “Jika mereka kembali melakukan
hal itu, maka ulangilah perbuatanmu itu.” Kejadian ini menjadi sebab
turunnya firman Allah (yang artinya),
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”
(An Nahl: 106)
Kedua: Firman
Allah tentang mencela sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik (yang artinya),
“dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Al An’aam: 108)
Ibnu Katsir berkata, “Firman
Allah melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman
mencela sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik, walaupun padanya ada
kemaslahatan, namun hal itu akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar
darinya, yaitu balasan orang-orang musyrik dengan mencela sesembahan
orang-orang beriman, yaitu Allah, tidak ada sesembahan yang hak disembah selain
Dia.”
Ketiga: Nabi
Yusuf ‘alaihissalam yang meminta jabatan kepada Raja Mesir. Allah berfirman
menghikayatkan tentang Yusuf,
“Berkata
Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
(Yusuf: 55)
Menjadi bagian dari pemerintahan
seorang raja kafir tentu saja mengandung keburukan, namun ketika ada
kemaslahatan yang diharapkan dengan melakukannya, Nabi Yusuf pun melakukan hal
itu, yaitu agar ia bisa mewujudkan keadilan dalam mengelola hasil-hasil bumi
selama tujuh tahun masa paceklik.
“Dan Sesungguhnya
telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu
Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)
Raja
mesir pada kisah nabi Yusuf as, kita dapat memaklumi bahwa dengan kekafiran
yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara
tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja,
tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi
dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk
menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak
menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan
apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan
kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya,
suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu
termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah
kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)
Dari
Abu Dzarr RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Dzarr, engkau itu orang yang lemah, kepemimpinan itu amanat
Allah yang kelak di hari Kiamat membawa kehinaan dan penyesalan kecuali bagi
orang yang mendapatkannya dengan pantas dan menunaikan dengan baik. (HR.
Muslim)
Ancaman
neraka bagi yang memilih pemimpin karena : Pertemanan, Suka dan Tidak Suka, dan
Dunia. Rasulullah Saw bersabda : Siapa
yang mengurusi urusan Kaum Muslimin, kemudian mengangkat Pemimpin atas mereka
karena Kekeluargaan atau Pertemanan, Kepentingan atasnya, maka laknat Allah,
tidak diterima darinya taubat dan tebusan sampai memasukkannya ke neraka. (HR
Ahmad : 21).
*Mendahulukan
kepentingan agama.
Keempat:
Rasulullah menyarankan para sahabatnya untuk hijrah ke negeri Habasyah, karena
di Mekah intimidasi kaum musyrikin Quraisy semakin menjadi-jadi. Negeri
Habasyah adalah negeri kafir, tentu sesuatu yang madorot menetap di negeri
kafir, namun manakala menetap di sana lebih baik daripada tinggal di kota
Mekah, hal itu menjadi pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima:
Perjanjian Hudaibiyyah. Pada saat Rasulullah bersama kaum muslimin hendak
menuju Mekah untuk melaksanakan Umrah, mereka dihadang oleh orang-orang
Quraisy. Pada saat ini lah kemudian terjadi perjanjian antara kaum muslimin
dengan orang-orang musyrik. Saat akan dituliskan poin-poin perjanjian, delegasi
orang Quraisy sempat menolak lafadz Ar-rahman dan Ar-rahiim, dua nama Allah.
Begitu juga menolak lafadz “rasulullah” setelah nama Muhammad. Belum lagi
poin-poin perjanjian itu secara lahir merendahkan kaum muslimin. Sehingga Umar
sempat berkata, “Limaa nardhaa bid daniyyah?” mengapa kita rela dengan
kerendahan?”
Mengapa semua itu dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal nampak secara lahir semua itu
adalah keburukan? Lagi-lagi pertimbangannya adalah maslahat dan madhorot.
Beliau ingin perjanjian itu terwujud, agar beliau dan kaum muslimin memiliki
keluasaan untuk berdakwah tanpa ada gangguan dari orang-orang musyrik.
Keenam: ketika telah jelas bagi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hakikat sebagian orang-orang munafik dan
keharusannya untuk dibunuh secara hukum syariat, beliau tidak melakukannya dan
beralasan, “Agar orang-orang tidak mengatakan
bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.” (HR Bukhari)
Beliau tidak membunuhnya dalam
rangka mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan ahli Islam,
juga dalam rangka mencegah datangnya keburukan yang lebih besar yang dapat
timbul dari keburukan yang ditimbulkan dari tidak membunuhnya.
Hal itu karena jika orang-orang
berbicara dengan pembicaraan seperti itu (Muhammad telah membunuh sahabatnya)
dan berita tersebut menyebar, sementara sebabnya tidak mereka ketahui, maka
yang demikian akan menjadi perkara yang dapat menjauhkan orang-orang musyrik
dari masuk kepada agama ini. Karena pendengaran mereka telah dijejali dengan
pembicaraan seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa selamat dari
pembunuhan dengan masuk Islam itu tidak benar. Maka mereka lari dari agama ini
dan menjauh sejauh-jauhnya. Sumber: http://sabilulilmi.wordpress.com
Suasana yang begitu hangat
menjelang Pemilu mempengaruhi semangat orang untuk membicarakan tentang memilih
siapa?, apa pertimbangannya?, apa positifnya fulan?, dan apa negatifnya?.
Keadaan inilah yang kemudian membuat “publik figur” yang ada didalam sebuah
komunitas, baik lingkup kecil maupun lingkup besar menjadi sangat didengar
kata-katanya, diperhatikan sikapnya dan ditunggu kesimpulannya.
Cinta, benci, harapan, putus asa,
kedekatan, simpati, antipati, empati dan ambisi merupakan sikap-sikap jiwa yang
sangat berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang dalam memilih dan
menolak untuk menggunakan hak pilihnya.
Ada kenyataannya memilih dan
tidak memilih bagi orang yang memilki hak suara sama-sama berpengaruh, karena
suara itu tetap dihitung sebagai suara kosong dan hitungannya bisa mempengaruhi
timbangan dalam proses pemilu itu.
Bisa jadi suara golput itu lebih
kuat pengaruhnya daripada suara yang dimiliki oleh sebuah partai gurem,
keduanya sama-sama tidak berhak masuk ke Gedung Dewan, namun akumulasi suara
golput justru lebih berpengaruh dalam menyebabkan kalahnya partai yang satu
visi dan misi dengan suara para pemilih golput itu.
Jika kita analisa, kita dapati
bahwa jumlah Muslimin di negeri ini tidak kurang dari dua ratus juta orang,
orang dewasa mereka lebih dari setengahnya, jumlah pemilih dalam pemilu kemarin
186.569.233 dan suara yang sah 124.972.491. Artinya suara golput persisnya
adalah 61.596.742. Perlu diperhatikan bahwa dari
angka itu tidak kurang dari lima puluh jutanya adalah suara Muslimin yang
golput, betapa besarnya jumlah ini!... Dan betapa senangnya orang-orang yang
benci kepada Islam dan Muslimin melihat rendahnya kesadaran Muslimin untuk
menggunakan suara mereka yang begitu besar!.
Sementara kita melihat dan
menyaksikan bahwa umumnya para pemilih adalah orang “awam” yang mudah
dipengaruhi oleh orang lain, terutama oleh “publik figur”. Alangkah salahnya
seorang “publik figur Muslim” yang tidak mau menggunakan kekuatan pengaruhnya
dalam mengarahkan orang-orang yang menghormatinya, mendengar pendapatnya dan
mengikuti pilihannya untuk mengambil sikap dan memilih calon yang paling besar
manfaatnya dan yang paling ringan akibat buruknya.
Perhatian dan usaha kita dalam
hal ini bukan karena kita membenarkan dan menerima “Demokrasi” atau
menyetujuinya, tapi semata-mata karena keberadaan kita ditengah sebuah
masyarakat dengan situasi dan kondisi mereka yang sulit untuk dihindari,
sementara kita tertuntut untuk membela kepentingan Islam dan Muslimin yang pada
saat ini terus menerus berhadapan dengan ujian dan fitnah yang sangat berat
bagi setiap manusia secara umum, terutama bagi seorang muslim yang ilmunya
minim dan aqidahnya lemah.
Ujian dan fitnah itu sangatlah
beraneka-ragam, dari mulai rongrongan aliran sesat yang berbahaya terhadap
aqidah muslimin, kemudian berbagai macam maksiat yang menggoncang akhlaq
mereka, berikutnya berbagai model dan gaya hidup kebarat-baratan yang melupakan
akhirat dan menggelincirkan mereka kepada ambisi dunia serta ujian dan fitnah
yang ditimbulkan oleh “globalisasi” dengan segala perangkatnya yang sangat
berbahaya terhadap moral dan mental “remaja dan pemuda muslim” yang akan
menjadi pemegang estafeta kepemimpinan di masa yang akan datang.
Sementara keadaan “Remaja dan
Pemuda Muslim” di zaman ini sangatlah mengenaskan, komunitas yang mereka hidup
didalamnya tidak mendukung mereka untuk menjadi manusia muslim yang sholih,
fasilitas hidup mereka justru semakin mengarahkan mereka menjauh dari ajaran
Islam yang benar dan yang lebih memperparah persoalan ini adalah renggangnya
hubungan antara generasi muda dengan generasi tua, karena telah terjadi
perbedaan yang nyata diantara dua generasi ini dalam hal kebiasaan, selera,
model pergaulan dan cara dalam menilai kebaikan, kebenaran dan manfaat akibat
pengaruh “konsep kebebasan tanpa batas” yang telah mereka serap dari budaya
barat.
Kepentingan kita pada saat ini adalah:
“Bagaimana caranya agar kita bisa melindungi Muslimin dari
keburukan-keburukan yang terus mengancam sendi-sendi ajaran Islam, sehingga
mereka bisa selamat di dunia dan akhirat”.
Tugas ini sudah tentu adalah
“Kewajiban Pemerintah”, karena mereka adalah para pemimpin yang memikul “Amanah
Alloh” terhadap rakyatnya.
Persoalannya sekarang adalah:
bagaimana kita bisa mendapatkan Pemerintah yang sholih yang menyadari amanah
itu? atau paling tidak ditahapan awal ini adalah: bagaimana kita bisa
mendapatkan Pemerintah yang bersimpati dan berempati kepada keadaan dan
kepentingan Muslimin?, sehingga mereka mau membuka jalan bagi Muslimin untuk
menyiapkan diri dengan menyediakan situasi dan kondisi yang kondusif,
undang-undang dan peraturan yang mendukung, serta perlindungan yang
kokoh.
Pemilihan Presiden dan Wakilnya
adalah kesempatan yang telah terbuka bagi kita untuk dimanfaatkan, sehingga
kita bisa mendapatkan Pemerintah yang mau berpihak kepada keadaan dan
kepentingan Muslimin.
Semestinya kita bisa kalau kita
mau untuk mengarahkan suara kaum Muslimin kepada Pemimpin yang lebih layak dan
lebih memungkinkan untuk meloloskan visi dan misi kita yang mulia ini. (bms)- Penulis:
Yusuf Utsman Baisa, Lc
Terkhusus
untuk ijtihad politik antara berjalan diluar sistem dan didalam sistem,
kedua-duanya tidak ada masalah yang perlu diributkan, namun haruslah ada
saat-saat fungsi-fungsi ini saling bekerja bersama dan saling bekerja berbeda
per kelompok sesuai jalur dan kemampuannya, beberapa bagiannya sudah dijelaskan
diatas, masalahnya apakah ada yang mau menerima caranya dengan elegan? Siapa
yang mengikuti atau menyesuaikan diri kepada siapa?
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam
Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab: “Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah
jalan, maka berkatalah sebagian mereka: ”Kita tidak shalat sampai tiba di
sana.” Yang lain mengatakan: ”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang
beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela
yang manapun.
Telah
penulis tulis bahwa kadang-kadang ada sesuatu yang terlihat bertentangan dengan
syariat ternyata hakikinya tidak bertentangan dengan syariat seperti analogi
kisah nabi Musa as dan Khidir, contoh lain:
- Umar bin
Khattab radliyallaahu ‘anhu datang kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya (Umar radliyallaahu
‘anhu) berkata: “Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?“
- Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.“
- Umar radliyallaahu
‘anhu berkata : “Bukankah kita di atas sebuah kebenaran sedangkan
musuh kita pada sebuah kebatilan?“
- Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.“
- Umar radliyallaahu
‘anhu bertanya lagi : “Kalau begitu, mengapa kita merendahkan agama
kita?“
- Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah
dan saya tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah yang akan menolongku.“
- Umar radliyallaahu
‘anhu bertanya lagi : “Bukankah engkau berkata bahwa kita akan datang
ke Baitullah dan melakukan thowaf di sekelilingnya?“
- Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, tapi apakah saya mengabarkan
kepadamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?“
- Maka Umar radliyallaahu
‘anhu menjawab: “Tidak.”
- Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya engkau akan datang dan
melakukan thowaf di sekelilingnya.“
Maka Umar radliyallaahu
‘anhu pun datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu
‘anhu lalu
- (Umar radliyallaahu
‘anhu) bertanya: ”Wahai Abu Bakar, bukankah beliau itu benar-benar
Rasulullah?“
- Beliau (Abu
Bakar radliyallaahu ‘anhu) menjawab: “Ya.”
- Umar radliyallaahu
‘anhu berkata : “Bukankah kita berada pada kebenaran sedangkan musuh
kita pada sebuah kebatilan?“
- Abu Bakar radliyallaahu
‘anhu menjawab: “Ya, memang.“
- Umar radliyallaahu
‘anhu bertanya lagi : “Kalau begitu, mengapa kita merendahkan agama
kita?“
- Abu Bakar radliyallaahu
‘anhu menjawab: “Sesungguhnya beliau adalah utusan Allah dan saya
tidak akan bermaksiat kepada-Nya dan Dialah yang akan menolongnya.“
- Umar radliyallaahu
‘anhu bertanya lagi : “Bukankah beliau berkata bahwa kita akan datang
ke Baitullah dan melakukan thowaf di sekelilingnya?“
- Abu Bakar radliyallaahu
‘anhu menjawab: “Ya, tapi apakah beliau mengabarkan kepadamu bahwa
kita akan datang ke Baitullah tahun ini?“
- Maka Umar radliyallaahu
‘anhu menjawab: “Tidak.“
- Lalu Abu
Bakar radliyallaahu ‘anhu bersabda: “Sesungguhnya engkau akan
datang dan melakukan thowaf di sekelilingnya.“
Betapa
mulianya kedudukan Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu, yang selalu
membenarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapang
maupun sempit.
Umar
bin Al-Khattab pernah berkata, “Rendahkanlah oleh kalian pendapat akal dalam
agama karena aku pernah mendapatkan kehinaan itu pada peristiwa Abu Jandal
karena menolaknya (yakni sabda Rasulullah).” Kala itu, Umar berkata : “Bukankah
kita berada dalam kebenaran dan mereka berada dalam kebatilan? Tetapi, mengapa
kita menerima kehinaan untuk agama kita?” Rasulullah saw bersabda kepadanya,
“Tahanlah logikamu, karena aku adalah utusan Allah dan Dia tidak akan
menelantarkan diriku.” …. dan seterusnya.
Banyak
olok-olokan agama diluar sana, seperti bagaimana bisa Jibril yang berbentuk
lebih besar dari bumi dapat berubah menjadi manusia, maka berdasarkan cocoklogi
bila saja dapat dibuktikan dan ini sebenarnya tantangan buat para saintis
dimana nash akan membuktikan kebenarannya lewat upaya manusia itu sendiri, maka
rasanya orang-orang akan tahu hal tersebut dapat terjadi pasti dan bakal malu
sendiri dengan olok-olokan tersebut. Tanpa hanya mengambil makna dalil yang
satu dan membuang makna-makna dalil lainnya bila ternyata hal itu ada korelasi
kebenarannya secara nyata. Secara tabir kita mengimani apa adanya kabar dan
peringatan, bila dikatakan ukuran Jibril melebihi bumi, demikian adanya, bila
Jibril bisa berubah berwujud manusia, demikian adanya, malahan sebenarnya ada
makna dan nilai saintis pula bila dicermati, sebagaimana kita tahu cahaya bisa
menyinari seluruh ruang yang tidak terlindungi oleh benda yang menggelapkan
demikian pula oksigen bisa memenuhi seluruh ruang, api dinyatakan adalah bentuk
lain oksigen, iblis berarti secara unsur adalah serupa oksigen hingga dapat
keluar masuk tubuh dan berjalan didalam darah manusia. Cahaya adalah unsur
malaikat terbentuk. Dalam hukum kekekalan energi dimana energi dapat berubah
dari satu bentuk ke bentuk lainnya tapi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan
(bahasa manusianya demikian, penciptaan dan pemusnahan bisa bila dinisbahkan ke
Pencipta, Allah), melihat Jibril dapat berubah wujud menjadi manusia, dan
ternyata adalah bukan hologram atau halusinasi tapi ia adalah bentuk padat yang
nyata, maka mana kita faham kalau ternyata cahaya dapat menjadi wujud serupa padat
atau energi yang berukuran besar dapat diringkas menjadi bentuk wujud padat lain
yang kecil, sebuah kemungkinan batasan ilmu untuk manusia tentang sumber energi
yang tidak akan habis, sebagaimana telah disinggung pada ayat Qs. an Nur: 35,
ada pecahan partikel cahaya dan pecahan partikel itu adalah berwujud padat,
yang kita tahu saat ini energi hanya berubah bentuk, cahaya salah satu bentuk
perubahan itu namun dapatkah kita mengumpulkan energi atau cahaya itu sendiri yang
punya kekuatan besar dalam sebuah wujud padat lain yang kecil, mungkin saja
cocoklogi ini dapat menjadi tantangan untuk saintis.
Nah
untuk dibawah ini adalah bisa jadi lebih-lebih jauh sangat cocoklogi-nya juga,
namun jangan terlalu dilihat cocokloginya yang mungkin bisa salah namun
lihatlah upaya untuk menyatukan visi dan misi dalam persatuannya.
2962.
Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah meletakkan
kebenaran pada lisan Umar yang digunakan untuk berucap." (Shahih: Ibnu
Majah nomor 108)
3678. Qutaibah
menceritakan kepada kami, Laits menceritakan kepada kami dari Uqail, dari
Zuhri, dari Hamzah bin Abdullah bin Umar, dari Ibnu Umar —radhiyallahu anhuma—,
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Aku bermimpi seolah aku diberikan
gelas yang berisi susu, kemudian aku meminumnya, dan aku memberikan sisaku
kepada Umar bin Khaththab. " Para sahabat bertanya, "Maka apa yang
engkau tafsirkan, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ilmu." Shahih: Muttafaq alaih. Lihat
sunan Tirmidzi (2284).
3682.
Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan
kepada kami, Kharijah bin Abdullah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Umar,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
Allah telah menjadikan kebenaran atas lidah dan hati Umar." Ibnu Umar
berkata, "Tidaklah terjadi suatu perkara pada orang-orang —sama sekali—,
kemudian para sahabat mempunyai pendapat dalam perkara tersebut, sementara Umar
pun mempunyai pendapat dalam perkara tersebut —atau sementara Ibnu Khaththab
pun mempunyai pendapat dalam masalah tersebut (di sini Kharijah sebagai perawi
ragu-ragu)— kecuali Al Qur'an akan menghukumi perkara tersebut layaknya
pendapat yang dikatakan oleh Umar." Shahih: Ibnu Majah (108).
Dalam
bab ini ada riwayat lain dari Fadhl bin Abbas, Abu Dzarr, dan Abu Hurairah. Abu
Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib dari jalur
ini." Kharijah bin Abdullah Al Anshari adalah Ibnu Sulaiman bin Zaid bin
Tsabit. Ia adalah orang yang tsiqah.
Biasanya
penulis bila ingin merujuk tentang syariat ibadah kepada pemurnian agama, maka
penulis akan lebih banyak melihat literatur-literatur yang memegang keras
agamanya dan lebih menyukai memegang pendapat yang sama dengannya yaitu yang
berkarekteristik Umar atau biasanya disebut islam garis keras. Habisnya setan, mau jenis jin atau manusia
kek sangat takut dengan eksistensi Umar sih. Kita tahu Abu bakar sangat
istimewa dengan shiddiq-nya dan Umar istimewa dengan adanya ilham yang ada padanya,
biasanya kita melihat periwayatannya pada beberapa dari keistimewaan dan
kemuliaan individunya saja tapi jarang sekali kita memperhatikan
dialog-dialognya yang bisa saja juga
mengandung maksud lain, sebagaimana penulis seakan-akan melihat hal ini. Dalam
hal ini, Umar sepertinya selalu diminta tunduk kepada Abu Bakar dan juga pada
dialog-dialog lain, setelah Rasulullah wafat, Umar sendiri seakan-akan walau
berselisih pendapat akhirnya akan selalu patuh pada Abu Bakar. Jadi pada
kasus-kasus istimewa pada situasi dan kondisi tertentu, disini penulis melihat adanya
siapa yang harus ikut atau menyesuaikan kepada pendapat siapa tentunya dalam
ruang lingkup tertentu sesuai batasannya seperti masalah menyatukan sikap dalam
politik ini. Mungkin ini juga kenapa ada pelajaran ala tasawuf atau ilmu hati muncul.
Diriwayatkan
dari Anas secara marfu, dia berkata, “Umatku
yang paling penuh cinta kasih kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras
dalam memegang agama Allah adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, yang
paling mengetahui masalah halal dan haram adalah Mu’adz, dan yang paling taat
adalah Zaid. Setiap umat memiliki kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah
Abu Ubaidah.”
Bila
memperbandingkan antara karakteristik Umar dan Abu Bakar berdasarkan cocoklogi pada
keadaan sekarang dapat disimpulkan karakteristik yang mewakili Umar, oleh barat
diklasifikasikan ada pada islam garis keras dan pada karekteristik Abu Bakar,
yang oleh barat diklasifikasikan ada pada islam moderat, tapi bukan berarti dua
karestristik ini ada pada tingkat yang sama dengan Umar dan Abu Bakar atau ada
ilham dan shiddiq-nya yang setingkatnya.
Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ikutilah
jalan orang-orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Maajah, hadits ini shahih)
3662.
Al Hasan bin Ash-Shabbah Al Bazzar menceritakan kepada kami, Sufyan bin Uyaynah
menceritakan kepada kami dari Za'idah, dari Abdul Malik bin Umair, dari Rib'i
—yaitu Ibnu Hirasy—, dari Hudzaifah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Ikutilah (oleh kalian) dua orang
(khalifah) sepeninggalku: Abu Bakar dan Umar. " Shahih'. Ibnu Majah
(97).
Dalam
bab ini ada riwayat lain dari Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata, "Hadits ini
adalah hadits hasan." Hadits ini (juga) diriwayatkan oleh Sufyan
Ats-Tsauri dari Abdul Malik bin Umair, dari budak Rib'i, dari Rib'i, dari
Khudzaifah, dari Nabi SAW. Ahmad bin Mani' dan yang lainnya menceritakan kepada
kami, mereka berkata, "Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, dari
Abdul Malik bin Umair, seperti hadits di atas." Sufyan bin Uyainah
melakukan tadlis dalam hadits ini. Sebab terkadang ia menyebutkan dari Abdul
Malik bin Umair, dan terkadang ia tidak menyebutkan dari Za'idah. Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul
Malik bin Umair, dari Hilal —budak Rib'i— dari Hudzaifah, dari Nabi. Hadits ini
bahkan diriwayatkan dari jalur selain ini: dari Rib'i, dari Hudzaifah, dari
Nabi SAW. Salim bin Al An'umi —orang Kufah— meriwayatkan hadits ini dari Rib'i
bin Hirasy, dari Hudzaifah.
3665.
Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqari
mengabarkan kepada kami. dari Az-Zuhri, dari Ali bin Al Husain, dari Ali bin
Abu Thalib. ia berkata: Aku pernah
bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba Abu Bakar dan Umar muncul. Rasulullah
kemudian bersabda, "Kedua orang ini adalah pemimpin paruh baya (berusia antara 50-50 tahun) para penghuni
surga, baik (generasi) yang pertama
maupun (generasi) yang terkemudian, kecuali para nabi dan rasul. Wahai Ali,
janganlah engkau memberitahukan kepada keduanya. " Shahih: Ibnu Majah
(95).
Abu
Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits gharib dari jalur ini." Al
Walid bin Muhammad Al Muwaqqari di-dhaif-kan dalam hadits ini. Ali bin Al
Husain juga tidak mendengar dari Ali bin Abu Thalib. Hadits ini juga
diriwayatkan dari jalur yang lain, dari Ali. Dalam hadits ini ada riwayat lain
dari Anas dan Ibnu Abbas.
Hadis
riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Manusia itu dalam urusan ini menjadi
pengikut kaum Quraisy. Muslim mereka mengikuti muslim Quraisy, demikian pula
kafir mereka mengikuti orang yang kafir dari kaum Quraisy. (Shahih Muslim
No.3389)
Hadis
riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Urusan senantiasa berada pada kaum Quraisy,
selama manusia terbagi dua (kafir dan muslim). (Shahih Muslim No.3392)
Belajar
analogi dari pengalaman Rasulullah dan para sahabatnya.
4660.
Dari Abdullah bin Zam'ah, ia berkata, "Ketika
Rasulullah SAW sakit keras, saat itu aku bersama beberapa orang sahabat di sisi
beliau. Kemudian Bilal datang menjemput Rasulullah SAW untuk melaksanakan
shalat. Saat itu, Rasulullah SAW bersabda, "Perintahkanlah seseorang untuk
mengimami shalat bagi yang lain. " Maka keluarlah Abdullah bin Zam'ah dan
saat itu, ia melihat Umar berada diantara para sahabat yang lain dan Abu Bakar
tidak tampak diantara mereka. Saat itu, Aku (Abdulah bin Zam'ah) berkata,
"Wahai Umar, pimpinlah yang lain melaksanakan shalat." Kemudian ia
maju dan bertakbir. Ketika Rasululah SAW mendengarnya -Umar termasuk orang yang
suaranya keras- beliau berkata, "Dimanakah Abu Bakar?" Allah dan kaum muslimin tidak menyukai hal
yang demikian, Allah SWT dan kaum muslimin tidak menyukai hal yang demikian.
" Kemudian diutuslah seseorang
untuk menemui Abu Bakar. Ketika ia datang, ternyata Umar telah selesai
melaksanakan shalat. Kemudian, ia shalat lagi dan mengimamai kaum
muslimin." Hasan Shahih: Zhilal Al-Jannah (1062 -1159).
Sahabat
nabi yang mana yang suaranya paling bagus saat itu? mungkin Anda berkata bukan
pula Abu Bakar tapi sahabat yang lainnya. Jadi bisa saja ada makna lainnya.
4661.
Dari Abdullah bin Zam'ah... dengan riwayat yang sama. Namun disebutkan di
dalamnya, "Ketika Rasulullah SAW mendengar suara Umar RA, Ibnu Zam'ah berkata,
"Rasulullah SAW keluar hingga pintu kamarnya dan berkata, ''Jangan,
jangan, jangan... hendaknya yang mengimami shalat adalah Ibnu Abu Quhafah (Abu
Bakar RA). " —beliau mengucapkannya dengan nada marah— Shahih:
Azh-Zhilal, (1159).
Dalam
Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal
datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan
Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia
mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan
mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap
berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu
berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai
ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu
(wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk
menjadi imam dan shalatlah’”
Oleh
karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata: “Apakah kalian tidak ridha
kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?”
Disini
dikatakan Umar sendiri yang mengatakan kekhalifahan itu titik beratnya hal atau
permasalahan duniawi, dan memang mempermudah hal agama dan ibadah. Maka
lebih-lebih lagi masalah sistem dalam negara bangsa ini. Apakah kalian akan masih
juga keras pada hal satu ini. Peganglah kerasnya dihati, lembutkanlah diluar. Jadikan
dunia ada ditanganmu dan jadikan akhirat ada dihatimu. Janganlah terlalu keras
dalam hal satu ini karena diujung sana, ada tidaknya akan tetap menanti dan
akan ada kekhalifahan islam akhir jaman sesuai takdir.
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari
bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu
Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia
sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya
telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun
hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan
kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah
hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di
masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah
melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di
atas kebenaran‘”
Apa
pendapat Abu Bakar bertentangan dengan syariat seperti yang dimaksud Umar?
Mungkinkah kadangkala apa yang dilihat tidak sesuai syariat, maka karena pada
suatu sebab tertentu dapat bernilai syariat?
Terlihat
Umar patuh kepada pendapat Abu Bakar, mungkin karena Abu Bakar adalah khalifah yang
tentu harus ditaati mungkin pula bisa saja karena Umar mengetahui maksud nabi
agar ia mau patuh pada pendapatnya Abu Bakar.
Dalam
sistem ini, kalau dilihat sejujurnya, ada dua kutub pandangan yang sulit
ditemukan.
Pertama,
yang menerima demokrasi dan melihat demokrasi sebagai suatu kenyataan riil yang
ada dan layak dipakai dan bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan saat ini (tetap
sesuai batasan syari yang dibolehkan). Kedua, memandang sebaliknya. Yaitu apa
yang seharusnya ada.
Satu
berangkat dari realitas yang ada, yang kedua, apa yang dianggap harus ada.
Mayoritas ummat Islam, berangkat dari menerima apa yang ada. Yang ada
adalah fakta bahwa demokrasi dijadikan sistem bagi bangsa Indonesia untuk
memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, mengatur negara, membuat Undang-undang
dsb.
Bagi pihak penolak demokrasi
karena berangkatnya dari apa yang seharusnya ada. Demokrasi sudah pasti tidak
akan pernah dapat memuaskan semua keinginannya. Maka pasti dia tolak. Mereka
berkeinginan ideal, masyarakat harus sepenuhnya taat kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, menjalankan semua perintah Allah, tidak ada hak masyarakat untuk
membuat hukum dan Undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, tidak
ada hak masyarakat untuk melakukan pemungutan suara untuk hal-hal yang sudah
disyariatkan, masyarakat tinggal menjalankan saja. Orang beriman tidak mau
suaranya disamakan dengan orang fasik, musyrik, kafir dsb.
Sayangnya, kita lupa satu hal.
Kita hidup di alam riil dan ada fakta, sekitar 15% penduduk Indonesia bukan
beragama Islam. Dan yang 85% itupun tidak semua setuju hidup diatur syariat.
Itulah faktanya.
Ada Muslim tetapi liberal
dan sekular, ada yang Muslim namun semangatnya untuk menggembosi
aspirasi umat Islam, ada Muslim tapi masa bodoh terhadap agamanya, ada
Muslim tapi berfikirnya sederhana, yang penting ekonomi sejahtera, urusan lain
tidak peduli, bahkan ada pula yang mengaku Muslim, namun sejatinya dia
pengasong aliran sesat. Itulah semua fakta hidup yang harus kita hadapi saat
ini. Kalau orang yang merasa beriman berbeda bobotnya dengan orang tidak
beriman, sedangkan dalam Pemilu, suara semua orang nilainya sama, terus dengan
itu kita ngambek (mogok, red) tidak mau ikut Pemilu karena pelaku maksiat
juga ikut Pemilu, lantas bagaimana caranya untuk membagi masyarakat antara yang
beriman dan yang tidak beriman?
Khulafa’ur
Rasyidin dan Kompromi
Semua umat Islam pasti
menginginkan kembali pada cita-cita ideal, yaitu terwujudnya masyarakat ideal
seperti pada masa Nabi dan Khulafa’urrasyidin, di mana masyarakat Islam
hidup dalam naungan syariat Allah.
Jangan dilupakan, sistem
pengangkatan ke 4 Khalifah yang dimulai dari terpilih Abubakar Ash-Shiddiq ra
sebagai Khalifah, dilanjutkan oleh Umar bin Khathab ra, terus dilanjutkan oleh
Khalifah Utsman bin Affan ra dan diakhiri oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Semua metode pengangkatannya –pun
berbeda-beda. Jadi kalau sistem demokrasi dan Pemilu dianggap sistem bid’ah dan
harus ditolak, bagaimana cara kita menerapkan yang Sunnah?
Khalifah Abubakar dipilih secara
aklamasi di Saqifah Bani Saiddah (suatu tempat pertemuan masyarakat di
Madinah saat itu) ketika waktu sepeninggal Rasul, kaum Anshar selaku penduduk
asli Madinah sebelumnya berniat hendak memilih pemimpinnya sendiri, namun
berhasil dicegah dan diganti dengan pemimpin yang paling cocok yaitu Khalifah
Abubakar ra. Begitu pula sebelum Khalifah Abubakar ra meninggal, beliau sudah
berwasiat agar sepeninggal beliau nanti haruslah Umar bin Khathab ra yang
menggantikan. Begitu pula ketika Khalifah Umar menjelang meninggal, beliau
telah membentuk tim formatur yang dipilih dari shahabat-shahabat utama untuk
memilih khalifah pengganti beliau, maka jadilah Utsman bin Affan ra sebagai
khalifah selanjutnya. Setelah Khalifah Utsman meninggal, tinggal satu orang
yang paling layak diangkat sebagai khalifah, karena tinggal beliau manusia yang
paling baik dan layak untuk menjadi khalifah, maka tampillah Khalifah Ali
bin Abi Thalib ra sebagai khalifah keempat atau terakhir masa Khulafa’ur
Rasyidin, selanjutnya adalah masa-masa kerajaan.
Itupun harus dipahami semua
khalifah pun mendapatkan masalah yang tidak kecil, ada yang diganggu dengan
munculnya nabi-nabi palsu, ada yang diganggu dengan pembangkangan dari sebagian
rakyat dan pejabatnya, dsb. Semua pemimpin memiliki problem yang berbeda di
setiap zamannya. Yang dahulu merupakan problem besar, bisa saja di masa
sekarang sudah bukan problem lagi. Begitu pula sebaliknya, yang masa lampau itu
bukan merupakan masalah, bisa saja sekarang menjadi masalah serius yang harus
diprioritaskan.
Jadi jika Pemilu dan system
demokrasi langsung dianggap sesat, maka seharusnya ada contoh dan penjelasan
model pemilihan pemimpin Islam yang dianggap sunnah, itulah yang ditunggu dan
dibutuhkan umat.
Apakah system aklamasi? Wasiat?
Sistem formatur atau langsung penunjukkan? Semuanya pun berbeda. Tapi sejarah
Islam memberikan pengalaman ada empat cara yang berbeda.
Setelah kita bahas masalah
“caranya”, sekarang kita akan bahas masalah “out-putnya”. Apakah sistem
demokrasi dapat memuaskan keinginan umat Islam?
Namanya juga demokrasi, sudah
pasti tidak akan memuaskan semua orang. Ada keberhasilan-keberhasilan, namun
ada pula ketidakberhasilan-ketidakberhasilan, ada yang didapat, namun ada pula
yang terlepas, tergantung bargaining masing-masing pihak. Bukankah di zaman
Nabi ketika mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Musyirikan Makkah,
harus rela membuang klausul “dari Muhammad Rasullulah….” Cukup diganti dengan
istilah “dari Muhammad bin Abdillah…” karena ingin kompromi dengan pihak lawan.
Dan masih banyak hal lagi yang harus diberikan konsesi terhadap pihak lawan,
padahal mayoritas Shahabat Nabi tidak rela dengan hal itu dan menginginkan
konfrontasi senjata. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wassalam tetap
mengutamakan kompromi dan musyawarah, dibanding melakukan peperangan.
Bukankah
di zaman Khalifah Umar bin Khathab juga memilih orang-orang yang berkompeten
sebagai tim formatur untuk memilih pemimpin selanjutnya?
Alasannya
membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk
seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak sebaik Nabi Muhammad
untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah
yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti
dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah? Tidak
membiarkan atau menunjuk penggantinya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat
sedang Abu Bakar menunjuk langsung penggantinya ? Muhammad Abd. Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka,2007),hal.88. Umar berkata
sebagai berikut :
Hadis
riwayat Umar ra.: Dari Abdullah bin Umar ia berkata: Umar ditanya: Apakah kamu tidak mengangkat khalifah
penggantimu? Ia menjawab: Bila aku mengangkat, maka orang yang lebih baik dariku, yaitu Abu Bakar, juga telah
mengangkat pengganti khalifah. Dan bila aku membiarkan kamu sekalian (untuk
memilih), maka orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah saw., juga telah
membiarkan kamu sekalian. Abdullah bin Umar berkata: Sehingga aku pun mengetahui ketika ia menyebut Rasulullah saw. bahwa
dia tidak akan mengangkat khalifah pengganti. (Shahih Muslim No.3399)
Yang mungkin menjadi masalah di
sini, di masyarakat modern sekarang yang masyarakatnya heterogen dan plural
otomatis wakil rakyat akan semacam itu. Ada Muslim, ada Non-Muslim, ada sekular,
dll. Semua membawa dan mewakili konstituennya. Kalau di masyarakat yang Islam
dan serba homogen, mungkin urusannya lebih sederhana dan nyaman. Namun di
masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia saat ini, sudah pasti
membutuhkan kompromi-kompromi politik, negosiasi, koalisi, dsb.
Kalau
masalahnya mengapa masih banyak ummat Islam yang tidak mendukung kepentingan
umat Islam? Itulah tugas kita semua, terlebih lagi tugas para dai untuk
berdakwah dan berjihad untuk menjelaskan ke mereka bagaimana jaran
Islam jika mampu diterapkan akan mengayomi semua warga negara baik itu Muslim
maupun non-Muslim itu sendiri.
Ada
kaidah fikih yang cukup terkenal, “yang
tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua.” Tentu dalam
demokrasi kita baru mendapat sekian persen dari perjuangan, janganlah berputus
asa, karena sejatinya energi kita yang kita berikan baru sekian
persen pula.
Sunnatullah
selalu berlaku, siapa yang banyak menanam dia akan banyak menuai. Kalau kita
ingin mendapat lebih banyak hasil, haruslah berjuang lebih banyak lagi.
“Janganlah kamu
berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan,
maka sesungguhnya merekapun menderita (kesakitan) pula, sebagaimana kamu kamu
menderitanya, sedang kamu
mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS
An-Nisa 104).”
Bila
tidak mau saling tolong-menolong, ya sudah gimana kalau dikatakan saling
memanfaatkan saja. Yang diluar sistem ikut membantu mendulang suara pula, ikut
andil dibilik suara kemudian balik ke posisinya lagi, sedang yang didalam
sistem lewat kekuasaannya tentu akan terotomatis membantu dalam kebebasan
dakwah dari yang diluar sistem dengan adanya kebebasan syariah, bisa sangat berkembang
dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan persiapan diri dan dapat saling menjaga
dan mengawal, haruslah difahami dari fungsi masing-masing posisi ini namun
jangan lempem. Bila dapat bersatu seperti ini dan kemudian memenangkan sistem,
otomatis semua yang didalam “negara bangsa” sebagai yang terlindungi dan
dilindungi, maka bila ada yang membuat rusuh tanpa S.O.P yang benar, otomatis harusnya
kan ia keluar dari jamaah, disitu pula akan terlihat lebih jelas siapa-siapa
yang dapat dianggap keluar dari jamaah, namun hati-hati pula akan fitnah pihak
ketiga yang “mengaku islam” sengaja rusuh, karena otomatis pastinya yang akan
disalahkan dan dikambing hitamkan yang diluar sistem, strategi yang ingin
memecah lagi kesatuan dan persatuan ini maka bijaklah melihatnya dahulu.
3671.
Qutaibah menceritakan kepada kami, Ibnu Abu Fudaik menceritakan kepada kami,
dari Abdul Aziz bin Al Muthallib, dari ayah Abdul Aziz yaitu Al Muththalib,
dari kakeknya yaitu Abdullah bin Hanthab, bahwa Rasulullah SAW melihat Abu
Bakar dan Umar, kemudian beliau bersabda, "Kedua
orang ini adalah seperti pendengaran dan penglihatan." Shahih:
Ash-Shahihah (814).
Dalam
bab ini ada riwayat lain dari Abdullah bin Amr. Abu Isa berkata, "Hadits
ini adalah mursal. " Abdullah bin Hanthab tidak pernah bertemu dengan Nabi
SAW.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar (dapat
dimaknai pula dengan kata lain “para shadiqin”).” (QS. At-Taubah [9] : 119)
Uniknya
Amir Imarah Islam Afghanistan bernama Mullah Muhammad Umar dan Daulah
Islamiyyah di Suriah/Irak adalah Abu Bakar al-Baghdadi. Boleh berbaiat, boleh
menunda, tolong-menolong dan bekerjasama menegakkan agama dan kalimat Allah SWT
adalah yang terpenting. Dukung selama sesuai syariat, tinggalkan bila melihat ada
perbuatan maksiat, seperti pidato khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, pernah
mengatakan, “Saya telah dipilih untuk
memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.
Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya
salah, maka luruskanlah”. Baiat toh pada akhirnya akan kembali kepada Imam
Mahdi yang tidak ada pro-kontra dan tawar-menawar. Karena masing-masing masih
tersibukkan dinegeri sendiri-sendiri, maka saat ini, masih juga relevan
menuntaskan dimasing-masing tempat, di nusantara pun kita juga punya
kesibukkan.
Urusan
lain-lain dan dapatnya sikap bantuan keluar kepada muslim lainnya dan masalah
jihad fiisabilillah itu sendiri dapat pula terjadi, penulis rasa akan terbuka
dengan sendiri caranya nanti, akan terlihat jelas fungsi-fungsi yang selama ini
tertutupi kemampuan maksimalnya. Penulis hanya dapat menyimpulkan dan menjabarkan
gambaran kasarnya sampai disini karena telah banyak mata dalam blog ini.
Kita
melihat sistem demokrasi yang asalnya bukan dari islam, antara memutuskan untuk
masuk ke sistem atau tidak sama sekali, maka kita melihat keseluruhan
sisi-sisinya yang tampak dan yang tidak
tampak dipermukaan dan kemudian memutuskan dengan melihat maslahat dan
mudharatnya juga melihat bagiannya yang apakah masih ada bagiannya yang sesuai
dengan jalan syariat agar dapat “diarahkan” kearah tersebut, yang juga berarti
mengurangi adanya persimpangan arah berlawanannya, telah ada persepsi bahwa
mencegah mudharat itu lebih utama dari melihat maslahatnya, masalahnya apakah
yang kita lihat ada padanya itu adalah kemungkaran dalam perspektif apa, apakah
kemungkarannya itu dalam perspektif harus ditinggalkan/dijauhi/keluar dari keadaan
dan situasinya atau sistemnya ataukah ternyata dalam kemungkarannya itu tidak menyebabkan
kita harus meninggalkannya, karena mengingkari kemungkarannya dan menjauhinya
atau keluar darinya ternyata bisa menghasilkan “sebab-sebab baru” akan kemungkaran yang jauh lebih besar lagi terkemudian
(dimasa depan), yaitu jadi dapat diserupakan pula sebagai kaidah, “Tarkul waajib limaa huwa aujab”
(Meninggalkan yang wajib untuk meraih yang lebih wajib) atau “Irtikaabu akhaffu adh-dhararain” (memilih
kemadaratan teringan), atau “Irtikaabu
al mafsadatish shughraa li daf’il mafsadatil kubraa” (memilih kemadaratan yang
kecil untuk mencegah kemadaratan yang besar).
Contohnya
seperti perkataan Alhasan Albashry yang pernah ditanya, "wahai Aba said,
telah keluar seorang khawarij di Kharibah", maka beliau berkata,
"Kasihan (orang khawarij ini), ia
melihat kemungkaran lalu mengingkarinya tapi ternyata terjadi hal yang lebih
munkar lagi. (Asy-Syari'ah li Al-Aajurry 1/25)
Bila
keadaan seperti itu maka posisinya dapat dikatakan berstatus pilihan dari
adanya 2 kemadaratan, dan pada sisi lain pula seperti pada politik “keburukan
berkedok kedamaian” ini, kadang juga pada subtansinya ada yang sampai pada
sifat atau keadaan berstatus darurat maka prinsip “Adh-Dharuratu tubiihu al Mahdzuraat” (Keadaan darurat membolehkan hal
yang dilarang) dapat diambil sebagai pertanggungjawaban yang mengandung wasiat
syariat untuk mengupayakan “Ishlah
(perbaikan)” dan “taghyiir al munkar
(merubah kemungkaran)” sesuai dengan kemampuan diri dan kolektif (jamaah),
maka posisi terkemudian adalah harus ada juga yang masuk kedalam sistemnya dengan
kaedah“Hukum suatu sarana itu tergantung
hukum tujuannya” yang bertujuan adalah mengupayakan “juga” dari dalam pekerjaan atau sistem tersebut agar konsep
Syariat, “Jalbul Mashalih wa Taktsiiruhaa
wa Dar`ul Mafasid wa Taqliiluhaa” (Mendatangkan maslahat dan memperbanyaknya,
serta mencegah bahaya dan menguranginya) dapat terjadi dan berjalan secara
lebih maksimal sesuai tanda kutip “kemampuan”
dan “kesempatan” yang diberikan Allah
SWT dan sesuai keinginan islam menjadi rahmat bagi semua. Dalam kaitan sesistem
demokrasi yang “terjadi” disini, ada dua hal lagi sub-bagiannya yang harus
dilihat pula yaitu memilih pemimpin dan memilih “perwalian” untuk menjadi
wakil di parlemen. Maka kreterianya adalah terkhusus mengikuti atau mengambil
kreteria dalam memilih pemimpin dan kreteria mengambil/memberi perwalian agar
menjadi wakil (dalam hal ini) di parlemen dalam sudut pandang syariah (agama)
dan bila tidak ada yang memenuhi kesempurnaan kreterianya atau dari hal ini ada
terjadi beberapa pilihan pemimpin dan beberapa cara atau sarana perwalian maka
juga tetap melihat lagi prinsip “Irtikaabu
akhaffu adh-dhararain” (memilih kemadaratan teringan), atau “Irtikaabu al mafsadatish shughraa li daf’il
mafsadatil kubraa” (memilih kemadaratan yang kecil untuk mencegah kemadaratan
yang besar) yaitu partai mana yang mudharatnya terkecil dan calon pemimpin
mana yang mudharatnya terkecil juga didalamnya termaksud berkoalisi seperti apa
dan bagaimana yang menghasilkan mudharat terkecil. Terkhusus bila kondisinya hanya ada beberapa calon pemimpin yang
sebenarnya prinsipnya juga tidak serta merta membela keseluruhan islam (karena
dirinya, karena ideologinya atau karena partainya, dsb) maka pada prinsip ini
masuk kaedah “yang tidak dapat diambil
semua, janganlah ditinggalkan semua” atau dalam artian mendekati penguasa
atau yang diperkirakan akan menjadi penguasa atau yang berpotensi menjadi
penguasa namun haruslah dipastikan juga yang “akan” punya dan mau berkomitment membantu perkembangan islam dan
penegakan syariah dalam artinya diharapkan kekuasaan ini dapat terkawal dan
juga dapat masih memberi peluang masuknya pemegang amanah untuk mengadakan perbaikan
(sudut pandang dan cara-cara syari) dan merubah kemungkaran sistemnya, yang
bukan hanya mengadakan “sekenanya” atau “tebang pilih” saja dari perubahan instrumen
dan tidak juga yang rupanya pun hanya merubah mental dari bentuk sekuler satu
ke bentuk sekuler lain tapi tidak mengupayakan atau tetap punya ruang dalam
perubahan berkonsep atau berkoridor syariat dan perubahan yang jauh lebih
islami lagi. Kaedah “yang tidak dapat
diambil semua, janganlah ditinggalkan semua” termaksud kaedah yang sangat
mempuni dalam menolak makin membesarnya kerusakan terus-menerus yang terjadi,
juga dapat sebagai penyeimbang keadaan. Maka sebagai warga/umat harusnya kita
pula mendukung pilihan yang paling banyak dari parpol-parpol islam dan
ormas-ormas islam berada terhadap capres agar capres tersebut menang atau
memaksimalkan potensi kemenangannya karena islam (atau diwakili koalisi parpol
islam) harus ada dipemerintahan sebagai bagian kaedah diatas tadi, bukankah
kalau capresnya kalah maka koalisi parpol islam yang ada di capres ini ikut
kalah dan tidak dapat “lebih besar” melakukan kaedah “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua”.
Sedangkan pada subtansi-subtansi sistemnya maka ia pun masih memakai
kaedah-kaedah fiqh pula untuk kebijakannya bila dalam rana ijtihad, seperti
kata Ibnu Taimiyah: “Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang
berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.” Maka ia masih melihat
kaedah “memilih kemadaratan teringan”,
bila ada lebih dari satu solusi terhadap sebuah permasalahan ia pun mempunyai
urutan-urutan prioritas (fiqh prioritas) atau urutan-urutan akan penyempurnaan
atau pengapusan bentuk subtansinya (seperti contoh peristiwa tahapan-tahapan
pelarangan miras dan riba didalam islam), ia pun pula diserupakan dengan hukum
islam dan fiqh dakwahnya, kapan subtansi bernilai wajib dilakukan, lebih baik
ada daripada tidak ada, lebih baik tidak ada daripada ada (atau masuk pula
mengenai dalam hal ini dapat dibiarkan saja keadaannya, tidak didukung atau
dibesarkan juga tidak dihilangkan sama sekali masih sah-sah saja sampai ia
jatuh sendiri), atau tidak boleh ada dilakukan atau dibuat kebijakannya. Kaedah
“Hukum suatu sarana itu tergantung hukum
tujuannya”. Dengan kaidah ini kita ketahui bahwa :Sarana dari perbuatan
wajib maka hukumnya adalah wajib. Sarana dari perbuatan sunnah adalah sunnah. Sarana
terwujudnya suatu keharaman adalah haram. Sarana dari perbuatan makruh adalah
makruh. Olehnya kita harus tetap komitmen mengambil penilaian dari nilai-nilai
nash dan anjuran kaedah-kaedah fiqh lainnya, dsb.
Secara
individu muslim, mau dalam keadaan apapun itu, damai atau kacau, sengsara atau
bahagia, cobaan atau nikmat, dsb. Ia akan tetap tenang dengan nikmat islamnya,
tenang dengan nikmat keimanan dan ketaqwaannya sebab dibalik itu semua ada
sabar dan syukur menyertainya dan keridhoan kepada kehendakNya, namun yang
menjadi pokok masalahnya terkemudian adalah masalah “umati, umati, umati,
bagaimana dengan umat? Makin tinggi kecintaannya pada umat, makin kuat daya/tekad
jihadnya dan sensitifitasnya pada krisis, sesuai perspektif jihad yang utama
dibutuhkan pada situasi dan kondisinya, maka ia tidak akan diam bila melihat
adanya manfaat didepannya, akan berusaha untuk lebih dan sangat lebih
bermanfaat dan memberi manfaat makin banyak buat orang lain agar dapat bersama
atau mengajak meraih ridho Allah SWT (makanya harus selalu berjamaah). sebenarnya
sederhananya yang ia inginkan adalah bagaimana dengan pemberian kabar dan
peringatan dapat mengajak atau mendekatkan hidayah Allah SWT kepada orang lain
tersebut atau berupaya untuk memberi manfaat kepada orang lain secara lebih
luas agar orang lain dapat pula mencicipi surga dan ia tidak mau diam atau “secara
tidak sadar” dapat dimanfaatkan atau menjadi alat bagi iblis dan tentaranya
yang berniat jahat kepada anak adam agar mereka binasa di atas kekufuran
sehingga kekal bersama iblis dalam neraka dan ia pula tidak mau hanya menikmati
surganya sendiri saja, maka makin banyak saudara-saudara seimannya kembali
kepada Allah SWT dan juga makin banyak orang lain yang terbantu olehnya, makin
bahagia pula dirinya, bahagia bukan karena duniawinya. Ini adalah hanya bentuk
usaha amalannya saja meskipun ia tahu bahwa hanya Allah SWT yang dapat memberi
petunjuk kepada orang lain tersebut, bagaimanapun diakhir masalah itu akan
tetap tunduk kepada kehendakNya namun paling tidak, ini cara ia telah
memberikan kabar dan peringatannya, agar ia punya alasan pertanggungjawaban
kepada Allah SWT dan iapun telah berusaha mencoba beramal secara diri dan
berjamaah sesuai dengan fungsi ibadah dan agama dan fungsi menjadi khalifah
buminya. Mungkin ada yang bertanya, buat apa harus berkerja kalau semisal
sebenarnya diam juga tidak merugikannya secara individu, itu soalnya karena ia
ingin makin memperbanyak amalannya, mendulang banyak pahala, makin menguatkan
dan makin mendekatkan diri “karena Allah SWT dan bersama Allah SWT”, agar
meningkatkan derajatnya, menyampaikan dakwahnya, menjadikannya
pertanggungjawaban, menolong orang lain dan perbaikan kehidupan orang lain, mencoba
memperbanyak ahli surga, menjauhkan mudharatnya, mendatangkan maslahat
besarnya, tidak dipisahkannya agama dari segala sendi-sendi kehidupan, dsb. Sangat
banyak alasannya. Sisanya dan bagaimana penerimaan orang lain/masyarakatnya
maka dikembalikan urusannya kepada Allah SWT. Gerak adalah Allah SWT yang
ciptakan, kesempatan, situasi dan kondisi Allah SWT pula yang tentukan yang tersesuailah
keadaan pada batasan usaha yang merupakan gerak langkahnya manusia itu
membentuk pilihan, berubahnya suatu kaum tergantung dari seberapa mampu kaum
itu berusaha. Kadar ujian, cobaan dan keadaan pun akan disesuaikan seberapa
mampu kaum itu menghadapinya. Dan juga perlu diingatkan bahwa ada juga banyak
kondisi diakhir jaman atau bila kaum tidak dapat kembali kepada kebaikan
sediakala terhadap “sesuatu” pada perkara umum dimana perkara-perkara umum adalah
“lebih baik” harus ditinggalkan (meninggalkan bentuk usaha mendekati atau berlari/berjalan
ke lingkar fitnahnya disana atau harus menyelisihinya/menjauhinya, namun bukan
dimaknai diam untuk menyampaikan dakwah, kabar dan peringatannya) karena
umumnya perkara-perkara yang dimaksud itu bentuknya adalah mendekati fitnah dan
atau mendekati bidah, maka “jagalah dirimu, keluargamu, lidahmu, tinggalkan
yang mungkar serta berhati hatilah dengan urusanmu sendiri lalu tinggalkan/jauhi
perkara-perkara umum tersebut dan lakukanlah
apa yang kau tahu (kebenarannya) (dikutip dari hadis)”, contohnya bisa Anda
lihat disekeliling Anda. Fahami, membulatkan tekad, kemudian bertawakkal.
4345.
Dari Al 'Urs bin 'Amirah Al Kindi, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Jika kemaksiatan telah dikerjakan di
muka bumi, maka bagi orang yang menyaksikannya dan ia benar-benar membencinya
(dari dalam hatinya), maka ia seperti orang yang tidak melihatnya (tidak
berdosa). Dan orang yang tidak menyaksikannya, akan tetapi ia merestui
perbuatan tersebut, maka ia (dihukumi) seperti orang yang menyaksikannya."
Hasan: Al Misykah (5141)
“Jika seorang
muslim bergaul dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka, adalah
lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan orang lain dan
tidak bersabar atas gangguan mereka.”
(Sunan Tirmidzi No. 2431 dan dishahihkan Albani).
120. Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di
sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut
(pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada
musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal
saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
baik,
121. dan mereka
tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak
melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula)
karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.
122. Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
123. Hai
orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah,
bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.
124. Dan apabila
diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang
berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya)
surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah
imannya, dan mereka merasa gembira.
125. Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit[666], maka dengan surat itu
bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka
mati dalam keadaan kafir. [666].
Maksudnya penyakin bathiniyah seperti kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan
sebagainya.
126. Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik)
memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan
mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?
127. Dan apabila
diturunkan satu surat, sebagian mereka memandang kepada yang lain (sambil
berkata): "Adakah seorang dari (orang-orang muslimin) yang melihat
kamu?" Sesudah itu merekapun pergi. Allah telah memalingkan hati mereka
disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
128. Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin.
129. Jika mereka
berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak
ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan
yang memiliki 'Arsy yang agung." Qs. At Taubah
2505.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: firman
Allah, "Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan
menyiksa dengan siksa yang pedih. " (Qs. At-Taubah [9]: 39) dan
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah —sampai akhir ayat— ...apa yang
mereka kerjakan." (Qs. At-Taubah [9]: 120-121) telah dinasakh oleh ayat
berikutnya, yaitu, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
pergi semuanya (ke medan perang)" (Qs. At-Taubah [9]: 122) (Hasan)
*contoh
ini pula: konteks perang jangan hanya dibaca dengan makna “perang fisik” saja,
bisa juga buat jenis perang lainnya, perang pemikiran, perang nafsu, perang
strategi dan dakwah atau sebagainya, sesuai tempatnya apa yang dimaknai. Banyak
ayat-ayat dalam nash itu mempunyai beberapa
atau banyak makna atau kemungkinan-kemungkinan maka bila memang masing-masing
tersebut, ia punya korelasi nyata pada kebenaran atau kekinian maka semua itu
dapat menjadikan pengajaran, kita mengimani
semuanya datang dari Allah SWT dan kita mencoba dan berupaya mengambil
semua hikmahnya dari setiap makna-makna atau kemungkinan-kemungkinan yang ada
tersebut. Bisa jadi kita dapat satu makna atau satu kemungkinan maka orang lain
bisa jadi juga punya/dapat satu makna atau satu kemungkinan lainnya pula, ada
yang kita tahu orang lain tidak tahu, ada orang lain tahu kita yang tidak tahu,
ada kita tahu dan orang lain juga tahu dan ada pula kita sama-sama tidak tahu,
ada orang yang banyak tahu dan ada orang yang sedikit tahu.
Lebih Melihat
kenyataan lapangan
Alkisah
dinegeri cocoklogi, lebih dahulu, dahulu dan sekarang ada beberapa model “backing”
memberi dana besar kepada (beberapa macam calon bupati, calon gubernur atau
calon presiden) buat memenangkan “pemilihan” daerah, pusat, jaring aparatur dan
instansi-instansi penting dan strategis lainnya (menyisipkan kaki tangannya
pula), kata si beberapa model “backing” bila kalah, tidak masalah dana itu
habis namun bila menang maka berbagai jenis tender dalam berbagai bidang akan
diberikan dan dimenangkan semua ke anak-anak cooperationnya, anak-anak cooperation
ini, masing-masing berbeda nama “company” dan seakan-akan dan memang berbeda-beda pemilik pula padahal
ia masih dalam lingkup “dari” si “backing” jadi sekan-akan tidak beraffliat
langsung kepada si “backing”, dan pula susah akan terlacak kepada si “backing”.
Si “backing” mengatakan kalau kalah, dana tidak apa-apa habis, apakah si
“backing” rela dana tersebut lenyap begitu saja tanpa perhitungan?, bukankah
uang adalah segalanya dan tujuannya pun “membacking” kan bermaksud uang
kembalinya atau ditambah keterjaminan “dinasti atau kepentingannya atau
keberpihakan kebijakan dan perlindungan dari si “calon” kepada kebebasan superpowernya
atau mungkin juga ditambah monuver-monuver dari “blok” buat “bloknya”. Maka
padahal lewat upaya-upaya lainnya pula si “backing” telah bermanuver keberbagai
media dan tokoh dengan berbagai teknik dan cara pula buat pencitraan atau pun
menghipnotis publik tentunya agar si “calon” langgeng menang. Pertanyaannya
adalah bagaimana sih konsep atau makna hakiki “mencerdaskan” kehidupan
masyarakat dari si “calon”, apakah orang-orang dibelakang si “calon” yang
berlindung siap bila masyarakat umum cerdas semua? Trus hakiki perubahan mental
seperti apa? Juga apakah perubahan mental dari jenis sekuler yang satu kebentuk
sekuler yang lain ataukan perubahan mental agar lebih islami?. Mengkampanyekan
revolusi mental kepada para rakyat, padahal ia sendiri seakan tidak paham apa yang
dapat merusak mental, sebut saja, misalnya: situs porno, jadi bagaimana
hakikinya akan saringan dan kontrol terhadap teknologi dan adanya degradasi
mental. Dan bagaimana makna akan dongengan masalah hakiki “pemberantasan korupsi”,
yang patut Anda pikirkan adalah apakah pemberantasan korupsi ini adalah masih
akan tebang pilih, pesanan, tidak pandang bulu, kambing hitam, teri, kakap,
bigmonster ataukah yang penting ada yang dilihat dihukum sebab korupsi dan
bagaimanakah makna hakiki “infrastruktur” yang dihasilkan tender-tender yang
telah diarahkan kepemilikan atau pemenangnya? Saran lihatlah infrastruktur
disekelilingmu. Telah lama dan sangat lama sekali selalu terjadi dan masih
inginkan ini terjadi dihari esok? Lalu bagaimana kalau hal ini juga mencakup
hal kompleksitas lainnya, seperti: memonopoli untuk kepentingan biang lokal, multi
cooperation, negeri asing dan juga mencakup batin atau ideologi/kepercayaan
lainnya maka janganlah heran bila aparatur banyak yang mandul dan banyaknya
kebocoran-kebocoran dan juga nusantara akan senantiasa akan dilemahkan agar
tidak akan kuat. Ketegasan dibutuhkan bangsa ini. Ini bukan wacana/opini
penulis saja, ini hanya salah satu dari beberapa hal “kisah” perjalanan penulis
beberapa kali ke jakarta, bila mau “menelusuri dan mengikuti” mungkin sejak
dahulu penulis sudah ada didalam lingkaran ini. Beberapa orang pun faham akan
hal ini jauh dan lebih jauh, tanyalah mereka.
Senada
hal ini disampaikan oleh seseorang : “Ada
korporatokrasi internasional di negara-negara berkembang salah satunya
Indonesia. Jika anda masih tertawa mendengar kata bocor yang selalu
didengung-dengungkan salah satu capres, maka sungguh, anda akan menyesal, karna
anda berarti sedang menertawakan keadaan negara anda sendiri yang sedang
menangis, anda berarti belum mengerti tentang keadaan pedih negara kita saat
ini. Apa itu Korporatokrasi asing? Korporatokrasi adalah sebuah sistem
kekuasaan yang di kontrol oleh korporasi besar, bank internasional dan pemerintahan.
(Noam Chomsky, Media Control, Second Edition: The Spectacular Achievements of
Propaganda, 2002), Korporatokrasi adalah pengendalian suatu negara adidaya di
suatu negara berkembang, salah satunya dengan memberikan bantuan pinjaman uang
dan menguasai kekayaan alamnya. Korporatokrasi besar tersebut akan dengan
leluasa mengarahkan kebijakan suatu negara demi mendapatkan keuntungan
maksimal. (Bisa di-google dengan memasukkan kata sandi “Corporatocracy in
Indonesia”, ngenes banget kondisi kita saat ini).
Kalau jaman VOC dan
jaman penjajahan Belanda dulu ada Amangkurat I dan Amangkurat II yang
berkhianat kepada negara dengan menjadi antek Belanda, untuk memperkaya dirinya
sendiri, sekarang pun tidak ada bedanya. Ada elite-elite politik yang memang
berkhianat dan menjadi antek aseng. Ditambah lagi ini terjadi karna pemimpin
saat ini yang kurang tegas dengan kekuatan negara asing. Harus ada pemimpin
yang berani untuk melawan korporatokrasi dunia yang berusaha mengacak-ngacak
kesatuan negara kita. Anda harus memilih pemimpin yang dia 100% bisa dibuktikan
kesetiaannya kepada negara, tidak ada korporatrokrasi asing yang mem-back up
dia saat ini.”
Indonesia di tahun 2014- 2019
adalah pemerintahan minyak. Indonesia saat ini memiliki 263 blok migas. -
jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan eksploitasi-eksplorasi baru. Banyak
kontrak migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015 - 2021 dan ini akan jadi
tanggung jawab pemerintah 2014 - 2019. - kontrak migas yang akan habis masanya
ditahun 2015-2019 sebanyak 28 blok. Nilai kontrak dari 28 blok migas berkisar
Rp. 6000 triliun hingga Rp. 10.000 triliun. angka Rp. 6000 t - 10.000 t itu
lebih besar dari PDB (produk domestik bruto) Indonesia dalam setahun. dan pastinya
kontrak 28 blok migas senilai Rp. 6000- 10.000 triliun itu menjadi tanggung
jawab pemerintahan 2014-2019. Ini sekedar salah satu dari mungkin mengapa
negara asing lainnya ikut campur dalam pilpres kita. Bagaimana hakiki potensi
renegosiasi ini?
Pajak
progresif kendaraan, satu sisi ia adalah bertujuan salah satunya sebagai solusi
kemacetan, tapi pernahkah berpikir apa pengaruhnya (sebab akibat) dengan dapat meningkatkan
dan melebarkan kesenjangan sosial. Memang susah untuk menekankan kebijakan
dengan membatasi prilaku tanpa merusak perputaran keuangan. Jepang membatasi
pada waktu pemakaian tapi ia juga tidaklah cukup bila tidak membatasinya dalam
prilaku sementara pula dalam kondisinya kenyamanan dan keamanan “pilihan lain”
tidaklah baik kondisinya.
“Pajak
progresif yang akan diterapkan di wilayah Ibukota dan sekitarnya mulai 1
Januari 2011, menurut ATPM mobil premium, tidak akan membuat pembelinya goyah
atau terpengaruh. Kesimpulan tersebut diutarakan oleh Ramesh Divyanathan,
Presiden Direktur Presiden Direktur PT BMW Indonesia menjawab KOMPAS.com saat
berjumpa di Jakarta, kemarin. Sebelum GAIKINDO dan ATPM dengan penjualan
terbesar di Indonesia, sempat mengatakan, pajak progresif akan mempengaruhi
penjualan. Alasan Ramesh menyimpulkan hal tersebut karena pasar mobil premium
di Indonesia, khususnya Jakarta - sangat kecil, di bawah 0,1 persen. Ditambahkan
pula, konsumen di kelas ini tidak terlalu memikirkan uang dalam memutuskan
pembelian mobil. Faktor lain yang cukup
berpengaruh adalah kebanggaan, kenyamanan dan kepuasan individu.
"Setelah dihitung, kenaikan harga
hanya di bawah 5 persen. Saya rasa konsumen di segmen ini tak akan
memikirkan itu," tegas Ramesh.”
Mobil
mewah, satu KK hanya satu mobil dan berlaku selama 7 tahun saja agar tejadi
perputaran, maka pada nangis yang terimbas :)
Bilakah
ada teknologi kompor tenaga surya, kenapa mempertahankan konversi gas yang
notabene masih tunduk pada sumber daya yang terbatas dan masih tunduk pada
terjadinya inflasi dari yang mudah membuat dan mencetak uang, membeli barang
real dengan seonggah kertas bergambar yang bernilai rendah. Ataukah karena
mempertahankan monopoli terhadap “sesuatu”, sekedar agar dilihat ada solusi
atau tidak berdaya membuat ruang gerak pada cipta. Carilah solusi yang lebih
mudah dan murah buat rakyat, dimana rakyat dapat “saving” lebih jauh dan tidak
terlalu terbebani pada “solusi” yang nilainya naik dan lagi-lagi naik terus.
Dsb…
dsb… dsb. Maka haruslah banyak pertimbangan fiqh yang mewarnai pengambilan
kebijakan serupa ini.
Sebagian
menganggap perbaikan itu haruslah dimulai dari atas (para pemimpin) dan
sebagian lagi menganggap perbaikan itu dimulai dari bawah (individu, keluarga
atau masyarakat), penulis berharap kedua-duanya dapat terjadi beriringan dan
melengkapi sekaligus.
Gerakkan Potensimu,
Temukan Hidupmu
Coba
bayangkan, di depan mu ada secangkir teh pahit.Kemudian kamu menambahkan gula
ke dalamnya. Akan tetapi kamu tidak mengaduk gulanya itu. Apakah mungkin rasa
teh itu berubah menjadi manis dengan sendirinya? Tentu saja tidak.....
Sekarang
pandanglah teh itu dalam-dalam, kemudian coba minum.... Apakah berubah rasanya?
Apakah rasa teh itu menjadi manis?
Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia
mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah penantang
yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kerusakan”.
(QS Al-Baqarah 204) - WS
Tentu
saja tidak....
Bahkan
tehnya mulai dingin dan terus mendingin... Sedangkan kamu belum juga merasakan
nikmatnya.
Usaha
terakhir, letakkan tanganmu di atas kepalamu, kemudian berkeliling lah di
sekitar cangkir teh sambil berdo'a supaya Allah merubah teh itu menjadi manis.
Saya yakin anda semua sepakat mengatakan bahwa semua usaha seperti itu adalah
kegilaan. Atau ketololan... Teh itu tidak akan pernah menjadi manis. Demikian
lah hidup ini....dia ibarat secangkir teh pahit.
Kesempatan
Dan kemampuan yang diberikan Allah kepadamu, serta segala potensi yang ada di
dalam dirimu itulah gulanya, di mana bila ia tidak kamu gerakkan kamu tidak
akan pernah menikmati rasa manisnya. Sekalipun kamu berdo'a sampai tanganmu
pegal, hidupmu tidak akan berubah menjadi lebih baik. Hidup akan lebih baik
hanya dengan usaha sunguh-sungguh disertai do'a. Gerakkanlah tanganmu untuk
mengaduk gulanya, kamu akan menikmati teh yang manis. =DR. Abdul Ghafar Hilal=
Kecerdasan Kolektif
Oleh:
Muhaimin Iqbal
"Akan
datang generasi yang lebih paham dan lebih dekat dalam pengamalan
petunjuk-petunjukNya dan sunnah-sunnah nabiNya dan kembali memakmurkan
bumi"
LIMA
tahun lalu kami mengajari kambing-kambing kami jenis peranakan etawa (PE) untuk
belajar minum dari instrumen yang canggih. Mereka harus menekan dengan lidahnya
batang besi kecil di tengah pipa supaya air keluar. Tentu sulit sekali awalnya,
tetapi ketika salah satu dari mereka bisa – maka yang lainpun segera bisa. Kini
lima tahun kemudian, generasi demi generasi kambing berganti – tetapi semua
bisa minum dari instrumen tersebut tanpa harus kami ajari lagi. Siapa yang
mengajari mereka ? Itulah yang disebut kecerdasan kolektif.
Kecerdasan
kolektif adalah buah dari kolaborasi , upaya kolektif maupun perlombaan
individu dalam sekelompok makhluk hidup dalam merespon situasi yang
dihadapinya. Kecerdasan kolektif ini ada tentu saja di manusia, tetapi juga ada
di hampir seluruh jenis binatang bahkan sampai bakteri sekalipun.
Bila
kita pahami bagaimana kecerdasan kolektif ini bekerja, banyak hal bisa kita
lakukan untuk memperbaiki kwalitas kehidupan kita ini.
Untuk
contoh kambing PE kami tersebut di atas misalnya, beberapa hari mengajari
mereka minum dari stainless nipple tersebut di atas – membuahkan generasi
kambing selanjutnya yang paham dimana mereka bisa memperoleh minumnya.
Karena
mereka minum dari tempat yang dibuat secara tertutup dan otomatis, maka
kesehatannya bisa dijaga dan bahkan bila dikehendaki obat atau vitamin untuk
mereka bisa disampaikan lewat air minum ini.
Lebih
dari itu mereka juga menjadi guru bagi sesamanya. Ketika ada kambing PE baru
yang kami beli dari daerah dan dibawa ke kandang kami, sudah bukan kami lagi
yang harus mengajari mereka. Tinggal digabungkan dengan kambing-kambing yang
sudah paham dimana tempat mereka minum, maka kambing baru inipun segera tahu
dimana tempat minumnya dan bagaimana cara meminumnya. Kambing lebih mudah
belajar dari sesama kambing langsung ketimbang belajar dari manusia!
Dari
waktu ke waktu tentu ada kambing yang harus dijual atau disembelih, tetapi
karena kecerdasan kolektif ini milik bersama – maka dia tetap ada bersama
dengan kambing-kambing yang tinggal untuk terus diwariskan ke kambing-kambing
yang lahir baru maupun kambing-kambing yang didatangkan dari luar.
Domba
jauh lebih cerdas dari kambing, bahkan dalam suatu riset dikatakan bahwa
kecerdasan domba hanya kalah dari simpanse, gajah dan lumba-lumba. Kita sudah
sering melihat bagaimana simpanse, gajah maupun lumba-lumba beraksi dengan
kecerdasannya. Tetapi rata-rata kita belum pernah menyaksikan bagaimana domba
beraksi dengan kecerdasannya. Mengapa ? Ya karena belum kita latih saja.
Yang
kita maksudkan kecerdasan untuk domba tentu bukan berarti akan bisa
menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit, tetapi sekedar mengingat
tugas-tugas atau tanda-tanda spesifik. Konon domba adalah binatang yang paling
baik ingatannya, dia bisa mengingat wajah penggembalanya, mengingat jalur
perjalanan pulang ke kandangnya, ingat siapa yang memimpin perjalanannya dan
insyaAllah dia juga akan ingat mana-mana batas yang boleh dimakan dan tidak,
batas wilayah yang boleh dilalui dan tidak. Dua hal terakhir ini yang sedang
kami coba untuk mengajarkannya dalam program yang kami sebut penggembalaan
presisi.
Barangkali
timbul pertanyaan di Anda, lho domba-domba ini kan akan dijual atau disembelih
dalam beberapa bulan kedepan, paling lama dua tahun? Lantas apa gunanya mereka
sekarang belajar sesuatu yang rumit bagi mereka sendiri ? Di situlah rahasia
dari kecerdasan kolektif itu, bagi individu domba tertentu bisa jadi dia tidak
terlalu penting – tetapi secara kolektif menjadi sangat penting.
Dalam
usianya yang pendek, domba-domba tersebut tetap bisa menjadi penyambung pesan
bagi domba-domba yang lain – bahwa yang dalam batas ini tidak boleh dimakan,
bahwa diluar tanda ini tidak boleh dilalui dlsb. Pesan-pesan yang mudah diingat
oleh generasi domba-domba berikutnya maupun domba-domba baru yang dimasukkan ke
kelompok yang sudah ‘terdidik’ ini.
Betapapun
pendek usia mereka, secara kolektif mereka membawa pesan untuk generasi
selanjutnya untuk menjadi lebih cerdas, lebih mudah digembalakan – bahkan
ditempat sulit sekalipun seperti di jalur hijau ditengah jalan tol, di pinggir
rel kereta api dst.
Dari
sini pelajaran itupun kembali ke kita bangsa manusia. Usia kita yang lebih
panjang dari hewan-hewan tersebut, kecerdasan kitapun jauh lebih tinggi dari
mereka. Tetapi sudahkan keberadaan kita ini membawa pesan-pesan untuk kehidupan
yang lebih baik bagi generasi yang akan datang ? Atau sebaliknya kita merusak
mereka dengan pesan-pesan yang memang tidak mendidik?
Apa
yang kira-kira kita ajarkan pada anak cucu kita kedepan? Korupsi yang turun
temurun dan makin mewabah? Fitnah-memfitnah, caci-mencaci dalam politik ala
demokrasi? Pengelolaan alam yang sembrono yang menimbulkan musibah disana sini?
Kekerasan demi kekerasan yang menjadi tontonan sehari-hari di televisi?
Bila
seperti ini yang berlanjut, maka keberadaan kita tidak membawa pesan kecerdasan
kolektif bagi anak cucu kita. Malah sebaliknya keberadaan kita hanya membawa
pesan kejahatan dan kerusakan kolektif bagi mereka.
Maka
sebelum semuanya menjadi terlambat, kini waktunya bagi kita untuk memulai
menyampaikan pesan berantai yang akan membentuk kecerdasan dan kebaikan
kolektif ini. Bukan hanya pesan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan –
agar menjadi mudah untuk ditiru dan disempurnakan.
Di
antara pesan-pesan tersebut adalah bahwa – apapun yang dialami umat ini saat
ini, kita tidak perlu merasa lemah dan bersedih karena umat ini adalah umat
tertinggi bila kita benar-benar beriman (QS 3 : 139). Yang kita butuhkan untuk
(kembali) menjadi umat tertinggi ini adalah kita harus menggunakan Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan nasihatNya (QS 3:138) untuk segala urusan kita (QS 16:89).
Bumi masih akan makmur sekali lagi ditangan kaum Muslimin sebagaimana kabar
nubuwah yang disampaikan oleh junjungan kita nabi akhir jaman Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidak akan
terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah,
hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya
tetapi dia idak mendapatkan seorangpun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan
sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput
dan sungai-sungai.” (HR: Muslim).
Kepemimpinan
di dunia-pun masih akan akan sekali lagi bergilir ke tangan kaum muslimin
sebagaimana hadits : “Adalah masa
Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya
(menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah
masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang memaksa (Mulkan Jabariyah), adanya atas
kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian
(Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.”
(HR.Ahmad).
Maka
bisa jadi kita sekarang hidup dalam situasi yang kita tidak sukai – karena
memang kita sedang dalam kekuasaan ‘raja-raja’ yang memaksa atau mulkan jabariyah.
Entah berapa lama dan berapa generasipun ini harus kita lalui – sejauh
pesan-pesan kecerdasan dan kebaikan kolektif yang kita teruskan ke anak dan
cucu kita, maka insyaAllah pada waktunya nanti akan datang kembali kejayaan
umat ini.
Kejayaan
umat yang mirip dengan eranya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali – yang semoga Allah ridlo kepada mereka semua
– kejayaan umat yang dalam hadits tersebut di atas disebut Khilafah ‘ala
minhajin nubuwah. Untuk perjalanan sampai kesana, generasi sesudah kita harus
lebih baik dari kita dan untuk saat ini peran itu adanya pada diri kita. Bila
pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan, insyaAllah akan menghasilkan kebaikan
dan begitu pula sebaliknya.
Maka
saat inilah waktunya kita mulai memainkan peran untuk membangun generasi yang
secara kolektif lebih baik. Generasi yang lebih paham dan lebih dekat dalam
pengamalan petunjuk-petunjukNya dan sunnah-sunnah nabiNya. Generasi yang akan
kembali memakmurkan bumi menjadi semakmur-makmurnya, dan sekaligus juga
generasi yang akan bener-bener menjadi khalifah di muka bumi ini. InsyaAllah.*
Penulis
adalah Direktur Gerai Dinar
Karena
itulah, kalimat seruan ini yang ingin selalu kusampaikan, lewat berjuta kata
yang tercucur dari Sang Khalik. Walaupun, selalu kalian berkata, “Ah, omong
doang!” Namun, begitu lebih baik, ruangan cercaan dan makian itu yang harus
selalu ada dalam perjalanan ini. Agar seruan ini bukan hanya untuk para dai
saja. Namun, seruan ini juga untuk semua saudara seiman. Karena memang, sebuah
seruan harus diucapkan dan disampaikan, bukan hanya dinikmati pribadi.
Memang
seperti itu. Bukan karena seruan ini sehingga hanya berdiam diri tanpa
bergerak. Sejatinya, dalam hati yang paling dalam, justru takut ketika gerak
kami kau lihat. Ketakutan akan sebuah keikhlasan yang akan semakin terkikis.
Atau, bahkan orientasi gerak yang hanya karena manusia saja. Sungguh, keinginan
besar dalam hati ini, agar semua gerak hanya Sang Pencipta yang tahu. Agar
kesombongan dalam hati ini mudah teratasi. Agar balasan atas apa yang kami
perbuat hanya dari Sang Maha Pembalas.
“Mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan masing-masing
memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam (mengerjakan) hal-hal yang
bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah bersikap
lemah.” (HR.
Muslim).
Ada
beberapa pelajaran penting dalam hal ini. Pertama, mukmin yang kuat lebih
disukai daripada mukmin yang lemah. Tetapi keduanya memiliki kebaikan, sehingga
mukmin yang lemah pun tak dapat diremehkan. Kedua, salah satu kunci kebaikan
dan kekuatan itu adalah kesungguhan yang benar-benar kuat dalam hal-hal yang
bermanfaat. Ia bersemangat melakukan manakala mengetahui bahwa itu merupakan
kebaikan yang membawa manfaat bagi agama, betapa pun ia tak begitu menyukai.
Ketiga, tak akan kuat dan tak akan sanggup kita menghadapi keadaan jika kita
merasa lemah (????????); yakni merasa tak sial, tak ada harapan, atau sia-sia.
Bikin
keluar air mata juga melihat beberapa bulan ini, adanya dan mulainya muncul
bibit persatuan ini. Terimakasih.
“Perumpamaan kaum
mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu
tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh
tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mohon
maaf bila tulisan dalam link ini menyangkut beberapa pokok hal yang
berbelit-belit karena salah satu tujuan dari beberapa tujuan tersurat dan
tersiratnya adalah memberikan penjabaran agar seseorang tidak mentuhankan
“faham” agamanya atau ideologinya, bukan mentuhankan Allah SWT, dimana ia sebenarnya
dapat melihat kebenaran lainnya terhadap “faham” dan ia mengabaikannya. seperti
serupa atheis, banyak yang mengira bahwa atheis itu tidak mempunyai Tuhan,
padahal rata-rata mereka mentuhankan pikirannya/otaknya/akalnya atau ilmu
pengetahuannya saja, mentuhankan diri sendiri yang selalu benar, contoh model
lain yang mungkin saja serupa adalah ahmadiyah, qadariyah, khawarij, JIL,
Syiah, dsb. Juga memberikan pelajaran kepada mereka yang menjadikan uang,
jabatan dan dunia sebagai Tuhan anak, apa pun yang ada didunia ini adalah
ciptaanNya, jadi bentuk apapun yang hadir didunia ini bila ia dijadikan Tuhan
sama saja dengan menyekutukanNya dengan sesuatu. Kita bisa saja berkata atau
menampakkan bahwa Tuhan saya adalah Allah SWT, tapi Allah SWT yang maha
mengetahui apa yang kau kandung didalam hatimu, termaksud apa yang “sebenarnya”
terkandung pada diri penulis ini dan terakhir menyangkut masalah nyata didepan
mata tentang pileg dan pilpres.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Anas ibn malik bersabda Nabi
shallallahu alaihi wa sallam (kepada seorang khawarij); Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, bukankah jiwamu berkata
kepadamu saat kau mendatangi kami bahwa tidak ada seorang pun di sini yang
lebih afdhol darimu? Ia menjawab; iya. Lalu ia pun masuk masjid dan
shalat. (HR. Ahmad, Abu Ya’la).
Sunan Abu Daud 4255: Abu Hurairah
berkata, "Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua orang laki-laki dari bani
Isra'il yang saling bersaudara; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa
sementara yang lain giat dalam beribadah. Orang yang giat dalam beribadah itu
selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata,
"Berhentilah." Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya
berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah." Orang yang suka berbuat
dosa itu berkata, "Biarkan aku
bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!" Ahli
ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu,
atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga." Allah kemudian mencabut
nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah
kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku?
Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?" Allah
lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga
dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke
dalam neraka." Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah
mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya.”
Inti dari hadis diatas adalah,
janganlah anda merasa lebih tahu terhadap luasnya ampunan Allah swt, lalu
mengatakan terhadap seseorang walaupun buruk perangainya, bahwa Allah pasti
tidak akan mengampuninya. Sungguh ampunan Allah seluas langit dan bumi,
diberikan kepada siapapun yang dikehendakinya. Tapi bukan pula mengartikan
menyampaikan pencerahan tidak perlu dilakukan atau pun menyampaikan kabar dan
peringatan (dakwah) atau memaparkan penyimpangan yang bertentangan dengan
syariat tidak perlu dilakukan karena point diatas adalah terhadap kasus-kasus pada
keadaan tertentu yang hanya Allah SWT yang tahu. Mungkin salah satu contoh secara
dhahir porsinya adalah “pemaksaan yang dzalim” dan “penempatan yang haq tidak pada
tempatnya” yaitu larangan melampaui batas antara respon atau sikap sesama
ahlusunnah dengan ahlusunnah agar tidak cerai berai dan saling mengkafirkan, batasi
dengan ilmu, ada dikatakan contoh ini seperti orang menghina ibu bapak orang
lain kemudian orang lain itu pun menghina ibu bapaknya.
Tirmidzi meriwayatkan hadits
(yang menurut penilaiannya hadits itu hasan) dari Anas bin Malik ra ia berkata:
"aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku
dengan membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak
menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan
membawa ampunan sejagat raya pula”.
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An
Nisa’: 48).
Dari Hurairah r.a meriwayatkan
bahawa Rasulullah SAW bersabda: Setiap
hari Isnin dan hari Khamis, amal-amal manusia akan dipersembahkan dihadapan
Allah SWT dan Allah SWT akan mengampuni mereka pada hari itu bagi orang yang
tidak mensyirikkan sesuatu dengan Allah, kecuali seorang yang memusuhi akan
saudaranya (orang ini akan kecewa dari pengampunan Allah). (Malaikat) akan
mengatakan kepadanya: Tinggalkanlah kedua orang ini sehingga kedua-duanya
bermaaf-maafan, tinggalkanlah kedua orang ini sehingga kedua-duanya saling
bermaaf-maafan. (HR Muslim)
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran:105)
Telah menceritakan kepada kami
Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami
Hammam telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran Al Jauni dari Jundab bin
Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bacalah alquran, selama menjadikan
hati kalian bersatu padu, namun jika kalian berselisih, tinggalkanlah."
Abu Abdullah berkata, Yazid bin harun berkata dari Harun Al Al'war telah
menceritakan kepada kami Abu Imran dari Jundab dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam." (HR. Bukhari).
Umat
Islam Dilarang Bercerai-Berai
Dunia politik umat Islam di
Indonesia tercerai-berai dalam beberapa partai politik, baik parpol berasaskan
Islam maupun parpol berbasis massa umat Islam. Padahal dari proses hitung cepat
pada pemilihan legislatif yang baru lalu, total perolehan parpol Islam tidak
kurang dari 32%, sebuah angka yang dapat ditukar secara langsung dengan tiket
pencalonan presiden yang mensyaratkan perolehan minimal 20% anggota legislatif
pusat atau perolehan 25% pemilihan tingkat nasional bagi parpol yang akan
mencalonkan presidennya sendiri tanpa koalisi.
Larangan Bercerai-berai
Sudah berulangkali umat Islam
diseru untuk bersatu, baik pada level lokal, nasional, regional maupun internasional.
Sesungguhnya seruan yang lebih tepat adalah “larangan untuk bercerai-berai”,
bukan untuk bersatu, sebagaimana Allah Swt menyeru dalam Alquran:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang
yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali
Imran:105)
Disamping kita diseru oleh Allah Swt untuk tidak bercerai-berai ataupun
berselisih, kita juga diseru-Nya untuk bersama-sama berpegang erat pada tali
(agama) Allah:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)
Persatuan pada hakikatnya merupakan “hasil”, bukan “tujuan”, dari kesungguhan
umat berpegang teguh pada agama Allah yaitu Alquran dan sunah Nabi Saw. Dengan
berjamaah berpegang teguh pada Alquran dan As-sunah maka otomatis umat akan
bersatu, kebalikannya dengan mengikuti jalan-jalan selain yang telah diajarkan
Alquran dan As-Sunah maka otomatis umat akan bercerai berai:
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini)
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS.
An-Naml: 153)
Allah azza wa jalla yang dapat mempersatukan umat Islam, bukan kemauan semata
umat itu sendiri:
dan Yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)
Nabi SAW mengajarkan agar umat Islam menjaga diri dari perselisihan satu sama
lain dalam segala hal, bahkan termasuk dalam hal mendalami Al-Quran:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abdushshamad
telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran
Al Jauni dari Jundab bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam
bersabda: "Bacalah alquran, selama
menjadikan hati kalian bersatu padu, namun jika kalian berselisih, tinggalkanlah."
Abu Abdullah berkata, Yazid bin harun berkata dari Harun Al Al'war telah
menceritakan kepada kami Abu Imran dari Jundab dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam." (HR. Bukhari).
Kondisi yang ada dewasa ini betapa umat Islam mudah sekali berselisih,
bercerai-berai, saling menghujat, saling pecat-memecat dalam berorganisasi,
perang saudara dan sebagainya, untuk kepentingan yang sebagian besar urusan
duniawi belaka. Sedangkan berselisih dalam mendalami Alquran saja dilarang oleh
Nabi SAW apatah lagi berselisih dalam urusan lainnya.
Umat
Bersatu tidak akan Terkalahkan
Sering kita dengar dalam
pengajian atau berbagai pernyataan bahwa jika umat bersatu maka tidak akan
terkalahkan. Sebetulnya kata-kata itu bukan semata kata-kata sloganistis,
melainkan kata-kata yang mengandung kebenaran berdasarkan hadits Nabi SAW yang
cukup panjang tapi saya ambil bagian yang langsung terkait saja:
Aku (Allah SWT) tidak akan menjadikan
umatmu dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala
mereka, meskipun mereka diserang dari berbagai penjuru, kecuali jika sesama
umatmu saling menghancurkan dan saling menawan (HR. Muslim).
Untuk itu umat Islam perlu melakukan instrospeksi dengan siapa akan bersatu
atau berkoalisi sebagaimana telah diperingatkan Nabi Saw:
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Saw bersabda, "Agama seseorang itu cenderung mengikuti agama temannya, oleh
karena itu setiap orang dari kalian hendaknya melihat (memperhatikan) siapa
yang ia pergauli." {Musnad abu Dawud (4833), Hasan. At-Tirmidzi
(2497)}
Nabi Saw juga telah memperingatkan:
Dari Abu Hurairah ra (hadits ini
sampai kepada Rasulullah Saw secara marfu'). Beliau bersabda, "Ruh-ruh itu laksana tentara yang
bersenjata, mereka yang saling mengenal (cocok) akan bersatu, dan yang bertentangan
akan bercerai berai (berselisih)." {Sunan Abu Dawud (4834), Shahih: Al
Misykah (5003) edisi kedua, Adh-Dha'ifah (5527): Muslim, Bukhari dengan
komentar dari hadits Aisyah RA.}
Ada sebuah ungkapan yang terkenal dewasa ini yaitu “the law of attraction”,
yang artinya kurang lebih seseorang akan tertarik satu sama lain jika ada
kesamaan pikiran. Ungkapan ini menyerupai dengan hadits terakhir di atas.
Lantas bagaimanakah agar kita bisa menjadi ruh-ruh yang saling cocok satu sama
lain? Tidak ada jalan lain kecuali kita mengikuti perintah Allah Swt
sebagaimana telah disebut di atas: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..."
Wallaahua’lam bisshawab.
Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradhawi, Ketua
Persatuan Ulama se-Dunia mengatakan: Jika kita benar-benar memahami perbedaan
variatif, maka kita bisa memasukan keragaman kelompok dan gerakan Islam yang
berjuang membela Islam dan mengatasi semua problematikanya sebagai bagian dari
perbedaan variasi (ikhtilaaf at-tanawwu), bukan perbedaan kontradiktif (ikhtilaaf
at-thudhad). Seperti untuk membebaskan bumi Islam, seperti membangkitkan
umatnya, dan meninggikan kalimatnya.
Dengan kata lain, kita harus menjadikan keragaman kelompok dan gerakan Islam
yang semuanya berjuang demi Islam tersebut, sebagai keragaman dalam variasi dan
spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif yang mengakibatkan
konflik. Ini berarti ada salah satu kelompok yang bekerja dalam bidang akidah,
yang berusaha mempertahankannya dan menghapus keraguan-raguan yang dilontarkan
ke arahnya, serta membersihkan diri khurafat dan hal-hal yang mengakibatkan
kemusyrikan.
Ada juga kelompok yang bekerja dalam bidang ibadah, yang berusaha mendekatkan
umat kepada rukun-rukun Islam amaliyah praktis dan ibadah-ibadah yang pokok.
Juga berusaha memberi pemahaman yang benar kepada umat tentang semua hal yang
berkaitan dengan rukun-rukun dan ibadah-ibadah tersebut, khususnya dalam
masalah salat. Karena salat adalah pilar agama Islam dan kewajiban sehari-hari
umatnya, dan dijadikan oleh Allah pembeda antara orang mukmin serta orang
kafir. Juga merupakan momen bertemunya seorang muslim dengan Tuhannya.
Kelompok lainya lagi bekerja dalam bidang pemikiran dan kebudayaan. Dengan
bidang ini mereka berjuang untuk menghadapi al-qhazwul fikriy (perang pemikiran),
serta imperialisme kebudayaan yang ditujukan kepada umat. Mereka juga berjuang
untuk membebaskan otak orang-orang muslim, terutama para tokoh dan para
pemikiran dari pengaruh budaya barat. Kelompok ini berjuang melalui jalur
tulisan, mengadakan seminar, mendirikan pusat-pusat penelitian dan kebudayaan,
serta menerbitkan koran, jurnal-jurnal keilmuan dan pemikiran, untuk menghadapi
serangan dari luar. Karena serangan yang berdasarkan dengan bukti dan argumen,
hendaknya dihadapi dengan jawaban yang juga berdasarkan bukti serta argumen.
Begitu pula dengan serang yang bersifat pemikiran, harus dihadapi dengan
pemikiran.
Lalu kelompok lainya lagi bekerja dalam bidang pendidikan. Kelompok ini bekerja
dengan mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas Islam sebagai
tempat belajar para generasi muslim, yang terkadang tidak mampu memdapatkan
pendidikan formal di sekolah atau universitas pemerintah. Sehingga dengan usaha
ini, para generasi muslim mampu menerima kebudayaan dan pengetahuan yang bersih
dari debu dan kotoran-kotoran yang merusak, yang terkadang dibawa oleh
kebudayaan asing atau juga yang diwariskan oleh kebudayaan Islam pada
massa-massa kemunduran.
Kelompok lainya juga berjuang dalam bidang baru, yaitu dalam bidang ekonomi.
Kelompok ini berjuang dengan mendirikan bank-bank Islam dan perusahan-perusahan
Islam, yang beroperasi berdasarkan hukum syara’ dan kaidah-kaidahnya, di
samping menjauhi transaksi yang diharamkan, terutama riba. Karena Rasulullah
Saw mengharamkan semua unsur yang terlibat di dalam riba ini, orang yang
memakanya, pemberianya, pencatatnya, dan para saksinya. Kemudian kelompok ini
memberikan kesempatan bagi investasi yang halal dan mempunyai peran dalam
meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat berdasarkan aturan syara’.
Lalu kelompok lainnya berjuang dalam bidang yang sangat krusial dan mendesak,
yaitu bidang publikasi --baik yang dibaca visual maupun audio visual. Mereka
bekerja dengan menerbitkan majalah atau jurnal musiman, bulanan ataupun juga
mingguan, di samping koran harian, kelompok ini juga berjuang dengan membuat
stasiaun radio Islam, mendirikan stasiun televisi yang menjangkau seluruh
penjuru dunia untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan problematika umatnya.
Juga mendirikan kantor-kantor berita, baik visual maupun audio visual, serta
membuat situs Islami untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dijaringan
internet, atau dengan melakukan usaha-usaha yang lain.
Kelompok Islam lainya memasuki bidang politik dan menawarkan program-program
untuk perbaikan dan peningkatan kualitas penduduk. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan cara damai yang legal yaitu mengikuti pemilihan umun dan
melaksanakan cara-cara demokratis. sehingga, tidak membiarkan panggung politik
hanya dipenuhi oleh orang-orang sekuler, baik dari aliran Liberal maupun
Marxis. Namun, kita bersaing dengan mereka dengan menjadi anggota perlemen.
Dalam bidang politik, kelompok ini bersama-sama di dalam pemerintahan, bisa
juga menjadi oposisi.
Kelompok lainya lagi berjuang dalam medan jihad fisabilillah, kususnya jika
wilayah mereka dikuasai oleh musuh. Maka, kelompok ini berjuang dalam rangka
membebaskan bumi mereka; menghadapi musuh dan memobilisasi penduduk dalam
mengusir musuh, mempersiapkan para pemuda, baik secara fisik, psikologis maupun
peralatan perang untuk berjuang fi sabilillah.
Adalah memungkinkan bagi satu kelompok Islam untuk bekerja dalam dua bidang
atau lebih, atau bahkan bekerja dalam seluruh bidang. Ini jika memang mereka
mempunyai kemampuan dan sarana, baik berupa materi maupun sumber daya manusia.
Dan yang penting di sini diharapkan medan perjuanganya dalam semua bidang
tersebut, mampu mencakup seluruh lapisan umat. Sehingga muslim yang paling
lemah pun juga ikut andil di dalamnya jika memang ada.
Namun yang penting lagi, hendaknya setiap kelompok memperhatikan beberapa hal
berikut,
Pertama, semua berkeyakinan bahwa
bekerja dalam berbagai bidang tersebut di atas adalah tuntunan.Barang siapa
yang memasuki salah satu bidang, kemudian melaksanakan tugasnya dengan baik,
maka ia telah menunaikan fardhu kifayah dan menggugurkan dosa dari seluruh
umat.
Kedua, seluruh kelompok harus saling
memahami dan melakukan koordinasi. Hal ini dapat terwujud dengan saling
membantu dan saling melengkapi, bukanya saling menjatuhkan. Karena tidak dapat
dibayangkan jika ada satu kelompok yang membangun kelompoknya diatas
puing-puing saudaranya sendiri.
Ketiga, tidak membiarkan musuh-musuh
Islam dan umatnya memecah belah. Juga tidak membiarkan mereka memanfaatkan
perbedaan-perbedaan kecil yang ada di dalam tubuh umat Islam, sebagai alat
untuk menimbulkan perselisihan. Karena sesungguhnya umat Islam bagaikan satu
tubuh, apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan
ikut menanggungnya.
Keempat, bersama-sama dalam satu
barisan, dalam mengatasi masalah-masalah yang sangat krusial dan mendesak.
Ibarat sebuah bangunan yang kokoh yang saling menguatkan. Karena, ketika
menghadapi peperangan maka barisan umat harus diarapatkan dan membuang
perbedaan-perbedaan kecil yang ada. Allah berfirman,
“Sesungguhnya allah menyukai orang yang
berperang dijalanya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)
Berkata Al-Imam Ibnu Taimiyyah
rahimahulloh; Bid’ah identik dengan furqoh/perpecahan sebagaimana Sunnah
identik dengan jamaah/persatuan. Sehingga disebut ahli sunnah wal jamaah
sebagaimana disebut pula Ahli bidah walfurqoh. (Al Istiqomah 1/42)
Marilah kita bersama – sama
menyimak dan mengambil faedah dari hadits berikut, tentang ucapan Nabi ketika
mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman : (Mudahkanlah
dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan buat lari, dan
bersatulah atau kompaklah kalian dalam dakwah dan jangan berselisih atau
berpecah). Hadits diatas adalah nasehat Nabi kepada para Da’i secara umum,
yang ternyata kita saksikan dalam penerapan amat jauh, Nabi memerintah untuk
mempermudah malah kita mempersulit, Nabi melarang jangan membuat lari malah
kita membuat lari, Nabi memerintah kita harus kompak dan bersatu malah kita
berselisih dan bertikai dan berpecah, ini fakta. Setelah ditelusuri ternyata
mereka memiliki segudang syubhat yang mereka sebut dengan alasan dan hujjah
untuk membenarkan sikapnya sehingga buta melihat kenyataan dari hasil
pergerakan dakwah mereka.
Alkisah : Umar segera berbicara
di hadapan para rombongan dan mengumumkan bahwa ia akan kembali. Abu Ubaidah
bin al Jarrah berkata, “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah?” Umar
berkata, “Wahai Abu Ubaidah, andai bukan engkau yang berkata demikian. Iya,
kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bagaimana menurutmu, jika
engkau memiliki seekor unta yang akan engkau gembalakan di suatu lembah yang
memiliki dua bukit, yang satu subur dan yang satu kering. Bukankah jika engkau
menggembalakannya di bukit yang subur, engkau melakukannya dengan takdir Allah,
dan begitu pun jika engkau menggembalakannya di bukit yang kering, engkau
melakukannya juga dengan takdir Allah?
Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf datang
setelah sebelumnya ia pergi untuk suatu keperluan, lalu berkata, “Aku memiliki
suatu ilmu berkaitan dengannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika engkau mendengar
tentangnya (wabah penyakit) ada di suatu negeri, maka janganlah engkau
mendatanginya, namun jika ia terjadi di suatu negeri dan kalian ada di sana,
janganlah engkau lagi darinya.” Umar lalu memuji Allah dan pergi. (HR
Bukhari)
Ini adalah salah satu contoh
ijtihad kolektif. Umar mengumpulkan orang-orang dan mengajak mereka
bermusyawarah, tidak berpendapat secara individu. Lihatlah dalam kisah ini Umar
sampai mengumpulkan orang-orang sebanyak tiga kali sampai pada hukum Allah dan
Rasul-Nya. Abdurrahman bin Auf datang dan menginformasikan bahwa hukum yang dipegang
oleh pendapat Umar, ia lah yang sesuai dengan ilmu yang didengarnya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ad Darimi meriwayatkan dari al
Musayyib bin Rafi’, ia berkata, “Dahulu
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika terjadi pada mereka
suatu kasus yang mereka tidak dapatkan hadis dari Rasulullah, mereka berkumpul,
maka kebenaran ada pada pendapat mereka.” (Sunan Ad Darimi)
Hasan berkata, “Tidaklah suatu
kaum bermusyawarah melainkan Allah akan memberi petunjuk kepada mereka kepada
urusan yang paling utama.” Dalam lafadz lain, “Melainkan Allah akan memberi
untuk mereka petunjuk atau yang bermanfaat.”
Berkumpul dan bermusyawarah akan
membuka pintu dialog dan diskusi, masing-masing peserta akan mendapatkan ilmu,
fikih, pengetahuan, metode istinbath pada orang lain yang tidak ada pada
dirinya. Dengannya, beragam pemahaman akan semakin dekat dan celah untuk
berselisih semakin kecil.
Alm. Buya Hamka pernah berkata,
"Bencana yang terjadi bukannya tanpa sebab, sebenarnya ada satu bencana yang
terjadi di negeri ini yang belum pernah diselesaikan dan mungkin (bisa jadi)
merupakan pemicu bencana alam yang terjadi di bumi pertiwi ini, yaitu bencana
moral"
Agama Allah lebih berhak dibela
ketimbang sosok yang ditokohkan, jika kami melihat kemungkaran daripada makar-makar
mereka, apakah kami hanya diam saja?
Pesan
kami kepada saudara saudaraku tercinta muslimin dan camkanlah, Selama kita
masih suka berbuat maksiat, masih suka berbuat zhalim baik kepada diri sendiri
maupun orang lain, Allah Ta'ala tidak akan memberikan kepada kita pemimpin yang
baik,maka seiring perjalanan waktu ini teruslah merubah diri menjadi lebih
baik, karena Allah Ta'ala telah berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan
sebahagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebahagian yang
lain disebabkan apa yang mereka usahakan." (Al-An'aam: 129)
Fakhruddin Ar-Razi berkata:
"Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zhalim maka hendaklah
mereka meninggalkan kezhaliman yang mereka lakukan." [Tafsir At Tahrir wat
Tanwir, karya Ibnu Asyur (8/74)]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya
di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin
dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan
rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika
rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan
adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa
mereka akan ikut berbuat zhalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah
rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika
rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga
enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam
muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka
akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka
dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka
akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan
penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji
hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam
merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika
rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian
berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin
seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan
Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula
pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat
pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan
tuntunan hikmah Allah Ta’ala." (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar Ra’du: 11)
Ali
bin Abi Thalib berpesan, “Kezhaliman akan terus ada. Bukan karena banyaknya
orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.”
Hal Ini menunjukkan bahwa
kekuasan akan menopang tegaknya agama. Berkata Ustman bin Affan: “Sesungguhnya Allah bisa mencegah dengan
kekuasaan apa yang tidak bisa dicegah dengan al-Qur’an “
Kalau agama tegak, maka
stabilitas keamanan akan terwujud. Sebagaimana firman-Nya : “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan.” (Qs. Quraisy: 1-5)
Ayat di atas menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan dua hal yang pokok di
dalam hidup ini, yaitu mereka membutuhkan makanan untuk menghilangkan rasa
lapar, dan yang kedua mereka membutuhkan rasa aman sehingga hidup mereka tidak
ketakutan. Ini bisa terwujud jika Negara dipimpin oleh orang yang menegakkan
tauhid dan memerintahkan rakyatnya untuk menyembah Allah.
hadits shohih bukhori no hadits
6132 Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah ra, dia berkata: Nabi Saw pernah
bersabda kepada saya, “Hai Abdurrahman
bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan
atas permintaanmu, maka kamu akan memikul beban yang berat, tetapi jika kamu
diberi jabatan tanpa kau minta, maka kamu akan diberi pertolongan. Apabila kamu
mengucapkan sumpah akan melaksanakan sesuatu, kemudian kamu mengetahui suatu
yang lain yang lebih baik, maka bayarkan kaffarah untuk menebus pembatalan
sumpahmu.
Pen: ada juga dalam konteks lain,
meminta jabatan dibolehkan seperti kisah nabi Yusuf as.
Dari Salamah bin Nufail Al Kindi
ia berkata, 'Saya duduk di sisi Nabi shalallahu alaihi wasallam, maka seorang
lelaki berkata, "Ya Rasulullah,
manusia telah meninggalkan kuda perang dan meletakkan senjata. Mereka
mengatakan, "Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai." Maka
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menghadapkan wajahnya dan besabda,
"Mereka berdusta!!! Sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan sentiasa
ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati
sebahagian manusia dan memberi rezeki umat tersebut dari hamba-hambanya yang
tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiamat, dan sampai datangnya
janji Allah. Kebaikan sentiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai
hari kiamat. Dan Allah telah mewahyukan kepadaku bahawa aku akan diwafatkan.
Aku tidak akan kekal di dunia ini, dan kamu akan saling menyusulku, sebahagian
kamu memerangi sebahagian yang lain. Dan kampung halaman kaum beriman adalah
Syam."
Mengutip pernyataan Syaikh Osama
bin Laden, untuk ‘membangun kekuatan Islam di tengah perselisihan ummat’ adalah
hanya dengan satu cara, yakni berlaku adillah kepada kawan dan lawan, sesuai
dengan QS. Al-Maidah ayat 8. Dan harus meletakkan atau menempatkan pada
tempatnya yang benar.
“Lihatlah kebenaran dari
hakikatnya, bukan dari siapa yang mengusungnya. Bersabarlah, karena tidak ada
manusia yang ma’shum kecuali Rasulullah shalallahu’alaihi wassallam. Tidak
semua yang bersalah itu berdosa, karena boleh jadi seseorang bertindak karena
tidak berilmu. Jangan ikuti yang salah. Jangan bermusuhan karena berbeda
pendapat. Kesalahan ada tingkatannya, maka tidak menutup kemungkinan dapat
ditaubati pelakunya. Jika ada saudara Muslim yang dzolim, maka maafkanlah,
semoga ia dapat bertaubat, dan jika tak ditakdirkan bersatu, maka berpisahlah
dengan alasan dan cara yang syar’i.”
Doa:
Ya Allah, engkau adalah Rabb ku tidak ada yang berhak disembah selain engkau,
engkau yang telah menciptakanku dan aku adalah hambamu, dan aku berada di atas
perjanjian-Mu semampuku, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku
perbuat, aku mengakui nikmatmu atas ku dan aku mengakui dosa-dosaku maka
ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain-Mu…
***Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Siapa saja yang
mengucapkannya pada siang hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum
sore, maka ia termasuk penghuni surga. Dan siapa saja yang mengucapkannya pada
malam hari seraya meyakininya, kemudian ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk
penghuni surga (HR Bukhari: 5659)
(gemaislam)
- Pada saat Alloh SWT. Menggambarkan kegembiraan kaum Muslimin - di awal surat
Arrum - disebabkan kemenangan Kerajaan Romawy melawan Kerajaan Persia, karena
pertimbangan bahwa Romawy Ahlulkitab sedangkan Persia Majusy musyrikin, dengan
dukungan ini apakah berarti kaum muslimin pada saat itu sedang membenarkan
ajaran Ahlulkitab yang menjadi agama kerajaan itu?
Pada
saat Rosululloh SAW. memilih Habasyah menjadi tempat berhijrahnya para Sahabat
RA. dengan pertimbangan Rajanya adalah Najasyi sebagai seorang raja yang adil,
apakah berarti beliau sedang membenarkan ajaran Nashrony yang dipeluk
oleh Najasyi?
Dari
kedua kejadian penting ini kita mendapatkan pelajaran bahwa : tidak ada
kelaziman atas orang yang memilih sesuatu atau mendukungnya maka berarti dia
sedang memilih atau mendukung seluruh hal yang terkait dengan sesuatu yang
dipilih atau didukungnya, sehingga dia harus ikut menanggung dosa yang melekat
pada apa yang dipilih atau didukungnya.
Sedangkan
dalam “Paradigma Takfiry” kelaziman ini berlaku, akibatnya orang yang ikut
memilih dalam “Pemilu” dengan alasan apapun, berarti dia sedang mendukung
demokrasi, maka dia menanggung dosa yang melekat pada para pembuat demokrasi
tersebut.
Sebagai
Muslimin yang taat kepada Pemerintah yang telah berkuasa, disaat kita diperintahkan
oleh mereka untuk memilih dalam acara yang disebut “Pemilu” yang telah menjadi
produk mereka, bukan produknya orang kafir. Apakah disaat seorang muslim di
negeri ini ikut memilih maka dia telah melaksanakan produknya orang kafir,
karena demokrasi adalah produknya orang kafir? berarti dia telah menjadi
pendukung demokrasi? Akibatnya dia tidak selamat dari azab Alloh? Bukankah ini
“Paradigma Takfiry”?
Pada
saat Muslimin di negeri ini memilih para wakil rakyat untuk duduk didalam
Parlemen dalam rangka memperjuangkan kebenaran Islam dan kesejahteraan
Muslimin, apakah mereka jadi orang kafir karena mengikuti Demokrasi dan
mendukungnya, sehingga akibatnya mereka semua tidak selamat dari azab Alloh?
Bukankah ini “Paradigma Takfiry”?
Pada
saat seseorang menjadi anggota Parlemen, dia ikut duduk membahas undang-undang
dan aturan-aturan yang akan berlaku di negeri ini, maka dengan gigih dia
bersama saudara-saudaranya sesama muslimin lainnya memperjuangkan agar setiap
pasalnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak merugikan umat Islam,
bahkan dia berjuang siang-malam agar lahir manfaat yang besar untuk Islam dan
Muslimin. Apakah dengan usahanya itu dia tetap disebut sebagai “Pendukung
Demokrasi”? dan dia tidak selamat dari azab Alloh?
Kalau
diantara “Salafiyin” ada yang menjawab “Ya” dengan alasan tidak mungkin Islam
diperjuangkan di parlemen dan Islam tidak mungkin menang dengan demokrasi
selama-lamanya, maka inilah yang dimaksud “Paradigma Takfiry”.
Seringkali
kita melupakan “Proses” yang panjang untuk sampainya suatu event berupa
“memilih” didalam acara “Pemilu”, hal itu digambarkan dengan ringkas sebagai
berikut :
1.
Dimulai dengan lahirnya “Sistem Demokrasi” yang dibuat oleh orang barat yang
notabene mereka adalah orang-orang kafir.
2.
“Sistem Demokrasi” ini dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, diajarkan secara
ilmiah dalam materi kuliah, diopinikan tanpa henti, diberitakan secara
besar-besaran dan dipaksakan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dan
bahkan kalau ada pemerintah yang menolaknya maka mereka dilawan dan dijatuhkan
oleh gerakan rakyat yang disebut dengan “Demonstrasi”, “Reformasi” dan
“Revolusi”.
3.
"Sistem Demokrasi” berikutnya DIADOPSI oleh berbagai Negara Islam di
dunia, termasuk Indonesia, maka sebagai akibatnya banyak dari kalangan
Muslimin yang masuk kedalam lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif.
4.
Muslimin yang telah terpilih sebagai anggota Parlemen pun masuk kedalam lembaga
Legislatif, maka mereka bekerja menyiapkan undang-undang dan aturan-aturan yang
akan berlaku di negeri ini, dan diantara hasil kerja mereka adalah “Pemilu”
dengan berbagai macam acaranya.
5.
Berikutnya event untuk memilih berikutnya telah siap tersaji dihadapan setiap
muslim yang menjadi penduduk negeri ini, tanpa harus ikut campur dalam
mengelola sistem demokrasi diatasnya.
Muncul
sekarang pertanyaan : Apakah seorang muslim yang ikut memilih karena dia taat
kepada negaranya, bukan dalam rangka berbuat maksiat, namun semata-mata karena
ingin memilih Wakil Rakyat dan Presiden yang muslim dan dianggap akan mampu
melindungi Islam dan Muslimin, maka secara otomatis dia telah menjadi
Pendukung “Demokrasi”? dan sebagai akibatnya dia tidak selamat dari azab Alloh?
Bukankah ini adalah “Paradigma Takfiry”?
Padahal
disaat “Demokrasi” diusung oleh Muslimin yang memiliki sifat-sifat : amanah,
aqidahnya benar dan manhajnya sesuai sunnah, maka akan menghasilkan
undang-undang dan aturan-aturan yang menghalalkan apa yang Alloh halalkan dan
mengharamkan apa yang Alloh haramkan. Apakah masih tetap mereka disebut “Orang
Kafir”? karena mendukung demokrasi dan mereka tidak akan selamat dari azab
Alloh? Bukankah ini adalah “Paradigma Takfiry”?
Pada
saat ini bahaya Agama Syiah, Aliran sesat dan Liberalis telah membentuk
kekuatan yang dahsyat di berbagai penjuru negeri ini, mereka mendapat dukungan
moril dan materiil dari negara-negara kaya, prajurit-prajurit mereka telah
menyelusup masuk kedalam tubuh partai, ormas, lembaga pemerintah, keamanan dan
pertahanan serta mereka menguasai media-media yang sangat berpengaruh di negeri
ini.
Mereka
telah menjadi racun yang sangat berbahaya, sementara sangat sedikit jumlah
orang yang mengerti akan bahaya mereka dan sudah berapa besar ukuran mereka
pada saat ini, akibatnya orang pada level ustadz sekalipun masih menganggap
remeh dan tidak mau tahu, bahkan masih mampu mengatakan WAIT AND SEE !
Apakah
racun perlu dicoba untuk diketahui seberapa besar bahayanya? Bahkan kita perlu
coba untuk kita bandingkan dengan “Pemilu” yang kita ikuti untuk memilih
Pemimpin yang kita harapkan akan mampu melindungi Islam dan Muslimin, bukan
membiarkan Pemimpin yang akan membela musuh-musuh Islam dan Muslimin.
Apakah
kita perlu menunggu lahirnya ulama di negeri ini?, karena anggapan “Ulama yang
mengerti permasalahan di suatu negeri adalah Ulama negeri itu sendiri”,
sementara persepsi kita tentang siapakah yang layak disebut “Ulama” akan berbeda-beda,
sehingga akan jadi polemik baru berikutnya. Maka korban-korban racun itu
semakin banyak dan kita semakin kewalahan, karena menunggu sesuatu yang tidak
jelas limit dan definisinya.
Syaikh
Muqbil bin Hadi rohimahulloh disebut-sebut sebagai Ulama yang memfatwakan
HARAMNYA PEMILU, karena beliau tinggal di negeri demokrasi. Mengapa tidak
disebut pula Ulama Salafy lainnya yang juga tinggal di Yaman, memfatwakan
bolehnya ikut Pemilu dan masih hidup sampai saat ini sehingga diyakini lebih
mengerti tentang perkembangan terbaru di negerinya.
Bukankah
“Demokrasi” dan “Pemilu” telah merebak ke seluruh penjuru dunia, telah termuat
dalam bahasan-bahasan ilmiah, ditebarkan oleh berbagai media yang tidak
terhitung jumlahnya, sehingga Ulama di negeri yang belum menerapkan “Demokrasi”
sekalipun sudah cukup mengerti dan menguasainya dengan baik, sehingga fatwa
mereka bisa dipegangi dan tidak harus Ulama yang kita gandrungi saja.
Polemik
ini bisa berakhir jika kita bisa menghormati pendapat orang lain yang berbeda
sandaran fatwanya dengan kita, dan mau memaklumi bahwa yang kita hadapi memang
fitnah yang selalu menimbulkan persepsi yang berbeda-beda tergantung darimana
dan bagaimana cara kita melihatnya. Mari kita mulai bangkitkan kedewasaan kita
bersama. Kita hidup dalam kebersamaan dan persaudaraan. Kita bisa melihat
dengan lapang dada saudara-saudara kita yang pergi ke ruang “Pemilu” untuk
memilih Presiden yang diharapkannya bisa melindungi Islam dan
Muslimin.
Oleh
: Al-Ustadz Yusuf Utsman Baisa, Lc
Sebuah
kata-kata indah yang syarat berisi nasehat dan nilai-nilai islam… pengajaran
buat para pemimpin.
Anis Matta mengatakan bahwa lima
langkah social and state building yang dilakukan Rasulullah SAW adalah:
membangun mesjid sebagai pusat aktivitas sosial dan pemerintahan,
mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, membangun pasar, membentuk angkatan
perang dan membuat perjanjian dengan komunitas lain (Piagam Madinah). Setiap
satu percobaan selalu membutuhkan ujian dan ujian bagi kohesi itu adalah
perang. Dan itulah yang terjadi, perang terbesar pertama yang dialami komunitas
baru itu adalah perang Badar. Dan perang Badar itu terjadi pada pertengahan
Ramadhan pertama di tahun kedua hijrah. Lebih dari dua pekan setelah komunitas
baru itu melakukan puasa pertama mereka, mereka masuk ke dalam sebuah perang
besar. Perang besar yang mengubah arah sejarah mereka dan kelak sejarah jazirah
Arab, sejarah kawasan dan kemudian sejarah manusia secara keseluruhan. Puasa
dan perang, itulah kisah Ramadan pertama dimasa Rasulullah SAW. Dan apa
maknanya?? Semua pencapaian besar dalam sejarah manusia selalu datang dari
fondasi spiritual yang kokoh. Fondasi spiritual itu membuat kita bisa eksis dengan
sumber daya terbatas, fokus pada cita-cita dan bebas dari gangguan-gangguan
kecil yang sering mengalihkan.
Menjadi
Ksatria Sunyi itu berat. Kala diragukan; kala dipertanyakan; kala ditinggalkan,
bahkan juga dilawan; oleh saudara sendiri. Mari membayangkan Sayyidina 'Ali;
pada hari genting itu, kala beliau melihat Al Hasan & Al Husain pulang dari
rumah Khalifah 'Utsman. Ketika mendengar bahwa Dzun Nurain sendiri menyuruh
para sahabat muda yang menjagainya pulang; beliau kian gelisah. Firasatnya
benar. Sayyidina 'Utsman yang berpuasa; hari itu telah memilih untuk
membenarkan mimpinya; berbuka bersama Nabi & 2 pendahulunya di surga. Kekacauan
& pengepungan telah berjalan berpuluh hari; maka terbunuhnya Sang Khalifah
Dermawan secara zhalim kian memuramkan suasana. Dalam masa pelik itu, gelombang
manusia mencari para sahabat utama untuk diba'iat. Runyamnya keadaan membuat
mereka semua mengelak.
Dalam
keadaan terdesak, akhirnya Sayyidina 'Ali menerima bai'at tuk menjadi Khalifah
keempat. Beliau tahu, tugasnya akan amat berat. Bayangkan beratnya menjadi
'Ali; kala para insan utama memilih menunda janji-setia padanya dengan alasan
kaum muslimin belum sepakat. Merekalah Sa'd, Ibn Umar, Muhammad ibn Maslamah,
Hasan ibn Tsabit; padahal nama-nama agung ini amat diharap 'Ali berdiri
menopangnya. "Bagaimana kalian mensyaratkan mufakat, padahal muslimin
berpencar & kacau?" Tapi mereka melihat fitnah; memilih menumpulkan
pedang. Bayangkan beratnya jadi 'Ali; saat cintanya pada 'Utsman diragukan;
hanya karena keadaan belum memungkinkan mengqishash pembunuhnya. Bayangkan
beratnya jadi 'Ali; ketika Ibunda Kaum Mukminin bersama Thalhah & Az Zubair
menanggalkan bai'atnya & berhimpun di Bashrah. Mereka menyebut fakta; bahwa
sebagian besar orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Utsman, justru kini
menjadi pendukung utama 'Ali. Itu soalannya; jika para sahabat utama meninggalkan
Sayyidina 'Ali, siapa yang kan menyokong beliau tuk bertindak atas para
durjana?
Di
sisi lain; betapa kian rumit bagi 'Ali karena para sahabat utama mensyaratkan
baru kan bergabung jika para durjana telah diadili. Betapa berat bagi Sayyidina
'Ali; dua pilihannya tak mungkin diambil. Dan Sayyidina Mu'awiyah telah pula
menggerakkan penduduk Syam. Inilah mereka yang Sayyidina 'Ali riwayatkan dari
Sang Nabi keutamaannya; Ahlu Syam; kini ada di hadapan beliau tuk memeranginya.
Betapa berat jadi Sayyidina 'Ali; ketika disebut tak berhukum dengan hukum
Allah karena menerima perdamaian yang getir pula baginya. Betapa berat jadi
Sayyidina 'Ali; ketika dari pengikutnya menyempal para qurra', kumpul di
Harura', & mengafirkan pelaku dosa besar.
Kaum
Khawarij ini; shalat & puasa mereka telah disifatkan Rasulullah akan
membuat para sahabatpun merasa kecil atas 'amal sendiri. Ketika mereka sampai
tega membunuh beberapa sahabat & tabi'in utama hanya karena mereka
mendukung Tahkim Perdamaian; 'Ali bertindak. Ketika 'Ali terpaksa memerangi
mereka di Nahrawan; dari lisan mereka terus terlantun ayat Quran & seruan
"Inil hukmu illa lillaah!" Maka 'Ali dengan yakin atas petunjuk Rasul
namun juga pilu melihat itu berkata, "Kalimatnya
haq, tapi kebatilan yang jadi kehendak!" Dan kita nanti tahu; bocah
pertama yang masuk Islam ini kelak juga kan terbunuh dalam shalat Shubuh karena
dendam hari Nahrawan ini. Sayyidina 'Ali, RadhiyaLlahu 'Anhu adalah Ksatria
Sunyi; memikul panji kebenaran di tengah bingungnya ummat & bimbang para
sahabat.
Kelak
Sa'd ibn Abi Waqqash bertutur; betapa musykil zaman; hatinya bersama 'Ali, tapi
tak kuasa jika harus menghadapi sesama Muslim. Kelak Ibn 'Umar bicara; betapa
sesal sebab tak berada di sisi Sayyidina 'Ali kala Sang Khalifah sungguh amat memerlukan
sokongannya. Kelak Sayyidina Mu'awiyah kan menangis di depan Dhirar ibn
Dhamrah; amat kagum akan keshalihan pribadi 'Ali & keteguhan memimpinnya. Dan
sejarah mengenang bagaimana beliau (Ali) menguburkan 2 tercinta yang sempat
menentangnya; Thalhah & Az Zubair berdampingan di 1 lahat. Sambil menimang
putra Thalhah, 'Ali berbisik; "Nak, aku berharap aku & ayahmu termasuk
yang difirmankan Allah dalam QS Al Hijr: 47!". "Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam dari dada mereka, sedang
mereka bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan."
Semoga
Allah susur & susulkan kita di jalan mereka yang diridhaiNya; terus
berbekal tuk istiqamah jadi Ksatria, walau Sunyi meraja. Jangan pula kita nanti
sesali hati gamang, lisan diam, & tangan yang berpangku; jika ada saudara
kita jadi Ksatria Sunyi berjibaku. Pejuang syari'at adalah Ksatria Sunyi;
ketika ramai manusia lebih percaya pada kemaslahatan yang datang dari akalnya.
Dukung mereka. Pengemban dakwah yang berpayah di gunung & lembah adalah
Ksatria Sunyi; ketika ramai insan mengelukan penampil di TV. Dukung mereka. Para
Relawan yang menerjuni musibah di dalam & luar negeri adalah Ksatria Sunyi,
ketika banyak kita suka tertawa sembari menyinyiri. Para penegak hukum yang
bertaruh nyawa di depan penjahat maupun atasan sendiri yang tak sevisi adalah
Ksatria Sunyi. Dukung mereka. Para pengusaha jujur, jauhi riba, tak sudi pada
money game, & mendidik wirausaha ummat mandiri adalah Ksatria Sunyi. Dukung
mereka.
Dan
dengan mengucap basmalah; 9 April ini kita juga kan mendukung para Ksatria
Sunyi di belantara politik negeri. Moga Allah ridhai. Mereka ada di dunia yang
riuh rendah & ramai gempita; tapi ruh yang suci, hati yang jujur, &
cinta pada negeri kan kesepian di sana. Mereka ada di gedung megah, ruang mewah,
rapat gagah; tapi hati yang mendzikir Allah & akal yang memikirkan ummat
kan galau di sana. Mereka menerima gaji besar, menikmati kemudahan berbagai;
tapi jiwa juang bersahaja takkan sempat menikmatinya; ada resah menyiksa. Mereka
ada di dunia penuh goda, berat cobanya, besar tanggungjawabnya. Membayangkan
kelak Allah bertanya kan melenyapkan nyenyaknya.
Kita
memang tak tahu isi hati. Tapi mari pilih mereka yang keshalihan zhahirnya
dapat dikenali; setidaknya ada Rukun Islam dipatuhi. Jika sukar mengenali satu
persatu tiap diri; dapat pula memilih Partai yang mendidik & menyeleksi calon
Ksatria Sunyi dengan teliti. Pada ini Shalih(in+at) tentu berhak memilih
sendiri. Mohon perkenan, Salim juga pernah tuturkan Kanda Sejati;
http://www.pkspiyungan.org/2014/04/dari-salim-fillah-tentang-para-kanda.html.
Sesudah itu; mari kita insyafi bahwa mereka yang kita pilih sama sekali bukan
Sayyidina 'Ali. Masih tugas kita; menjaga & mengawasi. Memilih orang-orang
baik untuk mewakili kita baru 1 langkah membaikkan negeri; terus jaga para
Ksatria Sunyi itu agar tegak berdiri. Cermati, ingatkan, awasi, tegur, jewer,
& laporkan jika mereka khianat atas amanah ini. Jangan pilih lagi sebelum
nyata taubat diri. Tamat bincang ini; dari hamba Allah yang tertawan dosanya,
santri yang tertahan kejahilannya, pencita yang terbelengu kefakirannya. By
Salim Fillah.
Pak Prabowo, kami
memilih Anda, tapi..
Tapi
sungguh orang yang jauh lebih mulia daripada kita semua, Abu Bakr Ash Shiddiq,
pernah mengatakan, “Saya telah dipilih untuk memimpin kalian, padahal saya
bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah
saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah.”
Maka yang kami harapkan pertama kali dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah
kesadaran bahwa Anda bukan pahlawan tunggal dalam masa depan negeri ini.
Barangkali memang pendukung Anda ada yang menganggap Andalah orang terbaik.
Tetapi sebagian yang lain hanya menganggap Anda adalah sosok yang sedang tepat
untuk saat ini. Sebagian yang lainnya lagi menganggap Anda adalah “yang lebih
ringan di antara dua madharat”.
Tentu saja, mereka yang tidak memiliih Anda menganggap Anda bukan yang terbaik,
tidak tepat, dan juga berbahaya.
Dan jika Anda, Pak Prabowo, nantinya terpilih menjadi Presiden, maka mereka
semua akan menjadi rakyat yang dibebankan kepada pundak Anda tanggungjawabnya
di hadapan Allah. Maka kami berbahagia ketika Anda berulang kali berkata di
berbagai kesempatan, “Jangan mau dipecah belah. Jangan mau saling membenci.
Kalau orang lain menghina kita, kita serahkan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Tuhan Maha Besar.”
Dan Anda juga harus menyadari bahwa barangsiapa merasa jumawa dengan kekuasaan,
maka beban kepemimpinan itu akan Allah pikulkan sepelik-peliknya di dunia, dan
tanggungjawabnya akan Dia jadikan penyesalan serta siksa di akhirat. Adapun
pemimpin yang takut kepada Allah, maka Dia jadikan manusia taat kepadanya, dan
Dia menolong pemimpin itu dalam mengemban amanahnya.
Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi
sungguh orang yang jauh lebih perkasa daripada kita semua, ‘Umar ibn Al
Khaththab, pernah mengatakan, “Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa
saya akan menjadi orang yang terbaik di antara kalian dalam memimpin kalian,
orang yang terkuat bagi kalian dalam melayani keperluan-keperluan kalian, dan
orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya sudi
menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat
perhitungan.”
Maka yang kami harapkan berikutnya dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah
cita-cita yang menyala untuk menjadi pelayan bagi rakyat Indonesia.
Sebuah tekad besar, yang memang selama ini sudah kami lihat dari kata-kata
Anda. Dan sungguh, kami berharap, ia diikuti kegentaran dalam hati, seperti ‘Umar,
tentang beratnya tanggungjawab kelak
ketika seperempat milyar manusia Indonesia ini berdiri di hadapan pengadilan
Allah untuk menjadi penggugat dan Anda adalah terdakwa tunggal bila tidak
amanah, sedangkan entah ada atau tidak yang sudi jadi pembela.
Pak Prabowo, jangankan yang tak mendukung Anda, di antara pemilih Andapun ada
yang masih meragukan Anda karena catatan masa lalu. Saya hendak membesarkan
hati Anda, bahwa ‘Umar pun pernah diragukan oleh para tokoh sahabat ketika
dinominasikan oleh Abu Bakar sebab dia dianggap keras, kasar, dan menakutkan.
Tapi Anda bukan ‘Umar. Usaha Anda untuk meyakinkan kami bahwa kelak ketika
terpilih akan berlaku penuh kasih kepada yang Anda pimpin harus lebih keras
daripada ‘Umar.
Pak Prabowo, kami memilih Anda karena kami tahu, seseorang tak selalu bisa
dinilai dari rekam jejaknya. ‘Umar yang dahulu ingin membunuh Nabi, kini
berbaring mesra di sampingnya. Khalid yang dahulu panglima kebatilan,
belakangan dijuluki ‘Pedang Allah’. Tapi Anda bukan ‘Umar. Tapi Anda bukan Khalid.
Usaha Anda untuk berubah terus menjadi insan yang lebih baik daripada masa lalu
Anda akan terus kami tuntut dan nantikan. Ya, maaf dan dukungan justru dari
orang-orang yang diisukan pernah Anda ‘culik’ menjadi modal awal kepercayaan
kami kepada Anda.
Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi
orang yang jauh lebih dermawan daripada kita semua, ‘Utsman ibn ‘Affan, pernah
mengatakan, “Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal,
selain kitab Allah dan Sunnah Nabi; yaitu agar aku mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh para pemimpin sebelumku dalam hal-hal yang telah kalian sepakati
sebagai kebaikan, membuat kebiasaan baru yang lebih baik lagi layak bagi ahli
kebajikan, dan mencegah diriku bertindak atas kalian, kecuali dalam hal-hal yang
kalian sendiri menyebabkannya.”
Ummat Islam amat besar pengorbanannya dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.
Pun demikian, sejarah juga menyaksikan mereka banyak mengalah dalam soal-soal
asasi kenegaraan Indonesia. Cita-cita untuk mengamalkan agama dalam hidup
berbangsa rasanya masih jauh dari terwujud.
Tetapi para bapak bangsa, telah menitipkan amanah Maqashid Asy Syari’ah (tujuan
diturunkannya syari’at) yang paling pokok untuk menjadi dasar negara ini. Lima
hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam
sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang
diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun
Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia.
Keempat Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan
kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami berharap Anda akan melaksanakan
setidak-tidaknya kelima hal tersebut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga
kelangsungan, menjaga akal, dan menjaga kekayaan; dengan segala perwujudannya
dalam kemaslahatan bagi rakyat Indonesia. Kami memilih Anda ketika di seberang
sana, ada wacana semisal menghapus kolom agama di KTP, melarang perda syari’ah,
mengesahkan perkawinan sejenis, mencabut tata izin pendirian rumah ibadah,
pengalaman masa lalu penjualan asset-aset bangsa, lisan-lisan yang belepotan
pelecehan kepada agama Allah, hingga purna-prajurit yang tangannya berlumuran
darah ummat.
Pak Prabowo, seperti ‘Utsman, jadilah pemimpin pelaksana ungkapan yang amat
dikenal di kalangan Nahdlatul ‘Ulama, “Al Muhafazhatu ‘Alal Qadimish Shalih,
wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah.. Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan
mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”
Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi
orang yang lebih zuhud daripada kita semua, ‘Ali ibn Abi Thalib, pernah
mengatakan, “Barangsiapa mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaknya dia
mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia
mendidik dirinya sendiri dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum
mendidik orang lain dengan ucapan lisannya. Orang yang menjadi pendidik bagi
dirinya sendiri lebih patut dihormati ketimbang yang mengajari orang lain.”
Pak Prabowo, hal yang paling hilang dari bangsa ini selama beberapa dasawarsa
yang kita lalui adalah keteladanan para pemimpin. Kami semua rindu pada
perilaku-perilaku luhur terpuji yang mengiringi tingginya kedudukan. Kami tahu
setiap manusia punya keterbatasan, pun juga Anda Pak. Tapi percayalah, satu
tindakan adil seorang pemimpin bisa memberi rasa aman pada berjuta hati, satu
ucapan jujur seorang pemimpin bisa memberi ketenangan pada berjuta jiwa, satu
gaya hidup sederhana seorang pemimpin bisa menggerakkan berjuta manusia.
Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami tahu, kendali sebuah bangsa takkan
dapat dihela oleh satu sosok saja. Maka kami menyeksamai sesiapa yang ada
bersama Anda. Lihatlah betapa banyak ‘Ulama yang tegak mendukung dan tunduk
mendoakan Anda. Balaslah dengan penghormatan pada ilmu dan nasehat mereka.
Lihatlah betapa banyak kaum cendikia yang berdiri memilih Anda, tanpa bayaran
teguh membela. Lihatlah kaum muda, bahkan para mahasiswa.
Didiklah diri Anda, belajarlah dari mereka; hingga Anda kelak menjelma apa yang
disampaikan Nabi, “Sebaik-baik pemimpin
adalah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Yang kalian doakan
dan dia mendoakan kalian.”
Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi
orang yang lebih adil daripada kita semua, ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, pernah
mengatakan, “Saudara-saudara, barangsiapa menyertai kami maka silahkan
menyertai kami dengan lima syarat, jika tidak maka silahkan meninggalkan kami;
yakni, menyampaikan kepada kami keperluan orang-orang yang tidak dapat
menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan dengan upayanya, menunjuki kami
dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat menuju kepadanya, dan jangan
menggunjingkan rakyat di hadapan kami, serta jangan membuat-buat hal yang tidak
berguna.”
Sungguh karena pidato pertamanya ini para penyair pemuja dan pejabat penjilat
menghilang dari sisi ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, lalu tinggallah bersamanya para
‘ulama, cendikia, dan para zuhud. Bersama merekalah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz
mewujudkan pemerintahan yang keadilannya dirasakan di segala penjuru, sampai
serigalapun enggal memangsa domba. Pak Prabowo, sekali lagi, kami memilih Anda
bukan semata karena diri pribadi Anda. Maka pilihlah untuk membantu urusan Anda
nanti, orang-orang yang akan meringankan hisab Anda di akhirat.
Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..
Tapi
kalaupun Anda tidak terpilih, kami yakin, pengabdian tak memerlukan jabatan.
Tetaplah bekerja untuk Indonesia dengan segala yang Anda bisa, sejauh yang Anda
mampu.
Sungguh Anda terpilih ataupun tidak, kami sama was-wasnya. Bahkan mungkin,
rasa-rasanya, lebih was-was jika Anda terpilih. Kami tidak tahu hal yang gaib.
Kami tidak tahu yang disembunyikan oleh hati. Kami tidak tahu masa depan. Kami
hanya memilih Anda berdasarkan pandangan lahiriyah yang sering tertipu,
disertai istikharah kami yang sepertinya kurang bermutu.
Mungkin jika Anda terpilih nanti, urusan kami tak selesai sampai di situ.
Bahkan kami juga akan makin sibuk. Sibuk mendoakan Anda. Sibuk mengingatkan
Anda tentang janji Anda. Sibuk memberi masukan demi kemaslahatan. Sibuk
meluruskan Anda jika bengkok. Sibuk menuntut Anda jika berkelit.
Inilah kami. Kami memilih Anda Pak Prabowo, tapi..
Tapi
sebagai penutup tulisan ini, mari mengenang ketika Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil
‘Aziz meminta nasehat kepada Imam Hasan Al Bashri terkait amanah yang baru
diembannya. Maka Sang Imam menulis sebuah surat ringkas. Pesan yang disampaikannya,
ingin juga kami sampaikan pada Anda, Pak Prabowo. Bunyi nasehat itu adalah,
“Amma bakdu. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”
Doa kami, hamba Allah yang tertawan dosanya, warga negara Republik Indonesia,
by Salim A. Fillah..
Pesan dari syaikh
Ahmad Yassin (rahimahullah): Wahai anak-anakku, telah tiba saatnya kalian
kembali kepada Allah SWT dengan meninggalkan pelbagai keseronokan dan kealpaan
kehidupan dan menyingkirkannya jauh daripada kehidupan kalian. Telah tiba
saatnya kalian bangun dan melakukan solat subuh secara berjemaah. Sudah sampai
saatnya untuk kalian menghiasi diri dengan akhlak yang mu1ia, mengamalkan
kandungan al-Quran serta mencontohi kehidupan Nabi Muhammad saw.
Aku menyeru kalian
wahai anak-anakku untuk solat tepat pada waktunya. Lebih dari itu, aku mengajak
kalian wahai anak-anakku, untuk mendekat diri kepada sunnah Nabi kalian yang
agung.
Wahai para pemuda,
aku ingin kalian menyedari dan menghayati makna tanggung jawab. Kalian harus
tegar menghadapi kesulitan hidup dengan meninggalkan keluh kesah. Aku menyeru
kalian untuk menghadap Allah SWT dan memohon keampunan dari-Nya agar Dia
memberi rezeki yang berkat kepada kalian. Aku menyeru kalian supaya menghormati
orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda. Aku ingin kalian
tidak tertidur oleh alunan-alunan muzik yang melalaikan, melupakan kata-kata
yang menyebutkan cinta kepada manusia dan dunia serta menggantikannya dengan
kata amal, kerja dan zikir kepada Allah. Wahai anak-anakku, aku amat berharap
kalian tidak sibuk dengan muzik dan tidak terjerumus ke dalam arus syahwat.
Wahai puteriku, aku
ingin kalian berjanji kepada Allah akan mengenakan hijab secara jujur dan
betul. Aku meminta kalian berjanji kepada Allah bahawa kalian akan mengambil
peduli tentang agama dan Nabi kalian yang mulia. Jadikanlah ibunda kalian,
Khadijah dan Aisyah, sebagai teladan. Jadikan mereka sebagai pelita hidup
kalian. Haram hukumnya bagi kalian untuk melakukan sesuatu yang boleh menarik
perhatian pemuda supaya mendekati kalian.
Kepada semua, aku
ingin kalian bersiap sedia untuk menghadapi segala sesuatu yang akan datang.
Bersiaplah dengan agama dan ilmu pengetahuan. Bersiaplah untuk belajar dan
mencari hikmah. Belajarlah bagaimana hidup dalam kegelapan yang pekat. Latihlah
diri kalian agar dapat hidup tanpa elektrik dan peralatan elektronik (apakah
sebuah ilham atau karena keadaan di Palestina???). Latihlah diri kalian untuk
sementara waktu merasakan kehidupan yang sukar.
Biasakan
diri kalian agar dapat melindungi diri dan membuat perancangan untuk masa depan.
Berpeganglah kepada agama kalian. carilah
sebab-sebabnya dan tawakal kepada ALLAH.
Sesungguhnya aku,
seorang tua yang lemah, tidak mampu memegang pena dan menyandang senjata dengan
tanganku yang sudah mati (lumpuh). Aku bukan seorang penceramah yang lantang
yang mampu menggemparkan semua tempat dengan suaraku (yang perlahan ini) Aku
tidak mampu untuk kemana-mana tempat untuk memenuhi hajatku kecuali jika mereka
menggerakkan (kursi roda)-ku. Aku, yang sudah beruban putih dan berada di
penghujung usia. Aku, yang diserang pelbagai penyakit dan ditimpa
bermacam-macam penderitaan. Adakah segala macam penyakit dan kecacatan yang
tertimpa ke atasku turut menimpa bangsa Arab hingga menjadikan mereka begitu
lemah. Adakah kalian semua begitu, wahai Arab, kalian diam membisu dan lemah,
ataukah kalian semua telah mati binasa. Adakah hati kalian tidak bergelora
melihat kekejaman terhadap kami sehingga tiada satu kaumpun bangkit menyatakan
kemarahan karena Allah. Tiada satu kaumpun (di kalangan kalian) yang bangkit
menentang musuh-musuh Allah yang telah mengobarkan perang antarbangsa ke atas
kami dan menukarkan kami daripada golongan mulia yang dianiaya dan dizhalimi
kepada pembunuh dan pembantai yang ganas. (Tidak adakah yang mau bangkit menentang
musuh-musuh) yang telah berjanji setia untuk menghancurkan dan menghukum kami.
Tidak malukah ummat ini terhadap dirinya yang dihina sedangkan padanya ada
kemuliaan. Tidak malukah negara-negara ummat ini membiarkan penjajah Zionis dan
sekutu antarabangsanya tanpa memandang kami dengan pandangan yang mampu
mengesat air mata kami dan meringankan beban kami. Adakah kekuatan-kekuatan
ummat ini, pasukan tentaranya, partai-partainya, badan-badannya, dan
tokoh-tokohnya tidak mau marah karena Allah dengan kemarahan sebenarnya lalu
mereka keluar beramai-ramai sambil menyerukan, “Ya Allah, perkuatkanlah
saudara-saudara kami yang sedang dipatah-patahkan, kasihanilah saudara-saudara
kami yang lemah ditindas dan bantulah hamba-hambamu yang beriman!” Adakah
kalian tidak memiliki kekuatan berdoa untuk kami? Seketika nanti kalian akan
mendengar mengenai peperangan besar ke atas kami dan ketika itu kami akan terus
berdiri dengan tertulis di dahi kami bahwa kami akan mati berdiri dan berdepan
dengan musuh, bukan mati membelakang (dalam keadaan melarikan lari) dan akan
mati bersama-sama kami, anak-anak kami, wanita-wanita, orang-orang tua, dan
pemuda-pemuda Kami jadikan di kalangan mereka sebagai kayu bakar buat ummat
yang diam dalam kebodohan! Janganlah
kalian menanti hingga kami menyerah atau mengangkat bendera putih kerana kami
telah belajar bahwa kami tetap akan mati walaupun kami berbuat demikian
(menyerah). Biarkan kami mati dalam kemuliaan sebagai mujahid. Jika kalian
mau, marilah bersama-sama kami sedaya mungkin. Tugas membela kami terpikul di
bahu kalian. Kalian juga sepatutnya menyaksikan kematian kami dan menghulurkan
simpati. Sesungguhnya Allah akan menghukum siapa saja yang lalai menunaikan
kewajiban yang diamanahkan dan kami berharap kepada kalian supaya jangan menjadi
musuh yang menambah penderitaan kami. Demi Allah, jangan menjadi musuh kepada
kami wahai pemimpin-pemimpin ummat ini, wahai bangsa ummat ini.
Bangkitlah singa
tauhid pasukan panji islam semangat juang seorang hamba Allah, ayuh bangkit
wahai pemuda dan pemudi islam membuka mata diseluruh dunia, takbiir:
Allahhuakbar-Allahuakbar-Allahuakbar. Hai hati yang berjiwa besar, hati yang
bercita-cita mulia, hati yang kuat tekadnya, hati yang tinggi semangatnya, hati
yang kental imannya. Siapkanlah dirimu untuk menjadi mujahid fisabilillah
kerana kamulah yang akan dipilih untuk menjadi mujahid fisabilillah dan
penghuni syurga firdaus. in shaa Allah, sabda rasulullah: “syurga di bawah
bayangan pedang” (bukhrai dan muslim). Allah tuhanku, rasul ikutanku, quran panduanku,
jihad jalanku, syahid cita-citaku “dunia ini tidak diberikan bagi orang yang
berpangku tangan dan tidur. dunia hanya diberikan kepada para mujahidin yang
bersabar. bangunlah, kembalilah meraih kemuliaan, kembali kepada kebaikan agama
kalian, kembali kepada kitabullah, dan sunnah rasul-nya. karena itulah sumber
kekuatan.” -syaikh Ahmad Yassin (rahimahullah).
Lihat
dan cintailah Syam agar iman Anda bertambah, Bangunlah pemuda kahfi dari tidur
panjangmu. Lakukan apa yang kau bisa lakukan karena didepan selalu ada
kesempatan yang diberikan Allah SWT. Bangkitlah pemuda kahfi dari tidur
panjangmu.
Satu
hari teman berkata: apakah kita tidak berdosa, ya… sementara kita disini masih hidup
adem ayem saja (ketika ia melihat keadaan dan berita-berita Syam). Penulis
spontan nyeletuk, wah… tampak keimananmu, merasa satu tubuh dengan saudara
seagama, seakan-akan satu bagian tubuh sakit, ia dapat merasakan sakitnya pula.
Banyak cara membantu saudaramu yang disana sesuai kesanggupanmu dan kesempatan
yang diberi Allah SWT dan janganlah lupa pula disini pun banyak saudaramu yang
membutuhkan bantuanmu pula sesuai kesanggupanmu dan kesempatan yang diberi
Allah SWT pula. Masing-masing punya ujian dan tantangan berbeda namun pada
saatnya nanti semua akan …… indah disisiNya, insyaAllah.
QS
al Baqarah : 120 Allah berfirman, ”Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu.”
Surat dari
Palestina
Untuk
saudaraku di Indonesia, Saya tidak tahu, mengapa saya harus menulis dan
mengirim surat ini untuk kalian di Indonesia, kenapa? Mungkin satu-satunya
jawaban yang saya miliki adalah karena negeri kalian berpenduduk muslim
terbanyak di bumi ini.
Wahai
saudaraku, Pernah saya berkhayal dalam hati, kenapa kami yang ada di GAZA ini,
tidak dilahirkan di negeri kalian saja. Wah, pasti sangat indah dan mengagumkan
yah. Negeri kalian aman, kaya dan subur, setidaknya itu yang saya ketahui
tentang negeri kalian. Pasti para ibu-ibu disana amat mudah menyusui
bayi-bayinya, susu formula bayi pasti dengan mudah kalian dapatkan, para wanita
hamil kalian mungkin dengan mudah bersalin di rumah sakit yang mereka inginkan.
Ini yang membuatku iri kepadamu saudaraku. Tidak seperti di negeri kami ini,
saudaraku, anak-anak bayi kami lahir ditenda-tenda pengungsian. Bahkan tidak
jarang tentara Israel menahan mobil ambulance yang akan mengantarkan istri kami
melahirkan ke rumah sakit sehingga
istri-istri kami terpaksa melahirkan diatas mobil, yah diatas mobil saudaraku!
Susu
formula bayi adalah barang yang langka di GAZA sejak kami di blokade 2 tahun
lalu namun isteri kami tetap menyusui bayi-bayinya dan menyapihnya hingga dua
tahun lamanya. Walau,
terkadang untuk memperlancar ASI mereka, isteri kami rela minum air rendaman
gandum.
Namun, mengapa
di negeri kalian, katanya tidak sedikit kasus pembuangan bayi, terkadang
ditemukan mati di parit-parit dan yang membuat saya terkejut dan merinding,
ternyata negeri kalian adalah negeri yang tertinggi kasus Abortusnya untuk
wilayah ASIA.
Ada
apa dengan kalian?? apa karena di negeri kalian tidak ada konflik bersenjata
seperti kami disini? bagi kami di sini, memang hampir setiap hari di GAZA sejak
penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati namun,
bukanlah diselokan-selokan atau got-got apalagi ditempat sampah? saudaraku! !!,
Mereka mati syahid, saudaraku!
Kami
temukan mereka tak bernyawa lagi dipangkuan ibunya, di bawah puing-puing
bangunan rumah kami yang hancur, bagi kami nilai seorang bayi adalah aset
perjuangan. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami.
Wahai
saudaraku di Indonesia, Negeri kalian subur dan makmur, tanaman apa saja yang
kalian tanam akan tumbuh dan berbuah tapi kenapa di negeri kalian masih ada
bayi yang kurang gizi, menderita busung lapar, Apa karena kalian sulit mencari
rezki disana? Perlu kalian ketahui, saudaraku, tidak ada satupun bayi di
Gaza yang menderita kekurangan gizi apalagi sampai mati kelaparan. Perlu kalian
ketahui, bulan ini ada sekitar 300 pasang pengantin baru. ya, mereka menikah di
sela-sela serangan agresi Israel, mereka mengucapkan akad nikah diantara bunyi
letupan bom dan peluru.
Saudaraku
di
Gaza tidak ada SDIT seperti di tempat kalian, yang menyebar seperti jamur
sekarang. Mereka belajar di antara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur,
yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun pohon
kurma, yah di tempat itulah mereka belajar, Saudaraku. Bunyi suara setoran
hafalan Al Quran mereka bergemuruh diantara bunyi senapan. Memang banyak
masyarakat dunia yang menangisi kami di sini, termasuk kalian di Indonesia. Namun,
bukan tangisan kalian yang kami butuhkan saudaraku, biarlah butiran air matamu
adalah catatan bukti nanti di akhirat, terima kasih, Doa dan dana kalian telah
kami rasakan manfaatnya. Salam untuk semua pejuang-pejuang islam di Indonesia.
Sungguh
penulis ini lebih sangat irinya dengan kalian, saudaraku di Palestina, iri dengan
banyaknya dan keiklasan ibu-ibu para syuhada, iri dengan keberkahan yang mudah
ditanahmu, saudaraku. Iri dengan janji-janji Allah SWT kepada para syahidmu.
Sementara kami disini seringkali kebingungan, yang mana kawan dan yang mana
lawan. Sementara kami disini sering terjebak dengan kelalaian nikmat alam kami.
Sementara ruang kedurhakaan lebih besar dihadapan dan menghadang jalan kami.
Jihad kalian dapat memberi syafaat kepada banyak keluarga terdekat kalian,
sedangkan jenis jihad kami, walau ragam macamnya banyak, ia tidak sebanding
dengan jihad fisik kalian.
"Katakanlah:
"Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan
oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah
orang-orang yang beriman harus bertawakal." (At-Taubah: 51)
Kata
Allah SWT, musibah itu datang karena sebab diri sendiri dari manusianya, baik
pribadi maupun kolektif, halnya banyak. Yaaa, bisa karena diam saja, bisa
karena kurang usaha, kurang daya dan upaya, bisa karena yang lebih banyak buta
dan tulinya akan kebenaran, banyaknya perkara batil dan dosa dalam lingkupnya
yang dibiarkan saja, dsb. Namun satu hal lagi, dalam hal lainnya bahwa musibah
itu juga bisa jadi ada nilai kebaikan pula, tentunya untuk orang-orang tertentu
yang diinginkan kebaikannya oleh Allah SWT. Maka tidak ada kekhawatiran
untuknya dan tidak pula ia bersedih hati karena ia telah berusaha semampu
kesanggupannya dan bertawakkal setelahnya, sementara mereka mengharap dari
Allah SWT apa yang tidak diharapkan oleh orang diseberang mereka.
Hari
pilpres ini, hampir-hampir saja kita melihat hampir-hampir terbaginya kubu
keimanan dan kubu kemunafikan, mungkin diwaktu esok hari, akan lebih jelas dan
jauh lebih jelas lagi. Maju kena, mundur kena, berbagai cara mereka pun
ciptakan, sungguh hampir-hampir membuat marah dan menjengkelkan hati-hati gelap
mereka pada kekompakan dan persatuan umat. Bila setahun lalu keluar isu ditunggangi
Salafi Wahabi dan Galeri Kebangkitan Para Bandit atau Bajingan dari Wimar mungkin
bisa memporakporandakan persatuan umat ini.
Para
sahabat Nabi, membuat marah orang kafir dan munafik, Allah Ta'ala berfirman
dalam ayat terakhir surat Al Fath: “Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di
antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).
syahidnya
pada kalimat:
لِيَغِيظَ
بِهِمُ الْكُفَّارَ
"karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir"
Lihatlah
bagaimana Allah memisalkan para sahabat Nabi terhadap Rasulullah adalah
bagaikan tunas yang menguatkan dan mendukung tanaman sehingga tegak di atas
pokoknya, yang tunas itu menyenangkan hati penanamnya dan membuat marah dan
jengkel orang-orang kafir. Imam Malik rahimahullah mengambil istinbath hukum
dari ayat ini bahwa orang-orang Rafidhah yang benci dan jengkel kepada para
sahabat Nabi mereka itu kafir.
Dua
utama persepsi dakwah (Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak
dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala
sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam) adalah cara damai dan
cara kacau (peperangan), ketika sebab-sebab perubahan yang syari ada terpampang
pada jalan damai, maka kerjakanlah. Pemilu, pileg dan capres adalah hanya satu
macam langkah dari strategi catur untuk mewujudkan sebab-sebab perubahan syari
ini, umpama menang, Alhamdulillah, itulah yang diharapkan, mewujudkan
masyarakat madani. Maka kerjakanlah toh ini didukung dengan fatwa-fatwa dan
dalil-dalil yang benar. Umpama menang lalu diberangus, bukankah ada sebab-sebab
peperangan secara syari terpenuhi, maka sudah seharusnya kerjakanlah pula.
Berbalik halnya, ketika kalah, dan sukuler berkuasa, lalu ada muncul sebab-sebab
peperangan secara syari (seperti adanya pemberontakan rakyat karena jenuh pada
kondisi negeri), maka kerjakanlah, itu langkah strategi catur lainnya pada
situasinya yang tepat, tapi bila tidak ada terlihat sebab-sebab syarinya
(karena selalu masih dalam kondisi damai walaupun itu keburukan berkedok
kedamaian) maka kita masih bisa melirik sebab-sebab lainnya yang beragam cara secara
syariat pada perubahan yang diinginkan, lingkup kecilnya ataupun lingkup
besarnya. Sesuai dengan kesempatan, kemampuan dan kondisi keadaan yang
terpampang, kedua-dua jalan ini dapat dipakai, bisa bergantian datang, bisa
pula secara serentak maka tidak ada waktu senggang yang tidak dapat digunakan
untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Terlihat jelas adanya sifat fleksibel jihad
itu, lalu mengapa kalian berpendapat dan berpikir satu langkah strategi catur
saja, seakan-akan lewat demokrasi tidak dapat melakukan perubahan secara syari
sementara sebab-sebab peperangan syari tidak ada terpampang jalannya disini,
ditanah ini. Perubahan model apa yang kalian harapkan???? Ataukah ini langkah
dari lain dimulut lain dihati saja, hanya agar ikut menggembosi umat???? Semoga
bukan. Bukankah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya juga melakukan dua langkah
strategi dakwah utama ini bergantian atau serentak sesuai situasi dan
kondisinya, cara damai dan cara perang. Lalu mengapa kau kotakkan dengan satu
model strategi dan usaha saja. Lalu pun kau diam dan tidak berusaha membendung
mudharat pada keadaan lainnya. Cerdaslah berpikir secara lebih detail hal ini.
Sisi
lainnya bila sekuler membaca ini dan ikut memahaminya, ia pun akan terhati-hati
menjaga kedamaian ini, dan ia pun akan lebih memikirkan dan berupaya kemajuan
bangsa, sesuatu yang mau nga mau harus mereka lakukan karena desakan dari maju
kena, mundur pun kena :-). Sungguh pun kalian akan selalu kecewa karena tidak
ada ruginya apapun yang terjadi buat seorang muslim.
Semoga
faham inti tulisan ini dan beberapa hal tersurat dan tersiratnya, tersirat
dapat jadi tersurat, tersurat dapat jadi tersirat dan tersirat memiliki hal
tersirat lagi didalamnya.
Setiap kebenaran bersumber dari
Allah SWT, nash tidak akan salah, yang dapat salah adalah pemahaman orangnya.
Bila ada kesalahan dan ketidakfahaman maka itu datangnya dari penulis sendiri, itu
pun adalah musibah sebab upaya diri penulis sendiri. Allah SWT kemudian
rasulNya berlepas diri dari hal tersebut.
Maka mengapa kamu
(terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal
Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka
sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah
disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan
jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Qs, An Nisaa' : 88
Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan
musuh Allah dan musuh kalian"
[Al-Anfal : 60]
Janganlah
berkata “anjing kamu!”, atau “babi, lu!”, atau “kaya kera aja dia!”, atau “sama
monyetnya tuh cwe!”, bila berniat atau bermakna ungkapan emosi atau keakuan
sebab bisa jadi kutukannya beralih ke Anda sendiri, dan jangan pula atau
hati-hatilah berniat dari berkata: “ahh…panasnya
hari ini!” sebab boleh jadi niat Anda tidak menerima akan takdirNya hari
ini. Dan boleh jadi pula kehendakNya, esok akan lebih “panas” dari hari ini
atau lebih “dingin” sejenak dari hari ini.
Kumpulan
tulisan ini didedikasikan kepada para Pejuang Sunyi, sungguh cara perang kalian
teramat berbeda dengan perang-perang yang ada. Bila ada 1001 cara yang syari,
sesuai kemampuan, sesuai kesempatan dan sesuai situasi kondisinya, Pejuang
Sunyi bisa memanfaatkan sebanyak cara-cara perjuangan syari tersebut, tidak
kenal waktu, tidak kenal medan, dan tidak kenal kondisi, semua dapat
dimanfaatkannya dan tidak berhenti hanya tertuju/fokus pada satu titik usaha
saja, usahanya seakan-akan tidak terputus-putus dengan berbagai ragam apa yang
dapat dirinya upayakan.
Catatan dari penulis : penulis merasa tidak mempunyai ilmu, terasa pula
bahwa ilmu itu sangat luas adanya, oleh karena itu dapat dikatakan penulis
adalah sama seperti orang awam kebanyakan dan masih banyak
kekurangan-kekurangan pada diri penulis maka pelajari atau kritiklah dan
ambillah yang bermanfaat dan buanglah yang tidak bermanfaat dari tulisan dan
kumpulan tulisan dari tulisan ini. Bisa saja ada dalil-dalil yang terlewat yang
penulis belum melihat atau terbuka dan juga bisa saja ada persepsi salah
terhadap dalil-dalilnya. Dan tidak berhakkan penulis sebagai orang awam/orang
islam turut prihatin pada kondisi umat. Kita hanya sama-sama manusia biasa yang
mengharapkan karunia dan rahmatNya. Wallahu a’lam.
Bila ingin membaca lebih lanjut ebook ini, Klik tulisan ini untuk kembali ke-link-link di daftar isi
Anda sedang membaca artikel tentang Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? dan anda bisa menemukan artikel Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? ini dengan url http://manfaatputih.blogspot.com/2014/06/demokrasi-pemilu-dan-khilafah-bisakah.html, anda boleh menyebarluaskannya atau mengcopypaste-nya jika artikel Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link Demokrasi, Pemilu dan Khilafah bisakah bersatu? sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentarmu disini!